Petrus Abelardus
Petrus Abelardus (ca 1079, Le Pallet, Bretagne — 21 April 1142, sekitar Chalon-sur-Saône, Kerajaan Prancis) adalah seorang filsuf skolastik, ahli logika, dan teolog yang terkenal pada abad pertengahan;[1] selain itu ia juga dikenal sebagai seorang komponis. Skandal dan kisah cintanya dengan Héloïse d'Argenteuil telah menjadi legenda. Chambers Biographical Dictionary menggambarkan Petrus Lombardus sebagai "pemikir paling tajam dan teolog paling berani dari abad ke-12".[2][3] Ada anggapan bahwa ia, bersama dengan Santo Anselmus dari Canterbury, adalah pendiri skolastisisme di awal abad ke-12.[4] Riwayat HidupMasa mudaPetrus Abelardus (bahasa Prancis: Pierre Abélard), awalnya dipanggil "Pierre le Pallet",[5] lahir ca tahun 1079, sekitar 16 km di sebelah timur Nantes, di Bretagne, putra tertua dari keluarga bangsawan Breton. Sebagai seorang anak laki-laki, ia belajar dengan cepat. Ayah Petrus, seorang bangsawan kaya bernama Berengar, mendorongnya untuk mempelajari seni liberal, di mana ia unggul dalam seni dialektika (sebuah cabang dari filsafat). Pada saat itu dialektika utamanya terdiri dari ilmu logika Aristoteles. Berbeda dengan ayahnya yang berkarier dalam militer, Petrus Abelardus memilih menjadi seorang akademisi. Selama awal kegiatan akademiknya Abelardus berkelana ke seluruh Prancis, terlibat dalam ajang perdebatan dan pembelajaran, agar (dalam kata-katanya sendiri) "ia menjadi seperti salah seorang Peripatetik (murid sekolah filsafat Aristoteles pada abad awal)".[6] Pertama kali Abelardus belajar di daerah Loire di mana Roscellinus dari Compiègne, seorang nominalis yang telah dituduh sesat oleh Anselmus (Uskup Agung Canterbury), adalah gurunya dalam periode ini.[2] Menjadi tenarSekitar tahun 1100, Abelardus sampai di Paris. Di sekolah katedral dari Notre Dame de Paris (sebelum dibangunnya katedral yang digunakan sampai saat ini), ia diajar selama beberapa waktu oleh William dari Champeaux (yang kemudian menjadi Uskup Châlons-en-Champagne), murid Anselmus dari Laon (bukan Anselmus dari Canterbury) —seorang pelopor Realisme.[2] Dalam masa inilah ia mengganti nama keluarganya menjadi "Abelardus" (bahasa Prancis: Abélard, bahasa Latin: Abaelardus). Dalam kisah di otobiografinya (Historia Calamitatum), Abelardus menggambarkan William berubah dari yang sebelumnya mendukung dia menjadi menentangnya, sejak Abelardus menunjukkan kemampuannya mengalahkan sang guru dalam perdebatan; sumber lama mengatakan bahwa konseptualisme[7] Abelardus mengalahkan teori realisme, tetapi, bagaimanapun pemikiran Abelardus sebenarnya nyaris serupa dengan pemikiran William dibanding kisah yang diceritakannya.[3] Dan William beranggapan bahwa Abelardus terlalu sombong.[8] Hal itu terjadi dalam rentang waktu di mana Abelardus juga memicu pertengkaran dengan Roscellinus —yang adalah gurunya juga.[5] Untuk menandingi gurunya, Abelardus mendirikan sekolah sendiri, yang pertama di Melun, suatu daerah favorit keluarga kerajaan; kemudian sekitar tahun 1102-11-4, demi kompetisi langsung, ia pindah ke Corbeil-Essonnes, dekat Paris.