Etika Kristen

Lukisan detail St. Agustinus di sebuah jendela kaca hias karya Louis Comfort Tiffany di Museum Lightner, St. Agustine, Florida, Amerika Serikat.

Etika Kristen (Yunani: ethos, berarti kebiasaan, adat) adalah suatu cabang ilmu teologi yang membahas masalah tentang apa yang baik dari sudut pandang Kekristenan.[1] Apabila dilihat dari sudut pandang Hukum Taurat dan Injil, maka etika Kristen adalah segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah dan itulah yang baik.[1] Dengan demikian, maka etika Kristen merupakan satu tindakan yang bila diukur secara moral baik.[2] Saat ini, permasalahan yang dihadapi etika Kristen ialah kehendak Allah dari manusia yang diciptakan menurut gambarNya, serta sikap manusia terhadap kehendak Allah itu.[1]

Etika Perjanjian Lama

Titik tolak etika Perjanjian Lama adalah anugerah Allah terhadap umatnya dan tuntutan perintahnya yang terikat pada tindakannya demi keselamatan umat manusia.[3] Oleh karena itu, bentuk etika Perjanjian Lama berkisar pada tindakan Allah dalam sejarah umatnya dan juga yang menuntut respon yang serasi.[3] Hal ini juga menyebabkan konsep etika Perjanjian Lama selaras dengan sebuah etika yang dinamakan etika teonom yang berlandaskan hubungan antara Allah dan umatnya.[3] Sesuai dengan konsep ini, maka dasar etika Perjanjian Lama dapat disoroti dari empat sisi.[3] Pertama, menanggapi perbuatan Allah dimana bangsa Israel harus memiliki dorongan untuk mengarah pada kelakuan etis dalam wujud tanggapan akan tindakan-tindakan Allah dalam sejarah kehidupan mereka.[3] Kedua, mengikuti teladan Allah, dimana bangsa Israel wajib untuk memperlihatkan sifat Allah melalui kelakuan mereka.[3] Ketiga, hidup dibawah pemerintahan Allah, maksudnya adalah kedaulatan dan kewibawaan Allah sebagai Raja ilahi yang karenanya manusia harus tunduk sebagai makhluk ciptaan dan hamba.[3] Keempat adalah menaati perintah Allah.[3]

Anugerah Allah Dalam Penciptaan

"Kejatuhan Manusia" oleh Lucas Cranach, gambaran Taman Eden oleh seorang Jerman dari abad ke-16

Etika Perjanjian Lama pada dasarnya tidak dapat terlepas dari moralitas manusia pertama.[4] Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang istimewa, yaitu sebagai gambar Allah, dalam bahasa Ibrani disebut tselem dan dalam bahasa Latin disebut Imago Dei.[4] Tidak hanya itu saja, manusia yang diciptakan Allah juga memiliki kesamaan moral dengan Allah yang maha suci, hal itu terjadi pada waktu Adam dan Hawa belum jatuh ke dalam dosa.[4] Manusia yang telah diciptakan Allah selanjutnya merupakan makhluk moral yang diberi kemampuan memilih apa yang akan dilakukannya, apakah akan mematuhi perintah-perintah Allah atau malah menentangnya.[4] Hal ini terjadi karena manusia adalah pribadi bebas yang juga memiliki kehendak bebas.[4] Namun, kehendak bebas haruslah disertai dengan tanggung jawab.[4] Pada waktu Adam dan Hawa telah diciptakan, Allah memberikan sebuah perintah kepada Adam yaitu berupa larangan untuk memetik dan memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat yang berada dalam taman Eden.[4] Namun, perintah dari Allah tidak dihiraukan oleh Adam dan Hawa dan mereka mengambil sebuah keputusan etis yaitu dengan memetik dan memakan buah tersebut.[4] Ketika Allah mengetahui perbuatan tersebut ada sebuah tindakan yang dilakukan oleh Allah dan hal ini merupakan ethos Allah (ethos:sikap dasar dalam berbuat sesuatu).[4] Tindakan Allah ini merupakan inisiatif dari Allah sendiri yang mencerminkan sikap kasihNya pada manusia, terdapat dua hal yang dilakukan Allah:

