Bayi tabung
Fertilisasi in vitro atau pembuahan in vitro (bahasa Inggris: in vitro fertilisation, IVF), atau sering disebut bayi tabung, adalah suatu proses pembuahan sel telur oleh sel sperma di luar tubuh sang wanita: in vitro ("di dalam gelas kaca"). ProsesProses ini melibatkan pemantauan dan stimulasi proses ovulasi seorang wanita, mengambil suatu ovum atau sel-sel telur dari ovarium (indung telur) wanita itu dan membiarkan sperma membuahi sel-sel tersebut di dalam sebuah medium cair di laboratorium. Sel telur yang telah dibuahi (zigot) dikultur selama 2–6 hari di dalam sebuah medium pertumbuhan dan kemudian dipindahkan ke rahim wanita yang sama ataupun wanita yang lain, dengan tujuan menciptakan keberhasilan kehamilan. Teknik-teknik IVF dapat digunakan dalam berbagai jenis situasi, dan merupakan salah satu teknik dalam teknologi reproduksi dengan bantuan untuk penanganan infertilitas. Teknik-teknik IVF juga digunakan dalam surogasi kehamilan, yang dalam kasus ini sel telur yang telah dibuahi ditanam di dalam rahim 'titipan' wanita lain sehingga anak yang dilahirkan secara genetik tidak terkait dengan wanita tersebut. Dalam beberapa situasi, sel-sel sperma atau sel-sel telur donasi dapat digunakan. Sejumlah negara melarang atau sebaliknya melakukan regulasi ketersediaan pengerjaan IVF sehingga menimbulkan wisata fertilitas. Pembatasan atas ketersediaan IVF misalnya karena biaya dan usia untuk menghasilkan suatu kehamilan yang sehat dalam jangka waktu normal. Karena biaya prosedur ini, IVF umumnya diupayakan hanya setelah pilihan lain yang lebih murah telah gagal. Kelahiran seorang "bayi tabung" pertama yang berhasil, yaitu Louise Brown, terjadi pada tahun 1978. Louise Brown dilahirkan sebagai hasil dari siklus alami IVF tanpa stimulasi. Robert G. Edwards mendapat penghargaan Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 2010, fisiolog yang terlibat dalam pengembangan proses ini bersama dengan Patrick Steptoe; Steptoe tidak memenuhi syarat untuk dipertimbangkan karena Penghargaan Nobel tidak diberikan secara anumerta.[1] Dengan donasi sel telur dan IVF, wanita yang melewati masa reproduktifnya atau telah mengalami menopause masih dapat hamil. Adriana Iliescu sempat memegang rekor sebagai wanita tertua yang melahirkan dengan menggunakan IVF dan sel telur dari donasi, ketika ia melahirkan pada tahun 2004 di usianya yang ke-66 tahun, sebelum rekornya terlampaui pada tahun 2006. Setelah menggunakan IVF, dikatakan bahwa banyak pasangan dapat hamil tanpa perawatan kesuburan.[2] Pada tahun 2012, diperkirakan bahwa lima juta anak telah lahir di seluruh dunia menggunakan IVF dan teknik reproduksi berbantu lainnya.[3] Penggunaan medisPenggunaan IVF dimungkinkan untuk menangani infertilitas wanita, yang disebabkan karena masalah pada tuba fallopi sehingga mengalami kesulitan dalam fertilisasi in vivo. IVF juga dimungkinkan untuk menangani infertilitas pria, yang dalam situasi ini dapat digunakan injeksi sperma intrasitoplasmik (ICSI) dengan cara menginjeksi suatu sel sperma secara langsung ke dalam sel telur. Metode tersebut digunakan ketika sperma memiliki kesulitan untuk melakukan penetrasi pada sel telur, dan dalam kasus ini dapat digunakan sperma dari pasangan ataupun donor. ICSI juga digunakan ketika jumlah sel sperma sangat sedikit. Ketika terindikasi, ICSI digunakan untuk meningkatkan tingkat keberhasilan IVF. Menurut pedoman NICE Britania, penggunaan IVF adalah tepat dalam kasus infertilitas yang tak dapat dijelaskan bagi wanita yang belum hamil setelah 2 tahun hubungan seksual reguler tanpa kontrasepsi.[4] Aturan ini tidak berlaku di semua negara. (lih. infertilitas) IVF juga dianggap cocok dalam kasus salah satu perluasannya menjadi kepentingan, yaitu, suatu prosedur yang biasanya tidak diperlukan dalam prosedur IVF itu sendiri, tetapi dianggap hampir tidak mungkin atau secara teknis sulit melaksanakannya tanpa secara serentak melaksanakan metode IVF. Perluasan tersebut misalnya diagnosis genetik praimplantasi (PGD) untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan genetik, serta donasi sel telur dan surogasi di mana wanita yang menyediakan sel telur tidak sama dengan wanita yang akan menjalani kehamilan dalam jangka waktu normal. Tingkat keberhasilanTingkat keberhasilan IVF adalah persentase dari semua prosedur IVF yang memberikan hasil sesuai keinginan. Tergantung pada jenis kalkulasi yang digunakan, hasil tersebut mungkin merepresentasikan jumlah kehamilan yang terkonfirmasi, disebut tingkat kehamilan, atau jumlah kelahiran hidup, disebut tingkat kelahiran hidup. Tingkat keberhasilannya bergantung pada berbagai faktor variabel seperti usia maternal, penyebab infertilitas, status embrio, riwayat reproduksi, dan faktor-faktor gaya hidup. Usia maternal (maternal age): kandidat IVF yang lebih muda lebih memungkinkan untuk hamil. Wanita yang usianya lebih dari 41 tahun lebih mungkin hamil dengan suatu sel telur donor.