Orang Turki di JermanOrang Turki di Jerman adalah sekelompok orang Turki yang bermukim di Jerman sebagai pekerja tamu (guest workers) akibat dari kebijakan ‘open door for migrants’ yang digalakan oleh pemerintah Jerman sejak Perang Dunia II selesai. Kebijakan tersebut ternyata juga terjadi saat ini, ketika kanselir Angela Merkel berkuasa.[1] Terhitung, sudah ada 964.574 pencari suaka di Jerman di awal tahun 2015. Jumlah imigran Turki di Jerman sendiri terhitung mencapai 3 juta orang atau sekitar 3,7% dari total jumlah penduduk Jerman. Mereka merupakan orang Turki asli yang direkrut sebagai guest workers dan kemudian hidup menetap di Jerman secara turun-temurun. Perkembangan kelompok itu di Jerman bahkan telah mencapai tiga generasi. Jika dibandingkan dengan jumlah imigran lain, imigran Turki memang terhitung paling banyak jumlahnya. SejarahSejak 1955, Jerman Barat telah merekrut banyak guest workers atau pekerja tamu dari berbagai negara. Istilah guest workers mereka sebut sebagai gastarbeiter. Memburuknya perekonomian Jerman yang disebabkan oleh banyaknya kerugian yang mereka alami akibat kekalahannya dalam Perang Dunia II menyebabkan Jerman merekrut banyak pekerja asing. Jerman berkeyakinan bahwa perekonomian mereka tidak akan membaik apabila tidak memiliki sumber daya manusia yang baik pula. Akhirnya, Jerman membuat perjanjian dengan beberapa negara yang dikenal dengan perjanjian “Agreement on the Recuritment and Placement of Workers”.[2] Perjanjian tersebut disepakati oleh beberapa negara seperti Yunani dan Spanyol (1960), Italia (1955), Turki (1961), Morocco (1963), Portugal (1964), Tunisia (1965), serta Yoguslavia (1968). Ribuan pekerja asing dari negara-negara tersebut direkrut untuk bekerja di pabrik maupun industri-industri di Jerman. Konsep awal dari perjanjian tersebut semula hanya bertujuan untuk membiarkan pekerja tamu itu tinggal selama satu atau dua tahun, kemudian memulangkan mereka ke negaranya. Namun demikian, dalam perkembangannya, banyak di antara pekerja asing itu yang memilih untuk tinggal menetap di Jerman.[3] Semula, pemerintah Jerman benar-benar berniat untuk memulangkan mereka ke negara asalnya, terutama ketika terjadi krisis minyak di Arab pada tahun 1973. Namun demikian, perusahaan yang terkait tidak ingin memulangkan pekerja yang telah susah payah mereka latih. Begitu pula dengan para pekerja, mereka khawatir tidak akan bisa kembali ke Jerman apabila pulang ke nagara asalnya. Sesuatu yang terjadi justru keluarga di negara asal mereka datang ke Jerman untuk menengok keadaan para pekerja asing. Para tamu yang semula hanya singgah sementara, dalam perkembangannya justru tinggal bersama secara permanen meskipun tidak ada dukungan infrastruktur dan sosial politik yang jelas dari pemerintah Jerman.[4] Pekerja dari Turki terhitung paling banyak jumlahnya sejak masuknya mereka ke Jerman pada tahun 1960-an hingga tahun 2015. Berdasarkan sensus Jerman pada tahun 2011, ada sekitar 3 juta penduduk yang berasal dari Turki tinggal menetap di Jerman. Di antara jumlah tersebut, sebanyak 1,55 juta orang merupakan warga negara Turki yang memegang paspor kewarganegaraan Turki, dan 2,71 juta sisanya adalah orang Turki yang paling tidak memiliki orang tua yang bermigrasi ke Turki. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 ribu penduduk berpaspor Turki menurun, sebab mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan paspor dan kewarganegaraan Jerman. Dengan demikian, imigran Turki di Jerman dikenal sebagai kelompok minoritas terbesar atau kelompok imigran terbesar yang ada di Jerman.