Ekonomi Sri LankaEkonomi Sri Lanka sebagian besar bergantung kepada perkebunan. Kegiatan ekonomi yang terpenting di Sri Lanka adalah ekspor produk perkebunan. Selain itu, sumber ekonomi Sri Lanka juga berasal dari produk garmen, rempah-rempah, hasil laut, karet, kelapa dan produk olahannya. Ekonomi Sri Lanka juga didukung oleh pertambangan batu permata berupa safir, mirah delima, intan, zamrud, giok, biduri laut, akik, dan opal. Sumber ekonomi terbesar di Sri Lanka berasal dari ekspor teh (posisi kedua di dunia), karet (36% dari produksi karet dunia) dan kelapa (71% dari produksi kelapa dunia). Kerja sama ekonomi Sri Lanka berada dalam sektor industri pertambangan. Jenis komoditas yang utama adalah grafit, timbal hitam, keramik dan porselen. Negara yang menjadi mitra utamanya adalah Jepang. Dalam kerja sama ekonomi, Jepang mendirikan perusahaan keramik dan porselen di Sri Lanka dengan bahan baku dari Sri Lanka.[1] Faktor yang mempengaruhiKesetaraan kesehatanKesetaraan Kesehatan internal di Sri Lanka masih cukup besar. Ekonomi Sri Lanka belum mengalami konvergensi spasial dalam indikator Tujuan Pembangunan Milenium. Disparitas antarnegara bagian di Sri Lanka tetap besar antara periode tahun 1981 hingga 1991. Di skala nasional maupun di daerah-daerah yang tertinggal tetap ada dalam jumlah yang sedikit. Antara tahun 1991 hingga 2007, kemiskinan di Sri Lanka berkurang di semua provinsi. Pengurangan jumlah penduduk miskin secara pesat terjadi di provinsi bagian barat.[2] Kerja samaInisiatif Teluk Benggala untuk Kerjasama Teknis dan Ekonomi Multi-SektoralSri Lanka merupakan salah satu negara anggota dalam Inisiatif Teluk Benggala untuk Kerjasama Teknis dan Ekonomi Multi-Sektoral (BIMSTEC).[3] Selain Sri Lanka, hingga bulan Februari 2004 anggotanya termasuk Bangladesh, Bhutan, India, Myanmar, Nepal, dan Thailand. Tujuan pembentukan BIMSTEC adalah membangun kawasan perdagangan bebas. Dalam pelaksanaannya, sektor ekonomi diselenggarakan dengan lebih terararah dan jelas. Selain itu, investasi dilakukan secara terbuka dengan prinsip persaingan ekonomi. BIMSTEC menjadi penghubung ekonomi Sri Lanka dengan ekonomi negara-negara lain di Asia Selatan dan Asia Tenggara.[4] Kesenjangan ekonomiKesenjangan ekonomi di Sri Lanka dipengaruhi oleh tingginya angka kematian ibu dan anak. Pemerintah Sri Lanka telah mengatasi kesenjangan ekonomi dengan menurunkan angka kematian ibu dan anak melalu perlindungan keuangan untuk penduduk pedesaan dan penduduk yang mengalami kemiskinan. Kesenjangan ekonomi diturunkan melalui pemberian layanan keluarga berencana dan manajemen obstreti. Sri Lanka memberlakukan pelayanan kesehatan publik secara gratis di seluruh wilayahnya. Biaya talangan yang dikeluarkan oleh Sri Lanka lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Perbaikan ekonomi dilakukan dengan memberikan subsidi tambahan untuk keluarga miskin dengan pelayanan menyeluruh.[5] Serikat pekerjaSelama masa pemberontakan Macan Tamil di bagian utara dan timur Sri Lanka yang dimulai pada tahun 1983, sektor bisnis memburuk karena minat investor untuk menanamkan modal di Sri Lanka berkurang. Ekonomi Sri Lanka tidak mengalami pertumbuhan hingga tahun 2001 setelah terjadinya peristiwa pengeboman di Bandar Udara Internasional Bandaranaike. Organisasi pengusaha dan anggota bisnis yang ada di Sri Lanka kemudian meminta pemerintah untuk mengakhiri konflik melalui perundingan damai. Semua kamar dagang dan organisasi pengusaha menandatangani dokumen advokasi persetujuan untuk mengakhiri perang. Perjanjian gencatan senjata kemudian disepakati pada tahun 2002. Gencatan senjata mengakibatkan diberhentikannya embargo perdagangan barang-barang di bagian utara Sri Lanka dan jalan raya utama digunakan kembali. Gencatan senjata tidak bertahan lama dan konflik berlanjut kembali hingga tahun 2009. Konflik selesai ketika Pemerintah Sri Lanka mengalahkan pemberontak Tamil secara militer. Setelahnya, Serikat pekerja tidak lagi berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi di Sri Lanka.[6] Referensi
|