Che Guevara
Ernesto "Che" Guevara (14 Juni 1928 – 9 Oktober 1967) adalah seorang pejuang revolusi, dokter, penulis, pemimpin gerilyawan, diplomat, dan pakar teori militer asal Argentina yang berhaluan Marxis. Sebagai salah satu tokoh utama dalam Revolusi Kuba, wajahnya telah menjadi simbol perlawanan dalam gerakan kontra-kebudayaan dan dalam budaya populer.[3] Saat masih menjadi seorang mahasiswa kedokteran, Guevara menjelajahi wilayah Amerika Selatan dan mengalami radikalisasi akibat kemiskinan, kelaparan, dan penyakit yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.[4] Ia sangat ingin menghentikan eksploitasi yang menurutnya dilakukan oleh "kapitalis Amerika Serikat", sehingga ia mencoba membantu reformasi sosial yang dicanangkan di Guatemala oleh Presiden Jacobo Árbenz. Namun, Árbenz kemudian dilengserkan dengan bantuan dari CIA atas desakan dari United Fruit Company, sehingga Guevara menjadi semakin mantap dengan ideologi yang dianutnya.[4] Setelah itu, ia pindah ke Kota Meksiko, dan di situ ia bertemu dengan Raúl dan Fidel Castro dan bergabung dengan Gerakan 26 Juli. Mereka berlayar ke Kuba dengan menumpangi sebuah kapal yacht yang bernama Granma, dengan tujuan menjatuhkan diktator Kuba yang didukung oleh Amerika Serikat, Fulgencio Batista.[5] Guevara kemudian menjadi tokoh yang terkenal di kalangan pemberontak dan diangkat sebagai komandan kedua, dan ia sendiri juga memainkan peranan yang penting dalam kampanye gerilya selama dua tahun yang pada akhirnya berhasil melengserkan rezim Batista.[6] Seusai Revolusi Kuba, Guevara mengemban berbagai peranan penting dalam pemerintahan Castro. Peran-peran tersebut meliputi peninjauan banding dan hukuman tembak mati untuk orang-orang yang divonis melakukan kejahatan perang oleh pengadilan revolusioner,[7] pelaksanaan reformasi agraria dalam kapasitasnya sebagai menteri perindustrian, serta penggalakkan kampanye melek huruf di seluruh Kuba. Selain itu, ia menjabat sebagai direktur pengarahan angkatan bersenjata Kuba dan presiden bank nasional, dan ia berkeliling dunia sebagai perwakilan resmi Kuba. Guevara juga turut andil dalam melatih militer yang akhirnya berhasil menghalau Invasi Teluk Babi,[8] dan ia mendukung pengiriman misil-misil balistik bersenjata nuklir milik Uni Soviet ke Kuba yang berujung pada Krisis Misil Kuba tahun 1962.[9] Guevara juga merupakan seorang penulis. Ia menyusun sebuah buku panduan tentang perang gerilya dan juga sebuah memoar tentang perjalanan masa mudanya dengan menggunakan sepeda motor. Pengalamannya serta ideologi Marxisme–Leninisme yang ia anut membuatnya meyakini bahwa keterbelakangan dan kebergantungan negara-negara Dunia Ketiga merupakan dampak dari imperialisme, neokolonialisme, dan kapitalisme monopoli, dan ia berkeyakinan bahwa hal ini hanya dapat dirombak oleh internasionalisme proletarian dan revolusi dunia.[10][11] Guevara meninggalkan Kuba pada tahun 1965 untuk mengobarkan revolusi di luar negeri. Pertama-tama ia mencoba membantu pemberontak di Kongo-Kinshasa, tetapi upaya ini mengalami kegagalan. Ia lalu menjadi gerilyawan di Bolivia, tetapi ia ditangkap oleh militer Bolivia yang dibantu CIA dan kemudian dihukum mati dengan ditembak.[12] Che Guevara merupakan tokoh sejarah yang dipuja dan dikecam, dengan imajinasi kolektif tentang dirinya yang saling bertolak belakang di dalam berbagai buku biografi, memoar, esai, film dokumenter, lagu, dan film. Akibat anggapan bahwa ia adalah seorang martir, serta ajakannya untuk mengobarkan perjuangan kelas dan menciptakan kesadaran seorang "manusia baru" yang didorong oleh moral ketimbang materi,[13] ia menjadi lambang berbagai gerakan kiri. Majalah Time menobatkannya sebagai salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh pada abad ke-20,[14] sementara foto Che Guevara yang diabadikan oleh Alberto Korda (yang berjudul Guerrillero Heroico) dianggap sebagai "foto paling terkenal di dunia" oleh Maryland Institute College of Art .[15] Kehidupan awalErnesto Guevara lahir dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan istrinya, Celia de la Serna y Llosa, pada tanggal 14 Juni 1928[1] di Rosario, Argentina, sebagai anak sulung dari lima bersaudara dalam sebuah keluarga Argentina kelas menengah keturunan Spanyol (termasuk Basque dan Cantabria), ditambah dengan darah Irlandia dari leluhur patrilinealnya, Patrick Lynch.[16][17][18] Sesuai dengan keluwesan tata penamaan dalam bahasa Spanyol, nama resminya (Ernesto Guevara) terkadang juga ditambahkan dengan nama belakang "de la Serna" dan/atau "Lynch".[19] Saat sedang membicarakan sifat Che yang "tidak tenang", ayahnya menyatakan bahwa "Hal pertama yang perlu disadari dari putraku adalah darah para pemberontak Irlandia yang mengalir di dalam tubuhnya".[20] Pada masa awal hidupnya, Ernestito (julukannya pada masa itu) tumbuh menjadi pribadi yang "peduli kepada kaum miskin".[21] Ia dibesarkan dengan latar belakang keluarga yang condong ke arah kiri, dan ia sudah melihat berbagai sudut pandang politik sejak masih kecil.[22] Ayahnya merupakan pendukung faksi Republik dalam Perang Saudara Spanyol, dan ia sering kali menerima veteran-veteran konflik tersebut di rumahnya.[23] Walaupun Guevara mengidap asma yang akut sepanjang hidupnya, ia adalah seorang atlet yang handal, dan ia menyukai olahraga renang, sepak bola, golf, dan menembak, selain juga menjadi seorang pesepeda yang "tidak kenal lelah".[24][25] Ia merupakan seorang pemain rugbi,[26] dan bermain pada posisi fly-half untuk Club Universitario de Buenos Aires.[27] Saat bermain rugbi, ia diberi julukan "Fuser" (yang merupakan penggabungan singkatan El Furibundo (buas) dengan nama belakang ibunya, de la Serna) akibat gaya bermainnya yang agresif.[28] Minat intelektual dan sastraGuevara belajar catur dari ayahnya dan mulai ikut turnamen lokal pada saat ia masih berusia 12 tahun. Pada masa remaja dan sepanjang hidupnya, ia sangat menggemari puisi, khususnya puisi-puisi karya Pablo Neruda, John Keats, Antonio Machado, Federico García Lorca, Gabriela Mistral, César Vallejo, dan Walt Whitman.[29] Ia juga sering kali membaca puisi "If—" karya Rudyard Kipling dan Martín Fierro karya José Hernández, dan bahkan hafal sajak-sajaknya.[29] Di dalam rumah Guevara terdapat lebih dari 3.000 buku, dan ia suka membaca buku-buku karya Karl Marx, William Faulkner, André Gide, Emilio Salgari, dan Jules Verne.[30] Selain itu, ia menikmati karya-karya Jawaharlal Nehru, Franz Kafka, Albert Camus, Vladimir Lenin, dan Jean-Paul Sartre, serta Anatole France, Friedrich Engels, H. G. Wells, dan Robert Frost.[31] Saat ia bertumbuh besar, ia semakin tertarik dengan karya-karya penulis-penulis Amerika Latin seperti Horacio Quiroga, Ciro Alegría, Jorge Icaza, Rubén Darío, dan Miguel Asturias.[31] Gagasan-gagasan para penulis tersebut ia tuliskan di dalam buku catatannya tentang konsep, definisi, dan filsafat. Salah satu yang ia masukkan ke dalam catatan tersebut adalah gagasan Buddha dan Aristoteles, serta pandangan Bertrand Russell tentang cinta dan patriotisme, Jack London tentang masyarakat, dan Nietzsche tentang kematian. Gagasan Sigmund Freud juga membuatnya takjub, dan ia mengutip pernyataan-pernyataannya dalam berbagai topik, dari mimpi dan libido hingga narsisisme dan kompleks Oedipus.[31] Pelajaran-pelajaran kesukaannya di sekolahan adalah filsafat, matematika, teknik, ilmu politik, sosiologi, sejarah, dan arkeologi.[32][33] Bertahun-tahun sesudahnya, 'laporan biografi dan kepribadian' CIA pada tanggal 13 Februari 1958 yang telah dideklasifikasikan menjabarkan minat akademik dan intelektual Guevara, dan laporan ini menggambarkannya sebagai orang yang "cukup banyak bacaannya" dan juga menambahkan bahwa "Che adalah orang yang cukup terpelajar untuk seorang Latino."[34] Perjalanan sepeda motorPada tahun 1948, Guevara masuk Universitas Buenos Aires dan mengambil jurusan kedokteran. "Hasratnya untuk menjelajahi dunia"[35] membuatnya memutuskan untuk menyelingi pendidikannya dengan dua perjalanan yang akan sangat mengubah caranya memandang dirinya sendiri dan kondisi ekonomi di Amerika Latin pada masa itu. Perjalanan pertamanya pada tahun 1950 merupakan sebuah perjalanan sejauh 4.500 kilometer di provinsi-provinsi pedesaan utara Argentina dengan menggunakan sepeda yang dilengkapi dengan mesin kecil yang ia pasang sendiri.[36] Kemudian, pada tahun 1951, ia melakukan perjalanan sepeda motor sejauh 8.000 kilometer di sebagian besar wilayah Amerika Selatan bersama dengan temannya, Alberto Granado. Untuk melakukan perjalanan keduanya, ia libur kuliah selama setahun, dan tujuan akhir mereka adalah menjadi sukarelawan di koloni lepra San Pablo di Peru selama beberapa minggu.[37] Di Chili, Guevara sangat marah setelah melihat kondisi para pekerja di tambang tembaga Chuquicamata milik Anaconda, dan ia merasa tersentuh saat ia menyaksikan sepasang komunis yang mengalami penindasan dan bahkan tak memiliki selimut di Gurun Atacama.[39] Selain itu, saat sedang dalam perjalanan ke Machu Picchu di Pegunungan Andes, ia terguncang dengan kemiskinan yang melanda kawasan-kawasan pedesaan; sebagai catatan, di kawasan tersebut para petani mengerjakan lahan-lahan kecil yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah kaya.[40] Pada masa akhir perjalanannya, ia merasa sangat terkesan dengan persahabatan orang-orang di koloni lepra, dan ia berkomentar bahwa "Bentuk solidaritas dan kesetiaan manusia yang tertinggi muncul di antara orang-orang yang kesepian dan putus asa."[40] Guevara menceritakan perjalanannya di dalam sebuah buku catatan yang berjudul The Motorcycle Diaries (Buku Harian Sepeda Motor), yang kelak menjadi karya dengan penjualan terbaik menurut New York Times,[41] dan diadaptasi ke dalam film pemenang penghargaan dari tahun 2004 dengan judul yang sama. Perjalanan kedua Guevara melintasi wilayah Argentina, Chili, Peru, Ekuador, Kolombia, Venezuela, Panama, dan Miami,[42] dan lalu ia kembali ke Buenos Aires. Pada akhir perjalanan, ia tidak menganggap Amerika Latin sebagai sekumpulan negara-negara yang terpisah, tetapi sebagai sebuah entitas tunggal yang membutuhkan strategi pembebasan dengan cakupan seluruh benua. Pandangannya mengenai Amerika Hispanik yang bersatu, tanpa sekat, dan memiliki warisan budaya bersama kelak menjadi sebuah tema yang sering kali diangkat selama kegiatan-kegiatan revolusionernya. Sekembalinya di Argentina, ia menyelesaikan kuliahnya dan memperoleh gelar di bidang kedokteran pada Juni 1953, sehingga secara resmi ia disebut "Dr. Ernesto Guevara".[43] Guevara kemudian berkomentar bahwa berkat perjalanannya di Amerika Latin, ia "berhubungan langsung dengan kemiskinan, kelaparan dan penyakit", serta "ketidakmampuan untuk mengobati seorang anak karena kekurangan uang" dan "ketidakmampuan untuk berpikir yang dipicu oleh kelaparan dan hukuman" yang membuat seorang ayah "menerima kehilangan seorang putra sebagai sebuah kecelakaan yang tidak penting". Pengalaman-pengalaman ini membuat Guevara yakin bahwa untuk "menolong orang-orang ini", ia harus keluar dari dunia kedokteran dan masuk ke ranah perjuangan politik bersenjata.[4] Guatemala, Árbenz, dan United FruitPada tanggal 7 Juli 1953, Guevara kembali melakukan perjalanan, kali ini ke Bolivia, Peru, Ekuador, Panama, Kosta Rika, Nicaragua, Honduras, dan El Salvador. Pada tanggal 10 Desember 1953, sebelum berangkat ke Guatemala, Guevara mengirimkan kabar dari San José, Kosta Rika, kepada bibinya, Beatriz. Dalam surat tersebut, Guevara menjelaskan soal perjalanannya ke daerah-daerah operasi United Fruit Company, sebuah perjalanan yang kelak akan membuatnya sangat berkeyakinan bahwa sistem kapitalisme perusahaan tersebut adalah sistem yang buruk.