[5] Riwayat reproduksi: wanita yang sebelumnya pernah hamil dalam banyak kasus lebih mungkin berhasil menggunakan IVF daripada wanita yang belum pernah hamil.[5] Tingkat kelahiran hidupTingkat atau angka kelahiran hidup adalah persentase semua siklus IVF yang menyebabkan kelahiran hidup. Tingkat ini tidak termasuk keguguran atau kelahiran mati, dan kelahiran kembar dihitung sebagai satu kehamilan. Sebuah ringkasan tahun 2012 disusun oleh Society for Reproductive Medicine yang melaporkan rata-rata tingkat keberhasilan IVF di Amerika Serikat untuk masing-masing kelompok umur yang menggunakan sel telur non-donor:[6]
Pada tahun 2006, klinik-klinik di Kanada melaporkan tingkat kelahiran hidup 27%.[7] Tingkat kelahiran pada pasien yang lebih muda sedikit lebih tinggi, dengan tingkat keberhasilan 35,3% bagi yang berumur 21 tahun dan yang lebih muda, kelompok umur termuda yang dievaluasi. Tingkat keberhasilan pasien yang lebih tua juga lebih rendah dan menurun seiring dengan usia, dengan tingkat keberhasilan 27,4% bagi yang berumur 37 tahun dan tidak ada kelahiran hidup bagi yang usianya lebih dari 48 tahun, kelompok umur tertua yang dievaluasi.[8] Beberapa klinik dikatakan melebihi angka-angka tersebut, tetapi tidak mungkin memastikan apakah hal itu disebabkan oleh teknik yang lebih unggul atau pemilihan pasien tertentu, karena mungkin saja meningkatkan tingkat keberhasilan dengan cara menolak untuk menerima pasien tersulit atau dengan mengarahkan mereka ke siklus donasi oosit (yang dikompilasi secara terpisah). Selain itu, tingkat kehamilan dapat saja ditingkatkan dengan cara menempatkan beberapa embrio dengan risiko meningkatkan kemungkinan terjadinya kelahiran kembar. Tingkat kelahiran hidup menggunakan sel-sel telur donor juga diberikan oleh SART dan mencakup semua kelompok umur yang menggunakan sel telur segar ataupun dicairkan.[9]
Karena tidak semua siklus IVF yang dimulai akan mengarah pada pengambilan oosit atau transfer embrio, laporan tingkat kelahiran hidup perlu menyebutkan denominator, yaitu siklus mulai IVF, pemulihan IVF, atau transfer embrio. Society for Assisted Reproductive Technology (SART) merangkum tingkat keberhasilan tahun 2008-2009 pada klinik-klinik di Amerika Serikat bagi siklus embrio segar yang tidak mencakup sel-sel telur donor dan menyajikan tingkat kelahiran hidup berdasarkan usia calon ibu, dengan angka tertinggi 41,3% per siklus mulai dan 47,3% per transfer embrio untuk pasien di bawah usia 35 tahun. Upaya-upaya IVF dalam beberapa siklus menyebabkan peningkatan tingkat kelahiran hidup kumulatif. Tergantung pada kelompok demografis, suatu penelitian melaporkan 45% sampai 53% untuk tiga upaya, dan 51% sampai 71-80% untuk enam upaya.[10] Tingkat kehamilanTingkat kehamilan dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Di Amerika Serikat, tingkat kehamilan yang digunakan oleh Society for Assisted Reproductive Technology dan Centers for Disease Control (ditampilkan dalam tabel pada bagian Tingkat keberhasilan di atas) didasarkan pada gerak jantung janin yang diamati dalam pemeriksaan USG. Ringkasan tahun 2009 yang disusun oleh Society for Reproductive Medicine mencakup data berikut ini untuk Amerika Serikat:[9]
Pada tahun 2006, klinik-klinik di Kanada melaporkan tingkat kehamilan rata-rata 35%.[7] Suatu penelitian di Prancis memperkirakan bahwa 66% pasien yang memulai penggunaan IVF berhasil memiliki anak (40% selama perawatan IVF dan 26% setelah penghentian IVF). Keberhasilan memiliki anak setelah penghentian IVF terutama disebabkan oleh adopsi (46%) atau kehamilan spontan (42%).[11] Prediktor keberhasilanYang telah dikemukakan sebagai faktor-faktor potensial utama yang mempengaruhi tingkat kehamilan (dan kelahiran hidup) dalam IVF yaitu usia maternal, durasi infertilitas atau subfertilitas, bFSH, dan jumlah oosit, semuanya mencerminkan fungsi ovarium.[12] Usia wanita yang optimal adalah 23–39 tahun pada saat penanganan IVF.[13] Biomarka yang mempengaruhi peluang kehamilan dengan IVF misalnya:
Faktor risiko lainnya yang berpengaruh pada hasil IVF misalnya:
Aspirin terkadang diresepkan untuk wanita dengan tujuan meningkatkan kemungkinan perkandungan melalui IVF, tetapi tidak ada cukup bukti yang memperlihatkan efektivitasnya.[25][26] Sebuah tinjauan dan meta-analisis tahun 2013 atas uji acak terkendali akupunktur sebagai suatu terapi adjuvan dalam IVF tidak menemukan manfaatnya secara keseluruhan. Disimpulkan perlunya studi lebih lanjut terhadap suatu manfaat nyata yang ditemukan dalam sebuah bagian pengujian yang dipublikasikan di mana kelompok kontrol (yang tidak menggunakan akupunktur) mengalami tingkat kehamilan lebih rendah dari rata-rata, karena terdapat kemungkinan adanya bias publikasi dan faktor lainnya.[27] Sebuah tinjauan Cochrane memperlihatkan bahwa luka endometrial yang dilakukan pada bulan sebelum hiperstimulasi ovarium tampaknya meningkatkan angka kelahiran hidup maupun angka kehamilan klinis dalam IVF jika dibandingkan dengan tanpa luka endometrial. Namun, terdapat kekurangan data yang dilaporkan seputar angka-angka hasil yang merugikan seperti keguguran, kehamilan kembar, rasa nyeri dan/atau pendarahan.[23][butuh pemutakhiran] Bagi wanita, asupan antioksidan (seperti asetilsistein, melatonin, vitamin A, vitamin C, vitamin E, asam folat, myo-inositol, seng atau selenium) belum dikaitkan dengan peningkatan signifikan angka kelahiran hidup atau angka kehamilan klinis dalam IVF sebagaimana dilaporkan dalam tinjauan Cochrane.[23] Di sisi lain, antioksidan oral yang diberikan kepada pria seiring dengan faktor laki-laki atau subfertilitas yang tak dapat dijelaskan menghasilkan angka kelahiran hidup yang lebih tinggi dalam IVF.[23] Sebuah tinjauan Cochrane tahun 2013 memperlihatkan bahwa tidak ada bukti yang dapat diidentifikasi mengenai dampak rekomendasi gaya hidup pra-konsepsi pada kemungkinan hasil kelahiran hidup.[23] SejarahPada tahun 1977, Steptoe dan Edwards berhasil melakukan suatu fertilisasi rintisan yang menyebabkan kelahiran bayi pertama yang dikandung menggunakan metode IVF, yaitu Louise Brown pada tanggal 25 Juli 1978, di Rumah Sakit Oldham General, Greater Manchester, Britania Raya.[28][29][30] Kelahiran sukses bayi tabung yang kedua terjadi di India hanya berselang 67 hari setelah Louise Brown lahir.[31] Bayi perempuan itu, bernama Durga, dikandung in vitro menggunakan metode-metodenya Subhash Mukhopadhyay, seorang dokter dan peneliti dari Kolkata. EtikaKesalahan pencampuranDalam sejumlah kasus, terjadi kesalahan pencampuran (sel gamet yang salah diidentifikasi, pemindahan embrio yang salah) di laboratorium, yang menyebabkan tindakan hukum terhadap penyedia layanan IVF dan gugatan-gugatan terkait keayahan yang kompleks. Contohnya adalah kasus seorang wanita di California yang menerima embrio pasangan lain dan baru diberitahu tentang kesalahan ini setelah kelahiran putranya.[32] Hal ini menyebabkan banyak otoritas dan klinik individual menerapkan prosedur-prosedur untuk meminimalkan risiko semacam itu. Otoritas Embriologi dan Fertilisasi Manusia di Britania Raya misalnya, mensyaratkan klinik-klinik untuk menggunakan sistem kesaksian ganda, identitas spesimen diperiksa oleh dua orang di setiap titik pemindahan spesimen. Alternatifnya, solusi-solusi teknologi lebih disukai, untuk mengurangi biaya manual tenaga kerja dalam sistem kesaksian ganda, dan untuk mengurangi risiko dengan penggunaan tag RFID bernomor yang dapat diidentifikasi oleh pembaca yang terhubung ke komputer. Komputer tersebut melacak spesimen di seluruh proses dan memperingatkan embriolog jika spesimen yang tidak cocok teridentifikasi. Meskipun penggunaan pelacakan RFID telah meluas di Amerika Serikat,[33] hal ini masih belum diterapkan secara luas. Bagaimanapun, dalam kasus-kasus lain bukan terjadi kesalahan pencampuran embrio atau sel gamet, tetapi penggunaan secara sengaja embrio dari pasangan lain atau donor sel gamet, tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya: baik reseptor maupun donor. Beberapa kasus semacam ini dibawa ke proses hukum dan peradilan.[butuh rujukan] Skrining atau diagnosis genetik praimplantasiKekhawatiran lainnya yaitu bahwa orang akan menyaring sifat tertentu, menggunakan diagnosis genetik praimplantasi (PGD) atau skrining genetik praimplantasi. Sebagai contoh, satu pasangan tunarungu dari Britania, Tom dan Paula Lichy, mengajukan petisi untuk menciptakan seorang bayi tuli menggunakan IVF.[34] Sejumlah etikawan medis sangat kritis terhadap hal ini. Jacob M. Appel menulis bahwa, "dengan sengaja memusnahkan embrio yang buta atau tuli mungkin mencegah cukup banyak penderitaan di masa depan, sementara suatu kebijakan yang memungkinkan orang tua tuli ataupun buta untuk memilih sifat-sifat yang sama secara sengaja akan jauh lebih merepotkan."[35] Konsep yang dengan tegas mengubah gen ini telah menciptakan konsep Bayi Desainer. Saat ini, PGD dapat mengubah beberapa atribut fisik dan kesehatan; proyeksi kekuatan masa depan PGD dalam kemampuannya untuk menciptakan manusia yang ideal telah menimbulkan banyak masalah etika. Proyeksi dampak-dampak sosial misalnya pengubahan dunia atletik, penciptaan senjata manusia, dan pertukaran otonomi atas kehidupan seseorang karena praseleksi.