[4] Imigran Turki di FreiburgFreiburg im Breisgau adalah sebuah kota kecil di bagian selatan Provinsi Baden-Württemberg, Jerman. Kota ini lumayan terkenal karena memiliki daya tarik dalam bidang pendidikan dan pariwisata. Perlu diketahui, salah satu universitas tertua di Jerman, Albert-Ludwig University[5] juga terdapat di kota ini. Jumlah poluasi orang Turki di Freiburg juga terhitung tinggi. Kota kecil itu memiliki luas 153.06 km2 dengan jumlah penduduk 220.000 jiwa. Di antara jumlah itu, sebanyak 2.078 di antaranya merupakan migran Turki. Jumlah mereka sebenarnya masih kalah banyak dibandingkan dengan jumlah imigran Italia yang mencapai 3.229 jiwa. Namun demikian, imigran Turki di Freiburg menghadapi tantangan yang sangat berat, terutama terkait persoalan identitas yang menghantui Jerman dalam kurun waktu sebelumnya. Orang Turki dipandang sebagai minoritas dan marginal, sebab mereka dinilai bukan berasal dari Eropa. Lain ceritanya dengan orang Italia yang meskipun sama-sama pendatang, tetapi tidak diklaim sebagai kelompok marginal.[6] Para migran Turki di Freiburg tidak bekerja di sektor formal seperti public, private, maupun industry sebagaimana yang terjadi pada imigran Turki dahulu. Mereka lebih banyak bekerja di sektor informal dengan membuka toko maupun kafe. Hadirnya beberapa toko kebab dan Doner yang ada di hampir seluruh distrik di Freiburg menunjukan eksistensi imigran Turki di sana. Sebagian besar dari mereka juga banyak membuka supermarket Turki dan toserba, serta beberapa kafe yang menyediakan sisha ala Turki. Kehidupan mereka di Freiburg selain mendapat stereotype dari masyarakat, juga tidak sepenuhnya dapat disebut teralienasi. Terbukti, generasi kedua atau ketiga mereka beberapa juga ada yang sedang merampungkan pendidikan di Albert-Ludwig University.[5] Freiburg yang dipenuhi nuansa ala Turki terlihat pula pada berbagai festival di Freiburg yang digelar oleh para imigran Turki. Street Festival dan Festival Kebudayaan Jerman-Turki atau Deutsch Turkische Kulturage[7] setiap tahun sangat populer di sana. Festival itu diselenggarakan oleh Islamic Center. Selain Islamic Center, festival kebudayaan Jerman-Turki yang disebut Academic Platform Freiburg (FAP)[8] juga lumayan populer. Kedua festival tersebut biasanya digelar di tempat yang sama, tetapi tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Selain keduanya, di Freiburg juga dikenal komunitas mahasiswa Turki yang disebut dengan Kultruk. Komunitas tersebut berada di bawah nanungan Universitas Freiburg.[9] BahasaBahasa yang dipergunakan oleh para imigran Turki di Jerman umumnya adalah Bahasa Turki. Perlu diketahui bahwa kedatangan orang Turki ke Jerman masih berlangsung hingga saat ini. Penelitian Swastiyatsu (2015) mdenyebutkan bahwa kedatangan mereka ke Jerman karena terbayang-bayang akan iming-iming kesuksesan yang dialami oleh keluarga mereka yang telah lebih dahulu tinggal di Jerman.[6] Namun demikian, penelitian yang sama juga menyebutkan bahwa persoalan bahasa menjadi kendala terbesar yang mereka alami. Para imigran tersebut tidak bisa berbahasa Jerman maupun berbahasa Inggris yang diakui sebagai ahasa internasional. Satu-satunya bahasa yang bisa mereka gunakan adalah Bahasa Turki. Hal itu menyebabkan lingkaran pergaulan mereka hanya terbatas pada imigran Turki yang tinggal di Jerman. Namun demikian, tidak semua imigran Turki mengalami hal itu. Telah banyak keturunan para imigran yang telah menerima pendidikan Bahasa Jerman sejak kecil, sehingga lihai berkomunikasi pada siapa pun.[6] Beberapa anak imigran Turki memang hidup di lingkungan keluarga yang sebagian besar berbahasa Turki. Namun di sekolah, terutama ketika mereka masuk TK, sekolah mereka membuat aturan melarang penggunaan Bahasa Turki di area sekolah. Aturan itu semata-mata untuk mempermudah anak-anak belajar Bahasa Jerman. Di sekolah mereka, Bahasa Jerman merupakan bahasa pengantar utama yang digunakan. Hal itu tidak membuat anak-anak sepenuhnya meninggalkan Bahasa Turki di sekolaj. Orang tua Turki biasanya akan mengajarkan Bahasa Turki kepada anak-anaknya sesampainya di rumah. Dalam bahasa lain, mereka berbicara Bahasa Jerman di sekolah dan berbicara Bahasa Turki di rumah. Hal itu membuat mereka mampu terintegrasi sebagai warga Jerman di sekolah dan menjadi bangsa Turki sepenuhnya ketika berada di rumah.