[6] Sekolah Abelardus dapat dikatakan sukses dan menonjol, meski dalam suatu masa ia harus melepaskannya dan menghabiskan waktu di Bretagne, ketegangan yang dialaminya terbukti terlalu besar baginya. Sekembalinya, setelah tahun 1108, ia menemukan William menjadi pengajar di pertapaan Saint-Victor, di luar Île de la Cité; di sana mereka sekali lagi menjadi saingan, Abelardus menantang William melalui teori "universal"-nya. Abelardus sekali lagi menjadi pemenang, dan ia hampir dapat meraih posisi master di Notre-Dame. Namun, sementara waktu, William dapat mencegah Abelardus agar tidak mengajar di Paris. Dengan demikian Abelardus terpaksa melanjutkan kembali sekolahnya di Melun, yang mana kemudian ia mampu memindahkannya ke Paris, antara tahun 1110-1112, di ketinggian bukit Montagne Sainte-Geneviève, menghadap Notre-Dame.[9] Dari kesuksesannya dalam dialektika, Petrus Abelardus selanjutnya beralih ke teologi dan pada tahun 1113 pindah ke Laon untuk menghadiri pengajaran Anselmus (dari Laon) mengenai penafsiran (eksegesis) Alkitab dan doktrin Kekristenan.[5] Tapi Abelardus tidak terkesan dengan pengajaran Anselmus, dan ia mulai menawarkan pengajaran sendiri mengenai Kitab Yehezkiel. Anselmus melarangnya untuk melanjutkan pengajarannya, dan Abelardus kembali ke Paris di mana, sekitar tahun 1115, ia menjadi master di Notre Dame de Paris dan seorang kanon dari katedral Sens (saat itu merupakan keuskupan agung yang menjadi provinsi gerejani dari Keuskupan Paris).[6] Kisah asmaraKepopuleran Abelardus membuatnya dikelilingi ribuan murid dari berbagai negara oleh karena kemasyhuran ajarannya. Persembahan dan kekaguman para muridnya membuat Abelardus, sebagaimana ia katakan sendiri, berpikir bahwa ia adalah satu-satunya filsuf di dunia yang tiada tandingannya. Namun pengabdiannya pada ilmu pengetahuan membuatnya menjalani kehidupan yang sangat biasa, hanya dimeriahkan dengan perdebatan filosofis; dan saat di puncak ketenarannya ini ia terlibat hubungan asmara.[6] Ketika itu dalam wilayah Notre-Dame tinggallah seorang kanon sekuler, Fulbertus, bersama dengan keponakannya, yakni Héloïse d'Argenteuil. Héloïse memiliki pengetahuan yang luar biasa akan klasika, tidak hanya bahasa Latin tetapi juga Yunani dan Ibrani. Abelardus berhasil dalam upayanya untuk tinggal di rumah Fulbertus, kemudian sekitar tahun 1115-1116 memulai hubungan gelapnya dengan Héloïse. Skandal tersebut mempengaruhi kariernya, dan Abelardus sendiri menyombongkan diri atas penaklukannya itu (atas Héloïse). Saat Fulbertus mengetahuinya, ia memisahkan mereka, tetapi mereka tetap melanjutkan hubungan dengan diam-diam. Lalu Héloïse hamil dan ia segera dikirim ke Bretagne untuk dirawat keluarga Abelardus, di sana ia melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Astrolabe.[5][6] Untuk menenangkan hati Fulbertus, Abelardus mengusulkan suatu perkawinan rahasia agar tidak merusak prospek kariernya. Awalnya Héloïse menentang itu, tetapi akhirnya pasangan tersebut menikah. Pada saat Fulbertus mengungkapkan pada publik mengenai pernikahan tersebut, dan Héloïse menyangkalnya, Abelardus mengirim Héloïse ke biara di Argenteuil, tempat di mana ia dibesarkan, untuk melindunginya dari sang paman. Héloïse kemudian berpakaian seperti seorang biarawati (suster) dan menjalani kehidupan layaknya seorang biarawati, meski ia tidak bercadar. Fulbertus kemungkinan besar meyakini bahwa Abelardus ingin menyingkirkan Héloïse dengan memaksanya menjadi seorang suster; lalu ia mengatur sejumlah orang untuk masuk ke kamar Abelardus pada suatu malam dan mengebirinya. Akibatnya, Abelardus memutuskan untuk menjadi seorang rahib di biara St Denis, dekat Paris.