[36] Selain itu, dengan pandangan yang sangat terbatas akan masa depan, sulit untuk mengubah suatu susunan genetik manusia tanpa mengetahui dampak sepenuhnya. Sebagai contoh, melalui terapi gen, suatu laboratorium mampu membuat tikus mengalami penurunan berat badan, tetapi efek jangka panjang manipulasi gen tersebut menyebabkan gangguan produksi toksin dan terlalu banyak penurunan berat badan.[37] Otonomi dan kepemilikan jaringanBagi mereka yang meyakini bahwa kehidupan manusia dimulai sejak saat pembuahan, keyakinan ini juga mengungkapkan bahwa hak asasi manusia telah diberikan pada saat itu. Apabila hak asasi manusia telah ada dalam tahap embrionik ini, maka terdapat tambahan isu etika yang timbul dari proses manipulasi embrio di dalam ranah kepemilikan jaringan. Dalam jangka panjang, jika ditanamkan atau diimplantasikan ke dalam seorang wanita dan lahir, embrio tersebut menjadi seorang dewasa dan harus hidup dengan modifikasi genetik yang dipilih baginya melalui proses IVF. Dalam keadaan selulernya, tidak mungkin ia memberikan persetujuan kehendak untuk tindakan manipulasi gen. Hal ini menyebabkan pengambilan keputusan dilakukan oleh orang tuanya. Kepemilikan orang tua, yang dianggap sah, atas embrio hanya dalam jangka waktu singkat dan berarti bahwa mereka memegang kendali atas masa depan biologis sang embrio. Persetujuan kehendak atas kepemilikan jaringan telah menjadi isu selama puluhan tahun dan dapat berdampak hukum. Dalam kasus Henrietta Lacks, para peneliti tidak memiliki persetujuan pasien untuk menggunakan jaringannya dalam penelitian genetik, dan hal ini menyebabkan banyak masalah hukum seputar hak keluarganya untuk mendapatkan keuntungan dari penggunaan sel-selnya.[38] Keuntungan yang diharapkan dari industri iniBanyak orang yang tidak menentang praktik IVF (yakni menciptakan kehamilan melalui cara "buatan") tetapi sangat kritis terhadap keadaan sekarang industri ini. Mereka berpendapat bahwa industri ini telah menjadi suatu industri yang bernilai miliaran dolar, tanpa regulasi secara luas dan rawan terhadap pelanggaran-pelanggaran serius yang dilakukan para praktisinya untuk memperoleh keuntungan. Sebagai contoh, pada tahun 2008, seorang dokter California memindahkan 12 embrio ke seorang wanita yang kemudian melahirkan bayi kembar delapan (lih. Bayi kembar delapan Suleman). Kasus ini menjadi berita internasional, dan telah menyebabkan tuduhan bahwa banyak dokter yang rela untuk membahayakan kesehatan dan bahkan kehidupan seorang wanita demi memperoleh uang. Robert Winston, profesor studi fertilitasi di Imperial College London, menyebut industri ini "korup" dan "serakah" dengan mengatakan kalau, "Salah satu masalah utama yang kita hadapi dalam perawatan kesehatan adalah bahwa IVF telah menjadi suatu industri komersial yang besar," dan, "Apa yang telah terjadi, tentu saja, adalah bahwa uang mengorupsi seluruh teknologi ini," dan menuduh pihak berwenang gagal melindungi pasangan-pasangan dari eksploitasi: "Pihak otoritas telah melakukan suatu pekerjaan buruk secara konsisten. [Mereka] tidak mencegah eksploitasi kaum wanita, [mereka] tidak memberikan informasi yang sangat baik kepada pasangan-pasangan, [mereka] tidak membatasi jumlah perlakuan-perlakuan yang tidak ilmiah yang dapat diakses orang-orang."[39] Industri IVF karenanya dapat dipandang sebagai salah satu contoh dari apa yang dideskripsikan para ilmuwan sosial sebagai suatu tren yang mengalami peningkatan menuju suatu pengembangan kesehatan, ilmu kedokteran, dan tubuh manusia, yang digerakkan oleh pasar.[40] Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, industri ini semakin digerakkan oleh uang karena para peneliti dan inovator masuk ke dalam perebutan hak-hak paten dan hak-hak kekayaan intelektual. Klausul Hak Cipta dalam Konstitusi AS melindungi hak-hak inovator atas hasil karya mereka masing-masing dalam upaya untuk mempromosikan kemajuan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, perlindungan hukum ini memberikan insentif kepada para inovator dengan menyediakan mereka suatu monopoli sementara atas hasil karya mereka masing-masing. Dalam industri IVF, yang sudah sangat mahal bagi pasien, hak-hak paten berisiko membuat harga-harga yang lebih tinggi bagi pasien untuk mendapatkan prosedur ini karena mereka juga harus menanggung biaya-biaya dari hasil karya yang dilindungi. Sebagai contoh, perusahaan 23andMe telah mematenkan suatu proses yang digunakan untuk mengalkulasi probabilitas warisan gen.