[6] Meskipun demikian, tidak semua sekolah di Jerman memberlakukan hal demikian. Ada beberapa sekolah yang memperbolehkan para Jerman-Turki berbicara dalam Bahasa Turki, meksipun jumlahnya sangat sedikit.[10] Hal itu dapat dipandang sebagai upaya Jerman untuk berasimilasi atau berintegrasi dengan Turki.[11] Penggunaan Bahasa Jerman bagi para imigran menjadi sangat penting agar mereka dapat diterima di lingkungan masyarakat luas. Hal itu ‘memaksa mereka untuk bercakap dengan dua bahasa (bilingual); Bahasa Jerman ketika melakukan aktivitas sehari-hari di luar keluarganya dan Bahasa Turki ketika melakukan aktivitas di dalam keluarganya. Orang tua mereka pun mendukung anak-anaknya berbicara dengan dua bahasa tersebut. Menurut mereka, meskipun tinggal di Jerman, mereka ingin anak-anaknya tetap mengingat bahasa ‘lidah ibu’ nya sendiri, yaitu Bahasa Turki.[6] KewarganegaraanPada awal tahun 2000, pemerintah Jerman telah membuat peraturan baru terkait kewarganegaraan di Jerman. Secara tradisional, seseorang dapat disebut sebagai warga negara Jerman apabila memiliki keturunan asli orang Jerman. Saat itu, aturan itu diubah menjadi siapa pun yang lahir di tanah Jerman secara otomatis akan menerima kewarganegaraan Jerman.[12] Beberapa persyaratan yang perlu dijadikan catatan antara lain, salah satu orang tua dari anak tersebut harus telah tinggal di Jerman setidaknya dalam waktu delapan tahun dan memegang hak untuk tinggal atau telah memiliki izin tinggal terbatas setidaknya tiga tahun. Kemudian, di antara usia 18 dan 23 anak, anak tersebut harus memilih salah satu kewarganegaraan: ingin menjadi warga negara Jerman atau mengikuti warga negara asli orang tuanya (option mode).[6] Beberapa mahasiswa Turki yang tinggal di Jerman kebanyakan memilih untuk melepas paspor Turki-nya dan memilih untuk menggunakan paspor Jerman. Menurut mereka, dengan memiliki paspor Jerman, kehidupan mereka akan lebih mudah. Sebagai misal, ketika hendak mengikuti study tour ke negara lain di Eropa, mereka tidak perlu mengurus visa terus menerus yang membutuhkan waktu sampai enam bulan. Dengan memegang visa Schengen dari Jerman, mereka dapat bepergian ke negara-negara Uni Eropa secara bebas.[13] Selain itu, mereka juga berhak untuk memperoleh pelayanan masyarakat, memilki hak untuk membuka usaha atau bisnis, memiliki hak untuk mempunya pegawai atau pembantu, memiliki hak untuk memilih presiden, dan pasangan pasangan yang bukan Jerman diperbolehkan untuk dibawa dan akan otmatis memperoleh hak ijin kerja. Kebijakan dual kewarganegaraan juga diberikan oleh Jerman kepada Jerman-Turki berkaitan dengan kekuatan presiden Erdogan terkait upaya Turki untuk melindungi warga negaranya di luar negeri, termasuk di Jerman.[14] Tawaran naturalisasi itu menjadi primadona tersendiri, terutama bagi anak muda Turki yang telah tinggal lama di Jerman. Kebijakan semacam itu dilakukan oleh pemerintah Jerman untuk menyelesaikan permasalahan integrasi dari persoalan migran yang selama ini banyak dialami oleh migran Turki di Jerman. Namun demikian, kebijakan tersebut tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan permasalahan stereotip, diskriminasi, dan marjinalisasi yang dialami oleh mereka.[6] Dilema terhadap option mode itu kemudian terjawab dengan diperbaruinya hukum baru di Jerman. Seorang yang tinggal di Jerman tidak lagi diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan mana yang ingin ia pegang, melainkan juga memilih keduanya. Mereka bisa memilih menjadi warga negara Jerman dengan tetap menjadi warga negara Turki. Kebijakan tersebut didukung penuh oleh salah satu partai politik terbesar di Freiburg, yang disebut dengan Green Party. Sementara itu, kebijakan itu mendapat kritik pedas dari partai oposisi, yaitu Christian Democratic Union of Germany yang menilai bahwa kewarganegaraan ganda akan berdampak pada loyalitas warga negara kepada dua negara. Perdebatan tersebut berlangsung amat panjang di parlemen.