Tahun Baru Imlek di IndonesiaTahun Baru Imlek di Indonesia adalah suatu rangkaian perayaan (festival) yang diselenggarakan oleh etnis Tionghoa-Indonesia dalam menyambut tahun baru Imlek yang didasarkan pada Kalender Imlek.[1] Sama seperti etnis diaspora Tionghoa di berbagai negara lainnya, perayaan Tahun Baru Imlek juga dilaksanakan oleh etnis Tionghoa-Indonesia sejak beratus-ratus tahun kedatangan mereka di Nusantara. Berbagai kelompok bahasa dan budaya Tionghoa mempunyai praktik perayaan yang berbeda-beda antara satu sama lainnya. Kelompok mayoritas Tionghoa-Indonesia adalah Hokkien, maka perayaan yang bercirikhas dari kelompok inilah yang paling dominan terlihat di Indonesia, antara lain penamaan Tahun Baru Imlek itu sendiri mengandung unsur kata bahasa Hokkien. Selain Tahun Baru Imlek, istilah lain untuk menyebut tahun baru adalah Sincia yang juga berasal dari bahasa Hokkien.[2] PerayaanPerayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia umumnya dilaksanakan dalam jangka waktu 15 hari.[1] Ini berlaku dalam berbagai kelompok atau sub-grup Tionghoa. Terutama bagi masyarakat Tionghoa yang masih menjalankan tradisi pemujaan leluhur, Tahun Baru Imlek adalah salah satu peristiwa di mana mereka melaksanakan penghormatan terhadap leluhur yang telah mendahului mereka. Berbagai ritual dan tradisi lain pun dilaksanakan menurut tradisi masing-masing sub-grup dalam 15 hari tersebut. Pengucapan syukur pada hari ke-9 kepada Thian dikenal dalam tradisi Hokkien sebagai "King Thi Kong" atau "Pai Thi Kong" yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai "Sembahyang Tuhan Allah".[3] Pada hari ke-15, perayaan diselenggarakan untuk menutup Tahun Baru Imlek dengan meriah.[1] Perayaan ini dinakaman Cap Go Meh atau "Malam ke-15" dalam bahasa Hokkien.[1] Istilah lainnya yang dikenal masyarakat Tionghoa Indonesia adalah Guan Siau. Bagi kalangan masyarakat Hakka, hari ke-15 dikenal dengan istilah Cang Ngiet Pan. Perayaan penutup ini ditandai dengan bersinarnya bulan karena bertepatan dengan purnama. Selain dikenal dengan perayaan yang berwarna, pada saat Imlek inilah muncul berbagai hidangan dan makanan khas Imlek yang khas. Tahun Baru Imlek dianggap sebagai perayaan Tionghoa-Indonesia yang terbesar di mana peristiwa ini dijadikan sebagai bersatu dan berkumpulnya keluarga. Ucapan-ucapan khas tahun baru saling dihaturkan, terutama yang berkaitan dengan kesehatan, kesuksesan dan keberhasilan untuk tahun yang baru. Untuk orang yang sukses dalam usahanya pada tahun lalu, ada kewajiban untuk membagikan uang dalam amplop yang dinamakan angpau atau fungpau. Sumatera BaratPerayaan Imlek di Sumatera Barat dipusatkan di komunitas Tionghoa Padang. Di Gang Hok Tek, Jalan Klenteng, Kampung Cina, Kelurahan Kampung Pondok, Kota Padang, diadakan Pasar Malam Sincia yang menunjukkan adanya akulturasi budaya antara budaya Tionghoa-Padang.[2] Salah satu atraksi budaya Tionghoa yang langka di Padang adalah mengarak Sipasan[4] atau dalam bahasa Hokkien disebut Giâ-kang-tīn. Betawi (Jakarta)Kawasan Betawi (Jakarta) yang kental dengan pengaruh budaya Tionghoa, pada masa lalu merayakan Imlek dengan meriah. Hari raya Imlek dan pesta penutupnya dirayakan dengan meriah oleh orang Tionghoa Betawi.[5] Pesta penutup Imlek yang dinamakan Cap Go Meh diselenggarakan di jalan raya Glodok dan Pancoran dengan kehadiran berbagai suku bangsa non-Tionghoa yang ikut memeriahkan acara. Dengan berakhirnya Orde Baru, kemeriahan Imlek di Betawi (sekarang Jakarta) telah dibangkitkan kembali. Jawa TengahBerbagai komunitas Tionghoa di Jawa Tengah merayakan Imlek yang dengan pengaruh budaya Jawa. Makanan Imlek berupa lontong cap go meh, merupakan hasil akulturasi budaya Jawa-Tionghoa. Kelenteng tua Hok Tik Bio di Kabupaten Blora biasa melaksanakan Sembahyang Tuhan Allah dengan iringan permainan karawitan.