Petrus LombardusPetrus Lombardus (ca 1096, Novara, Lombardia[1][2][3] – 21/22 Juli 1160, Paris, Kerajaan Prancis[1][2][3]) adalah seorang teolog skolastik, Uskup Paris, dan pengarang Four Books of Sentences (biasa disebut Sentences saja, atau bahasa Latin: Sententiae), yang mana membuatnya mendapat predikat Magister Sententiarum (Guru Pemerian)[4] —yaitu semacam penghargaan akademik bagi doktor teologi pada abad pertengahan.[5] Karyanya itu menjadi buku teks standar dalam teologi selama abad pertengahan.[6] BiografiAwal hidupPetrus Lombardus mungkin dilahirkan di Novara; atau kemungkinan lainnya adalah di Lumellogno[7] (saat itu sebuah komune pedesaan, sekarang menjadi bagian dari Provinsi Novara, Piemonte), di barat laut Italia, dari suatu keluarga miskin.[8] Kelahirannya diperkirakan antara tahun 1095-1100. Pendidikannya kemungkinan besar diawali di Italia, di kota Bologna[5] atau kemungkinan lainnya pada sekolah katedral (cathedral school) dari Katedral Novara dan Lucca. Di bawah naungan Otto Lucensis, Uskup Lucca, yang merekomendasikannya kepada St Bernardus dari Clairvaux, ia diizinkan untuk meninggalkan Italia dan melanjutkan studi di Reims dan Paris. Petrus Lombardus mengawalinya dari sekolah Katedral Reims, tempat di mana Magister Alberich dan Lutolph dari Novara mengajar, dan tiba di Paris sekitar tahun 1134,[7] di mana Bernardus merekomendasikannya[9] pada para kanon gereja St. Victor. Menjadi guru besarDi Paris, di mana ia menghabiskan dekade berikutnya (kemungkinan antara tahun 1136-1150) dengan mengajar teologi di sekolah katedral dari Notre Dame de Paris,[6] ia berhubungan dengan Petrus Abelardus dan Hugo dari St. Victor yang mana termasuk para teolog terkemuka saat itu. Tidak ditemukan bukti keberadaannya di Paris sampai tahun 1142 di mana ia dikenal sebagai penulis dan guru. Sekitar tahun 1145, Petrus Lombardus menjadi seorang magister, atau guru besar, di sekolah katedral Notre Dame di Paris. Tidak ada kepastian mengenai bagaimana Petrus menafkahi dirinya sebelum ia memperoleh penghasilan sebagai seorang guru. Gaya mengajar Lombardus segera mendapat pengakuan. Hal ini diduga menarik perhatian para kanon Notre Dame untuk memintanya bergabung dengan mereka. Ia dianggap sebagai seorang teolog ternama pada tahun 1144, walau sebelumnya sekolah para kanon di Paris tidak memasukkannya dalam bilangan teolog yang patut dihormati selama bertahun-tahun. Para kanon Notre Dame merupakan anggota dinasti Kapetia, kerabat dari keluarga-keluarga yang terkait dengan dinasti Kapetia baik melalui hubungan darah ataupun perkawinan, dari Île-de-France atau bangsawan Loire Valley timur, atau kerabat para pejabat kerajaan. Sebaliknya, Petrus Lombardus tidak memiliki kerabat, koneksi dengan kalangan gerejawi, ataupun koneksi politik di Prancis. Tampaknya ia memang mendapat ajakan dari para kanon Notre Dame semata-mata karena prestasi akademiknya. Menjadi imam dan uskupLombardus menjadi seorang subdiakon (pelayan gerejani non-imamat) pada tahun 1147. Kemungkinan ia turut hadir pada konsistori Paris tahun 1147; dan dapat dipastikan ia hadir pada Konsili Reims tahun 1148,[6] di mana Paus Eugenius III juga hadir, yang mengadakan penyelidikan terhadap Gilbert de la Porrée dan Eon de l'Estoile. Lombardus termasuk salah seorang penandatangan aksi yang mengutuk ajaran Gilbert.