[3] Namun demikian, beberapa mahasiswa Turki di Jerman telah berhasil memperoleh kewarganegaraan ganda. Ayahnya adalah seorang naturalisasi yang memegang paspor Jerman. Sementara itu, ibunya adalah seorang yang memegang paspor Turki. Para mahasiswa tersebut harus melewati serangkaian tes untuk mendaftar dan memperoleh paspor Jerman. Mereka mengikuti tes tulis seputar pengetahuan mereka tentang Jerman, perpolitikannya, tes Bahasa Jerman, interview dengan Bahasa Jerman, dan kemudian ia lulus sehingga berhak memegang paspor Jerman dan paspor Turki yang sebelumnya memang telah dimilikinya.[6] Lain lagi ceritanya bagi mereka yang orang tuanya tidak tinggal di Jerman minimal delapan tahun. Mereka tidak dapat mengikuti kebijakan option mode. Dengan begitu, mereka harus rela melepas paspor Turki atau kewargenagaraan Turki menjadi Jerman.[13] Meskipun demikian, mereka tetap akan memperoleh kartu biru dari pemerintah Turki. Kartu tersebut dapat dipergunakan sebagaimana warga Turki lainnya; untuk memiliki aset, mendapat pensiuanan, bekerja, memiliki perlindungan, dan wajib membayar pajak. Bedanya, mereka para pemegang kartu biru Turki tidak memiliki hak suara dalam pemilihan presiden.[14] Kartu biru tersebut dapat menjadi simbol dari kewarganegaraan orang-orang Turki yang menjadi Jerman tanpa harus memutus hubungan kekeluargaannya dengan kampung halamannya sendiri. Beberapa penelitian bahkan menyebutkan bahwa kartu tersebut menjadi propaganda Turki untuk mengakomodasi kepentingannya demi bergbaung menjadi bagian dari Uni Eropa. Maklum saja, jumlah imigran Turki yang ada di Eropa, termasuk Jerman, ada lebih dari 3 juta jiwa. Turki juga dianggap memanfaatkan kartu biru itu untuk tidak kehilangan keuntungan ekonomi dari remittance yang dikirim oleh para migran Turki di Jerman.[6] Praktik KeagamaanPraktik keagamaan orang-orang keturunan Turki di Jerman pada umumnya telah luntur. Sebagian besar dari mereka tidak lagi menganut agama Islam yang taat sebagaimana yang terjadi di Turki. Mereka mengaku bahwa mereka kini menjadi lebih sekuler, tidak dogmatik maupun fanatik terhadap ajaran Islam. Ketika bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri tiba, mereka juga merayakannya. Mereka berpuasa sebagaimana Muslim lainnya, kerabat mereka juga datang ke rumah mereka untuk bersilaturahmi. Meskipun begitu, mereka melakukannya hanya untuk bersenang-senang dan menjaga tradisi yang telah diterapkan selama turun-temurun di keluarganya. Bahkan, ayah ibu atau orang tua mereka juga terkadang tidak menjalankan ibadah puasa.[15] Selain Ramadhan, mereka juga merayakan Natal. Sebagian besar dari mereka telah terbiasa memperoleh hadiah Natal. Momen Hari Raya Natal juga mereka jadikan sebagai kesempatan untuk pulang atau berlibur ke Turki. Benar saja, ketika Hari Raya Idul Fitri, pemerintah Jerman tidak memberikan tidak memberikan hari libur. Meskipun demikian, tidak ada pohon Natal, kunjungan keluarga, atau beribadah ke gereja. Mereka hanya melakukannya karena alasan untuk bersenang-senang.[15] Lunturnya praktik keagamaan mereka juga tercermin lewat pakaian yang mereka kenakan. Ketrurunan Turki di Jerman tidak lagi mengenakan jilbab maupun pakaian tertutup lainnya. Mereka berpakaian layaknya gadis-gadis Jerman pada umumnya yang menggunakan pakaian lengan pendek, rok pendek, sepatu, dan lain-lain. Padahal, di Turki, menutup aurat menjadi penanda bahwa mereka adalah orang Turki. Meskipun tidak semua orang keturunan Turki yang demikian, tetapi sebagian besar warga keturunan Turki telah menanggalkan pakaian ‘khas’ Turki mereka.