Hugo Grotius
Hugo Grotius (10 April 1583 – 28 Agustus 1645), juga dikenal sebagai Huug de Groot (Belanda: [ˈɦœyɣ də ɣroːt]) atau Hugo de Groot (Belanda: [ˈɦyɣoː də ɣroːt]), adalah seorang yuris berkebangsaan Belanda. Bersama dengan karya-karya terdahulu dari Francisco de Vitoria dan Alberico Gentili, Grotius meletakkan dasar bagi hukum internasional berdasarkan hukum kodrat. Sebagai seorang pemuda yang dipandang genius secara intelektual, ia dipenjarakan karena keterlibatannya dalam perselisihan intra-Calvinis di dalam Republik Belanda, namun berhasil meloloskan diri menggunakan sebuah peti penyimpanan buku-buku. Ia menulis sebagian besar karya utamanya dalam pengasingan di Prancis. Dikemukakan bahwa Hugo Grotius adalah bukan orang pertama yang merumuskan doktrin masyarakat internasional, tetapi ia adalah orang pertama yang mendefinisikan secara tegas gagasan tentang satu masyarakat dalam negara, yang diperintah bukan dengan kekuatan atau peperangan, tetapi dengan hukum yang sebenarnya dan kesepakatan bersama untuk menegakkan hukum tersebut. Seperti yang Hedley Bull nyatakan pada tahun 1990: "Gagasan tentang masyarakat internasional yang dikemukakan Grotius mendapat ekspresi konkret dalam Perdamaian Westfalen, dan Grotius dapat dianggap sebagai bapa intelektual dalam penyelesaian perdamaian umum yang pertama ini pada zaman modern."[1] Selain itu, kontribusinya pada teologi Arminian memberikan benih bagi gerakan-gerakan berbasis Arminian di kemudian hari seperti Metodisme dan Pentakostalisme, dan ia diakui sebagai seorang tokoh penting dalam perdebatan Arminianisme-Calvinisme. Karena dasar teologis yang ia kemukakan terkait perdagangan bebas, ia juga dianggap sebagai seorang "teolog ekonomi".[2] Kehidupan awalGrotius lahir di Delft saat berlangsungnya Pemberontakan Belanda, sebagai anak pertama dari pasangan Jan de Groot dan Alida van Overschie. Ayahnya adalah seorang pria terpelajar, pernah menempuh pendidikan bersama dengan seorang filsuf terkemuka bernama Justus Lipsius di Leiden, juga adalah seseorang yang menganut pandangan politik berbeda. Sang ayah mempersiapkan putranya sejak usia dini dengan pendidikan Aristotelian dan humanis tradisional. Sebagai seorang pembelajar yang ajaib, Hugo memasuki Universitas Leiden saat ia baru berusia 11 tahun. Di sana ia menempuh pendidikannya bersama dengan beberapa intelektual yang paling diakui di Eropa utara pada saat itu, termasuk Franciscus Junius, Joseph Justus Scaliger, dan Rudolph Snellius.[3] Pada usia 16 tahun, ia menerbitkan buku pertamanya: sebuah edisi keilmuan dari karya penulis antikuitas akhir bernama Martianus Capella tetnang tujuh seni liberal, Martiani Minei Felicis Capellæ Carthaginiensis viri proconsularis Satyricon, in quo De nuptiis Philologiæ & Mercurij libri duo, & De septem artibus liberalibus libri singulares. Omnes, & emendati, & Notis, siue Februis Hug. Grotii illustrati [Satyricon karya Martianus Minneus Felix Capella, seorang pria dari Kartago, yang meliputi dua buku 'Tentang Perkawinan Filologi dan Merkurius', dan buku berjudul 'Tentang Tujuh Seni Liberal'. Semuanya, termasuk koreksi, anotasi serta penghapusan dan ilustrasi, oleh Hug. Grotius].