[7] Ia diangkat menjadi seorang diakon sekitar tahun 1150, kemudian menjadi seorang diakon agung, kemungkinan sekitar tahun 1152. Lalu ia ditahbiskan menjadi imam beberapa waktu sebelum tahun 1156. Dan pada 28 Juli 1159, pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, ia dikonsekrasi sebagai Uskup Paris. Walter dari St Victor, dalam polemiknya, menuduh Lombardus memperoleh jabatan melalui praktik simoni (suap).[10] Cerita yang lebih lazim diketahui adalah Philip, adik dari Raja Louis VII dan diakon agung Notre Dame, telah dipilih oleh para kanon namun menolaknya karena mendukung Petrus Lombardus —yang adalah gurunya. Lombardus hanya menjabat sebentar saja sebagai uskup dan digantikan oleh Maurice de Sully pada tahun 1160, yang membangun Katedral Notre Dame.[5] Hanya sedikit saja yang dapat diketahui mengenai gaya kepemimpinan atau visi-misinya mengingat ia hanya meninggalkan sedikit sekali akta keuskupan. Kemungkinan Petrus Lombardus meninggal pada 21 atau 22 Juli 1160, dan dipastikan sebelum tahun 1164.[5] Makamnya pada gereja Saint-Marcel di Paris dihancurkan saat Revolusi Prancis, tetapi sebuah transkripsi dari batu nisannya masih ada. Karya tulis
Petrus Lombardus menulis berbagai khotbah, surat, dan komentar tentang Kitab Suci.[6] "Komentar mengenai Mazmur dan Surat-surat Paulus" terdiri dari cukup banyak naskah, terutama berisi kumpulan tafsiran dari zaman patristik dan abad pertengahan.[5] Sementara "Kotbah-kotbah" yang ditulisnya — dalam sejumlah naskah juga — cenderung agak 'kering', sering kali alegoris, dan pembagiannya sangat metodologis.[5] "Komentar mengenai Mazmur dan Surat-surat Paulus" dijadikannya sebagai sumber karya berikutnya yang fenomenal, yakni Four Books of Sentences (Libri Quatuor Sententiarum) —yang biasa disebut Sentences saja.[11] Buku I Sentences membahas mengenai Allah, Trinitas, bimbingan ilahi, kejahatan, dan predestinasi. Buku II berisi mengenai penciptaan: malaikat, setan, kejatuhan manusia, rahmat, dosa. Buku III mengenai inkarnasi, penebusan dosa, kebajikan, Sepuluh Perintah Allah. Buku IV, yang terakhir, membahas mengenai sakramen dan empat hal terakhir (kematian, penghakiman, neraka, dan surga).[6] Sentences merupakan suatu kumpulan dan pemaparan opini para penulis abad pertengahan dan ajaran para Bapa Gereja yang disusun sebagai suatu risalah gerejawi yang sistematis.[6] Para Bapa Gereja yang dikutip dalam karya tersebut misalnya Santo Ambrosius, Santo Hilarius dari Poitiers, dan —terutama— Santo Agustinus; karya St Agustinus yang menjadi dasar penulisan Sentences adalah De doctrina Christiana.[11] Sementara tulisan St. Yohanes dari Damaskus, De fide orthodoxa (The Orthodox faith), membantunya merumuskan ulang pandangannya terhadap teologi Trinitas dan Kristologi di edisi akhir Sentences pada tahun 1155-1157.[12] Telah menjadi kebiasaan bagi para sarjana yang mengejar gelar "master" dalam teologi pada masa abad pertengahan, di mana merupakan gelar akademik tertinggi saat itu, untuk mengomentari Sentences.[12] Komentar-komentar terkenal atas karya Lombardus ini adalah yang dibuat oleh St. Thomas Aquinas dan St. Bonaventura.[5][6] Sentences menjadi buku teks resmi di universitas di Eropa barat selama abad pertengahan (antara pertengahan abad ke-13 sampai abad ke-16),[6][11] sampai kemudian Kardinal Thomas Cajetan (1469-1534) mulai menggunakan Summa Theologica karya St Thomas Aquinas.[12] PengaruhnyaMetode Lombardus serupa dengan metode yang digunakan oleh Petrus Abelardus, yakni memakai dialektik,[4] walau tidak sama sepenuhnya karena Abelardus lebih menggunakan pendekatan logika atau rasional.