[3] Kalimantan BaratMerupakan daerah dengan persentase etnis Tionghoa tertinggi di Indonesia, Imlek di Kalimantan Barat diadakan dengan meriah dan sukacita. Di Kota Singkawang, perayaan Imlek identik dengan Festival Cap Go Meh yang menampilkan parade tatung yang kebal senjata tajam. Istilah dalam berbagai bahasa TionghoaKarena daratan Tiongkok sangat luas, masing-masing kelompok bahasa di negara itu memiliki istilah yang berbeda-beda untuk menyebut Tahun Baru Imlek. Dikarenakan mayoritas masyarakat Tionghoa-Indonesia mempunyai akar dari provinsi-provinsi di selatan, maka istilah-istilah Imlek di Indonesia mengikuti dialek dan bahasa di daerah tersebut, di samping bahasa Mandarin.
SejarahSejarahnya perayaan Tahun Baru Imlek telah dilaksanakan oleh etnis Tionghoa-Indonesia sejak beratus-ratus tahun kedatangan mereka di Nusantara. Tahun Baru Imlek merupakan hari raya terpenting bagi masyarakat Tionghoa sehingga umumnya dirayakan dengan suka cita dan rasa syukur. Perayaan ini dilangsungkan hingga 15 hari lamanya di mana tidak hanya dimeriahkan oleh etnis Tionghoa itu sendiri melainkan ikut berpartisipasinya berbagai suku bangsa lainnya. Namun, perayaan ini pun mempunyai pasang surutnya di Indonesia. Pembentukan Republik Indonesia ditandai dengan berbagai kebijakan baru dari pemerintahnya yang mencerminkan penolakan, pembatasan hingga dukungan terhadap etnis Tionghoa-Indonesia. Era Pemerintahan Presiden SoekarnoEra Pemerintahan Presiden Soekarno ditandai dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 2/Um tentang "Aturan tentang Hari Raya". Pasal 4 dalam aturan itu mengatur berbagai hari raya khusus bagi etnis Tionghoa-Indonesia termasuk Tahun Baru Imlek. Hari Raya khusus etnis Tionghoa tersebut dihapuskan secara resmi lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953 tentang "Hari-Hari Libur" pada tanggal 1 Januari 1953. Era Orde BaruSelama periode panjang dari tahun 1968 hingga 1999, perayaan Tahun Baru Imlek dilarang untuk dirayakan di depan umum. Pelarangan ini bersumber dari Instruksi Presiden Nomor 14/1967 yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 6 Desember 1967. Instruksi Presiden Nomor 14/1967 berisikan tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa (pada masa itu masih disebut Cina). Instruksi ini bersifat membatasi kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, agama dan adat istiadat Tionghoa. Dengan Inpres itu, semua perayaan dan tradisi Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya dilarang untuk dirayakan secara terbuka. Pasca Era Orde Baru hingga kiniPada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967, diikuti dengan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tanggal 9 April 2001 yang mengumumkan secara resmi bahwa Tahun Baru Imlek sebagai sebagai hari libur fakultatif (cuma berlaku untuk mereka yang merayakannya). Peristiwa-peristiwa pentingPada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres Nomor 6/2000 tentang pencabutan Inpres Nomor 14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa sehingga masyarakat Tionghoa telah mempunyai kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya secara terbuka. Pada tahun 2000, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) mengundang Presiden Abdurrahman Wahid untuk menghadiri Pada Perayaan Imlek 2551. Pada tanggal 19 Januari 2001, Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Nomor 13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif. Sejak tahun 2003, Tahun Baru Imlek resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Referensi
|