[4] Di Holandia, Grotius diangkat sebagai advokat untuk Den Haag pada tahun 1599, dan kemudian sebagai historiograf resmi bagi Negara-Negara Holandia pada tahun 1601. Kesempatan pertamanya untuk menulis secara sistematis mengenai isu-isu keadilan internasional datang pada tahun 1604, ketika ia terlibat dalam proses hukum menyusul peristiwa penyitaan yang dilakukan pedagang-pedagang Belanda terhadap sebuah kerakah Portugis dan kargonya di Selat Singapura.[butuh rujukan] De Indis dan Mare LiberumBelanda sedang terlibat dalam peperangan dengan Spanyol dan Portugal ketika sebuah kerakah Portugis, kapal dagang Santa Catarina, yang mengangkut muatan ditangkap oleh kapten Jacob van Heemskerk di wilayah Singapura masa kini pada tahun 1603.[butuh rujukan] Heemskerk dipekerjakan oleh Perusahaan Amsterdam Bersatu (bagian dari Perusahaan Hindia Timur Belanda), dan kendati ia tidak memiliki wewenang dari perusahaan ataupun pemerintah untuk terlebih dahulu memulai penggunaan kekuatan, banyak pemegang saham yang senang sekali mendapatkan harta kekayaan yang ia bawa pulang kepada mereka.[5] Bukan hanya legalitas penyimpanan hasil jarahan yang dipertanyakan menurut undang-undang Belanda, namun juga sekelompok pemegang saham (kebanyakan adalah kaum Menonit) di perusahaan itu berkeberatan dengan perampasan secara paksa atas dasar moralitas, dan tentu saja bangsa Portugis menuntut pengembalian kargo mereka. Skandal tersebut mengakibatkan diadakannya persidangan yudisial secara terbuka serta kampanye yang lebih luas untuk mempengaruhi opini publik dan internasional.[butuh rujukan] Dalam konteks yang lebih luas ini para perwakilan perusahaan meminta Grotius untuk merancang suatu pembelaan polemis atas aksi perampasan tersebut.[5] Hasil dari upaya-upaya Grotius pada tahun 1604/05 berupa sebuah risalah sarat teori yang pada saat itu ia beri judul De Indis. Grotius berusaha mendasarkan pembelaannya atas perampasan tersebut dalam hal prinsip-prinsip keadilan kodrati. Ia melibatkan jauh lebih banyak aspek daripada kasus yang sebenarnya; perhatiannya terletak pada sumber dan dasar hukum perang pada umumnya. Risalah tersebut tidak pernah dipublikasikan sepenuhnya selama masa hidup Grotius, mungkin karena putusan pengadilan yang mendukung langkah antisipatif perusahaan untuk menghimpun dukungan publik.[butuh rujukan] Dalam Laut Bebas (Mare Liberum, dipublikasikan tahun 1609), Grotius merumuskan prinsip baru bahwa laut adalah wilayah internasional dan semua bangsa bebas menggunakannya untuk perdagangan berlayar. Grotius, melalui klaim 'laut bebas' (Kebebasan di laut), menyajikan pembenaran ideologis yang sesuai bagi Belanda untuk keluar dari berbagai monopoli perdagangan melalui angkatan lautnya yang tangguh, dan kelak membentuk monopolinya sendiri.[butuh rujukan] Inggris yang bersaing ketat dengan Belanda dalam mendominasi perdagangan dunia, menentang gagasan tersebut dan mengklaim Bahwa Dominasi Laut Britania, atau Bahwa yang Meliputi Kepulauan Britania Raya, adalah, dan Senantiasa Menjadi, Suatu Bagian atau Subordinat dari Imperium Pulau tersebut.[6] Kontroversi Arminian, penawanan, dan pengasinganTemplat:Arminianisme Templat:Lima Artikel Disokong oleh relasinya yang berkelanjutan dengan Johan van Oldenbarnevelt, Grotius menghasilkan banyak kemajuan dalam karier politiknya, dipertahankan sebagai penasihat tetap Oldenbarnevelt pada tahun 1605, Advokat Jenderal Fisc Holandia, Zeeland, dan Friesland pada tahun 1607, dan kemudian sebagai Pensionaris Rotterdam (setara dengan jabatan wali kota) pada tahun 1613.