[13] Lombardus tetap waspada terhadap kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan Abelardus; ia tidak berkeinginan untuk membuat doktrin Kristen menjadi hal kontroversial seperti yang telah dilakukan oleh Abelardus.[5] Petrus Lombardus menentang para dialektika yang berlebihan (dan cenderung berspekulasi), tetapi sekaligus juga ia berusaha mengunakan suatu jalan tengah untuk menenangkan kekhawatiran mereka yang menganjurkan pemisahan antara dogma dan akal budi.[5] Ia menyusun doktrin-doktrin dari tradisi Gereja secara sistematis dan meringkas berbagai kontroversi pada saat itu berserta sejumlah opini yang terkait. Sebenarnya Lombardus tidak menciptakan gagasan baru, tetapi ia hanya berusaha mencari gagasan yang benar di antara berbagai gagasan yang ada, termasuk dari pihak otoritas Gereja.[4] Karena pengaruh Lombardus di akhir abad pertengahan, ia termasuk salah satu tokoh penting yang mengkritik pandangan Petrus Abelardus.[11] Dalam Sentences Buku I:42-44, di mana Lombardus membahas mengenai kuasa ilahi, ia mengadopsi banyak rumusan Abelardus —termasuk kenyataan bahwa pengetahuan dan kehendak Allah tidak akan berubah seiring berjalannya waktu. Namun, dalam Buku I:43, Lombardus secara tegas menentang pandangan Abelardus, yang menyatakan bahwa Allah hanya dapat melakukan apa yang dikehendaki-Nya, dengan menuliskan: "Allah dapat melakukan berbagai hal yang tidak Ia kehendaki, dan dapat tidak melakukan apa yang Ia kehendaki." Singkatnya, Lombardus menyatakan bahwa kekuasaan-Nya melampaui kehendak-Nya. Dalam Allah sendiri terkandung kekuatan dasar untuk melakukan apa pun yang tidak menyangkut suatu kontradiksi; bahwa Ia menghendaki sesuatu adalah suatu hal yang berbeda.[11] Pemikiran Santo Agustinus banyak digunakan Petrus Lombardus untuk mendefinisikan sakramen.[14][15] Ia merumuskan 7 sakramen dalam Sentences Buku IV,[15] dan kemungkinan besar rumusannya ini yang menjadi dasar penetapan ketujuh sakramen tersebut dalam Konsili Trente (sesi ke-7 tahun 1547);[16] penetapan dan rumusan tujuh sakramen itu tidak hanya diterima Gereja Barat, namun juga Gereja-Gereja Timur.[17] Dalam buku yang sama ia menjelaskan mengenai esensi sakramen sebagai penyebab anugerah dan bagaimana sakramen benar-benar dapat mengkomunikasikan kehidupan ilahi:[13][15][18]
Dalam konteks tersebut, kata "bentuk" berarti "penampilan yang terlihat"; bukan dalam pengertian filsafat Aristoteles, seperti yang banyak disalahartikan orang.[13] Dan menurut Lombardus, "tanda" adalah hal di samping penampilan luarnya (bahasa Latin: species) — yang diterima panca indra seseorang — di mana menyebabkan sesuatu yang lain darinya timbul dalam pemikiran seseorang.[16] Sehingga "tanda" di sini tidak berarti simbol atau sebatas penampilan lahiriah saja. Selain itu ia juga menyatakan bahwa sakramen adalah "hal sakral yang menandakan dan hal sakral yang ditandakannya" (sacrum signans et sacrum signatum).[16] Dalam Sentences Buku IV, Lombardus juga menyatakan bahwa roti dan anggur diubah menjadi hakikat (substansi) Tubuh dan Darah Kristus dalam Perjamuan Kudus;[19] dan ia menuliskan bahwa perubahan tersebut terjadi saat kata-kata konsekrasi diucapkan (oleh imam).[13] Kemungkinan pemahaman Lombardus inilah yang digunakan dalam Konsili Lateran IV tahun 1215, di mana istilah "transubstansiasi" mulai diperkenalkan.[19] Namun definisi secara eksplisit mengenai arti dan istilah tersebut belum diungkapkan saat itu,[19] dan baru dinyatakan pada Konsili Trente sesi ke-13 tahun 1551.[20] Referensi
Pranala luar
Bibliografi
|