[6] Bayangan akan TurkiBeberapa penelitian menyebutkan bahwa keturunan Jerman-Turki juga menghadapi 'bayangan' akan dualisme identitas. Bagi generasi pertama migran Turki yang menetap di Jerman, hubungan kekerabatan mereka dengan keluarga mereka di Turki masih terjaga dengan baik. Bagi mereka, Turki adalah tempat untuk pulang, menghabiskan pensiun, dan hari tua. Mereka bahkan rutin pulang ke Turki setiap tahun dan mengirimkan uang kepada sanak saudara mereka di sana (remmitance).[16] Hal berlainan dihadapi oleh anak-anak keturunan Turki di Jerman. Keturunan Jerman-Turki itu mengalami hal yang bereda dengan orang tuanya terhadap Turki. Mereka yang lahir di Jerman hanya mengenal kampung halamannya itu melalui nostalgia yang diceritakan oleh orang tuanya, terutama melalui makanan di rumah mereka. Hampir seluruh makanan Turki mendominasi dapur rumah mereka.[16] Lebih jauh lagi, para keturunan Jerman-Turki itu juga rutin berkunjung ke Turki setiap tahun. Namun demikian, mereka menggunakan istilah “going” bukan “going home”. Bagi mereka, Turki adalah tempat untuk berlibur, bukan untuk pulang. Kegiatan itu sudah menjadi agenda wajib yang mendarah daging bagi mereka, sehingga apabila tidak berkunjung ke Turki, mereka merasa ada sesuatu yang hilang. Selama di Turki, mereka juga berkunjung ke sanak saudara mereka. Para orang tua terutama, akan mengajak anak-anaknya berkunjung ke rumah-rumah para keluarga. Meskipun demikian, bayangan akan Turki sangat berbeda antara generasi pertama dengan keturunan Jerman-Turki. Bagi keturunan Jerman-Turki, Turki bukanlah tempat untuk pulang, melainkan tempat untuk menghabiskan masa berlibur.[6] Hasrat akan Turki pun dirasa berbeda antara generasi pertama dengan keturunan Jerman-Turki. Beberapa keturunan Jerman-Turki telah mencoba untuk tinggal di Turki beberapa minggu. Mereka juga ingin menantang diri mereka sendiri dengan mencoba hidup dan bekerja di Turki. Namun demikian, mereka merasa ada yang berbeda dan ada sesuatu yang mengganggu sehingga mereka tidak nyaman berada di sana. Sistem yang ada di Turki tentu sangat berbeda dengan yang ada di Jerman. Di Turki, menurut mereka, sistemnya tidak sebagus di Jerman. Keadaan politik sangat tidak stabil, dan korupsi dimana-mana. Terbiasa hidup di Jerman dengan sistem sedemikian rupa membuat mereka merasa bahwa Turki bukan tempat yang baik untuk pulang, melainkan cukup menjadi tempat untuk menghabiskan masa liburan.[16] Lebih jauh lagi, secara khusus para Jerman-Turki juga telah terbiasa hidup dengan sistem yang terorganisir, misalnya dalam hal keamanan berkendara dan ketepatan waktu. Sistem tersebut tentu berbeda dengan yang terjadi di Turki, sehingga mereka merasakan sesuatu yang mengganggu ketika mengalami sesuatu yang tidak sesuai dengan sistem mereka sebelumnya. Para Jerman-Turki juga cukup objektif dalam memberikan penilaian kepada kedua negara. Mengacu pada keuntungan dan kerugian terkait beberapa isu strategis seperti hak asasi manusia, demokrasi, pendidikan, toleransi, nilai-niali, dan kesempatan kerja, para Jerman-Turki lebih memilih Jerman sebagai sebagai negara tempat tinggalnya. Sementara itu, mereka tidak bisa menepis fakta bahwa mereka berada dalam hubungan transnasional antara Jerman dan Turki. Mereka tetap menjalin hubungan yang baik dengan Turki, dalam hal ini sebagai kampung halaman orang tua mereka.[3] Dengan demikian, Jerman-Turki mengalami dilema identitas. Mereka adalah anak-anak dari orang tua Turki yang tinggal dan menetap lama di Jerman. Mereka menikmati pendidikan khas Jerman, belajar Bahasa Jerman, dan lahir di Jerman. Mereka juga berusaha untuk terintegrasi dengan masyarakat Jerman. Untuk dapat diterima, mereka bertingkah laku layaknya orang Jerman. Di sisi lain, asal usul mereka sebagai pekerja tamu sering kali dianggap sebelah mata. Masyarakat Jerman kerap memberikan stereotype terhadap identitas mereka: konservatif, Islam, tidak berpendidikan.[6] Referensi
|