[7] Pada tahun 1608, Grotius menikahi Maria van Reigersbergen yang dengannya ia dianugerahi delapan anak (empat yang masih hidup hingga dewasa) dan yang sangat berarti peranannya dalam membantu mereka sekeluarga untuk menghadapi pergulatan berat yang datang kelak. Pada periode ini, suatu kontroversi besar teologis terjadi di antara pengampu teologi di Universitas Leiden. Jacobus Arminius dan para pengikutnya (yang disebut Arminian atau Remonstran) berhadapan dengan teolog Calvinis yang kukuh, Franciscus Gomarus, yang para pendukungnya disebut Gomaris atau Kontra-Remonstran.[butuh rujukan] Universitas Leiden "berada di bawah wewenang Negara-Negara Holandia – mereka bertanggung jawab, antara lain, atas kebijakan terkait penunjukan-penunjukan di institusi ini, yang diatur menurut nama mereka oleh suatu dewan Kurator – dan pada akhirnya, Negara-Negara bertanggung jawab menangani setiap kasus heterodoksi di antara para profesor."[8] Perselisihan di dalam negeri yang membuahkan jabatan profesor Arminius dibayang-bayangi oleh perang yang terus berlanjut dengan Spanyol, dan sang profesor wafat pada tahun 1609, bertepatan dengan malam Gencatan Senjata Dua Belas Tahun. Periode perdamaian yang baru kelak mengalihkan fokus masyarakat pada kontroversi tersebut dan para pengikut Arminius.[butuh rujukan] Kontroversi di dalam Protestanisme BelandaKontroversi ini berkembang ketika teolog Remonstran Conrad Vorstius ditunjuk untuk menggantikan Jacobus Arminius sebagai pengampu teologi di Leiden. Kaum Kontra-Remonstran segera mengidentifikasi kalau Vorstius bergerak lebih jauh dari ajaran-ajaran Arminius dengan masuk ke dalam doktrin Socinianisme, dan ia dituduh mengajarkan keyakinan tak beragama. Profesor teologi bernama Sibrandus Lubbertus memimpin seruan agar Vorstius diturunkan dari jabatannya. Di sisi lain, Johannes Wtenbogaert, seorang pemimpin Remonstran, dan Johan van Oldenbarnevelt, Pensionaris Agung Holandia, sangat mendukung penunjukan Vorstius dan mulai membela tindakan mereka waktu itu. Gomarus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai profesor di Leyden, sebagai aksi protes karena Vorstius tidak diturunkan dari jabatannya.[butuh rujukan] Perlawanan kaum Kontra-Remonstran juga didukung oleh Raja James I dari Inggris[butuh rujukan] "yang menggebrak dengan keras melawan nominasi Leyden itu dan dengan terang-terangan memerikan Vorstius sebagai seorang penganut bidah yang mengerikan. Ia memerintahkan agar buku-buku [Vorstius] dibakar di muka publik di London, Cambridge, serta Oxford, dan ia menggunakan tekanan tanpa henti melalui duta besarnya di Den Haag, Ralph Winwood, untuk membatalkan penunjukan tersebut."[9] Kepercayaan James akan Oldenbarnevelt mulai beralih ke Maurits. Grotius melibatkan diri dalam kontroversi ini dengan membela kuasa otoritas sipil untuk menunjuk siapa saja yang mereka inginkan sebagai pengajar universitas, terlepas dari harapan para otoritas keagamaan. Ia melakukannya dengan menulis Ordinum Pietas, "sebuah pamflet...yang ditujukan terhadap seorang lawan, profesor Calvinis dari Franeker bernama Lubbertus; hal itu diperintahkan oleh para atasan Grotius di Negara-Negara Holandia, dan karenanya ditulis untuk kesempatan tersebut – kendati Grotius mungkin sudah mempunyai rencana untuk [menulis] publikasi semacam itu."[10] Karya tulis tersebut tebalnya dua puluh tujuh halaman, bernada "polemis dan sengit" serta hanya dua pertiga bagian yang berbicara langsung mengenai politik gerejawi (khususnya sinode dan jabatan).