[44] Kebencian ini bersifat agresif seperti yang sebelumnya pernah ia luapkan untuk menakut-nakuti kerabat-kerabatnya yang lebih konservatif, dan pada akhirnya Guevara pun bersumpah di atas gambar almarhum Josef Stalin bahwa ia tidak akan berhenti sampai "gurita-gurita tersebut telah dimusnahkan".[45] Pada akhir bulan tersebut, Guevara tiba di Guatemala yang dipimpin oleh Jacobo Árbenz Guzmán, seorang presiden yang terpilih secara demokratis dan mencoba mengakhiri sistem latifundia. Untuk mewujudkan hal tersebut, Presiden Árbenz mencanangkan program reformasi lahan besar-besaran, sehingga semua bagian lahan yang belum digarap disita oleh pemerintah dan diberikan kepada para petani tak berlahan. Pemilik lahan terbesar dan salah satu yang paling terkenal dampak reformasi tersebut adalah United Fruit Company, dan pemerintahan Árbenz sendiri telah menyita lebih dari 225.000 ekar (91.054 ha) lahan yang belum digarap dari perusahaan tersebut.[46] Guevara merasa puas dengan kebijakan ini, dan ia memutuskan untuk menetap di Guatemala untuk "menyempurnakan diri dan menyelesaikan apa yang diperlukan untuk menjadi seorang pejuang revolusi yang sesungguhnya."[47] Di Kota Guatemala, Guevara bertemu dengan Hilda Gadea Acosta, seorang ekonom Peru yang memiliki hubungan politik yang kuat karena ia adalah anggota Alianza Popular Revolucionaria Americana (APRA, Aliansi Revolusioner Populer Amerika) yang berhaluan kiri. Acosta memperkenalkan Guevara dengan sejumlah pejabat tingkat tinggi di pemerintahan Arbenz. Guevara kemudian menjalin hubungan dengan kelompok pengasingan Kuba yang memiliki keterkaitan dengan Fidel Castro melalui serangan terhadap barak-barak Moncada di Santiago de Cuba pada tanggal 26 Juli 1953. Pada masanya di Guatemala, Guevara memperoleh julukan yang melekat dengan namanya, karena ia sering menggunakan silabel pengisi khas Argentina, che (sebuah penanda diskursus serba guna, seperti pengucapan "eh" dalam bahasa Inggris Kanada).[48] Pada masa ini, Guevara juga dibantu oleh tokoh-tokoh Amerika Tengah lainnya yang berada di pengasingan, seperti Helena Leiva de Holst yang menyediakan makanan dan tempat bernaung.[49] Kepada Guevara, Helena juga membahas perjalanannya untuk mempelajari Marxisme di Rusia dan Tiongkok,[50] dan Guevara sendiri mempersembahkan sebuah puisi untuk Helena yang berjudul "Invitación al camino".[51] Pada Mei 1954, pemerintahan Komunis Cekoslowakia mengirimkan persenjataan infantri dan artileri ringan buatan kepada pemerintahan Arbenz, dan persenjataan-persenjataan tersebut kemudian tiba di Puerto Barrios.[52] Pemerintah Amerika Serikat (yang sudah menugaskan CIA untuk melancarkan Operasi PBSUCCESS untuk melengserkan Arbenz) menanggapi hal tersebut dengan membanjiri Guatemala dengan propaganda anti-Arbenz melalui radio serta selebaran-selebaran yang dijatuhkan dari udara, dan mereka juga melakukan mengeboman dengan menggunakan pesawat.[53] Selain itu, Amerika Serikat mendukung pasukan dari luar negeri (terdiri dari ratusan orang-orang Guatemala di pengasingan dan tentara bayaran) yang dipimpin oleh Castillo Armas untuk menjatuhkan pemerintahan Arbenz. Akhirnya, pada tanggal 27 Juni, Arbenz memutuskan untuk mengundurkan diri.[54] Maka dari itu, Armas dan pasukannya yang didukung oleh CIA dapat memasuki Kota Guatemala dan mendirikan sebuah junta militer; junta tersebut lalu memilih Armas sebagai presiden pada tanggal 7 Juli.[55] Rezim Armas kemudian mengukuhkan kekuasaan dengan memenjarakan dan menghukum mati orang-orang yang terduga komunis,[56] dan pada saat yang sama juga menghancurkan serikat-serikat buruh[57] dan membatalkan reformasi lahan yang telah dicanangkan oleh Arbenz.[58] Guevara sendiri mendukung Arbenz dan bergabung dengan milisi bersenjata yang dibentuk oleh kelompok Pemuda Komunis, tetapi ia merasa frustrasi karena kelompok tersebut tidak mengambil tindakan, sehingga ia kembali melakukan tugas-tugas medis. Seusai kudeta, ia kembali menjadi sukarelawan tempur, tetapi tidak lama sesudahnya Arbenz mengungsi ke Kedutaan Besar Meksiko dan meminta kepada para pendukung asingnya untuk meninggalkan Guatemala. Ujaran Guevara untuk tetap melawan diendus oleh para pendukung kudeta, dan nyawa Guevara pun diincar.[59] Setelah Hilda Gadea ditangkap, Guevara berlindung di konsulat Argentina, dan ia bertahan di situ sampai ia diperbolehkan lewat beberapa minggu kemudian dan lalu pergi ke Meksiko.[60] Pelengseran rezim Arbenz dan pendirian kediktatoran sayap kanan di Guatemala semakin mengukuhkan pandangan Guevara bahwa Amerika Serikat adalah kekuatan imperialis yang harus dilawan, dan bahwa Amerika Serikat menentang dan berupaya menghancurkan pemerintahan manapun yang mencoba mengurangi jurang antara yang kaya dan miskin, yang merupakan masalah yang mendalam di Amerika Latin dan negara-negara berkembang lainnya.[47] Saat sedang membahas peristiwa kudeta ini, Guevara menyatakan bahwa "Demokrasi revolusioner Amerika Latin yang terakhir – yaitu demokrasi Jacobo Arbenz – gagal akibat agresi terencana yang berdarah dingin yang dilakukan oleh Amerika Serikat."[59] Kudeta ini juga memperkuat keyakinan Guevara bahwa Marxisme hanya dapat diwujudkan melalui perjuangan bersenjata dan dipertahankan oleh rakyat yang bersenjata.[61] Gadea kemudian menulis bahwa "Guatemala-lah yang akhirnya membuatnya yakin akan perlunya perjuangan bersenjata dan pengambilan inisiatif dalam melawan imperialisme. Pada saat ia pergi, ia merasa yakin akan hal ini."[62] Kota Meksiko dan persiapanGuevara tiba di Kota Meksiko pada tanggal 21 September 1954, dan bekerja di Rumah Sakit Umum dan di Rumah Sakit Infantil de Mexico.[63][64] Selain itu, ia menyampaikan kuliah tentang kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Otonom Nasional Meksiko dan bekerja sebagai fotografer berita untuk Prensa Latina.[65][66] Hilda menulis dalam memoarnya, Kehidupanku dengan Che, bahwa Guevara sempat ingin bekerja sebagai seorang dokter di Afrika dan bahwa ia masih sangat tertekan dengan kemiskinan yang berada di sekitarnya.[67] Contohnya, Hilda menggambarkan bagaimana Guevara sangat terobsesi dengan seorang wanita pencuci tua yang ia obati, yang ia anggap sebagai "perwakilan golongan yang paling terlupakan dan tereksploitasi". Hilda kemudian menemukan sebuah puisi yang dipersembahkan oleh Che kepada wanita tua tersebut, yang berisi "sebuah janji untuk berjuang demi dunia yang lebih baik, untuk kehidupan yang lebih baik bagi seluruh kaum miskin dan tereksploitasi."[67] Pada masa ini, ia menjalin kembali hubungan pertemanannya dengan Ñico López dan orang-orang Kuba lainnya di pengasingan yang pernah ia temui di Guatemala. Pada Juni 1955, López memperkenalkan Guevara dengan Raúl Castro, dan Raul lalu mengenalkan Guevara kepada kakaknya, Fidel Castro, pemimpin revolusioner yang membentuk Gerakan 26 Juli dan sedang berencana melengserkan kediktatoran Fulgencio Batista. Selama perbincangan panjang dengan Fidel pada malam pertemuan pertama mereka, Guevara menyimpulkan bahwa apa yang diperjuangkan oleh Fidel dan kawan-kawannya adalah apa yang telah ia cari-cari, dan sebelum matahari terbit ia sudah bergabung menjadi anggota Gerakan 26 Juli.[68] Walaupun kepribadian mereka saling "bertolak belakang", sejak saat itu Che dan Fidel mulai menjalin "hubungan persahabatan revolusioner yang akan mengubah dunia", karena mereka sama-sama memiliki komitmen anti-imperialisme.[69] Pada saat ini pula Guevara semakin berkeyakinan bahwa konglomerat-konglomerat yang dikendalikan AS menempatkan dan mendukung rezim-rezim penindas di berbagai belahan dunia. Maka dari itu, ia menganggap Batista sebagai "boneka AS yang harus dipotong tali senarnya".[70] Meskipun ia berencana menjadi petugas medis di kelompok tersebut, Guevara ikut dalam pelatihan militer dengan para anggota gerakan tersebut. Bagian penting dari pelatihan tersebut adalah pelajaran taktik menyerang dan mundur dalam perang gerilya. Guevara dan anggota-anggota pergerakan yang lain berjalan selama 15 jam melalui berbagai medan dan belajar dan menyempurnakan cara untuk menyergap dan lalu mundur dengan cepat. Sedari awal Guevara sudah menjadi "murid istimewa Alberto Bayo di antara orang-orang yang dilatihnya, [dan] meraih nilai tertinggi dalam setiap ujian yang diberikan.[71] Pada akhir pelatihan, ia disebut "gerilyawan terbaik dari antara mereka semua" oleh Jenderal Bayo.[72] Guevara kemudian menikah dengan Hilda di Meksiko pada September 1955, sebelum ia berangkat ke Kuba untuk membantu mewujudkan cita-cita Gerakan 26 Juli.[73] Revolusi KubaInvasi, perang, dan Santa ClaraLangkah pertama dalam rencana revolusioner Castro adalah serangan ke Kuba dari Meksiko dengan menaiki Granma, sebuah kapal penjajap kabin yang sudah tua dan bocor. Mereka tiba di Kuba pada tanggal 25 November 1956. Mereka diserang oleh pasukan Batista tidak lama setelah mendarat, sehingga banyak dari antara 82 pasukan Castro yang tewas dalam serangan tersebut atau dihukum mati setelah ditangkap; hanya 22 orang yang berhasil berkumpul kembali sesudahnya.[74] Selama konfrontasi berdarah ini, Guevara menjatuhkan persediaan-persediaan medisnya dan mengambil sebuah kotak amunisi yang dijatuhkan oleh rekannya yang telah melarikan diri, dan ini menjadi momen simbolis dalam kehidupan Che.[75] Hanya ada sekelompok kecil pejuang revolusi yang selamat dan dapat berkumpul kembali di pegunungan Sierra Maestra. Di situ, mereka mendapatkan dukungan dari jaringan gerilyawan perkotaan Frank País, Gerakan 26 Juli, dan petani-petani campesino setempat. Semenjak mundur ke Pegunungan Sierra, dunia menjadi penasaran apakah Castro masih hidup atau sudah mati sampai awal 1957 saat wawancaranya dengan Herbert Matthews diterbitkan di The New York Times. Artikel tersebut membentuk citra Castro dan para gerilyawannya. Guevara tidak hadir dalam wawancara tersebut, tetapi pada bulan-bulan berikutnya, ia mulai menyadari pentingnya media dalam perjuangan mereka. Sementara itu, persediaan dan moral semakin menipis, dan alergi akibat gigitan nyamuk menghasilkan kista seukuran kacang kenari di tubuhnya,[76] sehingga Guevara menganggap masa itu sebagai "hari-hari paling menyakitkan semasa perang".[77] Pada saat Guevara hidup bersembunyi di antara para petani subsisten miskin di pegunungan Sierra Maestra, ia mendapati bahwa di sana tidak ada sekolah dan listrik, fasilitas kesehatannya masih minim, dan lebih dari 40% orang dewasa buta huruf.[78] Saat perang berlanjut, Guevara menjadi tokoh yang penting di kalangan pemberontak dan berhasil "meyakinkan Castro dengan kecakapan, diplomasi, dan kesabaran".[6] Guevara mendirikan pabrik-pabrik untuk menghasilkan granat, membuat oven-oven untuk memanggang roti, mengajarkan taktik-taktik kepada orang-orang yang baru direkrut, dan menyelenggarakan sekolah-sekolah agar orang-orang yang buta huruf dapat membaca dan menulis.[6] Selain itu, Guevara mendirikan klinik-klinik kesehatan, lokakarya untuk mengajarkan taktik militer, dan sebuah surat kabar untuk menyebarkan informasi.[79] Pada masa itu pula, ia juga diangkat oleh Fidel Castro menjadi Comandante (komandan) barisan angkatan bersenjata kedua.[6] Sebagai komandan kedua, Guevara merupakan orang yang sangat disiplin dan terkadang menembaki orang-orang yang membelot. Orang-orang yang meninggalkan tugas dianggap sebagai pengkhianat, dan Guevara mengirim regu-regu untuk melacak mereka yang telah lari.[80] Akibatnya, Guevara ditakuti akan kebrutalan dan kekejamannya.[81] Selama kampanye gerilya, Guevara juga bertanggung jawab atas penghukuman mati sejumlah orang yang dituduh sebagai informan, orang yang meninggalkan tugas, atau mata-mata.