  1. Ketika manusia pertama jatuh ke dalam dosa yang kemudian telanjang dan merasa malu dan bersembunyi di antara pohon-pohon dalam taman, Allah mencarinya dan lebih dahulu menyapanya, dimanakah engkau?(Kej 3:9).[4]
  2. Untuk menutupi ketelanjangan manusia, Allah membuatkan pakaian dari kulit binatang, lalu mengenakannya pada kedua manusia berdosa,Adam dan istrinya Hawa (Kej 3:21).[4]

Ethos yang ditunjukkan Allah telah menunjukkan bahwa Allah mau merendahkan diriNya dan memperlihatkan sikap kasihnya kepada manusia berdosa.[4] Namun, sikap dan respon manusia terhadap kebaikan Allah justru semakin meningkatkan perbuatan dosanya.[4] Hal ini dapat terlihat pada anak Adam yaitu Kain yang begitu tega dan kejam membunuh adiknya Habel, hanya karena iri terhadap soal persembahan.[4] Tidak hanya itu saja, ketika manusia bertambah banyak, perbuatannya semakin dipenuhi kejahatan, sampai Tuhan menyesal telah menciptakan manusia (Kej 6:5-6).[4]

Etika dan Moral Abraham

"Malaikat Tuhan mencegah pengorbanan Ishak", oleh Rembrandt, 1634

.

Etika dan moral Abraham dapat terlihat ketika ia dipanggil Allah dalam usianya yang ke 75.[4] Pada saat itu, ia bersama dengan istrinya Sarai beserta keponakannya Lot menuju Kanaan melalui Sikhem dan Betel sekitar tahun 2091 SM (Kej 12:1-5).[4] Abraham yang pada waktu itu bernama Abram pergi hanya dengan berbekal iman kepada Tuhan dan ia sendiri tidak mengetahui bagaimana sebetulnya daerah Kanaan tersebut.[4] Ketika ia sampai di Kanaan, ternyata negri itu sedang mengalami bencana kelaparan, oleh karena itu ia bersama dengan keluarganya pergi ke Mesir melalui Negep.[4] Peristiwa Abraham yang menuruti perintah Allah memperlihatkan beberapa sikap iman dan moralnya, antara lain:

  1. Berani melangkah mentaati perintah Tuhan untuk menuju ke negeri yang belum diketahui keadaannya.[4]
  2. Bersedia meninggalkan rumahnya dan pergi mengembara yang penuh suka duka serta ancaman bahaya.[4]
  3. Ketika Abraham mencapai tempat yang ia tuju, ada bencana kelaparan disana, namun Abraham tidak meninggalkan tempat itu melainkan tetap percaya dan setia pada Tuhan.[4]
  4. Percaya bahwa Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik dan hal itu terjadi hingga Abraham menjadi Bapa orang beriman bagi segala bangsa.[4]

Selain dari sikap iman dan moral yang ditunjukkan Abraham, ada juga moral buruk yang ia tunjukkan ketika menghadapi permasalahan hidupnya, yaitu:

  1. Ketika ia berada di Mesir dimana ia kuatir dirinya akan dibunuh supaya orang bisa mengambil istrinya.[4]
  2. Abraham berbohong demi menyelamatkan dirinya dengan mengakui istrinya sebagai adik.[4]
  3. Sikap egois dan tidak mengasihi istri dimana Abraham tidak melindungi istrinya dan membiarkan istrinya rela diambil orang.[4]
  4. Abraham tidak menyerahkan perlindungannya pada Allah tetapi ia tenggelam pada perasaan takutnya yang bisa mengancam nyawanya.[4]

Hukum Taurat

Istilah Taurat berasal dari bahasa Ibrani yaitu torah yang artinya ajaran.[1][4] Asal kata torah ada hubungannya dengan kata kerja hora yang memiliki arti memimpin, mengajar, mendidik, dan juga sering diterjemahkan dengan istilah pengajaran.[1][4] Istilah torah diartikan pengajaran tetapi bisa juga diartikan hukum yang berasal dari kata yarah yang artinya mengarahkan atau mengajar.[1][4] Kata tora kemudian juga dipakai untuk menyebutkan Pentateuch (yakni kelima kitab pertama yang ada dalam Alkitab).[1][4]

Hukum Taurat Musa yang tertulis dalam kelima kitabnya, dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