[10] Karyanya mendapat reaksi keras dari kaum Kontra-Remonstran dan "Dapat dikatakan bahwa semua karya Grotius selanjutnya sampai penawanan dirinya pada tahun 1618 merupakan suatu upaya sia-sia untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh buku ini."[10] Grotius kemudian menulis De Satisfactione yang bertujuan "untuk membuktikan bahwa kaum Arminian jauh dari kaum Socinian."[10] Decretum pro pace ecclesiarum (1613–14)Di bawah pimpinan Oldenbarnevelt, Negara-Negara Holandia mengambil suatu posisi resmi dalam hal toleransi keagamaan terhadap kaum Remonstran dan Kontra-Remonstran. Grotius, yang selama kontroversi ini bertindak sebagai Jaksa Agung Holandia dan kemudian sebagai anggota Komite Penasihat, akhirnya diminta untuk merancang sebuah diktum atau dekret untuk mengekspresikan kebijakan toleransi.[11] Dekret ini, Decretum pro pace ecclesiarum, terselesaikan pada akhir tahun 1613 atau awal tahun 1614. Decretum mengaplikasikan suatu pandangan bahwa Grotius telah mengalami perkembangan dalam tulisan-tulisannya tentang gereja dan negara (lih. Erastianisme). Menurutnya, hanya prinsip-prinsip dasar yang diperlukan untuk menyokong tatanan sipil (misalnya keberadaan Allah dan penyelenggaraan-Nya) yang harus ditegakkan, sementara perbedaan-perbedaan dalam beragam doktrin teologis yang samar-samar seharusnya diserahkan kepada hati nurani setiap pribadi.[12] Dekret tersebut "memaksakan moderasi dan toleransi dalam pelayanan", disertakan Grotius dengan "tiga puluh satu halaman berisi kutipan, terutama berkaitan dengan Lima Artikel Remonstran."[10] Menanggapi Ordinum Pietas karya Grotius, Profesor Lubbertus menerbitkan Responsio Ad Pietatem Hugonis Grotii pada tahun 1614. Selanjutnya, pada tahun yang sama, Grotius menerbitkan Bona Fides Sibrandi Lubberti secara anonim sebagai tanggapan terhadap Lubbertus.[10] Jacobus Trigland sepakat dengan Lubberdus dalam mengungkapkan pandangan bahwa toleransi terkait doktrin adalah sesuatu yang tidak dapat diterima, dan dalam karya-karyanya pada tahun 1615, yaitu Den Recht-gematigden Christen: Ofte vande waere Moderatie dan Advys Over een Concept van moderatie,[13] Trigland mencela pendirian Grotius. Terdapat asumsi umum bahwa Grotius adalah orang pertama yang mengemukakan prinsip kebebasan di laut, meski semua negara di Samudra Hindia dan laut Asia lainnya menganut hak navigasi tak terhalang jauh sebelum Grotius menulis De Jure Praedae (Tentang Hukum Rampasan) pada tahun 1604. Selain itu, Francisco de Vitoria, seorang teolog Spanyol abad ke-16, telah mendalilkan gagasan tentang kebebasan di laut dengan suatu cara yang lebih sederhana berdasarkan prinsip-prinsip jus gentium.[14] Gagasan Grotius tentang kebebasan di laut kelak bertahan sampai pertengahan abad ke-20, dan tetap diterapkan sampai saat ini untuk kebanyakan wilayah perairan internasional, kendati terdapat perubahan dalam penerapan konsep dan ruang lingkupnya.[butuh rujukan] Pada akhir tahun 1615, ketika seorang profesor Middelburg bernama Antonius Walaeus menerbitkan Het Ampt der Kerckendienaren (suatu tanggapan terhadap Tractaet van 't Ampt ende authoriteit eener hoogher Christelijcke overheid in kerckelijkcke zaken karya Johannes Wtenbogaert tahun 1610), ia mengirimkan sebuah salinannya kepada Grotius demi persahabatan mereka. Karya tersebut adalah "tentang hubungan antara pemerintahan gerejawi dan sekular" dari sudut pandang Kontra-Remonstran moderat.