[5] Sebelum melakukan rencananya, Abelardus mendesak Héloïse agar mau berkaul sebagai seorang biarawati. Tapi Heloise menjawab Abelardus, melalui surat, dengan menanyakan mengapa ia harus menjalani suatu kehidupan religius padahal ia merasa tidak mempunyai panggilan untuk itu.[6] Menjadi pertapaDalam Biara Saint-Denis, Petrus Abelardus yang telah berusia 40 tahun mengubur dirinya sebagai seorang rahib dengan kesengsaraan yang tak terlihat dari luar.[10] Karena ia tidak menemukan waktu luang di dalam biara, dan setelah secara bertahap berniat beralih kembali untuk belajar, ia menyerah dengan mengajukan permohonan yang mendesak, dan membuka kembali sekolahnya di suatu biara yang tidak diketahui (namun masih dimiliki Biara Saint-Denis). Pengajaran Abelardus sekarang dibingkai dalam suatu semangat devosional, dan juga teologi serta pengajarannya dahulu dalam logika. Ia kembali dikerumuni oleh banyak murid, dan sepertinya pengaruh lamanya telah kembali. Ia menggunakan Alkitab dan tulisan-tulisan — yang menurut anggapannya — tidak konsisten di antara para pemimpin gereja sebagai dasar penulisan Sic et non (Ya dan Tidak).[5] Berikutnya Abelardus menerbitkan pengajaran teologisnya, dalam buku Theologia Summi Boni, yang berisi tafsiran rasionalistik tentang dogma Trinitas. Namun dua orang murid Anselmus dari Laon (Alberic dari Rheims dan Lotulf dari Lombardia) memicu kutukan terhadap ajaran Abelardus pada suatu sinode provinsial di Soissons tahun 1121. Ia dituduh mengembangkan ajaran sesat dari Sabellius, lalu ia diperintahkan untuk membakar buku Theologia tersebut. Selain itu Abelardus juga dikenakan hukuman kurungan untuk selamanya dalam sebuah biara, tetapi sepertinya telah ada kesepakatan sebelumnya bahwa hukuman tersebut akan dicabut segera, sebab setelah beberapa hari di Biara St. Medard di Soissons, Abelardus kembali ke Biara St. Denis.[3] Kehidupan Petrus Abelardus di biara terbukti tidak lebih cocok baginya dibanding sebelumnya. Ia lalu melakukan semacam kesenangan berbahaya yang menjengkelkan para rahib lainnya. Seolah-olah suatu lelucon, ia mengutip kata-kata Santo Beda untuk membuktikan bahwa pendiri Biara St Denis, yaitu St Dionisius orang Areopagus, adalah Uskup Korintus, padahal para rahib lainnya selama ini mempercayai pernyataan Abbas (Kepala Biara) Hilduin bahwa ia adalah Uskup Athena. Ketika kontroversi ini mengarah ke tekanan yang tak terelakkan atas dirinya, Abelardus menulis sebuah surat kepada Abbas Adam dengan mengatakan bahwa menurut Historia Ecclesiastica-nya Eusebius dari Kaisarea dan St Hieronimus, St Dionisius (Uskup Korintus) adalah berbeda dengan St Dionisius dari Aeropagus (Uskup Athena dan pendiri biara tersebut), tetapi untuk menghormati St Bede, ia mengusulkan bahwa St Dionysius dari Aeropagus mungkin juga adalah Uskup Korintus. Abbas Adam lalu menuduhnya menghina biara tersebut dan Kerajaan Prancis (di mana St Denis dipandang sebagai santo pelindung); kehidupan Abelardus di biara menjadi semakin terhambat, dan akhirnya ia diizinkan untuk pergi meninggalkan biara.