[41] Kendati inovasi ini mungkin membantu banyak orang, perusahaan tersebut tetap memiliki hak tunggal untuk mengelolanya dan dengan demikian tidak ada persaingan ekonomis. Tidak adanya kompetisi ekonomis mengakibatkan harga produk yang lebih tinggi. Industri ini dituduh membuat klaim-klaim yang tidak ilmiah, dan mendistorsi fakta-fakta seputar infertilitas (ketidaksuburan, kemandulan), khususnya melalui banyak klaim berlebihan mengenai seberapa umum kasus infertilitas di dalam masyarakat, dalam suatu upaya untuk mendapatkan sebanyak mungkin pasangan yang dengan segera mencoba menggunakan IVF (daripada mengupayakan untuk hamil secara alami dalam waktu yang lebih lama). Hal ini berisiko menghapus infertilitas dari konteks sosialnya dan mereduksi pengalaman atas suatu malfungsi biologis sederhana, yang sebenarnya dapat diobati melalui prosedur-prosedur biomedis tetapi menjadi harus menggunakan perawatan dari mereka.[42][43] Bagaimanapun, terdapat berbagai kekhawatiran serius mengenai banyaknya penggunaan IVF. Dr Sami David, seorang spesialis fertilitas dan salah seorang pelopor masa awal pengembangan IVF, menyatakan kekecewaan atas keadaan sekarang industri ini, dan mengatakan bahwa banyak prosedur yang tidak diperlukan; ia mengatakan, "[IVF] telah menjadi pilihan pertama perawatan, bukannya pilihan terakhir. Ketika pertama kali diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an, awal tahun 1980-an, [IVF] dimaksudkan sebagai upaya terakhir. Sekarang ini menjadi suatu upaya pertama. Saya pikir itu adalah suatu ketidakadilan bagi kaum wanita. Saya juga berpikir bahwa [IVF] dapat membahayakan para wanita dalam jangka panjang."[44] Karenanya, IVF menimbulkan isu-isu etika sehubungan dengan penyalahgunaan fakta-fakta biomedis untuk 'menjual' prosedur-prosedur korektif seputar kondisi-kondisi berbeda dari suatu kondisi ideal tubuh 'sehat' atau 'normal' yang tercipta dalam perspektif masyarakat, yaitu pria dan wanita subur dengan sistem-sistem reproduksi yang mampu bekerja sama dalam menghasilkan keturunan. Kehamilan pasca menopauseMeskipun menopause adalah suatu penghalang alami bagi konsepsi pada usia lanjut, IVF telah memungkinkan kaum wanita untuk hamil pada usia 50-an dan 60-an tahun. Kaum wanita yang rahimnya telah dipersiapkan menerima embrio-embrio yang berasal dari suatu sel telur donor. Oleh karena itu, meski para wanita ini tidak memiliki hubungan genetik dengan sang anak, mereka memiliki hubungan emosional melalui kehamilan dan persalinan. Dalam banyak kasus, ayah genetik sang anak adalah pasangan wanita tersebut. Setelah menopause, memang rahim masih mampu menanggung kehamilan.[45] Memperbolehkan kaum wanita untuk hamil setelah masa alamiahnya dapat menjadikan masalah overpopulasi. Melalui diagnosis genetik praimplantasi (PGD), anak-anak yang terlahir melalui IVF diyakini memiliki tingkat harapan hidup yang lebih tinggi karena eliminasi embrio-embrio dengan penyakit-penyakit tertentu. Sehingga IVF dapat menimbulkan peningkatan jumlah wanita yang mampu melahirkan anak mengakibatkan peningkatan laju pertumbuhan penduduk, sementara PGD dalam IVF mengurangi tingkat kematian, mengakibatkan peningkatan populasi. Pasangan sesama jenis, orang tua tunggal dan tidak menikahPada tahun 2009, ASRM menyatakan kalau mereka tidak menemukan bukti persuasif bahwa anak-anak disakiti atau dirugikan hanya karena dibesarkan oleh orang tua tunggal, orang tua yang tidak menikah, atau orang tua homoseksual. Mereka tidak mendukung pembatasan akses pada teknologi reproduksi berbantuan atas dasar orientasi seksual atau status perkawinan calon orang tua.[46] Kekhawatiran dari aspek etika meliputi hak-hak reproduksi, kesejahteraan anak, perlakuan non-diskriminatif terhadap individu-individu yang tidak menikah, homoseksual, dan otonomi profesional.[46] Suatu kontroversi baru-baru ini di California berfokus pada pertanyaan apakah para dokter yang menentang hubungan sesama jenis diwajibkan untuk melakukan IVF bagi pasangan lesbian. Guadalupe T. Benitez, seorang asisten medis lesbian dari San Diego, menggugat dokter Christine Brody dan Douglas Fenton dari North Coast Women's Care Medical Group setelah Brody mengatakan kepadanya bahwa ia memiliki "keberatan-keberatan berlandaskan agama untuk menangani dia dan kaum homoseksual pada umumnya untuk membantu mereka mengandung anak melalui inseminasi buatan," dan Fenton menolak untuk mengesahkan pengulangan resepnya untuk obat kesuburan Clomid dengan alasan yang sama.[47][48] Asosiasi Medis California awalnya memihak Brody dan Fenton, tetapi, pada tanggal 19 Agustus 2008, kasus tersebut diputuskan dengan suara bulat dalam keberpihakan pada Benitez oleh Mahkamah Agung Negara Bagian California.