[82] Di dalam buku hariannya, Guevara menceritakan penghukuman mati Eutímio Guerra, seorang pemandu tentara dari kalangan petani yang mengaku telah berkhianat setelah diketahui bahwa ia dijanjikan sepuluh ribu peso dan berulang kali memberitahukan posisi para pemberontak untuk diserang oleh angkatan udara Kuba.[83] Informasi semacam itu juga memungkinkan tentara Batista untuk membakar rumah-rumah petani yang bersimpati kepada revolusi.[83] Setelah Guerra meminta agar mereka "mengakhiri hidupnya dengan cepat",[83] Che melangkah maju dan menembak kepalanya, dan ia lalu menulis bahwa "Keadaan tersebut sangat tidak mengenakkan bagi orang-orang dan bagi Eutimio sehingga aku mengakhiri masalah tersebut dengan menembaknya dengan pistol .32 di sisi kanan otaknya, dengan lubang di sisi kanan [lobus] temporal."[84] Seorang penulis biografi merasa bahwa gaya penulisannya yang menjelaskan fakta dan menggunakan istilah-istilah ilmiah menunjukkan bagaimana ia "sungguh terlepas dari kekerasan" pada masa perang tersebut.[84] Kemudian, Guevara menerbitkan sebuah catatan mengenai insiden tersebut, yang berjudul "Kematian Seorang Pengkhianat", dan di situ ia mengubah kisah Eutimio menjadi "perumpamaan revolusioner mengenai penebusan melalui pengorbanan".[84] Meskipun cenderung keras dan banyak meminta, ia merasa bahwa seorang komandan juga berperan sebagai guru, dan ia menghibur pasukan-pasukannya saat sedang beristirahat dengan membacakan karya-karya Robert Louis Stevenson, Cervantes, dan para penyair lirik Spanyol.[85] Selain itu, ia terinspirasi oleh prinsip "melek huruf tanpa batas" José Martí, sehingga ia berusaha memastikan agar para pemberontak meluangkan waktunya untuk mengajar para petani yang tak terdidik yang tinggal bersama mereka sebagai bagian dari "pertempuran melawan kebodohan".[78] Tomás Alba, yang berjuang di bawah komando Guevara, kelak menyatakan bahwa "Che dicintai, meskipun ia keras dan banyak meminta. Kami bersedia mengorbankan nyawa kami untuknya."[86] Fidel Castro menganggap Guevara sebagai seorang pemimpin yang cerdas, berani, dan patut diteladani, dan Castro juga merasa bahwa Guevara "memiliki otoritas moral yang besar terhadap pasukannya".[87] Walaupun begitu, Castro menganggap Guevara terlalu banyak mengambil risiko, dan bahkan memiliki "kecenderungan nekat".[88] Letnan Guevara yang masih remaja, Joel Iglesias, mengisahkan tindakan-tindakan semacam itu dalam buku hariannya, tetapi ia menyatakan bahwa perilaku Guevara selama pertempuran bahkan membuat kagum musuhnya. Contohnya adalah ketika Iglesias terluka dalam pertempuran, ia melihat bahwa "Che berlari ke arahku, menerobos hujaman peluru, menggendongku di pundaknya, dan membawaku keluar dari sana. Para pasukan [lawan] tidak berani menembaknya ... kemudian mereka berkata kepadaku bahwa ia sungguh mengesankan mereka saat mereka melihatnya berlari dengan pistolnya yang ditenteng di sabuknya dan menghiraukan bahaya, [sehingga] mereka tidak berani menembak."[89] Guevara berperan penting dalam mendirikan stasiun radio bawah tanah Radio Rebelde (Radio Pemberontak) pada Februari 1958, yang menyiarkan pernyataan-pernyataan Gerakan 26 Juli kepada rakyat Kuba dan memungkinkan komunikasi radiotelepon di antara sejumlah pemberontak yang tersebar di pulau tersebut. Guevara tampaknya terinspirasi dari kemujaraban radio yang disediakan oleh CIA di Guatemala pada masa pelengseran pemerintahan Jacobo Árbenz Guzmán.[90] Untuk memadamkan pemberontakan, pasukan pemerintah Kuba mulai menghukum mati para pemberontak yang ditahan, dan secara berkala menangkapi, menyiksa, dan menembaki warga sipil sebagai bagian dari taktik intimidasi.[91] Pada Maret 1958, kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Batista membuat Amerika Serikat menghentikan penjualan senjata kepada pemerintahan Kuba.[79] Kemudian, pada akhir Juli 1958, Guevara memainkan peranan penting dalam Pertempuran Las Mercedes dengan menugaskan barisannya untuk menghalangi 1.500 pasukan yang dikerahkan oleh Jenderal Cantillo dalam upaya untuk mengepung dan menghancurkan pasukan Castro. Beberapa tahun kemudian, Mayor Larry Bockman dari Korps Marinir Amerika Serikat menganggap taktik Che dalam pertempuran tersebut sebagai taktik yang "brilian".[92] Pada masa itu, Guevara juga telah menjadi "ahli" taktik dalam melakukan penyerangan dan kemudian mundur ke pedesaan sebelum tentara Batista dapat melakukan serangan balasan.[93] Ketika perang terus berlanjut, Guevara memimpin barisan pejuang baru yang dikerahkan ke barat untuk mendekati kota Havana. Pasukan tersebut berjalan kaki selama tujuh minggu dan hanya bergerak pada malam hari agar tidak disergap musuh, dan mereka sering kali tidak makan selama berhari-hari.[94] Pada hari-hari terakhir Desember 1958, tugas Guevara adalah membagi Kuba menjadi dua dengan merebut Provinsi Las Villas. Dalam waktu beberapa hari, ia berhasil memperoleh sejumlah "kemenangan taktis yang brilian", sehingga ia dapat menguasai seluruh provinsi tersebut kecuali ibu kotanya di Santa Clara.[94] Guevara kemudian mengirim "regu bunuh diri"-nya ke Santa Clara, tetapi mereka malah berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang.[95][96] Sebagai catatan, selama enam minggu sebelum Pertempuran Santa Clara, terdapat masa ketika pasukan Che dikepung di segala arah, kalah persenjataan, dan kalah jumlah 10:1. Walaupun begitu, Che masih dapat menang, sehingga beberapa pengamat menganggapnya sebagai "pencapaian yang luar biasa dalam peperangan modern".[97] Radio Rebelde menyiarkan laporan pertama bahwa barisan Guevara telah mengambil alih Santa Clara pada Malam Tahun Baru 1958. Hal ini bertentangan dengan laporan dari media berita nasional yang sangat dikendalikan oleh pemerintah, yang sempat melaporkan bahwa Guevara tewas dalam pertempuran. Pada pukul tiga dini hari tanggal 1 Januari 1959, setelah mendengar kabar bahwa para jenderal sedang merundingkan perdamaian dengan Guevara, Fulgencio Batista menaiki sebuah pesawat di Havana dan melarikan diri ke Republik Dominika. Ia turut membawa "kekayaan yang jumlahnya melebihi $300.000.000 dari korupsi dan suap".[98] Pada hari berikutnya, Guevara memasuki kota Havana.[99] Fidel Castro butuh waktu enam hari untuk tiba di Havana, karena ia berhenti untuk menggalang dukungan di beberapa kota besar. Secara keseluruhan, jumlah korban tewas yang ditimbulkan oleh revolusi ini tercatat sekitar 2.000 orang.[100] Pada pertengahan Januari 1959, Guevara menetap di sebuah vila musim panas di Tarará agar ia dapat memulihkan diri dari serangan asma beratnya.[101] Saat berada di sana, ia membentuk Grup Tarara, sebuah kelompok yang membahas dan menyusun rencana-rencana pembangunan ekonomi, politik, dan sosial Kuba.[102] Selain itu, Che mulai menulis bukunya yang berjudul Perang Gerilya saat masih berada di Tarara.[102] Pada bulan Februari, pemerintah revolusioner memproklamirkan Guevara sebagai "warga negara Kuba berdasarkan kelahiran" untuk mengakui jasa-jasanya selama revolusi.[103] Saat Hilda Gadea tiba di Kuba pada akhir bulan Januari, Guevara berkata kepadanya bahwa ia memiliki hubungan dengan wanita lain, sehingga keduanya bercerai,[104] dan perceraian tersebut diresmikan pada tanggal 22 Mei.[105] Pada tanggal 2 Juni 1959, ia menikahi Aleida March, seorang anggota gerakan 26 Juli kelahiran Kuba yang telah tinggal dengannya sejak akhir tahun 1958. Guevara kembali ke desa pinggir laut Tarara pada bulan Juni untuk berbulan madu dengan Aleida.[106] Guevara sendiri dikaruniai lima orang anak dari dua pernikahannya.[107] La Cabaña, reformasi lahan, dan pengentasan buta aksaraKrisis politik besar pertama terjadi sehubungan dengan tindakan yang sebaiknya diambil terhadap para pejabat Batista yang bertanggung jawab atas tindakan penindasan.[108] Selama pemberontakan melawan kediktatoran Batista, komando umum pasukan pemberontak (yang dipimpin oleh Fidel Castro) mulai memberlakukan hukum pidana dari abad ke-19 yang disebut Ley de la Sierra (Hukum Sierra) di wilayah yang mereka kendalikan.[109] Hukum tersebut mengganjar hukuman mati untuk kejahatan berat, entah itu dilakukan oleh rezim Batista ataupun oleh para pendukung revolusi. Pada tahun 1959, pemerintah revolusioner menerapkan hukum tersebut di seluruh Kuba dan kepada orang-orang yang dianggap sebagai penjahat perang. Menurut Kementerian Kehakiman Kuba, pemberlakuan hukum ini didukung oleh mayoritas penduduk, dan mengikuti prosedur yang sama dengan yang Pengadilan Nürnberg yang digelar oleh Sekutu seusai Perang Dunia II.[110] Untuk mewujudkan rencana tersebut, Castro menjadikan Guevara sebagai komandan penjara Benteng La Cabaña untuk masa jabatan selama lima bulan (2 Januari sampai 12 Juni 1959).[111] Guevara ditugaskan "membersihkan" angkatan darat Batista dan memberlakukan "keadilan revolusioner" terhadap orang-orang yang dianggap pengkhianat, chivatos (informan), atau penjahat perang.[112] Saat menjadi komandan di La Cabaña, Guevara meninjau banding yang diajukan oleh orang-orang yang telah divonis selama proses pengadilan revolusioner.[7] Pengadilan dilakukan oleh 2-3 perwira tentara, seorang asisten hakim, dan seorang warga setempat yang dihormati.[113] Kadang-kadang hukuman yang diganjar oleh pengadilan ini adalah hukuman tembak mati.[114] Raúl Gómez Treto, seorang penasehat hukum senior untuk Kementerian Kehakiman Kuba, berpendapat bahwa hukuman mati dapat dibenarkan agar rakyat tidak mencoba main hakim sendiri, seperti yang pernah terjadi dua puluh tahun sebelumnya dalam pemberontakan anti-Machado.[115] Para penulis biografi mengamati bahwa pada Januari 1959, masyarakat Kuba ingin melakukan penghukuman mati dengan tangan mereka sendiri,[116] dan sebuah survei pada waktu itu menunjukkan bahwa 93% warga negara setuju dengan proses pengadilan tersebut.[7] Selain itu, pada tanggal 22 Januari 1959, Universal Newsreel (yang disiarkan di Amerika Serikat dan dinarasikan oleh Ed Herlihy) menayangkan Fidel Castro yang sedang bertanya kepada sekitar satu juta orang Kuba apakah mereka setuju dengan penghukuman mati ini, dan mereka menjawab dengan teriakan "¡Si!" (ya).[117] Mengingat bahwa sebelumnya ribuan orang Kuba telah dibunuh oleh para kolaborator Batista,[118][119] banyak penjahat perang yang dijatuhi hukuman mati;[7] pemerintahan Kuba yang baru menjalankan penghukuman mati tersebut dengan diiringi oleh teriakan dari kerumunan "¡al paredón!" ([ke] tembok!),[108] dan menurut penulis biografi Jorge Castañeda hal ini "tidak menghormati proses hukum yang semestinya".[120]
