Pandemi Covid-19 di Amerika Serikat
Pandemi COVID-19 di Amerika Serikat pertama kali dikonfirmasi pada tanggal 21 Januari 2020 di negara bagian Washington, pasien yang terjangkit baru 5 hari pulang dari kota Wuhan, tempat pandemi ini berawal.[6] Pandemi koronavirus adalah pandemi yang disebabkan koronavirus (COVID-19) dan menyerang sistem pernafasan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kemudian mengumumkan pandemi koronavirus sebagai pandemi dunia pada tanggal 11 Maret 2020.[7] DampakPada 12 Maret 2020, 1.000 orang telah terdiagnosis mengidap COVID-19, 40 kematian yang terkonfirmasi dengan sebab pandemi ini 31 diantaranya terjadi di negara bagian Washington. Kasus-kasus baru selanjutnya telah ditemukan di 49 dari 50 negara bagian Amerika, ibu kota Washington, D.C. hingga Puerto Rico, menyisakan Virginia Barat sebagai satu-satunya negara bagian tanpa kasus positif COVID-19. Pemerintahan Presiden Donald Trump mengumumkannya sebagai keadaan darurat nasional pada 13 Maret 2020. Metode pengujian terhadap pengidap COVID-19 ini sempat berubah beberapa kali di Amerika. Pemerintah pertama kali menguji warga pada Februari, namun beberapa waktu setelahnya The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menemukan fakta bahwa alat tes yang digunakan pemerintah rusak, sehingga menunjukkan hasil yang tak akurat, kritik ini kemudian mengubah metode yang dilakukan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempercepat hasil pengujian. Pada 14 Maret, dilakukan tes serentak di 50 negara bagian, namun media menyoroti keterbatasan alat tes membuat publik tak dapat memperkirakan berapa orang yang terinfeksi dengan pasti.[8] CDC kemudian menyarankan agar dokter menggunakan penilaian mereka sendiri berdasarkan pedoman yang telah disusun sebelum mengesahkan tes. CDC mengeluarkan peringatan Level 3 untuk perjalanan ke Tiongkok, beberapa negara Eropa, Iran, dan Korea Selatan. Pemerintah juga menolak warga asing yang pernah melakukan perjalanan di Tiongkok, Iran, dan 26 negara Eropa yang termasuk dalam Schengen Area yang bebas paspor meliputi Austria, Belgia, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Italia, Latvia, Liechtenstein, Lituania, Luksemburg, Malta, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, dan Swiss,[9] lalu bertambah Inggris dan Republik Irlandia pada 16 Maret.[10] Warga Amerika yang kembali setelah perjalanan ke Provinsi Hubei juga harus menjalani karantina selama 14 hari dalam fasilitas kesehatan, sedangkan untuk warga Amerika yang kembali dari wilayah Tiongkok daratan lainnya dalam 14 hari sebelumnya juga diwajibkan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan dan kemungkinan untuk mengarantina diri sendiri.[11][12] Pandemi Koronavirus di Amerika juga berdampak pada penundaan maupun pembatalan acara-acara, dengan skala perkumpulan massa yang besar termasuk menutup sekolah, pameran, pertunjukan, konser musik, liga olahraga, hingga pemutaran perdana berbagai film yang semakin masif dilakukan pemerintah dan otoritas kegiatan masing-masing khususnya setelah Organisasi Kesehatan Dunia menyatakannya sebagai pandemi pada 11 Maret.[13] CDC juga memperingatkan pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan permintaan terhadap fasilitas kesehatan yang mungkin akan semakin membebani sistem penyediaan kesehatan negara. PengujianTujuan pengujian tersebut adalah untuk mengetahui apakah individu terinfeksi COVID-19 dan untuk mengetahui seberapa parah epidemi yang terjadi dan dimana yang terparah, namun pengujian yang dilakukan ternyata tak efektif karena keterbatasan kualitas alat penguji membuat hasil tak akurat sehingga memerlukan tindakan pembaruan. Pada 4 Maret, komisioner Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat/Food and Drug Administration (FDA) Stephen Hahn memperkirakan bahwa hampir satu juta pengujian akan dapat segera dilakukan dengan alat baru, sementara Wakil Presiden Mike Pence memperkirakan jumlahnya bisa mencapau 1,5 juta.[14] Namun persebaran alat tes baru ini sempat dikeluhkan tidak merata, pada 8 Maret senator Connecticut Chris Murphy menyatakan wilayahnya belum mendapat alat tes baru, demikian juga perwakilan Massachusetts Stephen Lynch yang mengeluhkan hal yang sama.[15][16] Pengujian baru dapat sepenuhnya dilakukan di 50 negara bagian pada 12 Maret 2020 dengan persetujuan dokter baik dari CDC ataupun laboratorium komersial di negara bagian masing-masing.