[9] Setelah peristiwa tersebut, Abelardus menetap di Biara St Ayoul of Provins —di mana sang abbas adalah temannya. Kemudian, setelah Abbas Adam meninggal pada bulan Maret 1122, Abelardus dapat memperoleh izin dari abbas yang baru, Suger, untuk hidup di tempat sunyi manapun yang ia inginkan. Abelardus memilih sebuah tempat sunyi dekat Nogent-sur-Seine di Champagne, ia membangun sebuah pondok dari jerami dan alang-alang, juga sebuah oratorium sederhana yang didedikasikan pada Trinitas; dan jadilah ia seorang pertapa (eremit). Ketika hal ini diketahui umum, para murid datang berbondong-bondong dari Paris dan memenuhi padang belantara di sekitarnya dengan tenda dan gubuk mereka. Abelardus mulai mengajar lagi di sana. Oratoriumnya dibangun ulang dengan batu dan kayu, serta didedikasikan kembali sebagai Oratorium dari Parakletos.[9] Abelardus menetap di "Parakletos" selama sekitar 5 tahun. Ia mengkombinasikan kehidupannya sebagai seorang pertapa dengan pengajaran kesenian sekuler sehingga ia mendapat kritikan keras, dan saat itu ia mempertimbangkan untuk benar-benar meninggalkan Kekristenan.[11] Abelardus kemudian memutuskan untuk pergi dan mencari tempat perlindungan lain; dan sekitar tahun 1126-1128 ia menerima tawaran untuk memimpin Biara Saint-Gildas-de-Rhuys, jauh di lepas pantai Basse-Bretagne. Daerah tersebut tidaklah bersahabat, kawasan yang menjadi sasaran para pelanggar hukum.[9] Di sana pun hubungannya dengan komunitas biara yang dipimpinnya semakin hari semakin memburuk.[11] Pada bulan April 1129 Kepala Biara Suger dari St Denis berhasil memenuhi rencananya untuk memiliki komunitas biarawati, di mana termasuk juga Héloïse, yang telah dikeluarkan dari biara di Argentuil, agar propertinya dapat dialihkan untuk Biara St Denis. Héloïse untuk sementara menjadi kepala dari komunitas biara baru tersebut, yang dinamakan Parakletos. Abelardus menjadi abbas dan menyusun seperangkat aturan dengan suatu penyesuaian atas cara hidup para biarawati; dalam hal ini ia menekankan keutamaan studi sastra. Ia juga memberikan buku-buku himne hasil komposisinya, dan di awal tahun 1130 ia dan Héloïse menyusun suatu kumpulan surat cinta mereka dan surat korespondensi rohaniah.[11] Ketidakberhasilan Petrus Abelardus sebagai abbas di Biara Saint-Gildas membuatnya memutuskan untuk mengajar kembali. Tidak dapat dipastikan sepenuhnya kapan ia melakukan hal tersebut, tetapi mengingat Yohanes dari Salisbury (Uskup Chartres) pernah diajar dialektika oleh Abelardus pada tahun 1136 maka dapat diasumsikan bahwa Abelardus kembali ke Paris dan mengajar lagi di Montagne Sainte-Geneviève. Ada dugaan juga bahwa pengajarannya termasuk logika, setidaknya sampai tahun 1136, tetapi utamanya berkaitan dengan Kitab Suci, etika, dan ajaran Kristiani. Ia menghasilkan rancangan lebih lanjut dari Theologia karyanya, yang di dalamnya ia menganalisis sumber-sumber keyakinan akan Trinitas serta memuji para filsuf pagan dari zaman kuno atas keutamaan dan penemuan mereka mengenai penggunaan akal (daya pikir) pada banyak aspek fundamental pewahyuan Kristiani.