[49][50] Nadya Suleman mengundang perhatian internasional setelah melakukan implantasi dua belas embrio, delapan di antaranya bertahan hidup, menyebabkan ia melahirkan delapan bayi baru sebagai tambahan pada keluarganya saat itu yang beranak enam. Dewan Medis California berusaha untuk mencabut lisensi Michael Kamrava, dokter kesuburan yang menangani Suleman. Para pejabat negara bagian menyatakan bahwa prosedur penanganan Suleman adalah bukti adanya penilaian yang tidak beralasan, penanganan di bawah standar, dan kurangnya kepeluan pada delapan anak yang akan ia kandung serta enam anak yang masih ia perjuangkan untuk dibesarkan. Pada tanggal 1 Juni 2011, Dewan Medis tersebut mengeluarkan putusan bahwa lisensi kedokteran Kamrava akan efektif dicabut pada tanggal 1 Juli 2011.[51][52][53] Donor anonimSejumlah anak yang dikandung melalui IVF dengan menggunakan donor anonim atau tanpa identitas dilaporkan menderita keresahan karena tidak mengetahui orang tua donor mereka serta kerabat genetik dan sejarah keluarga mereka.[54][55] Alana Stewart, yang dikandung menggunakan sperma donor, memulai suatu forum daring bagi anak-anak donor dengan nama AnonymousUS pada tahun 2010. Forum tersebut menyambut baik segala sudut pandang yang disampaikan setiap orang yang terlibat dalam proses IVF.[56] Olivia Pratten, seorang Kanada yang dikandung menggunakan donor, menggugat provinsi British Columbia pada tahun 2008 agar ia mendapat akses ke catatan identitas ayah donornya.[57] "Saya bukan sebuah rawatan, saya seorang pribadi, dan catatan-catatan itu milik saya," kata Pratten.[54] Pada bulan Mei 2012, pengadilan memenangkan gugatan Pratten, setuju bahwa undang-undang pada saat itu mendiskriminasi anak-anak donor serta menjadikan donasi sel telur dan sperma anonim di British Columbia ilegal.[57] Di Britania Raya, Swedia, Norwegia, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan beberapa negara bagian Australia, para donor tidak dibayar dan tidak dapat anonim. Pada tahun 2000, sebuah situs web bernama Donor Sibling Registry dibuat untuk membantu anak-anak biologis dengan donor umum saling terhubung satu sama lain.[55][58] Pada tahun 2012, sebuah dokumenter berjudul Hari Ayah Anonim dirilis dengan berfokus pada anak-anak yang dikandung menggunakan sel donor.[59] Embrio-embrio yang tidak diinginkanSelama tahap pemilihan dan pemindahan, banyak embrio yang mungkin dibuang demi yang lainnya. Pemilihan tersebut mungkin didasarkan pada kriteria seperti kelainan genetik atau jenis kelamin.[60] Salah satu kasus paling awal seputar pemilihan gen khusus melalui IVF adalah kasus keluarga Collins pada tahun 1990-an, yang memilih jenis kelamin anak mereka.[61] Isu-isu etika masih belum terselesaikan karena dianggap belum ada konsensus dalam ilmu pengetahuan, agama, dan filsafat mengenai kapan embrio manusia harus diakui sebagai seorang pribadi. Bagi yang meyakini bahwa hal ini bermula sejak saat konsepsi (pembuahan), IVF menjadi suatu masalah moral ketika ada beberapa sel telur yang dibuahi, sehingga memulai perkembangan mereka, dan hanya sedikit atau satu saja yang dipilih untuk implantasi. Apabila IVF melibatkan pembuahan satu sel telur saja, atau setidaknya hanya sejumlah yang akan diimplantasikan, maka hal ini dianggap bukan suatu isu. Bagaimanapun, hal ini mungkin mengakibatkan peningkatan biaya secara drastis karena hanya satu atau sedikit sel telur yang diupayakan pada satu waktu. Akibatnya, pasangan tersebut perlu memutuskan apa yang harus dilakukan dengan embrio-embrio tambahan yang dihasilkan. Tergantung pada pandangan mereka tentang aspek kemanusiaan sang embrio atau apakah mereka kelak menginginkan anak lagi, pasangan tersebut memiliki beberapa pilihan dalam memperlakukan embrio-embrio ekstranya. Pasangan memiliki pilihan untuk membekukan mereka, menyumbangkan mereka kepada pasangan infertil lainnya, melelehkan mereka, atau menyumbangkan mereka untuk penelitian medis.[62] Membekukan mereka membutuhkan biaya, menyumbangkan mereka tidak menjamin kalau mereka akan bertahan hidup, mencairkan atau melelehkan mereka dengan segera membuat mereka tidak dapat bertahan hidup, dan penelitian medis mengakibatkan pengakhiran kehidupan mereka. Dalam ranah penelitian medis, pasangan belum tentu diberitahu untuk apa embrio-embrio tersebut digunakan, dan sebagai hasilnya, beberapa dapat saja digunakan dalam penelitian sel punca embrionik, suatu bidang yang juga dipandang memiliki isu-isu etika. Tanggapan keagamaanGereja Katolik menentang semua jenis teknologi reproduksi berbantuan dan kontrasepsi buatan, menegaskan bahwa Gereja memisahkan tujuan prokreatif hubungan seksual dalam perkawinan dengan tujuan penyatuan pasangan dalam perkawinan. Gereja Katolik mengizinkan penggunaan sejumlah kecil teknologi reproduksi dan metode kontrasepsi seperti keluarga berencana alami, yang mencakup pencatatan waktu ovulasi. Gereja memperbolehkan bentuk-bentuk lain teknologi reproduksi yang memungkinkan pembuahan terjadi melalui persetubuhan normatif, misalnya pelumas fertilitas. Paus Benediktus XVI secara terbuka menekankan kembali penentangan Gereja Katolik terhadap fertilisasi in vitro atau "bayi tabung", memandangnya menggantikan cinta antara pasangan suami-istri.