[10] Pada awal tahun 1616, Grotius juga menerima Dissertatio epistolica de Iure magistratus in rebus ecclesiasticis, sebuah surat sepanjang 36 halaman yang memperjuangkan pandangan Remonstran, dari Gerardus Vossius temannya.[10] Surat tersebut merupakan "suatu pengantar umum mengenai (in)toleransi, terutama mengenai subjek predestinasi dan sakramen...[serta] suatu tinjauan yang ekstensif, terperinci, dan umumnya menentang, atas Ampt karya Walaeus, diisi dengan rujukan-rujukan dari otoritas-otoritas kuno dan modern."[10] Ketika Grotius menulis untuk meminta beberapa catatan, "ia menerima suatu rumah harta karun sejarah gerejawi. ...memberikan amunisi kepada Grotius, yang menerimanya dengan rasa syukur".[10] Sekitar periode ini (April 1616), Grotius pergi mengunjungi Amsterdam sebagai bagian dari tugas resminya, berupaya untuk meyakinkan otoritas sipil di sana untuk menganut pandangan mayoritas Holandia terkait politik gereja. Pada awal tahun 1617, Grotius memperdebatkan pertanyaan seputar pemberian kesempatan bagi kaum Kontra-Remonstran untuk berkhotbah di dalam Kloosterkerk di Den Haag yang telah ditutup. Ketika itu, gugatan-gugatan hukum diajukan terhadap Negara-Negara Holandia oleh para pelayan Kontra-Remonstran dan terjadi serangkaian kerusuhan di Amsterdam akibat kontroversi tersebut. De Imperio Summarum Potestatum circa SacraSeiring dengan meningkatnya konflik antara otoritas sipil dan keagamaan, demi memelihara ketertiban sipil, Oldenbarnevelt akhirnya mengusulkan agar pemerintah setempat diberi wewenang untuk menghimpun pasukan bersenjata (Resolusi Scherpe tanggal 4 Agustus 1617). Tindakan tersebut dianggap mengikis wewenang sang stadhouder republik, Maurits dari Nassau, Pangeran Oranje.[butuh rujukan] Maurits memanfaatkan kesempatan itu untuk memperkuat superioritas kaum Gomaris, yang telah menerima dukungan darinya, dan untuk menyingkirkan gangguan yang ia rasakan dalam keberadaan Oldenbarnevelt. Oldebarnevelt sebelumnya bertindak selaku penengah dalam Gencatan Senjata Dua Belas Tahun dengan Spanyol pada tahun 1609, dan hal ini bertentangan dengan harapan-harapan Maurits. Selama periode ini, Grotius masih berupaya untuk membahas politik-politik gerejawi dengan menyelesaikan De Imperio Summarum Potestatum circa Sacra, mengenai "relasi antara otoritas keagamaan dan sekular. ... Grotius bahkan memelihara harapan bahwa penerbitan buku ini akan mengubah arus pasang dan membawa kembali kedamaian kepada gereja dan negara".[10] Karena perselisihan keagamaan antara kaum Remonstran dan Kontra-Remonstran semakin memanas selama periode Gencatan Senjata Dua Belas Tahun (1609–1621), maka kerusuhan-kerusuhan terjadi di berbagai kota. Suatu sinode nasional, Sinode Dordrecht, diadakan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut dan Arminianisme dinyatakan terlarang pada tahun 1619. Para anggota Remonstran dari Negara-Negara Holandia, termasuk Johan van Oldenbarnevelt dan Hugo Grotius, segera ditangkap dan dipenjarakan. Setelah penahanan selama setengah tahun, hukuman-hukuman mereka diputuskan. Van Oldenbarnevelt dijatuhi hukuman mati dan dipenggal pada tahun 1619. Namun, Grotius secara kontroversial dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan dipindahkan ke Kastel Loevestein.