— Jon Lee Anderson, penulis Che Guevara: A Revolutionary Life, selama forum PBS[121] Meskipun terdapat berbagai versi, diperkirakan ada ratusan orang yang dihukum mati di seluruh Kuba pada masa itu, dan jumlah orang yang dihukum mati di yurisdiksi Guevara di La Cabaña berkisar antara 55 hingga 105.[122] Terdapat perbedaan pendapat terkait dengan bagaimana Guevara menyikapi penghukuman mati di La Cabaña. Beberapa penulis biografi yang berasal dari kalangan oposisi di pengasingan melaporkan bahwa Guevara menikmati ritual regu penembak, dan menggelarnya dengan penuh semangat, sementara yang lainnya menyatakan bahwa Guevara berusaha mengampuni sebanyak mungkin tahanan.[120] Walaupun begitu, para ahli mengakui bahwa Guevara telah menjadi orang yang "keras", yang tidak merasa ragu dengan penghukuman mati atau pengadilan yang bersifat singkat dan kolektif. Jika satu-satunya cara untuk "mempertahankan revolusi adalah dengan menghukum mati musuh-musuhnya, ia tidak akan digoyahkan oleh argumen-argumen kemanusiaan atau politik".[120] Hal ini semakin ditegaskan di dalam sebuah surat tertanggal 5 Februari 1959 kepada Luis Paredes López di Buenos Aires, yang menyatakan bahwa "Penghukuman mati menggunakan regu tembak tak hanya diperlukan demi rakyat Kuba, tetapi juga dijatuhkan oleh rakyat."[123] Selain memastikan "keadilan revolusioner", hal penting lain yang ingin diwujudkan oleh Guevara adalah reformasi lahan pertanian. Setelah keberhasilan revolusi pada 27 Januari 1959, Guevara menyampaikan salah satu pidatonya yang paling terkenal yang membahas "gagasan-gagasan sosial pasukan pemberontak". Dalam pidato tersebut, ia mengumandangkan bahwa perhatian utama pemerintahan Kuba yang baru adalah "keadilan sosial yang dibawa oleh redistribusi lahan".[124] Beberapa bulan kemudian pada tanggal 17 Mei 1959, Hukum Reformasi Agraria yang dirumuskan oleh Guevara mulai berlaku, sehingga membatasi luas semua lahan pertanian menjadi 1.000 ekar (400 hektare). Kepemilikan lahan yang lebih luas daripada batas ini akan disita oleh pemerintah dan lalu diredistribusikan kepada para petani dalam bentuk lahan seluas 67 ekar (270.000 m2) atau dijadikan komune milik negara.[125] Hukum tersebut juga menyatakan bahwa perkebunan gula tak dapat dimiliki oleh orang asing.[126] Pada tanggal 12 Juni 1959, Castro mengirim Guevara ke 14 negara yang kebanyakan merupakan anggota Konferensi Asia-Afrika. Guevara ditugaskan selama tiga bulan, dan ini mungkin dilakukan agar Castro dapat menjaga jarak dari Guevara dan rasa simpatinya kepada ideologi Marxis, yang dipermasalahkan oleh Amerika Serikat dan beberapa anggota Gerakan 26 Juli.[127] Saat berada di Jakarta, Guevara mengunjungi Presiden Indonesia Sukarno untuk membicarakan revolusi yang baru saja terjadi di Indonesia dan untuk membina hubungan dagang di antara kedua negara tersebut. Mereka cepat akrab, karena "keduanya penuh energi dan bergaya informal"; selain itu, mereka sama-sama memiliki haluan sayap kiri revolusioner dan menentang imperialisme barat.[128] Guevara kemudian berkunjung ke Jepang selama 12 hari (15–27 Juli), ikut serta dalam perundingan yang ingin memperkuat hubungan dagang Kuba dengan Jepang. Selama kunjungan tersebut, ia menolak untuk mengunjungi dan meletakkan karangan bunga di Makam Prajurit Tak Dikenal yang mengenang para prajurit Jepang yang menjadi korban Perang Dunia II, dengan alasan bahwa "imperialis" Jepang telah "membunuh jutaan orang Asia".[129] Guevara malah diam-diam mengunjungi Hiroshima, yang pernah terkena serangan bom atom Amerika 14 tahun sebelumnya.[129] Walaupun Guevara mengutuk Kekaisaran Jepang, ia juga menganggap Presiden Truman sebagai seorang "badut mengerikan" akibat serangan bom tersebut,[130] dan setelah mengunjungi Hiroshima dan Museum Peringatan Perdamaian-nya, ia mengirimkan sebuah kartu pos ke Kuba yang menyatakan bahwa "Agar dapat berjuang dengan lebih baik demi perdamaian, kita harus melihat Hiroshima."[131] Sekembalinya Guevara di Kuba pada September 1959, tampak jelas bahwa Castro memiliki kekuasaan politik yang lebih besar. Pemerintahannya mulai menyita lahan yang masuk ke dalam cakupan hukum reformasi agraria, tetapi menghindari pemberian ganti rugi kepada para tuan tanah, dan sebagai gantinya memberikan "obligasi" yang berbunga rendah, sebuah langkah yang membuat Amerika Serikat waspada. Pada saat itu, para peternak kaya asal Camagüey yang terkena dampak dari kebijakan ini melancarkan sebuah kampanye yang menentang redistribusi lahan, dan mereka berhasil mendapatkan dukungan dari seorang pemimpin pemberontak yang merasa tidak puas, Huber Matos; mereka bersama-sama dengan sayap anti-Komunis di dalam Gerakan 26 Juli mengutuk apa yang mereka sebut "gangguan Komunis".[132] Pada masa yang sama, diktator Republik Dominika Rafael Trujillo menawarkan bantuan kepada "Legiun Anti-Komunis Karibia" yang mendapatkan pelatihan di negara tersebut. Pasukan multi-nasional ini, yang kebanyakan terdiri dari orang Spanyol dan Kuba, dan beberapa juga orang Kroasia, Jerman, Yunani, dan tentara bayaran yang berhaluan sayap kanan, berencana untuk melengserkan rezim Castro.[132] Ancaman semacam ini semakin menguat ketika pada tanggal 4 Maret 1960 terjadi dua ledakan besar yang menerjang kapal kargo Prancis La Coubre, yang mengangkut munisi Belgia dari pelabuhan Antwerpen dan sedang berlabuh di Havana. Ledakan tersebut menewaskan sekitar 76 orang dan melukai ratusan orang lainnya, dan Guevara secara pribadi menyediakan pertolongan pertama kepada beberapa korban. Pemimpin Kuba Fidel Castro langsung menuduh CIA sebagai dalang "tindakan terorisme" dan menggelar pemakaman kenegaraan untuk para korban ledakan tersebut satu hari kemudian.[133] Pada saat upacara pemakaman itulah Alberto Korda mengabadikan foto terkenal Guevara, yang kini dikenal dengan sebutan Guerrillero Heroico.[134] Ancaman tersebut mendorong Castro untuk memusnahkan unsur-unsur "kontra-revolusi", dan ia menugaskan Guevara untuk mempercepat reformasi lahan. Maka dari itu, sebuah badan pemerintahan baru yang disebut Lembaga Reformasi Agraria Nasional (LRAN) didirikan untuk menjalankan hukum Reformasi Agraria yang baru. LRAN dengan segera menjadi badan pemerintahan paling penting di negara tersebut, dan Guevara menjadi kepalanya sebagai menteri perindustrian.[126] Atas perintah Guevara, LRAN mendirikan sebuah milisi yang terdiri dari 100.000 orang, yang mula-mula dikerahkan untuk membantu pemerintah mengambil alih lahan yang disita dan mengawasi proses redistribusinya, dan kemudian membentuk lahan-lahan kooperatif. Dari antara lahan-lahan yang masuk ke dalam cakupan, terdapat 480.000 ekar (190.000 ha) lahan milik perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang disita.[126] Beberapa bulan kemudian, Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower menanggapi tindakan ini dengan mengurangi impor gula dari Kuba (komoditas ekspor utama Kuba), yang kemudian membuat Guevara berseru di hadapan 100.000 pekerja di depan Istana Presidensial pada tanggal 10 Juli 1960 untuk mengutuk "agresi ekonomi" yang dilakukan oleh Amerika Serikat.[135] Para wartawan majalah Time yang bertemu dengan Guevara pada waktu itu menyebutnya sebagai "pemandu Kuba dengan perhitungan yang dingin, kecakapan, kecerdasan yang tinggi, dan selera humor yang tanggap."[6] Seiringan dengan reformasi lahan, satu ranah utama yang menjadi perhatian Guevara adalah pengentasan buta aksara. Sebelum tahun 1959, tingkat melek huruf Kuba secara resmi berkisar antara 60–76%, dan faktor yang menghambat pengentasan buta aksara adalah kesulitan akses pendidikan di kawasan pedesaan dan kurangnya tenaga pendidik.[136] Maka dari itu, pemerintah Kuba atas desakan dari Guevara memutuskan untuk menjuluki tahun 1961 sebagai "tahun pendidikan", dan mengerahkan lebih dari 100.000 sukarelawan ke dalam "pasukan-pasukan melek huruf", yang kemudian dikirim ke wilayah pedesaan untuk membangun sekolah, melatih pengajar baru, dan mendidik guajiros (para petani) yang kebanyakan buta huruf.[78][136] Tak seperti beberapa inisiatif ekonomi yang dilancarkan oleh Guevara sesudahnya, kampanye tersebut "sangat berhasil". Seusai Kampanye Melek Huruf Kuba, 707.212 orang dewasa telah diajarkan untuk membaca dan menulis, sehingga tingkat melek huruf nasional naik menjadi 96%.[136]
— Urbano (alias Leonardo Tamayo), Selain itu, Guevara juga berupaya menyediakan pendidikan tinggi untuk rakyat Kuba. Untuk mewujudkannya, rezim Castro memberlakukan aksi afirmatif di universitas-universitas. Saat mengumumkan komitmen baru tersebut, Guevara berkata kepada para dosen dan mahasiswa di Universitas Las Villas bahwa hari-hari ketika pendidikan menjadi "keistimewaan golongan kulit putih menengah" telah berakhir. Menurutnya, universitas tersebut "harus mencorakkan diri dengan orang kulit hitam, mulatto, buruh, dan petani." Jika hal tersebut tak dilakukan, ia memperingatkan bahwa masyarakat akan mendobrak pintu-pintunya "dan mencorakkan Universitas tersebut dengan warna-warna yang mereka inginkan."[138] Pengaruh ideologi Marxis
Pada September 1960, saat Guevara ditanyai tentang ideologi Kuba di Kongres Amerika Latin Pertama, ia menjawab, "Jika aku ditanyai apakah revolusi kami adalah komunis, aku akan mendefinisikannya sebagai Marxis."[140] Maka dari itu, ketika Guevara melaksanakan dan menganjurkan suatu kebijakan di Kuba, ia mengutip filsuf politik Karl Marx sebagai inspirasi ideologinya. Dalam upaya untuk mempertahankan pendirian politiknya, Guevara dengan percaya diri mengatakan "Terdapat kebenaran yang begitu jelas, sungguh jelas hingga menjadi bagian dari pengetahuan rakyat, sehingga sekarang tidak perlu lagi membicarakannya. Manusia seharusnya menjadi Marxis sebagaimana '[dinamika] Newton' sungguh alami dalam fisika atau 'Pasteur' [sungguh alami] dalam biologi."[139] Menurut Guevara, tujuan para "revolusioner praktis" dalam Revolusi Kuba hanyalah "mewujudkan hukum-hukum yang diramalkan oleh Marx, sang ilmuwan."[139] Guevara menggunakan prediksi Marx dan sistem materialisme dialektis, dan ia menyatakan bahwa "Hukum Marxisme hadir dalam peristiwa-peristiwa Revolusi Kuba, secara terpisah dari apa yang dinyatakan atau diketahui secara menyeluruh dari sudut pandang teoretis oleh para pemimpinnya."[139] Wawasan ekonomi dan "Manusia Baru"
Pada masa ini, Guevara mengemban jabatan tambahan sebagai Menteri Keuangan, serta Presiden Bank Nasional. Maka dari itu, Guevara mencapai puncak kekuasaannya, dan ia secara praktis menjadi "penguasa" ekonomi Kuba.[135] Sebagai kepala bank sentral, tugas Guevara sekarang adalah menandatangani uang kertas Kuba. Ia tidak menggunakan nama lengkapnya dan hanya menandatangani uang-uang tersebut dengan tulisan "Che".[142] Melalui tindakan simbolis ini, yang membuat takut banyak orang di sektor keuangan Kuba, Guevara menunjukkan bahwa ia tidak menyukai uang dan perbedaan golongan yang dipicu olehnya.[142] Sahabat karib Guevara, Ricardo Rojo, belakangan mengomentari bahwa "Pada hari ketika ia menandatangani Che di uang kertas, (ia) menyerang keyakinan yang sebelumnya menyebar luas bahwa uang itu keramat."[143] Dalam upaya untuk menghapuskan kesenjangan sosial, pemerintah Kuba berupaya mengubah landasan politik dan ekonomi negara tersebut dengan menasionalisasi pabrik-pabrik, bank-bank, dan usaha-usaha, sesambil menyediakan tempat tinggal, fasilitas kesehatan, dan pekerjaan bagi seluruh rakyat Kuba.[145] Namun, agar perubahan dapat mengakar, pemerintah merasa bahwa perubahan struktural semacam itu harus diiringi oleh perubahan hubungan dan nilai-nilai sosial. Mereka meyakini bahwa perlakuan Kuba terhadap ras, wanita, individualisme, dan tenaga kasar sebelumnya dihasilkan oleh masa lalu pulau tersebut.[145] Maka dari itu, pemerintah Kuba telah merumuskan ulang gagasan "kekubaan" (cubanidad) dan menyamakannya dengan ideologi Marxisme–Leninisme, dan mereka juga menegaskan pentingnya asas-asas seperti egalitarianisme dan pengorbanan diri, sementara perbedaan tidak dianjurkan karena "persatuan, kesetaraan, dan kebebasan" telah menjadi asas-asas yang baru.[145] Pemerintah juga menyerukan kepada semua orang untuk menganggap satu sama lain sebagai orang-orang yang setara dan mengamalkan nilai-nilai yang disebut oleh Guevara dengan julukan "el Hombre Nuevo" (Manusia Baru).[145] Guevara berharap agar "manusia baru" akan menjadi pribadi yang "tanpa pamrih dan kooperatif, patuh dan bekerja keras, buta gender, tidak korup, tidak materialistik, dan anti-imperialis".[145] Tujuan ekonomi pertama "manusia baru" yang ingin dicapai oleh Guevara, yang beriringan dengan ketidaksukaannya terhadap penumpukan kekayaan dan kesenjangan ekonomi, adalah penghapusan insentif material di seluruh negeri dan menggantikannya dengan insentif moral. Ia menganggap kapitalisme sebagai "persaingan antar serigala" dan "seseorang hanya dapat menang dengan mengorbankan yang lain", sehingga Guevara sungguh ingin menciptakan "pria dan wanita baru".[146] Guevara berulang kali menegaskan bahwa "upaya, pengorbanan, dan risiko perang dan kehancuran" demi ekonomi sosialis itu sama sekali tidak patut jika ekonomi tersebut malah mendorong "ketamakan dan ambisi individu yang mengorbankan semangat kolektif".[147] Tujuan utama Guevara adalah mereformasi "kesadaran individu" dan nilai-nilai untuk menghasilkan pekerja dan warga negara yang baik.[147] Menurut pandangannya, "manusia baru" Kuba akan mampu mengatasi egoisme yang tidak ia sukai dan yang ia anggap sebagai sifat individu-individu dalam masyarakat kapitalis.[147] Untuk menyebarkan gagasan "manusia baru" ini, pemerintah juga mendirikan sejumlah lembaga-lembaga dan mekanisme-mekanisme di seluruh tingkatan masyarakat, yang meliputi organisasi-organisasi seperti kelompok buruh, liga pemuda, kelompok wanita, pusat komunitas, dan rumah budaya untuk mendorong sastra, musik, dan seni. Selain itu, seluruh fasilitas pendidikan, media massa, dan seni dinasionalisasi dan dipakai untuk menanamkan ideologi sosialis resmi pemerintah.[145] Dalam menjelaskan metode "pembangunan" baru ini, Guevara menyatakan:
Guevara meyakini bahwa unsur penting lainnya untuk mengembangkan rasa "persatuan antara individu dan massa" adalah kemauan dan kerja sukarela. Untuk menunjukkan hal ini, Guevara "memimpin melalui contoh", bekerja "tanpa henti dalam pekerjaan kementeriannya, dalam pembangunan, dan bahkan memotong tebu" pada waktu luangnya.[149] Ia dikenal karena dapat bekerja selama 36 jam, menggelar pertemuan setelah tengah malam, dan makan sambil berjalan.[147] Perilaku-perilaku tersebut bersifat simbolis untuk program insentif moral Guevara yang baru: setiap pekerja kini diminta untuk memenuhi kuota tertentu saat menghasilkan barang, dan jika mereka berhasil melebihi kuota, mereka tidak akan lagi mendapatkan uang (karena ini sudah dihapuskan oleh Guevara), tetapi mendapatkan sertifikat penghargaan, sementara buruh yang gagal mencapai kuotanya akan dipotong gajinya.[147] Guevara tanpa rasa menyesal mencoba mempertahankan falsafah pribadinya ini dengan mengatakan:
Akibat terhentinya hubungan dagang dengan negara-negara Barat, Guevara berusaha menggantikannya dengan negara-negara Blok Timur, sehingga ia mengunjungi sejumlah negara Marxis dan menandatangani perjanjian-perjanjian dagang dengan mereka. Pada akhir tahun 1960, ia mengunjungi Cekoslowakia, Uni Soviet, Korea Utara, Hungaria, dan Jerman Timur. Salah satu contoh perjanjian yang ditandatangani oleh Guevara adalah perjanjian dagang dengan Berlin Timur pada tanggal 17 Desember 1960.[151] Perjanjian semacam itu membantu ekonomi Kuba, tetapi juga membuat negara ini bergantung kepada negara-negara Blok Timur. Namun, program-program ekonomi Guevara mengalami kegagalan.[152] Program "insentif moral" Guevara mengakibatkan penurunan produktivitas dan bertambahnya jumlah orang yang mangkir.[153] Beberapa dasawarsa sesudahnya, direktur Radio Martí Ernesto Betancourt yang pernah membela Castro dan juga merupakan mantan wakil Che tetapi kemudian menjadi pengkritik rezim Castro, menegaskan bahwa Guevara "tidak mengetahui asas-asas ekonomi yang paling mendasar."[154] Teluk Babi dan krisis misilPada tanggal 17 April 1961, 1.400 orang Kuba di pengasingan yang dilatih oleh Amerika Serikat melancarkan Invasi Teluk Babi. Guevara tidak memainkan peranan penting selama pertempuran, karena sehari sebelum dimulainya serangan, sebuah kapal perang yang mengangkut para marinir melancarkan serangan bohong-bohongan ke pesisir barat Pinar del Río, sehingga perhatian pasukan yang dipimpin oleh Guevara pun teralih ke wilayah tersebut. Namun, para sejarawan masih tetap menghargai jasanya karena ia merupakan direktur pengarahan angkatan bersenjata Kuba pada masa itu.[8] Penulis Tad Szulc dalam upayanya untuk menjelaskan kemenangan Kuba menyatakan bahwa "Para revolusioner menang karena Che Guevara, sebagai kepala Departemen Pengarahan Angkatan Bersenjata Revolusioner yang mengurus program pelatihan milisi, telah melakukan tugasnya dengan baik dalam menyiapkan 200.000 pria dan wanita untuk berperang."[8] Namun, selama proses pengerahan pasukan, pipi Guevara sempat terserempet peluru saat pistolnya jatuh dari tempat penyimpanannya dan secara tak sengaja tertembak.[155] Pada Agustus 1961, selama konferensi ekonomi Organisasi Bangsa-Bangsa Amerika di Punta del Este, Uruguay, Che Guevara mengirimkan surat yang mengungkapkan "rasa terima kasih" kepada Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy melalui Richard N. Goodwin, Deputi Asisten Sekretaris Negara untuk Urusan Antar-Amerika. Di dalam surat tersebut tertulis "Terima kasih atas Playa Girón (Teluk Babi). Sebelum invasi, revolusi masih goyah. Sekarang revolusi lebih kuat daripada sebelumnya."[156] Sebagai tanggapan terhadap ajakan Menteri Keuangan Amerika Serikat Douglas Dillon kepada negara-negara Amerika Latin untuk bergabung dengan Alliance for Progress, Guevara menolak klaim Amerika Serikat sebagai sebuah negara "demokrasi", dengan menyatakan bahwa sistem semacam itu tidak selaras dengan "oligarki keuangan, diskriminasi terhadap orang kulit hitam, dan kebiadaban-kebiadaban Ku Klux Klan".[157] Guevara melanjutkan dengan menentang "penindasan" yang menurutnya telah "mengusir para ilmuwan seperti Oppenheimer dari jabatan mereka, membuat dunia tidak dapat lagi menikmati suara menakjubkan Paul Robeson selama bertahun-tahun, dan mengirim pasangan Rosenberg menuju kematian meskipun ditentang oleh dunia."[157] Guevara mengakhiri pernyataannya dengan menuduh bahwa Amerika Serikat tidak tertarik melakukan reformasi yang sebenarnya, dan ia berkomentar bahwa "Para pakar AS tak pernah berbicara tentang reformasi agraria; mereka lebih suka subjek yang aman, seperti pasokan air yang lebih baik. Singkatnya, mereka tampaknya sedang mempersiapkan revolusi toilet."[158] Guevara pada dasarnya merupakan perancang hubungan Kuba dengan Soviet,[159] dan ia juga berperan penting dalam membawa misil balistik Soviet yang dilengkapi dengan hulu ledak nuklir ke Kuba, sehingga menimbulkan Krisis Misil Kuba pada Oktober 1962 yang hampir menghantarkan dunia menuju perang nuklir.[160] Beberapa minggu setelah krisis tersebut, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar komunis Inggris Daily Worker, Guevara masih murka karena ia merasa Soviet telah mengkhianati Kuba, dan ia memberitahukan kepada koresponden Sam Russell bahwa apabila misil-misil tersebut dikendalikan secara langsung oleh Kuba, mereka akan menembakkannya.[161] Belakangan Guevara mengulang pernyataan serupa bahwa "jutaan korban perang atom" layak digugurkan demi perjuangan sosialis melawan "agresi imperialis".[162] Krisis misil tersebut juga semakin meyakinkan Guevara bahwa dua adidaya dunia (Amerika Serikat dan Uni Soviet) memanfaatkan Kuba sebagai pion dalam strategi global mereka. Setelah itu, ia mengutuk Soviet hampir sesering ia mengutuk Amerika.[163] Diplomasi internasionalPada Desember 1964, Che Guevara telah menjadi "negarawan revolusioner taraf dunia" dan kemudian berkunjung ke New York City sebagai kepala delegasi Kuba untuk berbicara di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[143] Pada tanggal 11 Desember 1964, Guevara menyampaikan sebuah pidato di PBB yang mengkritik ketidakmampuan PBB dalam melawan "kebijakan apartheid yang brutal" di Afrika Selatan.[164] Guevara kemudian mengutuk kebijakan Amerika Serikat terhadap orang-orang kulit hitam, dan ia berkata:
Guevara mengakhiri pidatonya dengan mengutip Deklarasi Havana Kedua, yang menyatakan Amerika Latin sebagai sebuah "keluarga yang terdiri dari 200 juta saudara yang mengalami penderitaan yang sama".[164] Menurut Guevara, "epos" ini akan ditulis oleh "orang-orang Indian yang kelaparan, petani-petani tanpa lahan, buruh-buruh yang dieksploitasi, dan orang-orang progresif". Bagi Guevara, konflik tersebut merupakan perjuangan massa dan gagasan, yang akan dijalankan oleh orang-orang yang "dianiaya dan dianggap rendah oleh imperialisme", yang sebelumnya juga dianggap sebagai "kerumunan yang lemah dan penurut". Guevara juga meyakini bahwa "kapitalisme monopoli Yankee" merasa ketakutan dengan "kerumunan" tersebut yang dirasa akan menjadi "penggali kuburan" mereka.[164] Pada "momen penegakan keadilan" tersebut, Guevara menyatakan bahwa "massa tak dikenal" akan mulai menulis sejarahnya "dengan darahnya sendiri" dan merebut kembali "hak-hak yang telah ditertawakan oleh semuanya selama 500 tahun". Guevara menutup pernyataannya di hadapan Majelis Umum PBB dengan berkata bahwa "gelombang kemurkaan" akan "menerjang wilayah Amerika Latin" dan massa buruh yang "memutar roda sejarah" kini untuk pertama kalinya telah "bangun dari tidur yang brutal dan panjang".[164] Guevara kemudian mendengar kabar bahwa terdapat dua percobaan pembunuhan terhadapnya selama pemberhentiannya di kompleks PBB, dan kedua pelakunya berasal dari kalangan orang Kuba di pengasingan.[165] Yang pertama dilakukan oleh Molly Gonzales, yang berusaha menerobos barikade dengan pisau berburu sepanjang tujuh inci saat Guevara tiba. Upaya kedua dilancarkan oleh Guillermo Novo yang menembakkan sebuah basoka yang dipicu oleh pengatur waktu dari sebuah perahu di Sungai East, tetapi tembakan tersebut melenceng. Guevara menanggapi kedua insiden tersebut dengan menyatakan bahwa "Lebih baik dibunuh oleh seorang wanita dengan sebuah pisau ketimbang oleh seorang pria dengan sebuah pistol".[165] Saat berada di New York, Guevara tampil di program berita hari Minggu CBS, Face the Nation.[166] Ia juga bertemu dengan berbagai tokoh, seperti Senator Amerika Serikat Eugene McCarthy[167] dan rekan sejawatnya, Malcolm X. Malcolm X mengungkapkan rasa kagumnya dan menyatakan Guevara sebagai "salah satu orang paling revolusioner di negaranya saat ini".[168] Pada tanggal 17 Desember, Guevara meninggalkan New York dan pergi ke Paris, Prancis, dan dari situ ia memulai perjalanan selama tiga bulan yang meliputi kunjungan ke Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara, Republik Arab Bersatu, Aljazair, Ghana, Guinea, Mali, Dahomey, Kongo-Brazzaville, dan Tanzania, dengan perhentian di Irlandia dan Praha. Saat berada di Irlandia, Guevara merayakan warisan budaya Irlandianya dengan memperingati Hari Santo Patrick di kota Limerick.[169] Ia menuliskan kepada ayahnya tentang kunjungan tersebut dengan jenaka: "Aku sedang berada di Irlandia hijau ini dari para leluhurmu. Saat mereka mengetahui tentang hal ini, [stasiun] televisi datang dan menanyaiku tentang silsilah keluarga Lynch, tetapi aku tidak banyak berkata-kata untuk berjaga-jaga kalau-kalau mereka adalah pencuri kuda atau semacamnya."[170] Selama perjalanannya, ia menulis sebuah surat kepada Carlos Quijano, seorang penyunting surat kabar mingguan di Uruguay, dan surat-surat ini kemudian diberi judul Sosialisme dan Manusia di Kuba.[146] Surat-surat tersebut berisi tentang panggilan untuk membentuk kesadaran baru, status kerja yang baru, dan peranan individu yang baru. Ia juga menjabarkan alasan-alasan di balik pandangan anti-kapitalisnya:
Guevara mengakhiri esai tersebut dengan mengumandangkan bahwa "revolusioner yang sesungguhnya dipandu oleh rasa kecintaan yang besar", dan ia mengisyaratkan kepada semua kaum revolusioner untuk "berjuang setiap hari sehingga kecintaannya terhadap kemanusiaan akan dijelmakan menjadi tindakan-tindakan yang menjadi contoh", yang lalu akan menjadikannya sebagai "kekuatan penggerak".[146] Hal ini mengakar dari keyakinan Guevara bahwa Revolusi Kuba merupakan "sesuatu yang bersifat spiritual yang akan melampaui segala batas".[31] Aljazair, Soviet dan TiongkokDi kota Aljir pada tanggal 24 Februari 1965, Guevara untuk terakhir kalinya muncul di muka umum saat ia menyampaikan sebuah pidato di sebuah seminar ekonomi mengenai solidaritas Asia-Afrika.[171] Ia menjabarkan kewajiban moral negara-negara sosialis dan menuduh mereka diam-diam ikut melakukan eksploitasi bersama-sama dengan negara-negara Barat. Ia lalu menguraikan sejumlah tindakan yang harus dilakukan oleh negara-negara blok komunis untuk mengalahkan imperialisme.[172] Ia lalu kembali ke Kuba pada tanggal 14 Maret dan secara resmi disambut oleh Fidel dan Raúl Castro serta Osvaldo Dorticós dan Carlos Rafael Rodríguez di bandar udara Havana. Seperti yang disampaikan dalam pidato publik terakhirnya di Aljazair, Guevara merasa bahwa Belahan Utara, yang dipimpin oleh Amerika Serikat di Barat dan Uni Soviet di Timur, telah mengeksploitasi Belahan Selatan. Ia sangat mendukung Vietnam Utara dalam Perang Vietnam, dan menyerukan bangsa-bangsa dari negara-negara berkembang lainnya untuk mengangkat senjata dan menciptakan "banyak Vietnam".[173] Tindakan Che yang mengutuk Uni Soviet secara terbuka mendorong popularitasnya di kalangan intelektual dan seniman kiri Eropa yang sudah tidak lagi percaya dengan Uni Soviet, sementara tindakan Guevara yang mengutuk imperialisme dan seruannya untuk mengobarkan revolusi juga telah menginspirasi para mahasiswa radikal muda di Amerika Serikat, yang tidak sabar menginginkan perubahan masyarakat.[174]
— Helen Yaffe, pengarang Che Guevara: The Economics of Revolution[175] Dalam tulisan-tulisan pribadi Guevara dari masa itu, ia semakin mengkritik sistem di Uni Soviet, dan ia meyakini bahwa Soviet telah "melupakan Marx".[175] Maka dari itu, Guevara mengutuk sejumlah praktik di Uni Soviet, termasuk apa yang ia anggap sebagai upaya untuk "mengabaikan kekerasan yang melekat pada perjuangan kelas yang merupakan unsur yang tak terpisahkan dalam peralihan dari kapitalisme menuju sosialisme", kebijakan eksistensi damai dengan Amerika Serikat yang "berbahaya", kegagalan mereka dalam mendorong "perubahan kesadaran" terhadap gagasan kerja, dan upaya mereka untuk "meliberalisasi" ekonomi sosialis. Guevara menginginkan penghapusan uang, suku bunga, produksi komoditas, ekonomi pasar, dan "hubungan merkantil": seluruh kondisi yang dianggap Soviet hanya akan hilang saat komunisme dunia telah terwujud.[175] Guevara tidak setuju dengan pendekatan setahap demi setahap, dan ia mengkritik Panduan Ekonomi Politik Soviet, yang secara jelas memprediksi bahwa jika Uni Soviet tidak meniadakan hukum nilai, maka negara tersebut akan kembali ke kapitalisme.[175] Dua minggu setelah berpidato di Aljazair dan kembali ke Kuba, Guevara lenyap dari muka umum.[176] Keberadaannya menjadi misteri besar di Kuba, karena ia umumnya dipandang sebagai penguasa kedua setelah Castro sendiri. Hilangnya Guevara telah dikaitkan dengan kegagalan skema industrialisasi Kuba yang ia ajukan saat menjadi menteri perindustrian, tekanan dari para pejabat Soviet terhadap Castro karena mereka tidak menyukai pandangan Guevara yang pro-Tiongkok semenjak peristiwa perpecahan Tiongkok-Soviet, atau perselisihan pandang antara Guevara dengan Castro yang lebih bersifat pragmatis terkait ideologi dan perkembangan ekonomi Kuba.[177] Akibat derasnya spekulasi internasional tentang nasib Guevara, Castro menyatakan pada tanggal 16 Juni 1965 bahwa rakyat akan diberitahukan jika Guevara sendiri ingin agar mereka mengetahuinya. Walaupun begitu, desas-desus mengenai keberadaan Guevara menyebar di dalam dan di luar Kuba. Pada tanggal 3 Oktober 1965, Castro menyibak sebuah surat tak tertanggal yang ditujukan kepadanya dari Guevara sekitar tujuh bulan sebelumnya yang diberi judul "surat perpisahan" Che Guevara. Di dalam surat tersebut, Guevara menegaskan kembali solidaritasnya dengan Revolusi Kuba, tetapi ia mengumumkan rencananya untuk meninggalkan Kuba untuk mengobarkan revolusi di luar negeri. Selain itu, ia mundur dari semua jabatannya di pemerintahan dan partai komunis, dan ia juga melepaskan kewarganegaraan kehormatan Kuba yang ia miliki.[178] KongoPada awal tahun 1965, Guevara pergi ke Kongo pada masa Pemberontakan Simba untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya sebagai gerilyawan. Menurut Presiden Aljazair Ahmed Ben Bella, Guevara merasa bahwa Afrika adalah titik lemah imperialisme, sehingga memiliki potensi revolusi yang amat besar.[179] Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, yang memiliki hubungan yang dekat dengan Guevara sejak kunjungan Guevara ke Mesir pada tahun 1959, menganggap rencana Guevara untuk berjuang di Kongo sebagai rencana yang "tidak bijak" dan memberikan peringatan bahwa ia akan menjadi seorang figur "Tarzan" yang akan mengalami kegagalan.[180] Meskipun sudah diperingatkan, Guevara mendatangi Kongo dengan menggunakan nama samaran Ramón Benítez.[181] Ia memimpin operasi Kuba yang mendukung gerakan Marxis Simba. Guevara, komandan keduanya Víctor Dreke, dan 12 pasukan ekspedisi Kuba lainnya tiba di Kongo pada tanggal 24 April 1965, dan sekitar 100 pasukan Afrika-Kuba kemudian juga bergabung dengan mereka.[182][183] Mereka sempat bekerjasama dengan pemimpin gerilya Laurent-Désiré Kabila, yang sebelumnya pernah membantu para pendukung mantan presiden Patrice Lumumba (yang sebelumnya telah dijatuhkan dan dibunuh) dalam mengobarkan pemberontakan yang mengalami kegagalan beberapa bulan sebelumnya. Sebagai pengagum Lumumba, Guevara mengumandangkan bahwa "peristiwa pembunuhannya harus menjadi pelajaran bagi kita semua".[184] Guevara, dengan pengetahuan bahasa Swahili dan bahasa-bahasa setempat yang terbatas, dibantu seorang penerjemah remaja, Freddy Ilanga. Selama tujuh bulan, Ilanga semakin "mengagumi Guevara yang tekun", dan ia juga merasa bahwa Guevara "menghormati orang kulit hitam selayaknya ia menghormati orang kulit putih".[185] Namun, Guevara kemudian merasa kecewa dengan kedisiplinan pasukan Kabila yang buruk dan kemudian tidak lagi mendukungnya dengan alasan "tak ada yang membuatku percaya bahwa ia adalah orang yang dihormati oleh banyak orang".[186] Rintangan lain pun muncul, yaitu tentara bayaran kulit putih yang dipimpin oleh Mike Hoare dan didukung oleh pilot-pilot Kuba yang anti-Castro dan oleh CIA. Mereka berhasil menghentikan pergerakan Guevara dari perkemahan yang menjadi markasnya di kawasan pegunungan di dekat desa Fizi di wilayah Danau Tanganyika, Kongo tenggara. Mereka dapat memantau segala komunikasinya, sehingga mereka dapat terlebih dahulu menggagalkan upaya serangannya dan memutus jalur persediaannya. Meskipun Guevara berusaha untuk menyembunyikan keberadaannya di Kongo, pemerintah Amerika Serikat mengetahui lokasi dan aktivitasnya. Badan Keamanan Nasional mencegat semua transmisi yang diterima dan dikirimkan oleh Guevara dengan menggunakan peralatan di atas USNS Private Jose F. Valdez (T-AG-169) yang dijadikan pos penyadapan terapung di lepas pantai Dar es Salaam di Samudra Hindia[187] Tujuan Guevara adalah untuk mengekspor revolusi dengan mengajarkan ideologi Marxisme dan strategi-strategi teori foco dalam perang gerilya kepada para pejuang Simba anti-Mobutu. Di dalam Buku Harian Kongo-nya, Guevara menyatakan bahwa alasan kegagalan pemberontakan di Kongo adalah ketidakcakapan, kekeraskepalaan, dan pertikaian di antara para pemberontak.[188] Kemudian, pada tanggal 20 November 1965, ia memutuskan untuk meninggalkan Kongo bersama dengan enam orang rekannya dari Kuba yang masih bertahan hidup, dan Guevara sendiri pada saat itu sedang terserang penyakit disenteri dan asma akut, dan ia juga merasa patah semangat setelah tujuh bulan mengalami kekalahan. Guevara berencana untuk mengirim kembali para pasukannya yang terluka ke Kuba dan ia ingin berjuang sendirian di Kongo sampai ajal menjemput. Namun, setelah didesak oleh rekan-rekannya dan dua utusan yang dikirim oleh Castro, pada akhirnya ia bersedia untuk meninggalkan Afrika, walaupun sebenarnya enggan. Pada hari itu sepanjang siang dan malam, pasukan Guevara diam-diam keluar dari perkemahan mereka, membakar gubuk mereka, dan menghancurkan atau melempar persenjataan yang tidak dapat mereka bawa ke Danau Tanganyika, sebelum menyeberangi perbatasan menuju Tanzania pada malam hari dan lalu pergi ke Dar es Salaam melalui jalur darat. Beberapa bulan kemudian, saat sedang berbicara tentang pengalamannya di Kongo, Guevara menyatakan bahwa ia lebih baik pergi ketimbang berjuang sampai mati karena: "Unsur manusianya gagal. Tak ada kemauan untuk berjuang. Para pemimpin [pemberontak] korup. (...) Tak ada yang dapat dilakukan."[189] Guevara juga mengumandangkan bahwa "Kami tidak bisa sendirian melakukan pembebasan di sebuah negara yang tidak ingin berjuang."[190] Beberapa minggu kemudian, ia menulis kata pengantar di buku hariannya selama di Kongo, dan ia memulai dengan kalimat: "Ini adalah sejarah sebuah kegagalan."[191] Guevara merasa enggan untuk kembali ke Kuba, karena Castro telah menerbitkan "surat perpisahan" yang ditulis oleh Guevara, yang seharusnya hanya akan diterbitkan jika ia meninggal; ia lalu memutus semua hubungan agar dapat mengabdikan dirinya untuk mengobarkan revolusi di seluruh dunia.[192] Akibatnya, Guevara menjalani enam bulan berikutnya dengan tinggal secara diam-diam di Dar es Salaam dan Praha.[193] Pada masanya di luar negeri, ia menyusun memoar-memoar pengalamannya di Kongo dan menulis naskah dua buku, yang satu tentang filsafat dan yang lainnya tentang ekonomi. Saat Guevara bersiap-siap untuk pindah ke Bolivia, ia diam-diam kembali ke Kuba untuk mengunjungi Castro, serta untuk menengok istrinya dan menulis surat terakhirnya kepada lima anaknya untuk dibaca setelah ia meninggal. Surat tersebut diakhiri dengan kalimat berikut:
BoliviaPada akhir tahun 1966, keberadaan Guevara masih tidak diketahui oleh umum, meskipun para perwakilan gerakan kemerdekaan Mozambik, FRELIMO, mengabarkan bahwa mereka bertemu dengan Guevara di Dar es Salaam terkait tawarannya untuk membantu proyek revolusioner mereka, sebuah tawaran yang akhirnya mereka tolak.[195] Sebelum berangkat ke Bolivia, Guevara mengubah penampilannya dengan mencukur janggut dan rambutnya dan mencatnya dengan warna abu-abu, sehingga ia tidak lagi dapat dikenali sebagai Che Guevara.[196] Pada tanggal 3 November 1966, Guevara diam-diam datang ke La Paz dengan menumpangi sebuah penerbangan dari Montevideo. Guevara menggunakan nama samaran Adolfo Mena González dan ia berpura-pura menjadi seorang pengusaha Uruguay kelas menengah yang bekerja untuk Organisasi Bangsa-Bangsa Amerika.[197] Tiga hari setelah kedatangannya di Bolivia, Guevara meninggalkan La Paz menuju kawasan pedesaan tenggara untuk membentuk pasukan gerilyanya. Markas pertama Guevara terletak di hutan kering dataran tinggi di kawasan Ñancahuazú. Pelatihan di perkemahan desa Ñancahuazú terbukti merupakan kegiatan yang berbahaya. Walaupun begitu, Che dibantu oleh seorang agen rahasia Jerman Timur kelahiran Argentina, Haydée Tamara Bunke Bider, yang lebih dikenal dengan nom de guerre-nya "Tania".[198][199] Pasukan gerilya Guevara, yang berjumlah sekitar 50 orang[200] dan beroperasi sebagai ELN (Ejército de Liberación Nacional de Bolivia, "Tentara Pembebasan Nasional Bolivia"), memiliki persenjataan yang baik dan awalnya cukup berhasil melawan pasukan Bolivia di medan yang sulit di kawasan pegunungan Camiri pada bulan-bulan awal tahun 1967. Akibat kemenangan Guevara dalam beberapa pertarungan melawan pasukan Bolivia pada musim semi dan panas tahun 1967, pemerintah Bolivia terlalu tinggi memperkirakan jumlah pasukan gerilya Guevara yang sesungguhnya.[201] Namun, pada Agustus 1967, militer Bolivia berhasil memusnahkan dua kelompok gerilya dalam sebuah pertempuran yang berdarah, dan dikabarkan salah satu pemimpinnya tewas. Para peneliti menduga upaya Guevara untuk mengobarkan revolusi di Bolivia gagal akibat sejumlah faktor:
Selain itu, Guevara lebih memilih konfrontasi ketimbang kompromi, sehingga ia tidak dapat membina hubungan yang baik dengan para pemimpin pemberontakan di Bolivia.[204] Kecenderungan ini sudah terlihat semenjak ia berada di Kuba, tetapi hal ini dapat diredam oleh campur tangan Fidel Castro.[205] Pada akhirnya, Guevara tidak dapat mengajak warga setempat untuk bergabung dengan milisinya. Banyak warga yang malah memberitahukan aparat Bolivia tentang keberadaan para gerilyawan dan pergerakan mereka. Menjelang akhir petualangannya di Bolivia, Guevara menulis di dalam buku hariannya bahwa "para petani tidak membantu kami sama sekali, dan mereka berubah menjadi informan."[206] Penangkapan dan kematian
— Philip Agee, agen CIA pada tahun 1957–1968, kemudian berbalik menjadi berpihak kepada Kuba[207] Félix Rodríguez, orang Kuba di pengasingan yang menjadi agen Divisi Aktivitas Khusus CIA, memberikan nasihat kepada pasukan Bolivia dalam upaya untuk mencari Guevara di Bolivia.[208] Selain itu, film dokumenter dari tahun 2007 yang berjudul My Enemy's Enemy melayangkan tuduhan bahwa penjahat perang Nazi, Klaus Barbie, memberikan nasihat dan mungkin juga membantu CIA dalam penyusunan rencana penangkapan Guevara.[209] Pada tanggal 7 Oktober 1967, seorang informan memberitahukan lokasi perkemahan Guevara di jurang Yuro kepada Pasukan Khusus Bolivia.[210] Pada pagi hari tanggal 8 Oktober, mereka mengepung kawasan tersebut dengan dua batalion yang berjumlah 1.800 tentara dan mereka pun bergerak ke jurang tersebut. Di tengah berkecamuknya pertempuran, Guevara terluka dan ditangkap saat memimpin sebuah detasemen bersama dengan Simeón Cuba Sarabia. Penulis biografi Che, Jon Lee Anderson, melaporkan catatan dari seorang sersan Bolivia yang bernama Bernardino Huanca: bahwa saat Rangers Bolivia mendekati Guevara, Guevara telah tertembak dua kali, dan pistolnya sudah tidak berguna lagi, sehingga ia menjatuhkan senjatanya sebagai tanda menyerah dan berteriak kepada para pasukan: "Jangan tembak! Aku adalah Che Guevara dan aku lebih berharga bagi kalian dalam keadaan hidup daripada mati."[211] Guevara diikat dan dibawa ke sebuah bangunan sekolahan yang terbuat dari lumpur dan bobrok di dekat desa La Higuera pada sore hari tanggal 8 Oktober. Guevara menolak untuk diinterogasi oleh para perwira Bolivia dan hanya berbicara dengan suara yang pelan kepada para tentara Bolivia. Salah satu tentara Bolivia tersebut, yaitu seorang pilot helikopter bernama Jaime Nino de Guzman, menyatakan bahwa Che tampak "dalam keadaan buruk". Menurut Guzman, betis kanan Guevara tertembak, rambutnya kusut dan kotor, pakaiannya robek-robek, dan kakinya ditutupi dengan sarung kulit. Meskipun berpenampilan lesu, ia menyatakan bahwa "Che menegakkan kepalanya, melihat orang langsung di matanya, dan hanya meminta rokok." De Guzman menyatakan bahwa ia "merasa kasihan" dan memberikannya sekantong kecil tembakau untuk pipanya, dan Guevara kemudian tersenyum dan berterima kasih kepadanya.[212] Setelah itu, pada malam tanggal 8 Oktober, Guevara dengan tangan yang terikat berhasil menendang seorang perwira Bolivia yang bernama Kapten Espinosa setelah perwira tersebut mencoba mengambil pipa Guevara dari mulutnya sebagai cendera mata.[213] Guevara juga pernah meludahi wajah Laksamana Muda Bolivia Ugarteche, yang berusaha menginterogasi Guevara beberapa jam sebelum Guevara dihukum mati.[213] Pada pagi berikutnya tanggal 9 Oktober, Guevara meminta dipertemukan dengan seorang guru wanita berusia 22 tahun di desa tersebut yang bernama Julia Cortez. Cortez kemudian menyatakan bahwa ia menganggap Guevara sebagai seorang "pria yang tampak ramah dengan pandangan sekilas yang lembut dan ironis", dan saat mereka saling berbicara ia "tak dapat menatap matanya" karena "tatapannya tak tertahankan, menusuk, dan begitu tenang".[213] Selama perbincangan mereka yang singkat, Guevara membahas soal kondisi sekolah yang buruk, dan ia mengatakan bahwa itikad untuk mendidik para pelajar dari golongan campesino di dalam sebuah bangunan dengan kondisi seperti itu merupakan hal yang "anti-pedagogi", sementara "para pejabat pemerintah mengemudikan mobil-mobil Mercedes", sehingga Guevara menegaskan bahwa "Hal itulah yang berusaha kami lawan".[213] Pada hari yang sama, Presiden Bolivia René Barrientos memerintahkan agar Guevara dibunuh. Perintah tersebut dikirimkan oleh Félix Rodríguez kepada satuan yang menahan Guevara, meskipun pemerintah Amerika Serikat sebelumnya sudah meminta agar Guevara dibawa ke Panama untuk diinterogasi lebih lanjut.[214] Orang yang mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk menghabisi nyawa Guevara adalah Mario Terán, seorang sersan alkoholik berusia 27 tahun di angkatan darat Bolivia. Alasannya adalah untuk membalas kematian tiga temannya dari Kompi B beberapa hari sebelumnya selama pertempuran melawan kelompok gerilyawan Guevara.[7] Agar luka tembaknya sesuai dengan cerita yang telah dirangkai oleh pemerintah Bolivia untuk diumumkan kepada khalayak luas, Félix Rodríguez memerintahkan agar Terán tidak menembak kepala Guevara, tetapi ia harus mencoba membuat seolah-olah Guevara gugur dalam pertempuran.[215] Gary Prado, seorang kapten yang memimpin kompi yang berhasil menangkap Guevara, menyatakan bahwa alasan Barrientos memerintahkan penghukuman mati Guevara adalah agar Guevara tidak dapat lari dari penjara, dan juga karena proses pengadilan dirasa akan menimbulkan drama yang dapat merugikan pemerintah.[216] Tiga puluh menit sebelum Guevara dibunuh, Félix Rodríguez berupaya untuk mencari tahu letak para gerilyawan lainnya yang masih buron, tetapi Guevara tetap bergeming. Rodríguez, yang dibantu oleh beberapa tentara Bolivia, membantu mengangkat Guevara dan membawanya ke luar gubuk untuk mengaraknya di hadapan para tentara Bolivia lainnya. Mereka lalu berfoto dan salah seorang tentara mengabadikan sebuah foto Rodríguez dan tentara-tentara lainnya yang berdiri di sebelah Guevara. Sesudah itu, Rodríguez memberitahu kepada Guevara bahwa ia akan dihukum mati. Tidak lama sesudahnya, Guevara ditanyai oleh salah satu tentara Bolivia yang menjaganya tentang apakah ia memikirkan tentang keabadiannya. "Tidak," jawabnya, "Aku berpikir tentang keabadian revolusi."[217] Beberapa menit kemudian, Sersan Terán masuk ke dalam gubuk tersebut untuk menembaknya, dan Guevara dikabarkan berdiri dan berkata: "Aku tahu kau datang untuk membunuhku. Tembak, pengecut! Kau hanya akan membunuh satu orang." Terán sempat ragu, dan kemudian mengarahkan pistol karbin M2 miliknya[218] dan menembakkannya. Tembakan tersebut mengenai Guevara di bagian lengan dan tungkainya.[219] Kemudian, saat Guevara menggeliat kesakitan (dan tampaknya ia menggigit salah satu pergelangan tangannya agar tidak menjerit kesakitan), Terán menembak lagi, dan tembakan ini mengakibatkan luka fatal di dadanya. Guevara dinyatakan tewas pada pukul 13.10 waktu setempat menurut Rodríguez.[219] Secara keseluruhan, Guevara ditembak sembilan kali oleh Terán, termasuk lima tembakan di tungkainya, satu di pundak dan lengan kanannya, dan satu di dada dan tenggorokannya.[213] Berbulan-bulan sebelumnya, selama deklarasi publik terakhirnya di Konferensi Tiga Benua,[173] Guevara sudah menulis orasi pemakamannya sendiri: "Di manapun kematian dapat mengejutkan kita, mari kita sambut, asalkan seruan perjuangan kita mungkin telah didengar oleh beberapa telinga yang mau mendengar dan tangan lain dapat diulurkan untuk memegang senjata kita."[220] Pasca-eksekusi dan peringatanSetelah dihukum mati, jenazah Guevara diangkut ke dalam sebuah helikopter dan diterbangkan ke Vallegrande. Di situ foto-foto jenazah Che diabadikan di dalam binatu Nuestra Señora de Malta.[221] Beberapa saksi mata dipanggil untuk memastikan identitasnya, salah satunya adalah jurnalis Inggris Richard Gott, satu-satunya saksi mata di dalam ruangan tersebut yang pernah bertemu Guevara saat ia masih hidup. Jenazahnya diperlihatkan kepada umum, dan ratusan warga setempat lalu berjalan melewati jenazahnya. Banyak yang menganggap jenazah Guevara memiliki wajah yang "mirip Kristus", dan beberapa orang bahkan diam-diam memotong rambutnya karena dianggap sebagai pusaka ilahi.[222] Perbandingan semacam itu juga dibuat oleh kritikus seni Inggris John Berger dua minggu kemudian saat sedang melihat foto-foto post-mortem Guevara; foto-foto tersebut mengingatkannya kepada dua lukisan terkenal, yaitu Pelajaran Anatomi Dr. Nicolaes Tulp karya Rembrandt dan Peratapan Jenazah Yesus karya Andrea Mantegna.[223] Sementara itu, terdapat empat koresponden yang hadir saat jenazah Guevara didatangkan ke Vallegrande, termasuk Björn Kumm dari harian Swedia, Aftonbladet, yang melaporkan momen tersebut pada tanggal 11 November 1967 khusus untuk The New Republic.[224] Sebuah memorandum tertanggal 11 Oktober 1967 yang ditujukan kepada Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dari Penasihat Keamanan Nasional-nya, Walt Whitman Rostow, menyebut keputusan untuk membunuh Guevara sebagai keputusan yang "bodoh", tetapi "dapat dipahami dari sudut pandang Bolivia".[225] Sementara itu, Rodríguez telah mengambil beberapa barang pribadi Guevara, termasuk sebuah arloji yang kemudian ia kenakan selama bertahun-tahun dan sering kali dipamerkan kepada para wartawan.[226] Setelah dokter militer mengamputasi tangan Guevara, para perwira militer Bolivia memindahkan jasad Guevara ke sebuah tempat rahasia dan menolak memberitahu apakah jasadnya sudah dikuburkan atau dikremasi. Kedua tangannya dikirim ke Buenos Aires untuk proses identifikasi sidik jari. Kedua tangan Guevara lalu dikirim ke Kuba.[227] Pada tanggal 15 Oktober, Fidel Castro secara terbuka mengakui bahwa Guevara telah wafat dan memproklamirkan masa berkabung selama tiga hari di seluruh Kuba.[228] Kemudian, pada tanggal 18 Oktober, Castro membahas tentang sifat Guevara sebagai seorang revolusioner di hadapan satu juta orang yang berkabung di Plaza de la Revolución, Havana.[229] Fidel Castro menutup pidatonya dengan berkata:
Barang-barang Guevara lain yang disita meliputi buku harian berisi 30.000 kata, sebuah kumpulan puisi pribadinya, dan sebuah cerita pendek yang ia karang tentang seorang gerilyawan komunis muda yang belajar bagaimana melawan rasa takut.[231] Buku hariannya mendokumentasikan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kampanye gerilya di Bolivia,[232] dengan entri pertama pada tanggal 7 November 1966, tak lama setelah ia tiba di sebuah peternakan di Ñancahuazú, dan yang terakhir tertanggal 7 Oktober 1967, sehari sebelum penangkapannya. Buku harian tersebut mengisahkan bagaimana para gerilyawan terpaksa memulai operasi secara dini karena keberadaan mereka telah diketahui oleh Angkatan Darat Bolivia, sehingga menjelaskan keputusan Guevara untuk membagi pasukannya menjadi dua satuan yang kemudian terpencar. Buku harian tersebut juga mencatat perpecahan antara Guevara dengan Partai Komunis Bolivia yang membuat Guevara memiliki pasukan yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada yang diharapkan. Selain itu, buku harian ini menunjukkan bahwa Guevara mengalami kesulitan dalam merekrut penduduk setempat, salah satunya karena kelompok gerilyanya telah mempelajari bahasa Quechua dan tak menyadari bahwa bahasa yang dituturkan di daerah operasi mereka sebenarnya adalah bahasa Tupí–Guaraní.[233] Menjelang akhir kampanye, Guevara menjadi semakin sakit. Ia mengidap asma yang terus memburuk, dan sebagian besar serangan terakhirnya dilakukan dalam upaya untuk mencari obat-obatan.[234] Buku harian Guevara di Bolivia dengan segera diterjemahkan dan disebarkan oleh majalah Ramparts dan diedarkan ke seluruh dunia.[235] Intelektual Prancis Régis Debray, yang ditangkap pada April 1967 bersama dengan Guevara di Bolivia, bersedia untuk diwawancara di penjara pada Agustus 1968, dan di situ ia menjelaskan soal kondisi di balik penangkapan Guevara. Debray, yang belum lama tinggal dengan kelompok gerilyawan Guevara, berkata bahwa menurutnya mereka adalah "korban-korban hutan" dan kemudian "dimakan oleh hutan".[236] Debray menjelaskan keadaan ketika pasukan Guevara mengalami gizi buruk, kekurangan air, tidak memiliki sepatu, dan hanya mempunyai enam selimut untuk 22 orang. Debray menjelaskan bahwa Guevara dan yang lainnya terserang sebuah "penyakit" yang menyebabkan tangan dan kaki mereka membengkak seperti "gumpalan daging" sehingga jari-jari di tangan mereka tak dapat lagi dikenali. Walaupun begitu, Debray merasa bahwa Guevara tetap "optimis dengan masa depan Amerika Latin", dan menyatakan bahwa Guevara "siap mati karena ia tahu bahwa kematiannya akan menjadi semacam kelahiran kembali", terutama mengingat bahwa Guevara menganggap kematian "sebagai janji kelahiran kembali" dan "ritual pembaharuan".[236] Untuk hal-hal tertentu, keyakinan Guevara tentang kebangkitan secara metaforis pada akhirnya menjadi kenyataan. Saat gambar-gambar jenazah Guevara beredar dan latar belakang kematiannya diperdebatkan, legenda Che mulai tersebar. Demonstrasi yang menentang "pembunuhan"nya diadakan di berbagai belahan dunia, dan artikel-artikel dan puisi-puisi mengenai kehidupan dan kematiannya pun dirangkai.[237] Pawai-pawai dukungan terhadap Guevara diadakan dari "Meksiko sampai Santiago, Aljazair sampai Angola, dan Kairo sampai Kalkuta".[238] Penduduk Budapest dan Praha menyalakan lilin-lilin untuk menghormati kepergian Guevara, dan gambar Che yang sedang tersenyum muncul di London dan Paris.[239] Beberapa bulan kemudian, kerusuhan terjadi di Berlin, Prancis, dan Chicago, dan ketika hal tersebut turut menyebar ke kampus-kampus Amerika, pria dan wanita muda mengenakan baju Che Guevara dan membawa gambar-gambarnya. Menurut pandangan sejarawan militer Erik Durschmied, selama puncak protes pada tahun 1968, "Che Guevara tidaklah mati. Ia sungguh sangat hidup."[240] Pengembalian jenazahPada akhir tahun 1995, purnawirawan jenderal Bolivia, Mario Vargas, memberitahukan kepada Jon Lee Anderson, penulis buku Che Guevara: A Revolutionary Life, bahwa jenazah Guevara disemayamkan di dekat landasan udara Vallegrande. Setelah itu, jenazah Guevara dicari oleh tim multinasional selama lebih dari setahun. Pada Juli 1997, tim geolog Kuba dan antropolog forensik Argentina menemukan sisa-sisa dari tujuh jenazah di dalam dua kuburan massal, termasuk satu pria dengan tangan yang diamputasi (seperti Guevara). Pejabat pemerintahan Bolivia dengan Kementerian Dalam Negeri kemudian mengidentifikasikan jenazah tersebut sebagai jenazah Guevara setelah diketahui bahwa gigi yang ditemukan cocok dengan cetakan plaster gigi yang dibuat di Kuba sebelum Guevara berangkat ke Kongo. Penemuan yang benar-benar memastikan bahwa jenazah itu adalah jenazah Guevara muncul ketika seorang antropolog forensik Argentina yang bernama Alejandro Inchaurregui meneliti saku yang tersembunyi di sebuah jaket biru yang ditemukan di sebelah jenazah tak bertangan, dan di situ ia menemukan sekantong kecil tembakau untuk dihisap di pipa. Nino de Guzman, seorang pilot helikopter Bolivia yang telah memberikan sekantong kecil tembakau kepada Che, kemudian menyatakan bahwa ia pada mulanya "sangat ragu" dan "mengira bahwa orang-orang Kuba hanya akan menemui tulang-tulang lama dan menyebutnya tulang Che", tetapi "setelah mendengar tentang kantong tembakau, saya tidak lagi meragukannya."[212] Pada tanggal 17 Oktober 1997, jenazah Guevara bersama dengan enam jenazah rekannya disemayamkan dengan penghormatan militer di sebuah mausoleum yang dibangun khusus di kota Santa Clara, Kuba, yang merupakan kota yang penting selama Revolusi Kuba karena di situ ia berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang.[241] Tinggalan sejarahKehidupan dan tinggalan sejarah Guevara masih diperdebatkan. Che telah digambarkan sebagai seseorang yang "mampu memegang pena dan senapan mesin ringan dengan kemampuan yang setara", sementara Che sendiri mengatakan bahwa "ambisi seorang revolusioner yang paling penting adalah membebaskan manusia dari alienasinya".[242][243] Namun, pada akhirnya Che sendiri menjadi figur yang dihantui oleh paradoks. Che adalah seorang humanis sekuler dan praktisi kedokteran yang tak segan menembak musuh-musuhnya, seorang internasionalis yang mendukung penggunaan kekerasan untuk mewujudkan utopia barang kolektif, seorang intelektual idealistik yang menyukai kesusasteraan namun menolak mengizinkan pandangan-pandangan yang berbeda, seorang pemberontak Marxis anti-imperialis yang siap untuk melakukan aksi-aksi radikal untuk mewujudkan sebuah dunia yang terbebas dari kemiskinan walaupun harus mengakibatkan kehancuran, serta seorang anti-kapitalis dengan gambar wajah yang telah dikomodifikasi. Sejarah Che juga masih terus ditulis ulang.[244][245] Sosiolog Michael Löwy berpendapat bahwa berbagai aspek dalam kehidupan Guevara (seperti dokter dan ekonom, revolusioner dan bankir, pakar teori militer dan duta besar, pemikir besar dan agitator politik) menghiasi kebangkitan "mitos Che", sehingga ia dapat digambarkan dalam berbagai macam metanarasi sebagai "Robin Hood Merah, Don Quixote komunis, Garibaldi baru, Saint Just Marxis, Cid Campeador dari yang terkutuk di Bumi, Sir Galahad dari para pengemis ... dan iblis Bolshevik yang menghantui mimpi-mimpi orang kaya, yang menyalakan bara perlawanan di seluruh dunia".[242] Maka dari itu, terdapat beberapa tokoh terkenal yang menganggap Guevara sebagai tokoh besar, sebut saja Nelson Mandela yang menganggapnya sebagai "inspirasi bagi setiap manusia yang mencintai kebebasan",[207] atau Jean-Paul Sartre yang berkata bahwa Che "tak hanya seorang intelektual, tetapi juga seorang manusia paling utuh pada masa ini".[246] Tokoh-tokoh lainnya yang mengungkapkan rasa kagum mereka meliputi penulis Graham Greene, yang menyatakan bahwa Guevara "melambangkan gagasan keberanian, keksatriaan, dan petualangan",[247] serta Susan Sontag, yang merasa bahwa yang diperjuangkan oleh Che adalah "kemanusiaan itu sendiri."[248] Dalam komunitas Pan-Afrika, filsuf Frantz Fanon menyatakan bahwa Guevara telah menjadi simbol dunia sehubungan dengan "potensi seorang manusia",[249] sementara pemimpin gerakan Black Power yang bernama Stokely Carmichael merasa bahwa "Che Guevara tidak mati, gagasan-gagasannya hadir bersama kita."[250] Pujian-pujian telah disampaikan dari berbagai spektrum politik, dan pakar teori libertarian Murray Rothbard menyebut Guevara sebagai "tokoh berkepahlawanan" yang merupakan "penjelmaan prinsip revolusi, lebih dari orang-orang lain pada kala ini atau bahkan pada abad ini",[251] sementara jurnalis Christopher Hitchens menyatakan bahwa "kematian [Che] sangat berarti bagiku dan banyak sekali orang sepertiku, ia adalah seorang teladan, walaupun merupakan teladan yang tidak mungkin bagi kami kaum romantik borjuis sehubungan dengan sejauh mana ia berbuat dan melakukan yang sepatutnya dilakukan seorang revolusioner: berjuang dan mati demi kepercayaannya."[252] Di sisi lain, Jacobo Machover, seorang penulis dari kelompok oposisi di pengasingan, menganggap Guevara sebagai seorang algojo yang tak berperasaan.[253] Mantan tahanan Kuba di pengasingan juga mengungkapkan pendapat serupa, salah satunya adalah Armando Valladares, yang menyebut Guevara sebagai "seorang pria yang penuh kebencian" yang menghukum mati puluhan orang tanpa melalui proses pengadilan,[254] dan Carlos Alberto Montaner, yang menyatakan bahwa Guevara memiliki "mental Robespierre" yang memandang tindakan kekejaman terhadap para musuh revolusi sebagai sebuah kebajikan.[255] Álvaro Vargas Llosa dari The Independent Institute menyimpulkan bahwa para pengikut Guevara "membohongi diri mereka sendiri dengan berpegang teguh kepada sebuah mitos", dan ia menyebut Guevara sebagai seorang "Puritan Marxis" yang menggunakan kekuasaan untuk menindas para pembangkang, dan pada saat yang sama juga bertindak sebagai "mesin pembunuh berdarah dingin".[154] Selain itu, Llosa menuduh "watak fanatik" Guevara sebagai penyebab "Sovietisasi" revolusi Kuba, dan Llosa menduga bahwa Guevara telah "menundukkan kenyataan pada kesalehan ideologis yang buta".[154] Di tingkatan makro, seorang peneliti dari Hoover Institution, William Ratliff, menganggap Guevara sebagai hasil ciptaan lingkungan sejarahnya; ia menyebut Guevara sebagai orang yang "tak kenal takut" dan merupakan "figur seperti Mesias yang berkemauan keras" yang menjadi produk budaya Latin yang menyukai martir dan cenderung membuat orang "mencari dan mengikuti pembuat mukjizat yang paternalistik".[256] Ratliff kemudian berspekulasi bahwa kondisi ekonomi di kawasan tersebut cocok dengan komitmen Guevara untuk "menegakkan keadilan bagi orang tertindas dengan menghancurkan tirani-tirani yang telah berkuasa selama berabad-abad"; ia menyebut Amerika Latin sebagai kawasan yang dihantui oleh apa yang Moisés Naím sebut sebagai "keganasan legendaris" berupa kesenjangan, kemiskinan, politik disfungsional, dan lembaga-lembaga gagal.[256] Sementara itu, sejarawan Inggris Hugh Thomas berpendapat bahwa Guevara adalah seorang pria yang "pemberani, jujur, dan memiliki tekad, yang juga keras kepala, berpikiran sempit, dan dogmatik".[257] Menurut Thomas, menjelang akhir hayatnya Guevara "tampaknya sangat yakin dengan kebajikan dari tindakan kekerasan", sementara "pengaruhnya terhadap Castro, baik atau buruk", menguat setelah kematiannya, karena Fidel turut meyakini berbagai pandangan Che.[257] Hal serupa juga diutarakan sosiolog Kuba-Amerika Samuel Farber yang menganggap Che Guevara sebagai "seorang revolusioner yang jujur dan berkomitmen", tetapi juga mengkritik fakta bahwa "ia tidak pernah menganut sosialisme dalam artiannya yang paling demokratik".[258] Walaupun begitu, Guevara masih menjadi pahlawan nasional di Kuba, gambarnya menghiasi uang kertas 3 peso, dan anak-anak sekolahan setiap pagi berkata "Kami akan menjadi seperti Che."[259][260] Di negara asalnya, Argentina, berbagai institusi SMA dinamai darinya,[261] sejumlah museum tentang dirinya dibuka untuk umum, dan patung Che Guevara setinggi 3,7 m yang terbuat dari perunggu didirikan di kota kelahirannya, Rosario, pada tahun 2008.[262] Guevara bahkan telah dianggap sebagai orang suci oleh beberapa petani campesino Bolivia[263] dengan julukan "Santo Ernesto", dan mereka berdoa kepadanya untuk memohon bantuan.[264] Namun, Guevara masih dibenci oleh orang-orang Kuba di pengasingan dan komunitas orang Kuba di Amerika Serikat, yang menganggapnya sebagai "penjagal dari La Cabaña".[265] Walaupun kiprah Che telah menuai pujian maupun cacian, gambar wajah Che yang dibuat pada tahun 1968 oleh seorang seniman Irlandia yang bernama Jim Fitzpatrick menjadi gambar yang sangat dikomersialisasi[266] dan dapat ditemui dalam berbagai macam barang, seperti kemeja, topi, poster, tato, atau bahkan bikini,[267] sehingga malah memperkuat budaya konsumen yang dibenci oleh Guevara. Meskipun begitu, ia tetap menjadi simbol pemberontakan pemuda.[268] PenghormatanGuevara meraih beberapa penghargaan kehormatan negara pada masa hidupnya.
Catatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar
|