[17] Usaha ini juga diiringi dengan langkah pemerintah lain yang dimaksudkan untuk mempercepat pengujian seperti menunjuk seorang koordinator di tiap negara bagian untuk mengawasi pengujian, pendanaan, membentuk hotline untuk lab-lab pengujian demi menjamin ketersediaan alat.[18] New York mendapat kewenangan untuk mengoperasikan alat penguji yang lebih canggih dan mampu mengeluarkan hasil pemeriksaan dalam 3.5 jam dari FDA.[19] CDC menyarankan agar dokter dapat melakukan diagnosa sendiri dengan beberapa ketentuan yang telah ditetapkan otoritas penguji karena gejala infeksi COVID-19 mirip dengan flu dan demam pada umumnya, dan mendorong mereka yang sedang sakit atau tidak dalam kondisi yang prima untuk berdiam diri di rumah. ReaksiPernyataan pemerintahPada 31 Januari, Presiden Trump resmi memberlakukan pembatasan kedatangan di Amerika baik imigran maupun non imigran, semua warga negara asing yang secara fisik pernah melakukan perjalanan ke negara Tiongkok tidak diperbolehkan memasuki wilayah Amerika sampai 14 hari setelah perjalanannya di Tiongkok, kebijakan ini tidak termasuk Hong Kong dan Makau.[20] Pada tanggal 26 Februari 2020, belum ada kasus kematian yang disebabkan COVID-19 di Amerika, Presiden Trump menyatakan bahwa risiko COVID-19 masih rendah dan menunjuk Wakil Presiden Mike Pence mengambil alih tanggungjawab penanganan virus untuk level nasional.[21] Trump juga mengkritik media yang menurutnya memperkeruh keadaan dengan pemberitaan berlebihan sehingga memicu kepanikan khususnya dalam aspek finansial. Ketua DPR Nancy Pelosi menolak keras pernyataan Trump dan menyayangkan pemilihan Pence sebagai otoritas penanganan virus,[21] terlebih Pence juga menerapkan keputusan bahwa segala informasi tentang penanganan virus harus disetujui olehnya, banyak kalangan yang menganggapnya justru dapat memperlambat penyebaran informasi yang dibutuhkan masyarakat.[22] Arahan Presiden dari Oval OfficePada 11 Maret, Presiden Trump kembali dengan pidatonya yang disiarkan di seluruh negara beberapa jam setelah Organisasi Kesehatan Dunia mengumumkannya sebagai pandemi, ia mengintruksikan untuk menolak segala bentuk perjalanan dari Eropa[9] (berlaku pada 13 Maret), termasuk Inggris dan Irlandia[10] (yang sebelumnya tidak termasuk, berlaku sejak 14 Maret) ke negaranya hingga 30 hari ke depan kecuali untuk barang dagangan. Selain itu, ia juga menyampaikan beberapa tindakan lain:
Senator Chuck Schumer dan Nancy Pelosi mengkritik presiden yang tak mencantumkan usaha mengatasi kurangnya alat uji dan meminta agar semua biaya pengujian digratiskan. Mereka juga meminta cuti darurat dan penyediaan bantuan makanan bagi karyawan terdampak.[23] Pada 13 Maret, Presiden Trump mengumumkan keadaan darurat nasional menghadapi pandemi sehingga dana pemerintah federal dapat tersedia dan digunakan.[24] Per 15 Maret 2020, epidemi koronavirus telah ditemukan di 49 dari 50 negara bagian di Amerika Serikat ditambah ibu kota District of Columbia. Terkonfirmasi ada 2,982 kasus dengan 60 kematian.[25] Rasisme Asia-Amerika dan kebangkitan Supremasi kulit putihSetelah dia dikritik secara luas karena menggunakan istilah itu, Trump membela penggunaan frasa "Virus Tiongkok" untuk SARS-CoV-2. Trump berkata, "itu berasal dari Tiongkok... itu sama sekali tidak rasis"..[26] Banyak orang dan organisasi tidak setuju, termasuk Asian American Legal Defense and Education Fund, yang mentweet pada Maret 2020 "Tentu saja dia menyebutnya "Virus Tiongkok," karena dia tidak peduli bahwa orang Asia dan Asia-Amerika menjadi sasaran kekerasan kebencian karena deskripsi rasis #coronavirus ini."[27] Organisasi Kesehatan Dunia telah "meminta para ilmuwan, otoritas nasional, dan media untuk mengikuti praktik terbaik dalam menamai penyakit menular manusia baru untuk meminimalkan efek negatif yang tidak perlu pada negara, ekonomi, dan manusia."[28] Pada 20 Juni 2020, dalam pidatonya di Tulsa, Oklahoma, Trump menggunakan bahasa yang secara luas digambarkan sebagai rasis, merujuk COVID-19 sebagai "Kung Flu",[29] sebuah frasa yang sebelumnya digambarkan oleh staf Gedung Putih Kellyanne Conway sebagai "salah", "sangat menyinggung"[30][31] dan "sangat menyakitkan".[32] Pada 22 Juni 2020, juru bicara Gedung Putih membela penggunaan istilah tersebut oleh Trump, dengan menyatakan, "Ini bukan diskusi tentang orang Amerika keturunan Asia, yang dihargai dan dihargai oleh presiden sebagai warga negara dari negara besar ini. Ini adalah dakwaan terhadap Tiongkok karena membiarkan virus ini masuk ke sini."