[63] Katekismus Gereja Katolik menyatakan kalau hukum kodrat mengajarkan bahwa reproduksi memiliki suatu "hubungan yang tak terpisahkan" dengan hubungan seksual di antara kedua pribadi pasangan menikah.[64] Selain itu, Gereja menentang IVF karena dapat menyebabkan pembuangan embrio-embrio, mengeliminasi hak hidup mereka; dalam Katolisisme, embrio dipandang sebagai seorang individu dengan jiwa yang harus diperlakukan layaknya seorang pribadi manusia.[65] Gereja Katolik berpendapat bahwa infertilitas bukanlah suatu kemalangan secara objektif, dan mendukung adopsi sebagai pilihan bagi pasangan-pasangan yang masih ingin memiliki anak.[66] Dikatakan bahwa umat Hindu menerima IVF sebagai anugerah bagi mereka yang tidak dapat memiliki anak dan menyebut dokter-dokter terkait IVF melakukan punya karena terdapat beberapa karakter yang mengaku dilahirkan tanpa hubungan seksual, terutama Karna dan kelima Pandawa.[67] Mengenai tanggapan atas IVF dari Islam, kesimpulan dari fatwa Gad El-Hak Ali Gad El-Hak mengenai teknologi reproduksi berbantuan meliputi:[68]
Dalam komunitas Yahudi Ortodoks, konsep ini diperdebatkan karena hanya ada sedikit preseden pada sumber-sumber tekstual hukum tradisional Yahudi. Mengenai hukum seksualitas, yang menjadi keberatan misalnya masturbasi (yang dapat dipandang sebagai "penyia-nyiaan benih"[65]), hukum-hukum terkait aktivitas seksual dan menstruasi (niddah) serta hukum khusus mengenai persetubuhan. Satu masalah tambahan yang penting adalah penetapan garis keturunan dan keayahan. Bagi seorang bayi yang dikandung secara alami, identitas ayahnya ditentukan melalui suatu presumsi legitimasi hukum (khazakah): rov bi'ot achar ha'baal - hubungan seksual seorang wanita diasumsikan dengan suaminya. Mengenai seorang anak IVF, asumsi ini tidak ada dan karenanya Rabi Eliezer Waldenberg (antara lain) mensyaratkan adanya seorang pengawas dari luar untuk secara positif mengidentikasi sang ayah.[69] Yudaisme Reformasi umumnya menyetujui fertilisasi in vitro.[65] Masyarakat dan budayaBanyak orang Afrika Sub-Sahara memilih untuk memercayakan pengasuhan anak-anak mereka pada kaum wanita infertil. IVF memungkinkan para wanita infertil itu untuk memiliki anak-anak mereka sendiri, sehingga memaksakan standar ideal baru pada suatu budaya di mana membesarkan anak-anak dianggap alami dan penting secara kultural. Banyak wanita infertil yang mampu mendapatkan lebih banyak rasa hormat dalam masyarakat mereka dengan cara merawat anak-anak yang bukan anak kandungnya, dan mereka mungkin akan kehilangan rasa hormat tersebut jika memilih untuk menggunakan IVF. Karena IVF dipandang tidak alamiah, IVF dapat mengganggu posisi sosial mereka serta tidak menjadikan mereka setara dengan para wanita fertil. Juga dipandang lebih menguntungkan secara ekonomis bagi kaum wanita infertil untuk membesarkan anak-anak asuh karena memberikan anak-anak ini kemampuan lebih besar untuk mengakses sumber daya yang penting bagi perkembangan mereka dan juga membantu perkembangan masyarakat pada umumnya. Jika IVF menjadi lebih populer tanpa penurunan angka kelahiran, akan ada lebih banyak rumah dengan keluarga besar yang memiliki sedikit pilihan untuk mengirim anak-anak mereka yang lahir. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan jumlah anak yatim dan/atau penurunan sumber daya bagi anak-anak dari keluarga besar. Pada akhirnya hal ini akan menahan pertumbuhan masyarakat dan anak-anak tersebut.[70] Kaum pria dan IVFPenelitian menunjukkan bahwa kebanyakan kaum pria memandang diri mereka sebagai kontributor 'pasif'[71] karena kurangnya 'keterlibatan fisik' mereka[72] dalam penggunaan IVF. Meskipun demikian, banyak laki-laki merasa tertekan setelah melihat dampak negatif injeksi hormonal dan intervensi fisik secara terus-menerus pada pasangan mereka.[73] Fertilitas (kesuburan) dipandang sebagai salah satu faktor signifikan dalam persepsi seorang laki-laki mengenai maskulinitasnya, menjadikan banyak laki-laki merahasiakan penggunaan IVF mereka.[73] Dalam kasus-kasus di mana kaum pria tidak menceritakan bahwa ia dan pasangannya sedang menjalani IVF, mereka dilaporkan mengalami olok-olok, terutama oleh laki-laki lain, kendati ada beberapa yang menganggap hal ini sebagai suatu penegasan dukungan dan persahabatan. Bagi yang lainnya, hal ini menyebabkan mereka merasa terisolasi secara sosial.[74] Dibandingkan dengan kaum wanita, kaum pria kurang mengalami penurunan kesehatan mental dalam masa setelah suatu kegagalan penanganan IVF.[75] Bagaimanapun, banyak laki-laki merasa bersalah, kecewa, dan tidak mampu, seraya menyatakan bahwa mereka sekadar mencoba untuk memberikan semacam peneguhan emosional bagi pasangan mereka.[74] Ketersediaan dan pemanfaatanIndonesia