  1. Hukum Moral yang membicarakan peraturan-peraturan Allah bagi umat Israel untuk hidup kudus, mengasihi Allah dan mengasihi sesama yang prinsip dasarnya tertulis dalam sepuluh perintah Tuhan (Kel 20:1-17).[4]
  2. Hukum Perdata atau Hukum Sosial yang membicarakan serta membahas kehidupan hukum dan sosial kemasyarakatan bangsa Israel (Kel 21:1-23:33).[4]
  3. Hukum Peribadatan yang membicarakan bentuk dan upacara penyembahan umat Israel kepada Tuhan, juga mengenai sistem pesembahan korban dan kehidupan keagamaan (Kel 24:12-31:18).[4]

Etika Perjanjian Baru

Etika Perjanjian Baru adalah sebuah petunjuk-petunjuk sikap dan kelakuan orang-orang Kristen.[5] Oleh karena itu, etika Perjanjian Baru saling terkait dengan kelakuan orang-orang Kristen yang pertama dan dengan kehidupan mereka sehari-hari.[5]

Ajaran etika Yesus

"Kotbah di Bukit", karya Gustave Doré.

Ajaran etika Yesus Kristus di antarakokonya terdapat dalam Injil-injil sinoptis (Matius, Markus, Lukas), salah satu ajaran tersebut adalah khotbah di bukit (Mat 5-7; Luk 6:20-49).[6] Dalam khotbah di bukit, Yesus mempermasalahkan etika orang farisi yang sangat berpegang teguh pada pelaksanaan hukum taurat tetapi tidak mengarah kepada kegenapan hukum taurat dan kitab para nabi.[7] Dalam hal ini Yesus mengatakan bahwa "jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga" (Mat 5:20) karena Kerajaan Allah sudah dekat kepadamu (Luk 10:9.[7]

Selain itu, ajaran etika Yesus juga meminta kepada manusia untuk menjadi seorang manusia yang bersifat ilahi.[8] Kata ilahi ini memiliki arti menjadi seseorang yang lebih baik dari yang lain.[8] Sebagai contoh, Yesus mengajarkan "Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.[8] Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.[8] Dan siapa yang menyuruh engkau berjalan berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. (Matius 5;39-41).[8]

Yesus dan Hukum Taurat

Pada zaman Yesus, terdapat orang Farisi yang menganggap isi taurat sebagai sejumlah tuntutan dan larangan yang harus dipatuhi.[5] Semua peraturan itu berjumlah 613.[5] Masing-masing peraturan ditambah dengan sejumlah petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihat yang menentukan situasi dan waktu di mana peraturan tersebut harus dilaksanakan.[5] Petunjuk dan nasihat yang ditambahkan berfungsi sebagai pagar keliling taurat dan dikenal dengan sebutan halakha (=jalan).[5] Halakha merupakan penjelasan taurat tetapi sekaligus juga hukum adat yang berdasarkan taurat.[5] Oleh karena tindakan yang dilakukan orang Farisi, maka ada sebuah sikap etis yang dilakukan oleh Yesus yang terdapat dalam keempat Injil.[3] Sikap Yesus terhadap hukum Taurat juga berhubungan dengan pengajaran-pengajaran yang Ia lakukan.[3] Salah satu sikap yang ditunjukkan Yesus tedapat dalam Matius 5:17, "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi.[3] Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya".[3] Maksud dari kata menggenapi adalah memenuhi atau menyempurnakan.[3] Namun muncul pertanyaan bagaimana cara Yesus untuk menggenapi hukum Taurat itu?[3]

  1. Yesus mensyaratkan sesuatu yang lebih mendasar daripada hukum Taurat.[3] Yesus dengan segenap hatiNya tunduk kepada tuntutan-tuntutan Hukum Taurat, kerena menurutNya tiada kehendak yang berlaku kecuali kehendak Bapa yang dinyatakan dalam Hukum Taurat.[3] Dengan kata lain Yesus tidak mengartikan kehendak Allah atas dasar hukum taurat melainkan hukum taurat atas dasar kehendak Allah.[3] Sebagai contoh Markus 2:23-28, "Pada suatu kali, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum, dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir gandum.[3] Maka kata orang-orang Farisi kepada-Nya: "Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?"[3] Jawab-Nya kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam dan memberinya juga kepada pengikut-pengikut.[3] Lalu kata Yesus kepada mereka: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat."[3]
  2. Yesus bertindak dengan wibawa terhadap hukum taurat.[3] Sebagai contoh, dalam hukum Taurat (Imamat 11-15) dikatakan mengenai peraturan tentang hal yang tahir dan hal yang najis, tentang makanan yang halal dan yang haram, tetapi Yesus mmengatakan bahwa apa yang masuk ke dalam tubuh seseorang tidak dapat menajiskannya tetapi apa yang keluar dari tubuh tersebut itulah yang menajiskannya.[3] Dengan demikian Yesus ingin mengatakan bahwa semua makanan halal (Mark 7:15,19).[3]

