Geger Pacinan
Geger Pacinan (juga dikenal sebagai Tragedi Angke; dalam bahasa Belanda: Chinezenmoord, yang berarti "Pembunuhan orang Tionghoa") merupakan sebuah pogrom terhadap orang keturunan Tionghoa di kota pelabuhan Batavia, Hindia Belanda (sekarang Jakarta). Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, sedangkan berbagai pertempuran kecil terjadi hingga akhir November tahun yang sama. Keresahan dalam masyarakat Tionghoa dipicu oleh represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat jatuhnya harga gula yang terjadi menjelang pembantaian ini. Untuk menanggapi keresahan tersebut, pada sebuah pertemuan Dewan Hindia (Raad van Indië), badan pemimpin Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Gubernur-Jenderal Adriaan Valckenier menyatakan bahwa kerusuhan apapun dapat ditanggapi dengan kekerasan mematikan. Pernyataan Valckenier tersebut diberlakukan pada tanggal 7 Oktober 1740 setelah ratusan orang keturunan Tionghoa, banyak di antaranya buruh di pabrik gula, membunuh 50 pasukan Belanda. Penguasa Belanda mengirim pasukan tambahan, yang mengambil semua senjata dari warga Tionghoa dan memberlakukan jam malam. Dua hari kemudian, setelah ditakutkan desas-desus tentang kekejaman etnis Tionghoa, kelompok etnis lain di Batavia mulai membakar rumah orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Sementara itu, pasukan Belanda menyerang rumah orang Tionghoa dengan meriam. Kekerasan ini dengan cepat menyebar di seluruh kota Batavia sehingga lebih banyak orang Tionghoa dibunuh. Meski Valckenier mengumumkan bahwa ada pengampunan untuk orang Tionghoa pada tanggal 11 Oktober, kelompok pasukan tetap terus memburu dan membunuh orang Tionghoa hingga tanggal 22 Oktober, saat Valckenier dengan tegas menyatakan bahwa pembunuhan harus dihentikan. Di luar batas kota, pasukan Belanda terus bertempur dengan buruh pabrik gula yang berbuat rusuh. Setelah beberapa minggu penuh pertempuran kecil, pasukan Belanda menyerang markas Tionghoa di berbagai pabrik gula. Orang Tionghoa yang selamat mengungsi ke Bekasi. Diperkirakan bahwa lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa dibantai. Jumlah orang yang selamat tidak pasti; ada dugaan dari 600 sampai 3.000 yang selamat. Pada tahun berikutnya, terjadi berbagai pembantaian di seluruh pulau Jawa. Hal ini memicu suatu perang selama dua tahun, dengan tentara gabungan Tionghoa dan Jawa melawan pasukan Belanda. Setelah itu, Valckenier dipanggil kembali ke Belanda dan dituntut atas keterlibatannya dalam pembantaian ini; Gustaaf Willem van Imhoff menggantikannya sebagai gubernur jenderal. Hingga zaman modern, pembantaian ini kerap ditemukan dalam sastra Belanda. Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta. Latar belakangPada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunan Tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut pulau Jawa;[1] mereka juga bertugas sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko.[2] Perdagangan antara Hindia Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia, menguatkan ekonomi dan meningkatkan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa. Jumlah orang Tionghoa di Batavia meningkat pesat, sehingga pada tahun 1740 ada lebih dari 10.000 orang. Ribuan lagi tinggal di luar batas kota.[3] Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan mereka membawa surat identifikasi, dan orang yang tidak mempunyai surat tersebut dipulangkan ke Tiongkok.