Saat ini telah ada 26 klinik yang melayani pengobatan bayi tabung di Indonesia yang tersebar di kota-kota di Jawa, Bali, dan Sumatera. Klinik bayi tabung yang ada di Indonesia ini di bawah pengawasan perkumpulan dokter seminat (PERFITRI Diarsipkan 2013-09-25 di Wayback Machine. - Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia atau IA-IVF Indonesian Assoaciation In Vitro Fertilization) yang bekerja sama dengan Departemen Kesehatan. Status hukumInstansi-instansi pemerintah di Tiongkok meloloskan larangan penggunaan IVF pada tahun 2003 bagi wanita yang tidak menikah dan pasangan dengan penyakit-penyakit menular tertentu.[76] Negara-negara Muslim Sunni umumnya memperbolehkan IVF di antara pasangan-pasangan yang telah menikah selama dilakukan dengan sel sperma dan sel-sel telur mereka masing-masing, tetapi tidak dengan sel-sel telur donor dari pasangan lain. Namun Iran, yang adalah negara Muslim Syi'ah, memiliki suatu skema yang lebih kompleks. Iran melarang donasi sel sperma tetapi mengizinkan donasi sel-sel telur yang telah dibuahi maupun belum dibuahi. Sel-sel telur yang telah dibuahi merupakan donasi dari suatu pasangan menikah kepada pasangan menikah lainnya, sedangkan sel-sel telur yang belum dibuahi merupakan sumbangan dalam konteks nikah mutah atau pernikahan sementara kepada sang ayah.[77] Kosta Rika melarang sepenuhnya teknologi IVF, Mahkamah Agung negara ini menyatakannya tidak konstitusional karena IVF "melanggar kehidupan".[78] Kosta Rika dikatakan sebagai satu-satunya negara di belahan bumi barat yang sepenuhnya melarang IVF. Suatu proyek undang-undang yang dengan setengah hati dikirim oleh pemerintahan Presiden Laura Chinchilla telah ditolak oleh parlemen. Presiden Chinchilla belum pernah secara terbuka menyatakan posisinya mengenai isu IVF. Namun, mengingat pengaruh besar Gereja Katolik dalam pemerintahannya, setiap perubahan dalam status quo tampaknya sangat tidak mungkin terjadi.[79][80] Kendati kerasnya tentangan keagamaan dan peranan pemerintah Kosta Rika, larangan atas IVF dibatalkan oleh Mahkamah Hak Asasi Manusia Inter-Amerika dalam suatu keputusan pada tanggal 20 Desember 2012. Mahkamah tersebut mengatakan bahwa jaminan perlindungan Kosta Rika sejak dahulu bagi setiap embrio melanggar kebebasan reproduksi pasangan-pasangan infertil karena melarang mereka menggunakan IVF, yang sering kali melibatkan pembuangan embrio-embrio yang tidak ditanamkan dalam rahim pasien.[81] Pada tanggal 10 September 2015, Presiden Luis Guillermo Solís menandatangani sebuah dekret legalisasi fertilisasi in-vitro. Dekret tersebut dimasukkan dalam surat kabar resmi negara pada tanggal 11 September. Para penentang praktik ini sejak saat itu mengajukan gugatan hukum di hadapan Mahkamah Konstitusi Kosta Rika.[82] Semua pembatasan utama di Australia pada wanita lajang namun infertil untuk menggunakan IVF dicabut pada tahun 2002 setelah pengajuan banding terakhir ke Pengadilan Tinggi Australia ditolak dengan alasan prosedural dalam kasus Leesa Meldrum. Suatu pengadilan federal Victoria telah memutuskan pada tahun 2000 bahwa larangan yang ada atas semua wanita lajang dan lesbian untuk menggunakan IVF merupakan diskriminasi gender.[83] Pemerintah Victoria mengumumkan perubahan dalam hukum IVF pada tahun 2007 dengan menghilangkan pembatasan pada lesbian dan wanita lajang, sehingga menjadikan Australia Selatan satu-satunya negara bagian yang masih mempertahankan batasan tersebut.[84] Undang-undang federal di Amerika Serikat mencakup skrining kebutuhan dan pembatasan dalam hal donasi, tetapi umumnya tidak berpengaruh pada pasangan intim secara seksual.[85] Namun, dokter mungkin diperlukan untuk menyediakan perawatan karena undang-undang non-diskriminasi, seperti misalnya di California.[50] Negara bagian Tennessee mengusulkan suatu rancangan undang-undang pada tahun 2009 yang akan menetapkan donor IVF sebagai 'adopsi'.[86] Pada sesi yang sama diusulkan rancangan undang-undang lainnya yang membatasi adopsi dari pasangan yang tidak menikah dan hidup bersama; kelompok-kelompok aktivis menyatakan bahwa meloloskan rancangan undang-undang yang pertama akan secara efektif menghentikan orang-orang yang tidak menikah untuk menggunakan IVF.[87][88] Tak satu pun dari kedua rancangan undang-undang itu lolos.[89][90] Lihat pula
Referensi
Bacaan lanjutan
|