[31] Trump telah mendukung kepada orang supremasi kulit putih dan Ku Klux Klan untuk membunuh orang Asia-Amerika, yang membuat rakyat seluruh dunia menagggapi Trump sebagai orang rasis dan supremasi kulit putih merupakan bagian reaksi dunia dari penembakan spa Atlanta 2021 oleh Robert Aaron Long di Atlanta, Georgia menyelenggarakan unjuk rasa menentang rasisme dari Donald Trump di seluruh dunia dengan Stop Asian Hate. Sebuah studi Pew Research menemukan bahwa 58% orang Amerika keturunan Asia percaya bahwa pandangan rasis terhadap mereka meningkat selama pandemi.[33] Pandemi memiliki konsekuensi luas di luar penyakit itu sendiri dan upaya untuk menahannya, termasuk implikasi politik, budaya, dan sosial. Sejak awal pandemi, dilaporkan ada insiden xenofobia dan rasisme terhadap orang Amerika keturunan Asia.[34] Selama tahun pertama, sebuah organisasi ad-hoc bernama Stop AAPI Hate menerima 3.795 laporan tentang rasisme terhadap orang Asia-Amerika dan Kepulauan Pasifik.[35] Jumlah kasus yang tidak proporsional telah diamati di antara populasi kulit hitam dan Latin. Dari empat penelitian yang diterbitkan pada September 2020, tiga menemukan perbedaan yang jelas karena ras dan yang keempat menemukan tingkat kelangsungan hidup yang sedikit lebih baik untuk Hispanik dan Hitam.[36] Pada 15 September 2020, orang kulit hitam memiliki tingkat kematian COVID-19 lebih dari dua kali lipat tingkat kematian orang kulit putih dan Asia, yang memiliki tingkat kematian terendah.[37] CNN melaporkan pada Mei 2020 bahwa Navajo Nation memiliki tingkat infeksi tertinggi di Amerika Serikat.[38] Pada Juni 2021, CDC mengkonfirmasi angka-angka ini, melaporkan bahwa orang Amerika Indian atau Alaska, Non-Hispanik memiliki tingkat rawat inap dan kematian tertinggi, sementara orang Hispanik dan Latin menderita tingkat COVID tertinggi dibandingkan dengan orang kulit putih. Namun CDC mencatat bahwa hanya 61% dari laporan kasus yang menyertakan data ras dan etnis, yang dapat menghasilkan perkiraan yang tidak akurat dari risiko relatif antar kelompok.[39] Selain itu, sebuah penelitian yang diterbitkan oleh New England Journal of Medicine pada Juli 2020 mengungkapkan bahwa efek stres dan cuaca pada kelompok minoritas menurunkan stamina mereka terhadap COVID.[40] Dari 2019 hingga 2020 di Amerika Serikat, harapan hidup orang Amerika Hispanik menurun 3 tahun, untuk orang Afrika-Amerika 2,9 tahun, dan untuk orang kulit putih Amerika 1,2 tahun. Proyek Pelacakan COVID menerbitkan data yang mengungkapkan bahwa orang kulit berwarna tertular dan meninggal akibat COVID-19 pada tingkat yang lebih tinggi daripada orang kulit putih. Analisis NPR data April–September 2020 dari Proyek Pelacakan COVID menemukan bahwa bagian orang kulit hitam dari kematian COVID-19 di seluruh Amerika Serikat adalah 1,5 kali lebih besar (di beberapa negara bagian 2,5 kali lebih besar) daripada bagian mereka dari populasi AS. Demikian pula, Hispanik dan Latin terinfeksi secara tidak proporsional di 45 negara bagian dan memiliki bagian kematian yang tidak proporsional di 19 negara bagian. Kasus dan kematian penduduk asli Amerika dan penduduk asli Alaska sangat tinggi di setidaknya 21 negara bagian dan, di beberapa negara bagian, sebanyak lima kali lebih banyak dari rata-rata. Kulit putih non-Hispanik meninggal pada tingkat yang lebih rendah daripada bagian populasi mereka di 36 negara bagian dan D.C.[41] Dua mahasiswa dari Angelo State University, San Angelo, Texas, Michael Luna dan Shane Stumpf, memasang beberapa poster virus corona di pintu asrama mahasiswa internasional Korea sebagai lelucon rasis. Saat dihadang, mereka melawan dan kemudian Stumpf menodongkan senjatanya ke arah mahasiswa Korea tersebut. Polisi kemudian menemukan bahwa Stumpf memiliki senapan Winchester 1300 12‑gauge yang terisi, dua pisau saku bersama dengan gambar sosok Ku Klux Klan di depan salib yang menyala dengan teks "I go for Jim Crow" (Saya memilih Jim Crow), dan bendera Konfederasi di kamarnya. Mereka juga menemukan pistol kaliber .22 di kamar asrama pacarnya (dia juga hadir ketika dia menarik pistol).[42][43] Pada 15 Mei 2020, seorang pria, yang seolah-olah terinspirasi oleh peristiwa di Santee, California, mengenakan tudung Ku Klux Klan dengan gambar swastika di sebuah toko kelontong di Dillon, Colorado.[44] Referensi
|