[4] Kebijakan deportasi ini diketatkan pada dasawarsa 1730-an, setelah pecahnya epidemik malaria yang membunuh ribuan orang, termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon.[4][5] Menurut sejarawan Indonesia Benny G. Setiono, epidemik ini diikuti oleh meningkatnya rasa curiga dan dendam terhadap etnis Tionghoa, yang jumlahnya semakin banyak dan kekayaan yang semakin menonjol.[5] Akibatnya, Komisaris Urusan Orang Pribumi Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, memutuskan pada tanggal 25 Juli 1740 bahwa warga keturunan Tionghoa yang mencurigakan akan dideportasi ke Zeylan (kini Sri Lanka) dan dipaksa menjadi petani kayu manis.[5][6][7][8] Warga keturunan Tionghoa yang kaya diperas penguasa Belanda, yang mengancam mereka dengan deportasi;[5][9][10] Stamford Raffles, seorang penjelajah asal Inggris dan ahli sejarah pulau Jawa, mencatat bahwa orang Belanda diberi tahu Kapitan Cina (pemimpin etnis Tionghoa yang ditentukan Belanda) untuk Batavia, Ni Hoe Kong, agar mendeportasikan semua orang Tionghoa berpakaian hitam atau biru, sebab merekalah yang miskin.[11] Ada pula desas-desus bahwa orang yang dikirimkan ke Zeylan tidak pernah sampai ke sana, tetapi justru dibuang ke laut,[3][9] atau bahwa mereka mati saat membuat kerusuhan di kapal.[11] Ancaman deportasi ini membuat orang Tionghoa resah, dan banyak buruh Tionghoa meninggalkan pekerjaan mereka.[3][9] Sementara, penduduk pribumi di Batavia, termasuk orang-orang Betawi, menjadi semakin curiga terhadap orang Tionghoa. Masalah ekonomi ikut berperan; sebagian besar penduduk pribumi miskin, dan beranggapan bahwa orang Tionghoa tinggal di daerah-daerah terkemuka dan sejahtera.[12][13] Biarpun sejarawan Belanda A.N. Paasman mencatat bahwa orang Tionghoa menjadi "bak orang Yahudi untuk Asia",[7] keadaan sebenarnya lebih rumit. Banyak orang Tionghoa miskin yang tinggal di sekitar Batavia merupakan buruh di pabrik gula, yang merasa dimanfaatkan para pembesar Belanda dan Tionghoa.[14] Orang Tionghoa yang kaya memiliki pabrik dan menjadi semakin kaya dengan mengurus perdagangan; mereka mendapatkan penghasilan dari pembuatan dan distribusi arak, sebuah minuman keras yang dibuat dari molase dan beras.[14][15] Namun, penguasa Belanda yang menentukan harga gula; ini juga menyebabkan keresahan.[16] Sebagai akibat penurunan harga gula di pasar dunia, yang disebabkan kenaikan jumlah ekspor ke Eropa,[17] industri gula di Hindia Belanda merugi. Hingga tahun 1740, harga gula di pasar global sudah separuh dari harga pada tahun 1720. Karena gula menjadi salah satu ekspor utama Hindia Belanda, negara jajahan itu mengalami kesulitan finansial.[18] Pada awalnya, beberapa anggota Dewan Hindia (Raad van Indië) beranggapan bahwa orang Tionghoa tidak mungkin menyerang Batavia,[9] dan kebijakan yang lebih tegas mengatur orang Tionghoa ditentang oleh fraksi yang dipimpin mantan gubernur Zeylan Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang kembali ke Batavia pada tahun 1738.[19][20][21] Namun, orang keturunan Tionghoa tiba di luar batas kota Batavia dari berbagai kampung, dan pada tanggal 26 September Valckenier memanggil para anggota dewan untuk pertemuan darurat. Pada pertemuan tersebut, Valckenier memerintah agar kerusuhan yang dipicu orang Tionghoa dapat ditanggapi dengan kekuatan yang mematikan.[5] Kebijakan ini terus ditentang oleh fraksi van Imhoff; Vermeulen (1938)[a] berpendapat bahwa ketegangan antara kedua fraksi politik ini ikut berperan dalam pembantaian.