Etika Gereja Mula-mula

Pada masa patristik (zaman para Bapa Gereja), perkembangan etika dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dimana hak milik pribadi dan hak milik bersama selalu diperdebatkan dan menjadi masalah yang cukup besar.[9] Oleh karena permasalahan ini, muncul pendapat dari beberapa Bapa Gereja, yaitu St Klemens dari Roma, St Ignatius dari Antiokhia, dan St Agustinus.[9]

Klemens dari Roma

Santo Klemens, oleh Giovanni Battista Tiepolo

Santo Klemens dari Roma (Paus Klemens I) adalah orang yang disebut oleh Paulus sebagai sahabat yang setia dalam perjuangan pemberitaan Injil (Flp 4:3).[10] Klemens dikenal karena ia memiliki hubungan dengan surat Paulus kepada jemaat di Korintus.[10] Pada saat di Korintus, terjadi kericuhan yaitu presbiter yang tua dipecat oleh presbiter yang muda.[10] Klemens menasihatkan kepada jemaat agar mereka hidup dalam persekutuan yang rukun, dalam kasih, rendah hati, dan hidup suci meniru teladan Kristus, terutama teladan Paulus dan Petrus.[10] Ia meminta supaya presbiter yang telah dipecat dipulihkan kedudukannya serta jemaat menghormati pemimpin-pemimpinnya.[10] Klemens menyatakan bahwa Tuhan Allah membenci kekacauan, Allah menghendaki ketertiban.[10] Dalam pandangan teologinya, Klemens mengikuti teologi Paulus terutama mengenai pembenaran oleh iman.[10] Ia mengatakan bahwa semua orang besar dan mulia bukan karena diri mereka sendiri ataupun oleh pekerjaan mereka, tetapi karena kehendak Allah.[10]

Dalam pemikiran Klemens tentang etika, ia menyatakan bahwa sikap hidup jemaat mula-mula seharusnya tidak terfokus pada materi.[9] Hal ini ia katakan untuk menentang pengajaran kaum gnostik yang menganggap tingkat kekayaan dapat dijadikan tolak ukur atau menentukan tingkat kehidupan sesorang.[9] Permasalahan moral mengenai kekayaan, Klemens tuliskan dalam sebuah tulisannya yang berjudul Who Is The Rich Man That Shall Be Saved?[9] Tulisan Klemens ini mencoba untuk menyelidiki maksud dari cerita mengenai orang kaya sukar masuk kerajaan Allah (Markus 10:17-27).[9] Menurut Klemens, tidak ada masalah mengenai kekayaan, yang menjadi masalah sebenarnya adalah sikap kita terhadap kekayaan.[9]

Ignatius dari Antiokhia

Santo Ignatius dari Antiokhia adalah seorang yang berasal dari Siria.[10] Ia dilahirkan sekitar tahun 35.[10] Sebelum menjadi kristen, ia adalah seorang kafir yang diduga turut menganiaya orang Kristen.[10] Menurut tradisi, Ignatius adalah uskup dari Antiokhia yang merupakan murid dari rasul Yohanes.[10] Ia hidup pada masa pemerintahan kaisar Trajanus.[10] Pada masa itu, kaisar sempat mengunjungi Antiokhia dan mengancam orang-orang disana untuk mau mempersembahkan kurban kepada dewa-dewa, namun apabila ada yang tidak melakukan hal ini, maka ia akan dihukum mati.[10] Perintah kaisar ini tidak didengarkan oleh Ignatius, ia tetap mempertahankan imannya dan menolak mempersembahkan korban kepada dewa-dewa karena ia tidak mau menyangkal Yesus.[10] Oleh karena tindakannya ini, Ignatius dijatuhi hukuman mati dengan dibuang ke dalam Koloseum di Roma untuk menjadi mangsa singa-singa.

Menurut pendapat Ignatius, permasalahan etika yang muncul pada masa gereja mula-mula adalah banyaknya orang yang tidak memperhatikan tentang kasih.[9] Menurutnya, orang kaya tidak memperhatikan janda-janda, orang-orang yang ada dipenjara, orang-orang yang lapar maupun orang-orang yang haus.[9]

Agustinus dari Hippo

St. Agustinus dari Hippo dikenal sebagai pelawan penyesat-penyesat yang gigih.[10] Dalam perlawanannya dengan Donatisme menyebabkan ia menguraikan pandangannya tentang gereja dan sakramen.[10] Pemikiran etis Agustinus terkhusus mengenai seksualitas dan materi.[9] Pemikiran etis Agustinus mengenai seksualitas diawali dengan pemahaman etika individu dan sosialnya mengenai pertikaian kebaikan (virtue).[11] Menurut Agustinus, kebaikan akan memimpin orang ke dalam hidup yang bahagia dan kehidupan bahagia ini didapatkan oleh tiap orang melalui cinta kasih yang sempurna dari Allah.[11] Agustinus juga menyatakan bahwa baik atau buruknya moral seseorang ditentukan dari cintanya terhadap orang lain.[11] Permasalahan mengenai materi, bagi Agustinus kekayaan bukanlah hal yang salah.[9] Jika kekayaan itu dipergunakan untuk memuliakan Allah, maka hal itu adalah hal yang baik.[9] Namun, apabila motivasi kita menyembah Allah hanya untuk kekayaan, maka itulah yang salah.[9]

Etika Protestan

Dalam abad pertengahan, hal-hal yang berhubungan dengan etika diterangkan dalam kumpulan-kumpulan tulisan yang disebut kitab-kitab pengakuan dosa.[9] Tokoh-tokoh yang berperan pada saat itu antara lain Luther, Calvin, Zwingli, dan Beza.[9] Tokoh-tokoh ini sering kali menuliskan tulisan tentang permasalahan etika yang saat itu muncul seperti masalah kesusilaan, masalah perang, etika politik, etika jabatan, serta tentang pengajaran iman yang terdapat dalam hukum taurat.[9]

Salah satu tokoh dalam perkembangan etika abad 20 adalah Reinhold Niebuhr.[9] Niebuhr memberikan sebuah ajaran etis mengenai dosa asal atau dosa warisan.[9] Ia berpendapat bahwa dosa warisan itu adalah sifat universal manusia yang cenderung memilih untuk berdosa.[9] Hal itu dikarenakan manusia kekurangan kebebasan dalam mengambil keputusan yang bermoral.[9] Selain itu, Karl Barth juga memberikan pandangannya mengenai etika, ia menyatakan etika bersumber dari kasih karunia Tuhan yang ditunjukkan melalui Yesus Kristus.[9] Oleh karena itu manusia tidak dapat menghindar dari keputusan bebas dari kasih Allah yang meletakkan Yesus Kristus ke dalam hubungan dengan manusia.[9]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g J. Verkuyl. 1993. Etika Kristen bag. Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm.15-17.
  2. ^ (Indonesia)Norman L. Geisler. 2000. Etika Kristen. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara. Hlm.17.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x Verne H. Fletcher. 1990. Lihatlah Sang Manusia. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.Hlm. 124-125, 160.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah Karel Sosipater. 2010. Etika Perjanjian Lama. Jakarta: Suara Harapan Bangsa. Hlm. 9-21.
  5. ^ a b c d e f g Henk ten Napel. 1991. Jalan yang Lebih Utama Lagi: Etika Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 5-7.
  6. ^ J.A.B. Jongeneel. 1980. Hukum Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen, Jilid 1: Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 84.
  7. ^ a b (Inggris)Richard A. Burridge. 2007. Imitating Jesus: an Inclusive approach to New Testament Ethics. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans. hlm. 40.
  8. ^ a b c d e Bernhard Kieser. 1987. Moral Dasar: Kaitan Iman dan Perbuatan. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 54.
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v (Inggris)J. Philip Wogaman. 1993. Christian Ethics: A Historical Introduction. USA: Westminster/John Knox Press. hlm. 23-36, 218-221.
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q F.D. Wellem. 1993. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 82-83.
  11. ^ a b c (Inggris)George Wolfgang Forell. 1979. History of Christian Ethics. Minneapolis: Augsburg Publishing House. Hlm.165.
Kembali kehalaman sebelumnya