[11] Dalam masa ini juga Abelardus menuliskan, antara lain, Historia Calamitatum yang adalah autobiografinya. Tulisan tersebut menggerakkan Héloïse untuk menulis surat pertamanya;[12] kemudian diikuti dua surat lainnya, yang di dalamnya Héloïse akhirnya setuju untuk mengundurkan diri sehingga Abelardus memujinya, sekarang sebagai seorang saudara laki-laki kepada seorang saudara perempuan. Konflik dengan St. BernardusSetelah tahun 1136, tidak jelas apakah Abelardus telah berhenti mengajar, atau apakah ia meneruskannya (kecuali pengajaran mengenai logika) sampai akhir tahun 1141. Pada suatu waktu, William dari St. Thierry (Abbas dari Biara Saint-Thierry) menemukan apa yang dianggapnya penyesatan dalam beberapa pengajaran Abelardus; dan pada musim semi 1140 Abbas William menulis surat kepada Uskup Chartres dan kepada Bernardus dari Clairvaux (pada masa itu Bernardus termasuk figur paling berpengaruh dalam Kekristenan Barat) berisi kecaman atas ajaran-ajaran Abelardus tersebut. Seorang teolog lainnya, Thomas dari Morigny, dalam waktu bersamaan juga mendaftar ajaran-ajaran Abelardus yang dianggap sesat, hal ini kemungkinan atas perintah Bernardus. Keberatan Bernardus terutama adalah bahwa Abelardus telah menerapkan logika pada konteks yang di dalamnya ilmu tersebut tidak dapat diterapkan, dan karenanya dipandang tidak logis.[13] Di tengah tekanan dari Bernardus, Abelardus menantang Bernardus untuk menarik tuduhannya, atau ia akan mengungkapkannya secara terbuka di Konsili Sens yang direncanakan pada tanggal 2 Juni 1141. Dengan demikian Abelardus menempatkan dirinya dalam posisi pihak yang bersalah dan memaksa Bernardus untuk mempertahankan dirinya sendiri atas tuduhan fitnah. Namun, Bernardus menghindari perangkap ini, pada malam sebelum berlangsungnya konsili ia mengadakan suatu pertemuan pribadi dengan para uskup yang akan hadir dalam konsili dan berhasil mempengaruhi mereka untuk mengecam semua proposisi sesat yang ditujukan pada Abelardus. Lalu saat Abelardus datang di konsili pada hari berikutnya, ia disajikan dengan suatu daftar proposisi kecaman yang dituduhkan kepadanya.[3] Abelardus menolak untuk menjawab proposisi-proposisi yang dituduhkan kepadanya, ia pergi meninggalkan konsili tersebut dan mengajukan banding kepada Sri Paus; ia berangkat ke Roma dengan harapan mendapat dukungan dari Sri Paus. Namun, harapannya tidak terpenuhi, dan pada tanggal 16 Juli 1141 Paus Innosensius II mengeluarkan sebuah bulla yang mengekskomunikasikan Abelardus dan para pengikutnya. Abelardus diperintahkan untuk hidup dalam kesunyian selama-lamanya, dalam sebuah biara, dan buku-bukunya harus dibakar. Namun, Abelardus diselamatkan dari hukumannya oleh Petrus Venerabilis , abbas dari biara di Cluny. Pada waktu itu Abelardus singgah di sana, dalam perjalanannya ke Roma, sebelum bulla ekskomunikasi sang paus sampai ke Prancis. Abbas Petrus berhasil membujuk Abelardus, yang sudah tua pada saat itu, untuk tidak melanjutkan perjalanannya dan tinggal di Biara Cluny. Lalu sang abbas mengatur suatu rekonsiliasi dengan Bernardus, agar hukuman ekskomunikasi atas Abelardus dicabut dan agar ia membujuk Paus Innosensius II untuk mengizinkan Abelardus menetap di bawah pengawasan Biara Cluny selama sisa hidupnya. Bernardus menyetujuinya, dan permohonannya dipenuhi sang paus, sehingga terjadi rekonsiliasi dengan Abelardus. KemangkatanPetrus Abelardus menghabiskan bulan-bulan terakhir hidupnya di dunia ini di biara St. Marcel, dekat Chalon-sur-Saône, dan ia meninggal dunia pada tanggal 21 April 1142.[3] Ada laporan bahwa Abelardus mengucapkan kata-kata terakhir "Saya tidak tahu", sebelum menghembuskan napas terakhirnya.[14] Ia meninggal karena demam dan kelainan pada kulit, kemungkinan besar penyakit kudis.[15] Pada awalnya Petrus Abelardus dimakamkan di Biara St Marcel, tetapi jenazahnya kemudian diam-diam dibawa ke "Parakletos" untuk diberikan kepada Héloïse —yang kemudian meninggal pada tahun 1163 dan dimakamkan bersama dengannya. Tulang-tulang mereka telah berpindah lebih dari sekali dan saat ini diduga berada di suatu pemakaman terkenal di Père Lachaise Cemetery, sebelah timur Paris.[16] Dikatakan bahwa jenazah pasangan tersebut dipindah dari Parakletos ke Père-Lachaise pada awal abad ke-19 dan dikebumikan di ruang bawah tanah pemakaman Père-Lachaise yang terkenal itu.[16] Pemikiran
Allah dan determinismePandangan Abelardus akan Allah dipandang sangat deterministik. Ia berpendapat bahwa Allah dapat melakukan hanya apa yang Ia (kehendaki untuk Ia) lakukan, serta hanya kapan dan bagaimana Ia melakukannya, sebatas apa yang Ia abaikan. Menurutnya, hal ini adalah suatu konsekuensi dari kebaikan Allah, dan Ia bahkan tidak pernah harus memilih antara alternatif-alternatif yang sama baiknya. Demikian berarti bahwa ada suatu alasan atas segala sesuatu yang Allah lakukan atau abaikan; dan bahwa dunia ini, yang adalah hasil dari berbagai pengabaian dan perbuatan yang beralasan, bersifat deterministik. Tetapi tetap ada kebebasan (kehendak) bagi manusia di dunia ini; manusia benar-benar bisa bebas, sementara Allah tidaklah bebas.[17] Dalam Sententiae Buku I:43, Petrus Lombardus menentang pandangan Abelardus tersebut dengan menuliskan: "Allah dapat melakukan berbagai hal yang tidak Ia kehendaki, dan dapat tidak melakukan apa yang Ia kehendaki." Dengan kata lain Lombardus, yang kemudian menjadi Uskup Paris, menyatakan bahwa kekuasaan-Nya melampaui kehendak-Nya. Lombardus menegaskan bahwa dalam Allah sendiri terkandung kekuatan dasar untuk melakukan apa pun yang tidak menyangkut suatu kontradiksi; bahwa Ia menghendaki sesuatu adalah suatu hal yang berbeda.[17] Sikap batinSalah satu pemikiran Abelardus di bidang etika atau moral adalah tentang kemurnian sikap batin.[7] Dalam tulisannya yang berjudul "Kenalillah Dirimu Sendiri" (bahasa Latin: Scito te ipsum), yang ditulis tahun 1130, ia mengajarkan bahwa suatu tindakan lahiriah selalu bersifat netral.[7] Yang menjadikan suatu tindakan bermoral ataupun tidak adalah maksud atau sikap batin dari orang tersebut, apakah batin orang tersebut menyetujui tindakan yang diambil itu.[7] Oleh karena itu, suatu hal yang dianggap tidak pantas, belum dapat dinilai baik atau buruk; sesuatu yang tidak pantas hanya dapat dipandang sebagai dosa apabila orang tersebut di dalam batinnya menyetujui atau mengiyakannya.[7] Menurut Paus Benediktus XVI, ajaran Abelardus dalam hal ini menimbulkan kerancuan, karena ia bersikeras hanya memperhitungkan niat atau intensi (sikap batin) sebagai satu-satunya dasar untuk menjelaskan tindakan moral yang baik ataupun jahat sehingga mengabaikan makna objektif dan nilai moral dari tindakan, hasilnya adalah subjektivisme yang berbahaya.