[6] Pada tanggal 1 Oktober malam, Valckenier menerima laporan bahwa ribuan orang Tionghoa sudah berkumpul di luar gerbang kota Batavia; amukan mereka dipicu oleh pernyataannya pada pertemuan dewan lima hari sebelumnya. Valckenier dan anggota Dewan Hindia lain tidak percaya hal tersebut.[22] Namun, setelah orang Tionghoa membunuh seorang sersan keturunan Bali di luar batas kota, dewan memutuskan untuk melakukan tindakan serta menambah jumlah pasukan yang menjaga kota.[6][23] Dua kelompok yang terdiri dari 50 orang Eropa dan beberapa kuli pribumi, dikirim ke pos penjagaan di sebelah selatan dan timur Batavia,[24] dan rencana penyerangan pun dibuat.[6][23] PeristiwaPembantaianSetelah berbagai kelompok buruh pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak, dengan menggunakan senjata yang dibuat sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik,[14] ratusan orang Tionghoa,[b] yang diduga dipimpin Kapitan Cina Ni Hoe Kong,[c] membunuh 50 pasukan Belanda di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober.[5][10] Untuk menanggapi serangan ini, pemimpin Belanda mengirim 1.800 pasukan tetap yang ditemani schutterij (milisi) dan sebelas batalyon wajib militer untuk menghentikan pemberontakan; mereka melaksanakan jam malam dan membatalkan perayaan Tionghoa yang sudah dijadwalkan.[5] Karena takut bahwa orang Tionghoa akan berkomplot pada malam hari, yang tinggal di dalam batas kota dilarang menyalakan lilin dan disuruh menyerahkan semua barang, hingga pisau paling kecil sekalipun.[28] Pada hari berikutnya, pasukan Belanda berhasil menangkis suatu serangan dari hampir 10.000 orang Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok dari Tangerang dan Bekasi, di tembok kota;[6][29] Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga keturunan Tionghoa meninggal dalam serangan ini.[30] Untuk menanggapi serangan ini, Valckenier kembali mengadakan pertemuan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober.[6][29] Sementara, gosip mulai tersebar dalam kelompok etnis lain, termasuk budak dari Bali dan Sulawesi serta pasukan Bugis dan Bali, bahwa orang Tionghoa berencana membunuh atau memerkosa orang pribumi, atau menjadikan mereka sebagai budak.[4][31] Untuk mencegah hal tersebut, kelompok-kelompok ini mulai membakar rumah-rumah milik orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Ini disusul oleh serangan Belanda terhadap tempat tinggal orang Tionghoa di Batavia. Politikus Belanda yang anti-kolonis W.R. van Hoëvell menulis bahwa "wanita hamil dan yang sedang menyusui, anak kecil, dan para pria gaek jatuh dalam serangan. Tahanan dibantai seperti domba.[d][32] Pasukan di bawah pimpinan Letnan Hermanus van Suchtelen dan Kapten Jan van Oosten, seorang serdadu Belanda yang selamat dari serangan di Tanah Abang, mengambil posisi di daerah pecinan: Suchtelen dan pasukannya menempatkan diri di pasar burung, sementara pasukan van Oosten mendapatkan pos dekat kanal.[33] Sekitar pukul 5.00 sore, serdadu Belanda mulai menembakkan meriam ke arah rumah orang Tionghoa, sehingga rumah-rumah tersebut terbakar.[34][8] Beberapa orang Tionghoa tewas di rumah mereka, sementara yang lainnya ditembak saat keluar dari rumah atau melakukan bunuh diri. Yang berhasil mencapai kanal dibunuh oleh pasukan Belanda yang menunggu di perahu kecil,[34] sementara pasukan Belanda lainnya mondar-mandir di antara rumah-rumah yang sedang terbakar, mencari dan membunuh orang Tionghoa yang masih hidup.[32] Tindakan ini kemudian tersebar di seluruh kota Batavia.