Serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki
Pada bulan Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di dua kota Jepang: Hiroshima dan Nagasaki, menandai tahap akhir Perang Dunia II. AS mendapatkan persetujuan Britania Raya untuk menjatuhkan senjata tersebut, yang sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Quebec. Operasi ini menewaskan sedikitnya 129.000 jiwa,[2] dan merupakan penggunaan senjata nuklir pertama dan satu-satunya dalam sejarah. Pada tahun terakhir Perang Dunia II, Sekutu bersiap-siap melancarkan serbuan ke daratan Jepang yang memakan biaya besar. Amerika Serikat sebelumnya melaksanakan kampanye pengeboman yang meluluhlantakkan banyak kota di Jepang. Perang di Eropa selesai setelah Jerman Nazi menandatangani instrumen penyerahan diri pada tanggal 8 Mei 1945. Akan tetapi, Jepang menolak memenuhi tuntutan Sekutu untuk menyerah tanpa syarat. Perang Pasifik pun berlanjut. Bersama Britania Raya dan Tiongkok, Amerika Serikat meminta pasukan Jepang menyerah dalam Deklarasi Potsdam tanggal 26 Juli 1945 atau menghadapi "kehancuran cepat dan besar". Jepang mengabaikan ultimatum tersebut. Pada bulan Juli 1945, Proyek Manhattan yang dirintis Sekutu berhasil melaksanakan pengujian bom atom di gurun New Mexico. Mereka memproduksi senjata nuklir berdasarkan dua rancangan pada bulan Agustus. 509th Composite Group dari Pasukan Udara Angkatan Darat Amerika Serikat dilengkapi dengan Boeing B-29 Superfortress khusus versi Silverplate yang mampu mengangkut bom nuklir dari Tinian di Kepulauan Mariana. Tanggal 6 Agustus, AS menjatuhkan bom atom uranium jenis bedil (Little Boy) di Hiroshima. Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman meminta Jepang menyerah 16 jam kemudian dan memberi peringatan akan adanya "hujan reruntuhan dari udara yang belum pernah terjadi sebelumnya di muka bumi." Tiga hari kemudian, pada tanggal 9 Agustus, AS menjatuhkan bom plutonium jenis implosi (Fat Man) di Nagasaki. Dalam kurun dua sampai empat bulan pertama setelah pengeboman terjadi, dampaknya menewaskan 90.000–146.000 orang di Hiroshima dan 39.000–80.000 di Nagasaki; kurang lebih separuh korban di setiap kota tewas pada hari pertama. Pada bulan-bulan seterusnya, banyak orang yang tewas karena efek luka bakar, penyakit radiasi, dan cedera lain disertai sakit dan kekurangan gizi. Di dua kota tersebut, sebagian besar korban tewas merupakan warga sipil meskipun terdapat garnisun militer besar di Hiroshima. Tanggal 15 Agustus, enam hari setelah pengeboman Nagasaki dan Uni Soviet menyatakan perang, Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu. Tanggal 2 September, Jepang menandatangani instrumen penyerahan diri yang otomatis mengakhiri Perang Dunia II. Pengaruh pengeboman ini terhadap penyerahan diri Jepang dan alasan etisnya masih diperdebatkan sampai sekarang. Latar belakangPerang PasifikPada tahun 1945, Perang Pasifik antara Kekaisaran Jepang dan Sekutu memasuki tahun keempat. Jepang melawan dengan sengit agar kemenangan AS dihantui oleh jumlah korban yang besar. Dari 1,25 juta tentara Amerika Serikat yang gugur pada Perang Dunia II, termasuk personel militer yang gugur dalam tugas dan cedera dalam tugas, hampir satu juta tentara gugur dalam kurun waktu Juni 1944 sampai Juni 1945. Pada Desember 1944, jumlah tentara AS yang gugur mencapai angka tertingginya, 88.000 tentara per bulan, akibat Serangan Ardennes oleh Jerman.[3] Di Pasifik, Sekutu kembali ke Filipina,[4] merebut Myanmar,[5] dan menyerbu Borneo.[6] Serangan dilancarkan untuk melenyapkan pasukan Jepang yang masih bercokol di Bougainville, Nugini, dan Filipina.[7] Pada bulan April 1945, pasukan Amerika Serikat mendarat di Okinawa dan bertempur sengit sampai Juni. Seiring perang berlangsung, rasio korban Jepang dan AS turun dari 5:1 di Filipina ke 2:1 di Okinawa.