Ekonomi Timor Leste
Ekonomi Timor Leste dikelompokkan sebagai ekonomi berpendapatan rendah oleh Bank Dunia.[9] Timor Leste menempati peringkat ke-133 dalam Indeks Pembangunan Manusia, peringkat rendah dalam indeks tersebut.[10] 20% penduduknya adalah pengangguran[1] dan 52,9% penduduknya hidup kurang dari US$1,25 per hari.[10] Sekitar separuh penduduk Timor Leste buta huruf.[10] Di angka 27%, tingkat urbanisasi Timor Leste merupakan salah satu yang terendah di dunia. Pada tahun 2007, gagal panen menyebabkan kelaparan mematikan di sebagian wilayah Timor Leste. Bulan November 2007, sebelas subdistrik masih membutuhkan makanan yang dipasok melalui bantuan internasional.[11] Menurut data sensus 2010, 87,7% rumah kota dan 18,9% rumah desa tersambung dengan aliran listrik. Rata-rata, 36,7% rumah di Timor Leste memiliki aliran listrik.[12] Negara ini masih merasakan dampak pendudukan Indonesia yang merusak infrastruktur dan menimbulkan gelombang ribuan pengungsi. Tidak ada hukum paten di Timor Leste.[13] SejarahSebelum dan semasa kolonisasi, pulau Timor dikenal sebagai produsen cendana. Pemerintah kolonial Portugal memberi konsesi minyak kepada Oceanic Exploration Corporation. Akan tetapi, eksploitasi minyak tersebut terhambat oleh invasi Indonesia tahun 1976. Ladang minyak di Timor Leste dibagi antara Indonesia dan Australia lewat Perjanjian Celah Timor tahun 1989.[14] Perjanjian ini menetapkan panduan eksploitasi sumber daya bawah laut gabungan di "celah" Timor Portugal di batas maritim yang disepakati oleh kedua negara pada tahun 1972.[15] Pendapatan dari wilayah gabungan ini dibagi 50%-50%. Woodside Petroleum dan ConocoPhillips mulai mengeksploitasi sebagian sumber daya minyak di Celah Timor atas nama Indonesia dan Australia pada tahun 1992. Pada akhir 1999, sekitar 70% infrastruktur ekonomi Timor Leste dihancurkan oleh militer Indonesia dan milisi anti-kemerdekaan.[1] Akibatnya, 260.000 orang mengungsi ke barat. Dari tahun 2002 sampai 2005, infrastruktur yang hancur dibangun kembali oleh program internasional yang dipimpin oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Program ini melibatkan penasihat sipil, 5.000 tentara penjaga perdamaian (paling banyak 8.000 tentara), dan 1.300 polisi. Pada pertengahan 2002, jumlah pengungsi Timor Leste turun menjadi 50.000 orang. Proyek pembangunanMinyak dan gasProyek jangka panjang yang menjanjikan adalah pengembangan sumber daya minyak bumi dan gas alam bersama Australia di perairan di sebelah tenggara Timor Leste. Timor Leste tidak mewarisi perbatasan laut permanen apapun ketika merdeka dan mencap Perjanjian Celah Timor ielgal. Sebuah perjanjian sementara, Perjanjian Laut Timor yang ditandatangani ketika Timor Leste merdeka tanggal 20 Mei 2002, menetapkan Kawasan Pengembangan Minyak Bumi Bersama (Joint Petroleum Development Area; JPDA) dan sistem bagi hasil pendapatan sebesar 90% untuk Timor Leste dan 10% untuk Australia.[16] Pengembangan besar pertama di JPDA sejak kemerdekaan Timor Leste dilakukan di ladang minyak terbesar di Laut Timor, ladang gas Greater Sunrise. Eksploitasinya merupakan topik beberapa perjanjian pada tahun 2003 dan 2005. Hanya 20% ladang minyak yang masuk JPDA, sedangkan sisanya berada di perairan yang tidak masuk perjanjian tersebut, tetapi sama-sama diklaim oleh kedua negara. Perjanjian sementara pertamanya membagi 82% pendapatan SDA untuk Australia dan 18% untuk Timor Leste.[17] Pemerintah Timor Leste berusaha merundingkan perbatasan resmi dengan Australia tepat di separuh jalan antara kedua negara sesuai Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pemerintah Australia menginginkan perbatasan di akhir landas kontinen Australia yang luas sesuai yang disepakati dengan Indonesia tahun 1972 dan 1991. Normalnya, sengketa perbatasan seperti ini diajukan ke Mahkamah Internasional atau Pengadilan Hukum Laut Internasional untuk diputuskan secara imparsial,[18] tetapi pemerintah Australia sudah duluan menarik diri dari yurisdiksi internasional (khusus persoalan batas laut) sebelum Timor Leste merdeka.[19] Di bawah tekanan publik dan diplomatik, pemerintah Australia menawarkan konsesi royalti ladang gas Greater Sunrise.[20] Tanggal 7 Juli 2005, sebuah perjanjian menyepakati bahwa kedua negara akan mengakhiri sengketa batas laut dan Timor Leste akan menerima 50% pendapatan dari ladang gas Greater Sunrise, sekitar A$26 milair atau US$20 miliar sepanjang masa aktif proyek.[21] Ladang lain di perairan yang diklaim Timor Leste namun berada di luar JPDA (Laminaria-Corallina dan Buffalo) masih dieksploitasi secara sepihak oleh Australia.[22] Sebagian pendapatan royalti minyak bumi Timor Leste dimasukkan ke dana kekayaan negara, Timor-Leste Petroleum Fund. TelekomunikasiLihat pulaReferensi
|