[34] Menurut Vermeulen, sebagian besar pelaku merupakan pelaut dan unsur masyarakat lain yang "tidak tetap ataupun baik."[e][35] Dalam periode ini ada banyak penjarahan[35] dan penyitaan properti.[30] Pada hari berikutnya kekerasan ini terus menyebar, dan pasien Tionghoa dalam sebuah rumah sakit dibawa ke luar dan dibunuh.[36] Usaha untuk memadamkan kebakaran di daerah Kali Besar belum membawa hasil; kebakaran itu malam semakin ganas, dan baru padam pada tanggal 12 Oktober.[37] Sementara, sebuah kelompok yang terdiri dari 800 pasukan Belanda dan 2.000 orang pribumi menyerbu Kampung Gading Melati, di mana terdapat orang Tionghoa yang bersembunyi di bawah pimpinan Khe Pandjang.[f] Biarpun warga Tionghoa mengungsi ke daerah Paninggaran, mereka diusir lagi oleh pasukan Belanda. Terdapat sekitar 450 orang Belanda dan 800 orang Tionghoa yang menjadi korban dalam kedua serangan tersebut.[30] Kekerasan lanjutanPada tanggal 11 Oktober, Valckenier menyuruh para opsir Belanda untuk menghentikan penjarahan, tetapi tidak berhasil.[40] Dua hari kemudian Dewan Hindia menentukan bahwa setiap orang yang membawa kepala orang Tionghoa akan dihargai dengan dua dukat; hal ini digunakan untuk memancing suku lain agar mereka ikut membantai orang Tionghoa.[40] Akibatnya, orang Tionghoa yang selamat dari serangan pertama mulai diburu "bandit" yang menginginkan hadiah itu.[36] Penguasa Belanda bekerja sama dengan kelompok pribumi di berbagai daerah di Batavia; grenadir Bugis dan Bali dikirim untuk memperkuat pasukan Belanda pada tanggal 14 Oktober.[40] Pada tanggal 22 Oktober, Valckenier memerintahkan agar semua pembunuhan dihentikan.[36] Dalam sehelai surat panjang yang berisi bahwa kesalahan sepenuhnya berada di tangan orang Tionghoa saat kerusuhan di Batavia, dia mengajak orang Tionghoa untuk berdamai, kecuali pemimpin pemberontakan; dia mengajukan penghargaan sebanyak 500 rijksdaalder untuk setiap pemimpin yang dibunuh.[41] Di luar batas kota terus terjadi pertempuran kecil antara pemberontak Tionghoa dan pasukan Belanda. Pada tanggal 25 Oktober, setelah hampir dua minggu adanya pertempuran kecil, 500 orang Tionghoa bersenjata berangkat menuju Cadouwang (kini Angke), tetapi dihalau oleh kavaleri di bawah pimpinan Ridmeester Christoffel Moll serta Kornet Daniel Chits dan Pieter Donker. Pada hari berikutnya kavaleri itu, yang terdiri dari 1.594 pasukan Belanda dan pribumi, mendekati markas orang Tionghoa di Pabrik Gula Salapadjang. Di sana mereka berkumpul di hutan, lalu membakar pabrik yang masih penuh dengan pemberontak Tionghoa; satu pabrik lain di Boedjong Renje dimusnahkan oleh pasukan Belanda lain.[42] Karena takut pada pasukan Belanda, orang-orang Tionghoa mengungsi ke pabrik gula lainnya di Kampung Melayu, yang berjarak empat jam dari Salapadjang; markas ini dimusnahkan oleh pasukan di bawah pimpinan Kapten Jan George Crummel. Setelah mengalahkan orang Tionghoa, pasukan Belanda kembali ke Batavia.[43] Sementara, orang Tionghoa, yang mulai dikurung 3.000 prajurit dari Kesultanan Banten, melarikan diri ke arah timur mengikuti pesisir utara pulau Jawa;[44] pada 30 Oktober dilaporkan bahwa orang Tionghoa tersebut sudah melewati Tangerang.[43] Perintah untuk gencatan senjata diterima Crummel pada tanggal 2 November. Dia dan pasukannya kembali ke Batavia setelah menempatkan 50 penjaga di Cadouwang. Ketika Crummel tiba di Batavia, sudah tidak ada lagi pemberontak Tionghoa di luar tembok kota.