Dalam urutan ke bawah, terdapat shi (sarjana priyayi), nong (petani pedesaan), gong (seniman dan pengrajin), dan shang (pedagang).[2] Dalam beberapa hal, sistem urutan sosial tersebut diadopsi di seluruh lapisan kebudayaan Tionghoa. Di Jepang, sistem tersebut disebut mibunsei (身分制) dan terkadang disebut sebagai "Shi, nō, kō, shō" (士農工商,code: ja is deprecated , shinōkōshō), di Korea sebagai "Sa, nong, gong, sang" (사농공상), dan di Vietnam sebagai "Sĩ, nông, công, thương (士農工商). Perbedaan utama dalam adaptasi adalah definisi shi (士).
Sistem tersebut tak mewakili seluruh kelompok sosial lainnya yanga da dalam masyarakat Tiongkok pra-modern, dan kategori-kategori besarnya lebih teridealisasi ketimbang realitas praktikalnya. Komersialisasi masyarakat Tiongkok pada periode Song dan Ming terjalin antara empat hierarki sosial tersebut. Definisi dari identitas kelas shi berubah sepanjang waktu, dari kasta prajurit kuno, sampai elit aristokratik terpelajar, dan akhirnya elit birokratik terpelajar dengan kurangnya hubungan kebangsawanan. Terdapat juga percampuran dari pedagang kaya dan kelas priyayi tuan tanah, yang memuncak pada akhir Dinasti Ming.
__________. (1999). The Cambridge Illustrated History of China. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-66991-X (sampul kertas).
Fairbank, John King and Merle Goldman (1992). China: A New History; Second Enlarged Edition (2006). Cambridge: MA; London: The Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 0-674-01828-1
Gernet, Jacques (1962). Daily Life in China on the Eve of the Mongol Invasion, 1250–1276. Translated by H.M. Wright. Stanford: Stanford University Press. ISBN 0-8047-0720-0
Michael, Franz. "State and Society in Nineteenth-Century China," World Politics: A Quarterly Journal of International Relations (Volume 3, Number 3, April 1955): 419–433.
Smits, Gregory (1999). "Visions of Ryukyu: Identity and Ideology in Early-Modern Thought and Politics." Honolulu: University of Hawai'i Press.