[15] Selama masa penawanannya di Loevestein, Grotius membuat suatu pembenaran tertulis terkait posisinya: "mengenai pandangan-pandangan saya tentang kuasa otoritas [sipil] Kristen dalam hal-hal gerejawi, saya merujuk pada...buklet De Pietate Ordinum Hollandiae [tulisan saya] dan secara khusus pada sebuah buku yang tidak diterbitkan, De Imperio summarum potestatum circa sacra, yang di dalamnya saya membahas hal tersebut secara lebih terperinci. ... Demikian saya dapat meringkas perasaan saya: bahwa otoritas [sipil] seharusnya mencermati Firman Allah dengan saksama untuk memastikan agar tidak memaksakan apa saja yang bertentangan dengannya; apabila mereka bertindak dengan cara ini, mereka tentu dalam hati nurani yang baik ketika melakukan pengawasan terhadap gereja-gereja publik dan ibadah-ibadah publik – namun tanpa menganiaya mereka yang menyimpang dari jalan yang benar."[10] Karena tulisannya itu menyinggung pejabat-pejabat gerejawi yang memiliki kuasa apapun, beberapa di antara mereka (misalnya Johannes Althusius dalam suratnya kepada Lubbertus) menyatakan bahwa gagasan-gagasan Grotius mencirikan Iblis.[10] Pada tahun 1621, berkat bantuan istrinya beserta pelayan rumah tangganya, Elselina van Houwening, Grotius berhasil lolos dari kastel tempat ia dipenjarakan dengan menggunakan sebuah peti penyimpanan buku, dan ia melarikan diri ke Paris. Di Belanda masa kini, ia secara khusus dikenal karena pelarian yang berani itu. Rijksmuseum di Amsterdam maupun Museum Het Prinsenhof di Delft sama-sama mengklaim memiliki peti buku asli tersebut dalam koleksi mereka.[16] Grotius diterima dengan baik di Paris oleh para mantan kenalannya, dan ia menerima semacam pensiun kerajaan dalam kepemimpinan Raja Louis XIII dari Prancis. Selama masa hidupnya di Prancis ini Grotius menyelesaikan karya-karya filosofisnya yang paling terkenal.[butuh rujukan] Tentang Kebenaran Agama KristenKetika di Paris, Grotius mulai membuat prosa berbahasa Latin dari sebuah karya yang telah ia susun dalam penjara, yang menyajikan argumentasi-argumentasi sederhana dan sistematis tentang kebenaran dari Kekristenan. (Dengan memperlihatkan keterampilan Grotius sebagai penyair, versi Belanda yang terdahulu dari karya tersebut, Bewijs van den waren Godsdienst (1622), secara keseluruhan ditulis dalam ayat didaktik.) Karya Latin buatannya diterbitkan pertama kali pada tahun 1627 dengan judul De veritate religionis Christianae. Teori pemerintahan mengenai pendamaianGrotius juga mengembangkan suatu pandangan khusus tentang pendamaian Kristus yang dikenal sebagai teori "Pemerintahan" atau "Pemerintah moral". Ia berteori bahwa wafat Yesus sebagai kurban terlaksana supaya Bapa memberikan pengampunan, namun tetap mempertahankan tata kelola atau pemerintahan-Nya secara adil dan benar atas alam semesta. Gagasannya, yang dikembangkan lebih lanjut oleh teolog-teolog seperti John Miley, menjadi salah satu pandangan tentang pendamaian yang dinilai penting dalam mazhab Arminianisme Metodis.[butuh rujukan] De Jure Belli ac PacisGrotius hidup pada zaman Perang Delapan Puluh Tahun antara Spanyol dan Belanda serta Perang Tiga Puluh Tahun antara negara-negara Eropa Katolik dan Protestan (Prancis, kendati merupakan kerajaan Katolik, bergabung dalam kubu Protestan di tengah periode peperangan), maka dipandang tidak mengherankan bila Grotius sangat prihatin dengan hal ihwal konflik antarnegara dan agama. Karyanya yang dianggap paling lestari, yang dimulai ketika ia dipenjara dan diterbitkan saat ia hidup dalam pengasingan di Paris, juga dianggap sebagai suatu upaya monumental untuk mengendalikan konflik yang terjadi atas dasar suatu konsensus umum moralitas. Grotius menulis:
De jure belli ac pacis libri tres (Tentang Hukum Perang dan Perdamaian: Tiga buku) pertama kali diterbitkan pada tahun 1625, didedikasikan untuk pelindung Grotius saat itu, Louis XIII. Risalah tersebut mengangkat suatu sistem dari prinsip-prinsip hukum kodrat, yang dipandang mengikat semua orang dan bangsa lepas dari adat istiadat setempat. Karyanya terbagi dalam tiga buku:
Hukum kodratKonsep hukum kodrat Grotius sempat memberikan suatu pengaruh kuat dalam berbagai debat filosofis dan teologis serta perkembangan politik pada abad ke-17 dan ke-18. Di antara sejumlah tokoh yang terpengaruh olehnya terdapat Samuel von Pufendorf dan John Locke, dan para filsuf ini membuat pemikirannya menjadi bagian dari latar belakang kultural dalam Revolusi Agung di Inggris dan dalam Revolusi Amerika.[18] Dalam pemahaman Grotius, kodrat atau alam bukan merupakan entitas itu sendiri, melainkan ciptaan Allah. Maka dari itu, konsepnya mengenai hukum kodrat dianggap memiliki suatu landasan teologis.[19] Perjanjian Lama berisi pedoman-pedoman moral, misalnya Sepuluh Perintah Allah, yang Yesus konfirmasikan dalam Perjanjian Baru dan karenanya masih tetap berlaku. Pedoman-pedoman tersebut berguna dalam menafsirkan kandungan hukum kodrat. Baik wahyu biblis maupun hukum kodrat berasal dari Allah dan karenanya tidak dapat bertentangan satu sama lain.[20] Tahun-tahun selanjutnyaBanyak kaum Remonstran yang hidup dalam pengasingan mulai kembali ke Belanda setelah kemangkatan Pangeran Maurits pada tahun 1625, setelah toleransi dianugerahkan kepada mereka. Pada tahun 1630, mereka diperbolehkan menikmati kebebasan penuh untuk membangun dan mengelola gereja maupun sekolah serta untuk tinggal di wilayah mana saja di Holandia. Kaum Remonstran yang dipimpin oleh Uytenbogaert mendirikan suatu organisasi presbiterial. Mereka mendirikan seminari teologi di Amsterdam tempat Grotius datang untuk mengajar bersama dengan Episcopius, Limborch, Curcellaeus, dan Le Clerc. Pada tahun 1634, Grotius diberi kesempatan untuk melayani sebagai duta besar Swedia untuk Prancis. Raja Swedia yang baru saja mangkat, Gustavus Adolphus, adalah seorang pengagum Grotius. Dikatakan bahwa Gustavus selalu membawa sebuah salinan De jure belli ac pacis di pelananya saat sedang memimpin pasukan.[21] Wali yang menjadi penerusnya, Axel Oxenstierna, sangat ingin mempekerjakan Grotius. Grotius menerima tawaran tersebut dan menempati kediaman diplomatik di Paris, yang tetap menjadi rumahnya sampai ia dibebaskan dari jabatannya pada tahun 1645.[butuh rujukan] Ketika berangkat dari kunjungan terakhirnya menuju Swedia, kapal yang ditumpangi Grotius karam dalam pelayaran. Ia terdampar di pantai Rostock, mengalami sakit serta menderita akibat paparan cuaca, dan ia meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 1645. Jenazah Grotius akhirnya dipulangkan ke negara tempat kelahirannya, disemayamkan di Nieuwe Kerk, Delft.[butuh rujukan] Lihat pula
ReferensiCatatan
Sumber
Bacaan lanjutan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Hugo Grotius. Wikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Hugo Grotius. Wikisumber memiliki karya asli dari atau mengenai:
Koleksi
Karya-karya individual Grotius
Lain-lain
|