[45] Penjarahan berlangsung sampai tanggal 28 November, dan pasukan pribumi terakhir dibebastugaskan pada akhir bulan itu.[40] HasilSebagian besar sejarawan mencatat sebanyak 10.000 orang Tionghoa yang berada di dalam kota Batavia dibunuh, dan 500 lagi mengalami luka berat. Antara 600 dan 700 rumah milik orang Tionghoa dijarah dan dibakar.[46][47] Vermeulen mencatat 600 orang Tionghoa yang selamat,[40] sementara sejarawan Indonesia A.R.T. Kemasang mencatat 3.000 orang yang selamat.[48] Sejarawan Tionghoa-Indonesia Benny G. Setiono mencatat bahwa sebanyak 500 tahanan dan pasien rumah sakit dibunuh,[46] dengan jumlah orang yang selamat sebanyak 3.431.[49] Pembantaian ini disusul oleh periode yang rawan pembantaian terhadap warga keturunan Tionghoa di seluruh pulau Jawa, termasuk satu pembantaian lagi di Semarang pada tahun 1741, dan beberapa pembantaian lain di Surabaya dan Gresik.[50] Sebagai salah satu syarat untuk berakhirnya kekerasan, yakni semua penduduk Batavia keturunan Tionghoa dipindahkan ke suatu pecinan di luar batas kota Batavia, yang kini menjadi Glodok. Ini membuat orang Belanda lebih mudah mengawasi orang Tionghoa.[51] Untuk meninggalkan pecinan, orang Tionghoa membutuhkan tiket khusus.[52] Namun, pada tahun 1743, sudah ada ratusan pedagang keturunan Tionghoa yang bertempat di dalam kota Batavia.[3] Orang Tionghoa lain yang dipimpin oleh Khe Pandjang[38] mengungsi ke Jawa Tengah, di mana mereka menyerang berbagai pos perdagangan Belanda dan bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan Susuhunan Mataram, Pakubuwana II. Meskipun perang ini sudah selesai pada tahun 1743,[53] selama 17 tahun terdapat konflik di Jawa secara terus-menerus.[2] Pada tanggal 6 Desember 1740 van Imhoff dan dua anggota Dewan Hindia lainnya ditangkap atas perintah Valckenier dengan tuduhan pembangkangan, dan pada tanggal 13 Januari 1741 mereka dikirimkan ke Belanda dengan kapal yang berbeda;[54][55] mereka tiba di Belanda pada tanggal 19 September 1741. Di Belanda, van Imhoff meyakinkan Heeren XVII, pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia, serta menyampaikan pidato berjudul "Consideratiën over den tegenwoordigen staat van de Ned. O.I. Comp." ("Pertimbangan atas Keadaan Mutakhir di Hindia Belanda") pada tanggal 24 November.[56][57] Sebagai akibat dari pidato itu, van Imhoff dan anggota dewan lain dibebaskan dari semua tuntutan.[58] Pada tanggal 27 Oktober 1742, van Imhoff dikirimkan kembali ke Batavia menggunakan kapal Hersteller sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru. Ia tiba di Batavia pada tanggal 26 Mei 1743.[56][59][60] Valckenier sudah diminta digantikan sebagai gubernur jenderal pada akhir tahun 1740, dan pada bulan Februari 1741 menerima surat yang memerintahkan dia mengangkat van Imhoff sebagai penggantinya;[61] versi lain ialah bahwa Heeren XVII menggantikan Valckenier sebagai hukuman atas terlalu banyak gula yang diekspor daripada kopi pada tahun 1739, yang sangat merugikan VOC.[62][63] Saat Valckenier menerima surat tersebut, van Imhoff sudah dalam perjalanan ke Belanda. Valckenier meninggalkan Hindia Belanda pada tanggal 6 November 1741, setelah memilih Johannes Thedens sebagai penggantinya sampai van Imhoff sudah kembali. Pada tanggal 25 Januari 1742 dia mendarat di Cape Town tetapi ditangkap dan diselidiki oleh Gubernur Hendrik Swellengrebel atas perintah Heeren XVII. Valckenier dikirim kembali ke Batavia pada bulan Agustus 1742, di mana ia dipenjarakan di Benteng Batavia, dan tiga bulan kemudian, digugat atas beberapa tuntutan, termasuk keterlibatannya dalam Geger Pacinan.