[18] Dengan kata lain, ajaran Abelardus tersebut mengarah kepada: penilaian baik ataupun tidaknya perbuatan seseorang hanya tergantung pada orang itu semata. Menurut sang paus, aspek yang demikian sangat relevan dewasa ini, ketika budaya sering kali ditandai dengan suatu kecenderungan yang berkembang menuju relativisme etika, yaitu ketika seseorang menyatakan: Setiap saat, hanya "aku" yang memutuskan apa yang baik untukku.[18] Teori pengaruh moralPetrus Abelardus mengemukakan suatu teori pendamaian yang dikenal sebagai teori pengaruh moral.[19] Dalam pemikiran Abelardus, wafat Yesus di kayu salib menunjukkan Allah yang penuh kasih, merupakan undangan Allah agar manusia mengubah kehidupannya yang penuh dosa menjadi kehidupan yang penuh kasih. Karya Yesus melalui pelayanan-Nya selama Ia hidup di dunia hingga wafat-Nya menjadi teladan moral bagi manusia.[19] Bagi Abelardus, wafat Yesus Kristus di kayu salib merupakan ungkapan mutlak kasih Allah dan Ia mengharapkan tanggapan manusia.[20][21] Teorinya tetap mensyaratkan bahwa proses rekonsiliasi Allah dengan manusia membutuhkan tanggapan dan penerimaan manusia untuk berdamai dengan Allah, yaitu bertobat dengan kesadaran sepenuhnya dan berbalik kepada Allah.[20][21] Teori pendamaiannya menganggap bahwa wafat Kristus sebenarnya tidak diperlukan untuk membebaskan manusia dari keterikatan dosa, dan bukan merupakan syarat rekonsiliasi antara Allah dengan manusia; namun Ia memilih untuk melakukannya (menderita dan wafat di kayu salib) untuk mengungkapkan kasih dan persaudaraan dengan manusia dalam penderitaan mereka.[21][22] Teori pengaruh moral dari Abelardus ini terutama dianut oleh kalangan Protestan liberal dari abad ke-19 dan 20;[20] namun dewasa ini hanya sebagian saja yang masih mendukungnya.[22] Gereja Ortodoks terang-terangan menentang teori ini karena dianggap tidak cukup untuk menjelaskan banyaknya teks Kitab Suci yang menyajikan pandangan bahwa wafat Kristus adalah mutlak diperlukan agar Allah dapat menyelamatkan manusia yang berdosa.[22] Sedangkan Gereja Katolik tidak pernah menetapkan suatu dogma atas teori pendamaian tertentu;[20] Gereja Katolik cenderung menggunakan kombinasi berbagai pandangan, terutama dari Santo Anselmus dan Santo Thomas Aquinas.[22] Limbo para BayiMengenai bayi yang meninggal dunia tanpa dibaptis, Petrus Abelardus — dalam Commentaria in Epistolam Pauli ad Romanos — menekankan kebaikan Allah dan menafsirkan "hukuman paling ringan" yang disampaikan St. Agustinus dari Hippo sebagai rasa sakit akibat tiadanya visiun beatifis ("pandangan yang penuh kebahagiaan"), tanpa harapan untuk mendapatkannya, tetapi tidak ada hukuman tambahan yang diterima bayi-bayi tersebut. Pemikirannya dalam hal ini memberikan kontribusi atas pembentukan teori "Limbo para Bayi" pada abad ke 12-13.