[3] Saat Sekutu terus merangsek ke Jepang, kondisi bangsa Jepang semakin buruk. Tonase armada kapal dagang Jepang turun dari 5.250.000 ton bruto pada tahun 1941 ke 1.560.000 ton pada Maret 1945, dan 557.000 ton bulan Agustus 1945. Kelangkaan bahan mentah memaksa ekonomi perang Jepang jatuh pada paruh akhir 1944. Ekonomi masyarakat yang melemah sepanjang perang mencapai tingkat terparahnya pada pertengahan 1945. Ketiadaan kapal juga memengaruhi armada nelayan. Pada tahun 1945, hasil tangkapan ikan hanya 22% dari hasil tahun 1941. Panen beras tahun 1945 mencapai jumlah terendah sejak 1909. Akibatnya, kelaparan dan kekurangan gizi merebak di masyarakat. Produksi industri Amerika Serikat jauh lebih unggul daripada industri Jepang. Pada tahun 1943, Amerika Serikat memproduksi hampir 100.000 pesawat per tahun, berbeda dengan 70.000 pesawat yang diproduksi Jepang selama Perang Dunia II. Pada musim panas 1944, AS mengerahkan hampir seratus kapal induk di Pasifik, lebih banyak daripada 25 kapal induk yang dimiliki Jepang sepanjang perang. Bulan Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberitahu Kaisar Hirohito bahwa kekalahan sudah tidak bisa dihindari lagi dan menyarankan Kaisar untuk turun takhta.[8] Persiapan penyerbuan JepangSebelum Jerman Nazi menyerah tanggal 8 Mei 1945, sejumlah rencana disiapkan untuk operasi terbesar dalam Perang Pasifik, Operasi Downfall, yaitu penyerbuan Jepang.[9] Operasi ini terbagi ke dalam dua bagian: Operasi Olympic dan Operasi Coronet. Keseluruhan operasi rencananya dimulai pada Oktober 1945. Olympic merupakan serangkaian pendaratan Angkatan Darat Keenam AS untuk mencaplok sepertiga wilayah dari pulau Jepang paling besar di bagian selatan, Kyūshū.[10] Operasi Olympic dilanjutkan pada Maret 1946 oleh Operasi Coronet, pencaplokan Dataran Kantō, dekat Tokyo di Pulau Honshū, oleh Angkatan Darat Pertama, Kedelapan, dan Kesepuluh AS. Waktu tersebut dipilih agar semua sasaran Olympic tercapai, tentara bisa dikirimkan dari Eropa, dan musim dingin Jepang cepat usai.[11] Geografi Jepang membuat rencana invasi ini diketahui Jepang; mereka mampu memprediksi rencana invasi Sekutu secara akurat dan menyesuaikan rencana pertahanan mereka yaitu Operasi Ketsugō. Jepang merencanakan pertahanan Kyūshū secara habis-habisan tanpa menyisakan cadangan untuk operasi pertahanan selanjutnya.[12] Empat divisi veteran ditarik dari Tentara Kwantung di Manchuria pada Maret 1945 untuk memperkuat pasukan di Jepang,[13] dan 45 divisi baru diaktifkan antara bulan Februari dan Mei 1945. Sebagian besar divisi tersebut merupakan divisi imobil untuk pertahanan pesisir, tetapi 16 lainnya merupakan divisi mobil berpengalaman tinggi.[14] Secara keseluruhan, 2,3 juta tentara Angkatan Darat Jepang disiapkan untuk mempertahankan pulau-pulau besar Jepang. Mereka dibantu oleh 28 juta milisi sipil pria dan wanita. Perkiraan korban bervariasi namun ditaksir sangat tinggi. Wakil Kepala Staf Umum Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, Laksamana Madya Takijirō Ōnishi, memperkirakan bahwa jumlah warga Jepang yang tewas bisa mencapai 20 juta jiwa.[15] Penelitian yang dilakukan oleh Joint War Plans Committee,[16] penyampai informasi perencanaan ke Kepala Staf Gabungan, memperkirakan bahwa Olympic akan memakan korban antara 130.000 sampai 220.000 tentara AS dengan 25.000 sampai 46.000 di antaranya gugur. Hasil penelitian disampaikan pada tanggal 15 Juni 1945 setelah adanya informasi dari hasil pendaratan di Okinawa. Penelitian tersebut menyoroti pertahanan Jepang yang lemah karena pemblokiran laut yang sangat efektif dan kampanye pengeboman oleh Amerika Serikat. Kepala Staf Angkatan Darat Amerika Serikat, Jenderal George Marshall, dan Komandan Angkatan darat di Pasifik, Jenderal Douglas MacArthur, menandatangani dokumen yang menyetujui perkiraan Joint War Plans Committee tersebut.[17] Amerika Serikat dikejutkan oleh penumpukan pasukan Jepang yang terlacak oleh intelijen Ultra.[18] Menteri Perang Henry L. Stimson sangat khawatir dengan perkiraan jumlah korban tentara AS sehingga ia menugaskan Quincy Wright dan William Shockley untuk melakukan penelitian terpisah. Wright dan Shockley berbicara dengan Kolonel James McCormack dan Dean Rusk serta mempelajari perkiraan korban yang disampaikan Michael E. DeBakey dan Gilbert Beebe. Wright dan Shockley memperkirakan bahwa jumlah korban di sisi Sekutu bisa mencapai antara 1,7 dan 4 juta orang bila skenarionya seperti itu dengan 400.000 sampai 800.000 di antaranya gugur sedangkan korban di sisi Jepang bisa mencapai antara 5 sampai 10 juta orang.[19][20] Marshall mulai mempertimbangkan penggunaan senjata yang "sudah siap dipakai dan pasti mampu mengurangi jumlah tentara Amerika yang gugur":[21] gas beracun. