Etika KristenEtika Kristen (Yunani: ethos, berarti kebiasaan, adat) adalah suatu cabang ilmu teologi yang membahas masalah tentang apa yang baik dari sudut pandang Kekristenan.[1] Apabila dilihat dari sudut pandang Hukum Taurat dan Injil, maka etika Kristen adalah segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah dan itulah yang baik.[1] Dengan demikian, maka etika Kristen merupakan satu tindakan yang bila diukur secara moral baik.[2] Saat ini, permasalahan yang dihadapi etika Kristen ialah kehendak Allah dari manusia yang diciptakan menurut gambarNya, serta sikap manusia terhadap kehendak Allah itu.[1] Etika Perjanjian LamaTitik tolak etika Perjanjian Lama adalah anugerah Allah terhadap umatnya dan tuntutan perintahnya yang terikat pada tindakannya demi keselamatan umat manusia.[3] Oleh karena itu, bentuk etika Perjanjian Lama berkisar pada tindakan Allah dalam sejarah umatnya dan juga yang menuntut respon yang serasi.[3] Hal ini juga menyebabkan konsep etika Perjanjian Lama selaras dengan sebuah etika yang dinamakan etika teonom yang berlandaskan hubungan antara Allah dan umatnya.[3] Sesuai dengan konsep ini, maka dasar etika Perjanjian Lama dapat disoroti dari empat sisi.[3] Pertama, menanggapi perbuatan Allah dimana bangsa Israel harus memiliki dorongan untuk mengarah pada kelakuan etis dalam wujud tanggapan akan tindakan-tindakan Allah dalam sejarah kehidupan mereka.[3] Kedua, mengikuti teladan Allah, dimana bangsa Israel wajib untuk memperlihatkan sifat Allah melalui kelakuan mereka.[3] Ketiga, hidup dibawah pemerintahan Allah, maksudnya adalah kedaulatan dan kewibawaan Allah sebagai Raja ilahi yang karenanya manusia harus tunduk sebagai makhluk ciptaan dan hamba.[3] Keempat adalah menaati perintah Allah.[3] Anugerah Allah Dalam PenciptaanEtika Perjanjian Lama pada dasarnya tidak dapat terlepas dari moralitas manusia pertama.[4] Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang istimewa, yaitu sebagai gambar Allah, dalam bahasa Ibrani disebut tselem dan dalam bahasa Latin disebut Imago Dei.[4] Tidak hanya itu saja, manusia yang diciptakan Allah juga memiliki kesamaan moral dengan Allah yang maha suci, hal itu terjadi pada waktu Adam dan Hawa belum jatuh ke dalam dosa.[4] Manusia yang telah diciptakan Allah selanjutnya merupakan makhluk moral yang diberi kemampuan memilih apa yang akan dilakukannya, apakah akan mematuhi perintah-perintah Allah atau malah menentangnya.[4] Hal ini terjadi karena manusia adalah pribadi bebas yang juga memiliki kehendak bebas.[4] Namun, kehendak bebas haruslah disertai dengan tanggung jawab.[4] Pada waktu Adam dan Hawa telah diciptakan, Allah memberikan sebuah perintah kepada Adam yaitu berupa larangan untuk memetik dan memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat yang berada dalam taman Eden.[4] Namun, perintah dari Allah tidak dihiraukan oleh Adam dan Hawa dan mereka mengambil sebuah keputusan etis yaitu dengan memetik dan memakan buah tersebut.[4] Ketika Allah mengetahui perbuatan tersebut ada sebuah tindakan yang dilakukan oleh Allah dan hal ini merupakan ethos Allah (ethos:sikap dasar dalam berbuat sesuatu).[4] Tindakan Allah ini merupakan inisiatif dari Allah sendiri yang mencerminkan sikap kasihNya pada manusia, terdapat dua hal yang dilakukan Allah:
Ethos yang ditunjukkan Allah telah menunjukkan bahwa Allah mau merendahkan diriNya dan memperlihatkan sikap kasihnya kepada manusia berdosa.[4] Namun, sikap dan respon manusia terhadap kebaikan Allah justru semakin meningkatkan perbuatan dosanya.[4] Hal ini dapat terlihat pada anak Adam yaitu Kain yang begitu tega dan kejam membunuh adiknya Habel, hanya karena iri terhadap soal persembahan.[4] Tidak hanya itu saja, ketika manusia bertambah banyak, perbuatannya semakin dipenuhi kejahatan, sampai Tuhan menyesal telah menciptakan manusia (Kej 6:5-6).[4] Etika dan Moral Abraham. Etika dan moral Abraham dapat terlihat ketika ia dipanggil Allah dalam usianya yang ke 75.[4] Pada saat itu, ia bersama dengan istrinya Sarai beserta keponakannya Lot menuju Kanaan melalui Sikhem dan Betel sekitar tahun 2091 SM (Kej 12:1-5).[4] Abraham yang pada waktu itu bernama Abram pergi hanya dengan berbekal iman kepada Tuhan dan ia sendiri tidak mengetahui bagaimana sebetulnya daerah Kanaan tersebut.[4] Ketika ia sampai di Kanaan, ternyata negri itu sedang mengalami bencana kelaparan, oleh karena itu ia bersama dengan keluarganya pergi ke Mesir melalui Negep.[4] Peristiwa Abraham yang menuruti perintah Allah memperlihatkan beberapa sikap iman dan moralnya, antara lain:
Selain dari sikap iman dan moral yang ditunjukkan Abraham, ada juga moral buruk yang ia tunjukkan ketika menghadapi permasalahan hidupnya, yaitu:
Hukum TauratIstilah Taurat berasal dari bahasa Ibrani yaitu torah yang artinya ajaran.[1][4] Asal kata torah ada hubungannya dengan kata kerja hora yang memiliki arti memimpin, mengajar, mendidik, dan juga sering diterjemahkan dengan istilah pengajaran.[1][4] Istilah torah diartikan pengajaran tetapi bisa juga diartikan hukum yang berasal dari kata yarah yang artinya mengarahkan atau mengajar.[1][4] Kata tora kemudian juga dipakai untuk menyebutkan Pentateuch (yakni kelima kitab pertama yang ada dalam Alkitab).[1][4] Hukum Taurat Musa yang tertulis dalam kelima kitabnya, dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
Etika Perjanjian BaruEtika Perjanjian Baru adalah sebuah petunjuk-petunjuk sikap dan kelakuan orang-orang Kristen.[5] Oleh karena itu, etika Perjanjian Baru saling terkait dengan kelakuan orang-orang Kristen yang pertama dan dengan kehidupan mereka sehari-hari.[5] Ajaran etika YesusAjaran etika Yesus Kristus di antarakokonya terdapat dalam Injil-injil sinoptis (Matius, Markus, Lukas), salah satu ajaran tersebut adalah khotbah di bukit (Mat 5-7; Luk 6:20-49).[6] Dalam khotbah di bukit, Yesus mempermasalahkan etika orang farisi yang sangat berpegang teguh pada pelaksanaan hukum taurat tetapi tidak mengarah kepada kegenapan hukum taurat dan kitab para nabi.[7] Dalam hal ini Yesus mengatakan bahwa "jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga" (Mat 5:20) karena Kerajaan Allah sudah dekat kepadamu (Luk 10:9.[7] Selain itu, ajaran etika Yesus juga meminta kepada manusia untuk menjadi seorang manusia yang bersifat ilahi.[8] Kata ilahi ini memiliki arti menjadi seseorang yang lebih baik dari yang lain.[8] Sebagai contoh, Yesus mengajarkan "Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.[8] Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.[8] Dan siapa yang menyuruh engkau berjalan berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. (Matius 5;39-41).[8] Yesus dan Hukum TauratPada zaman Yesus, terdapat orang Farisi yang menganggap isi taurat sebagai sejumlah tuntutan dan larangan yang harus dipatuhi.[5] Semua peraturan itu berjumlah 613.[5] Masing-masing peraturan ditambah dengan sejumlah petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihat yang menentukan situasi dan waktu di mana peraturan tersebut harus dilaksanakan.[5] Petunjuk dan nasihat yang ditambahkan berfungsi sebagai pagar keliling taurat dan dikenal dengan sebutan halakha (=jalan).[5] Halakha merupakan penjelasan taurat tetapi sekaligus juga hukum adat yang berdasarkan taurat.[5] Oleh karena tindakan yang dilakukan orang Farisi, maka ada sebuah sikap etis yang dilakukan oleh Yesus yang terdapat dalam keempat Injil.[3] Sikap Yesus terhadap hukum Taurat juga berhubungan dengan pengajaran-pengajaran yang Ia lakukan.[3] Salah satu sikap yang ditunjukkan Yesus tedapat dalam Matius 5:17, "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi.[3] Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya".[3] Maksud dari kata menggenapi adalah memenuhi atau menyempurnakan.[3] Namun muncul pertanyaan bagaimana cara Yesus untuk menggenapi hukum Taurat itu?[3]
Etika Gereja Mula-mulaPada masa patristik (zaman para Bapa Gereja), perkembangan etika dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dimana hak milik pribadi dan hak milik bersama selalu diperdebatkan dan menjadi masalah yang cukup besar.[9] Oleh karena permasalahan ini, muncul pendapat dari beberapa Bapa Gereja, yaitu St Klemens dari Roma, St Ignatius dari Antiokhia, dan St Agustinus.[9] Klemens dari RomaSanto Klemens dari Roma (Paus Klemens I) adalah orang yang disebut oleh Paulus sebagai sahabat yang setia dalam perjuangan pemberitaan Injil (Flp 4:3).[10] Klemens dikenal karena ia memiliki hubungan dengan surat Paulus kepada jemaat di Korintus.[10] Pada saat di Korintus, terjadi kericuhan yaitu presbiter yang tua dipecat oleh presbiter yang muda.[10] Klemens menasihatkan kepada jemaat agar mereka hidup dalam persekutuan yang rukun, dalam kasih, rendah hati, dan hidup suci meniru teladan Kristus, terutama teladan Paulus dan Petrus.[10] Ia meminta supaya presbiter yang telah dipecat dipulihkan kedudukannya serta jemaat menghormati pemimpin-pemimpinnya.[10] Klemens menyatakan bahwa Tuhan Allah membenci kekacauan, Allah menghendaki ketertiban.[10] Dalam pandangan teologinya, Klemens mengikuti teologi Paulus terutama mengenai pembenaran oleh iman.[10] Ia mengatakan bahwa semua orang besar dan mulia bukan karena diri mereka sendiri ataupun oleh pekerjaan mereka, tetapi karena kehendak Allah.[10] Dalam pemikiran Klemens tentang etika, ia menyatakan bahwa sikap hidup jemaat mula-mula seharusnya tidak terfokus pada materi.[9] Hal ini ia katakan untuk menentang pengajaran kaum gnostik yang menganggap tingkat kekayaan dapat dijadikan tolak ukur atau menentukan tingkat kehidupan sesorang.[9] Permasalahan moral mengenai kekayaan, Klemens tuliskan dalam sebuah tulisannya yang berjudul Who Is The Rich Man That Shall Be Saved?[9] Tulisan Klemens ini mencoba untuk menyelidiki maksud dari cerita mengenai orang kaya sukar masuk kerajaan Allah (Markus 10:17-27).[9] Menurut Klemens, tidak ada masalah mengenai kekayaan, yang menjadi masalah sebenarnya adalah sikap kita terhadap kekayaan.[9] Ignatius dari AntiokhiaSanto Ignatius dari Antiokhia adalah seorang yang berasal dari Siria.[10] Ia dilahirkan sekitar tahun 35.[10] Sebelum menjadi kristen, ia adalah seorang kafir yang diduga turut menganiaya orang Kristen.[10] Menurut tradisi, Ignatius adalah uskup dari Antiokhia yang merupakan murid dari rasul Yohanes.[10] Ia hidup pada masa pemerintahan kaisar Trajanus.[10] Pada masa itu, kaisar sempat mengunjungi Antiokhia dan mengancam orang-orang disana untuk mau mempersembahkan kurban kepada dewa-dewa, namun apabila ada yang tidak melakukan hal ini, maka ia akan dihukum mati.[10] Perintah kaisar ini tidak didengarkan oleh Ignatius, ia tetap mempertahankan imannya dan menolak mempersembahkan korban kepada dewa-dewa karena ia tidak mau menyangkal Yesus.[10] Oleh karena tindakannya ini, Ignatius dijatuhi hukuman mati dengan dibuang ke dalam Koloseum di Roma untuk menjadi mangsa singa-singa. Menurut pendapat Ignatius, permasalahan etika yang muncul pada masa gereja mula-mula adalah banyaknya orang yang tidak memperhatikan tentang kasih.[9] Menurutnya, orang kaya tidak memperhatikan janda-janda, orang-orang yang ada dipenjara, orang-orang yang lapar maupun orang-orang yang haus.[9] Agustinus dari HippoSt. Agustinus dari Hippo dikenal sebagai pelawan penyesat-penyesat yang gigih.[10] Dalam perlawanannya dengan Donatisme menyebabkan ia menguraikan pandangannya tentang gereja dan sakramen.[10] Pemikiran etis Agustinus terkhusus mengenai seksualitas dan materi.[9] Pemikiran etis Agustinus mengenai seksualitas diawali dengan pemahaman etika individu dan sosialnya mengenai pertikaian kebaikan (virtue).[11] Menurut Agustinus, kebaikan akan memimpin orang ke dalam hidup yang bahagia dan kehidupan bahagia ini didapatkan oleh tiap orang melalui cinta kasih yang sempurna dari Allah.[11] Agustinus juga menyatakan bahwa baik atau buruknya moral seseorang ditentukan dari cintanya terhadap orang lain.[11] Permasalahan mengenai materi, bagi Agustinus kekayaan bukanlah hal yang salah.[9] Jika kekayaan itu dipergunakan untuk memuliakan Allah, maka hal itu adalah hal yang baik.[9] Namun, apabila motivasi kita menyembah Allah hanya untuk kekayaan, maka itulah yang salah.[9] Etika ProtestanDalam abad pertengahan, hal-hal yang berhubungan dengan etika diterangkan dalam kumpulan-kumpulan tulisan yang disebut kitab-kitab pengakuan dosa.[9] Tokoh-tokoh yang berperan pada saat itu antara lain Luther, Calvin, Zwingli, dan Beza.[9] Tokoh-tokoh ini sering kali menuliskan tulisan tentang permasalahan etika yang saat itu muncul seperti masalah kesusilaan, masalah perang, etika politik, etika jabatan, serta tentang pengajaran iman yang terdapat dalam hukum taurat.[9] Salah satu tokoh dalam perkembangan etika abad 20 adalah Reinhold Niebuhr.[9] Niebuhr memberikan sebuah ajaran etis mengenai dosa asal atau dosa warisan.[9] Ia berpendapat bahwa dosa warisan itu adalah sifat universal manusia yang cenderung memilih untuk berdosa.[9] Hal itu dikarenakan manusia kekurangan kebebasan dalam mengambil keputusan yang bermoral.[9] Selain itu, Karl Barth juga memberikan pandangannya mengenai etika, ia menyatakan etika bersumber dari kasih karunia Tuhan yang ditunjukkan melalui Yesus Kristus.[9] Oleh karena itu manusia tidak dapat menghindar dari keputusan bebas dari kasih Allah yang meletakkan Yesus Kristus ke dalam hubungan dengan manusia.[9] Referensi
|