[23] Tanggapan Paus Benediktus XVISaat audiensi umum tanggal 4 November 2009, Paus Benediktus XVI berbicara tentang Santo Bernardus dari Clairvaux dan Petrus Abelardus untuk menggambarkan perbedaan dalam pendekatan teologi monastik dan skolastik pada abad ke-12. Paus mengingatkan bahwa teologi adalah pencarian pemahaman yang rasional (jika memungkinkan) akan misteri wahyu Kristen, yang diyakini melalui iman—yaitu iman yang mencari kejelasan atau pengertian ( fides quaerens intellectum ). St. Bernardus, yang mewakili teologi monastik, menekankan "iman"; sedangkan Abelardus, seorang skolastik, menekankan "pemahaman melalui akal".[18] Bagi St. Bernardus, iman didasarkan atas kesaksian dalam teks Kitab Suci dan ajaran para Bapa Gereja. Dengan demikian, ia merasa sulit untuk setuju dengan Abelardus dan, secara umum, dengan mereka yang mengandalkan kebenaran iman pada penelitian kritis melalui akal atau daya pikir — suatu penelitian yang menurutnya menimbulkan bahaya besar: intelektualisme, yang merelatifkan kebenaran, dan mempertanyakan kebenaran iman sendiri. Teologi bagi St. Bernardus hanya bisa bertumbuh dalam doa kontemplatif, melalui persatuan afektif antara hati dan pikiran dengan Tuhan, dengan hanya satu tujuan: untuk menumbuhkan pengalaman yang hidup dan akrab dengan Allah; suatu bantuan untuk mengasihi Allah secara lebih baik.[18] Menurut Paus Benediktus XVI, penggunaan ilmu filsafat secara berlebihan dalam doktrin Abelardus akan Trinitas sangat rapuh dan berbahaya, demikian juga pemikirannya akan Allah. Dalam bidang moral, ajarannya dipandang samar-samar, karena ia bersikeras hanya mempertimbangkan sikap batin sebagai satu-satunya dasar untuk menjelaskan tindakan moral yang baik ataupun jahat, sehingga mengabaikan makna objektif dan nilai moral dari tindakan, hasilnya adalah subjektivisme yang berbahaya. Bagaimanapun, sang paus mengakui pencapaian besar Abelardus, yang telah berkontribusi bagi perkembangan teologi skolastik, dalam cara yang lebih matang dan berbuah selama abad-abad berikutnya. Dan beberapa wawasan Abelardus tidak dapat dipandang remeh, sebagai contoh, penegasannya bahwa tradisi-tradisi agama non-Kristen sudah mengandung beberapa bentuk persiapan untuk menyambut penerimaan akan Kristus.[18] Paus Benediktus XVI menyimpulkan bahwa "teologi hati" St. Bernardus dan "teologi akal" Abelardus menggambarkan pentingnya diskusi teologis yang sehat, terutama ketika pertanyaan yang diperdebatkan belum didefinisikan oleh magisterium, dan mengekspresikan ketaatan yang rendah hati pada otoritas Gereja. St. Bernardus, dan bahkan Abelardus sendiri, senantiasa mengakui tanpa ragu-ragu akan kewenangan magisterium. Abelardus menunjukkan kerendahan hati dengan mengakui kesalahan-kesalahannya, dan St. Bernardus mempraktikkan kebajikan besar dengan menerima rekonsiliasi. Dalam bidang teologi, Sri Paus menekankan perlunya keseimbangan antara prinsip arsitektonis — yang diberikan melalui pewahyuan dan yang selalu menjaga kepentingan utama prinsip-prinsip tersebut — dengan prinsip penafsiran yang dikemukakan oleh filsafat (yaitu, dengan akal atau daya pikir), yang adalah penting peranannya, tetapi hanya sebagai suatu sarana semata. Ketika keseimbangan tersebut rusak, refleksi teologis menghadapi risiko dirusak oleh kekeliruan; jika demikian maka adalah tugas magisterium untuk melaksanakan layanan yang dibutuhkan demi kebenaran, karena hal demikian merupakan ranah tanggung jawabnya.[18] Karya filosofis
Referensi
|