[64] Pada bulan Maret 1744, ia dinyatakan bersalah dan dituntut dengan hukuman mati dan harta bendanya disita.[65] Pada bulan Desember 1744, kasus tersebut dibuka kembali setelah Valckenier membuat pernyataan yang panjang untuk membela dirinya.[60][66][67] Valckenier meminta lebih banyak bukti dari Belanda, tetapi meninggal dunia dalam kurungan pada tanggal 20 Juni 1751, sebelum penyelidikan diselesaikan. Hukuman mati dibatalkan pada tahun 1755.[59][67] Vermeulen berpendapat bahwa penyelidikan Valckenier tidak adil dan dipicu oleh amarah masyarakat di Belanda.[68] Ini mungkin diakui secara resmi, sebab pada tahun 1760, putra Valckenier, Adriaan Isaäk Valckenier, mendapatkan ganti rugi sebanyak 725.000 gulden.[69] Produksi gula di daerah Batavia turun secara drastis setelah pembantaian, sebab banyak orang Tionghoa yang dulu mengurus industri tersebut sudah terbunuh atau hilang. Industri tersebut mulai berkembang lagi setelah Gubernur Jenderal van Imhoff "mengkolonisasi" Tangerang. Awalnya dia bermaksud agar orang yang berasal dari Belanda untuk bertani di sana; dia berpendapat bahwa orang Belanda yang sudah ada di Batavia adalah orang malas. Namun, dia tidak bisa menarik orang baru karena pajak di Hindia Belanda sangat tinggi, maka dia terpaksa menjual tanah kepada orang Belanda yang ada di Batavia. Pemilik tanah baru ini tidak berkenan untuk mengerjakan tanah tersebut, maka mereka menyewakan tanah itu kepada orang Tionghoa.[70] Produksi meningkat setelah itu, tetapi baru pada dekade 1760-an produksi ada pada tingkat yang sama dengan tahun 1740; setelah itu, produksi mulai berkurang lagi.[70][71] Jumlah pabrik gula juga berkurang. Pada tahun 1710 terdapat 131 buah, tetapi pada tahun 1750 jumlahnya hanya 66 buah.[15] PengaruhVermeulen menyebut pembantaian ini sebagai "salah satu peristiwa dalam kolonialisme [Belanda] pada abad ke-18 yang paling menonjol".[g][72] Dalam disertasinya, W. W. Dharmowijono menyatakan bahwa pogrom ini mempunyai peran besar dalam sastra Belanda. Sastra ini muncul dengan cepat; Dharmowijono mencatat adanya sebuah puisi oleh Willem van Haren yang mengkritik pembantaian ini (dari tahun 1742) dan sebuah puisi anonim, dari periode yang sama, yang mengkritik orang Tionghoanya.[73] Raffles menulis pada tahun 1830 bahwa catatan historis Belanda "jauh dari lengkap atau memuaskan".[h][74] Sejarawan asal Belanda Leonard Blussé menulis bahwa Geger Pacinan secara tidak langsung membuat Kota Batavia berkembang pesat, tetapi membuat dikotomi antara etnis Tionghoa dan pribumi yang masih terasa hingga akhir abad ke-20.[75] Pada abad yang sama, pembunuhan massal ini dicatat juga dalam Bahasa Banjar oleh Abdur Rahman di syairnya, Syair Hemop.[76] Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta. Salah satu etimologi untuk nama Tanah Abang (yang berarti "tanah merah") ialah bahwa daerah itu dinamakan untuk darah orang Tionghoa yang dibunuh di sana; van Hoëvell berpendapat bahwa nama itu diajukan agar orang Tionghoa yang selamat dari pogrom lebih cepat menerima amnesti.[77][78] Nama Rawa Bangke mungkin diambil dari kata bangkai, karena jumlah orang Tionghoa yang dibunuh di sana; etimologi serupa juga pernah diajukan untuk Angke di Tambora, Jakarta Barat.[77] Lihat pulaKeterangan
Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai 1740 Batavia massacre. 6°7′50.97″S 106°47′56.85″E / 6.1308250°S 106.7991250°E
|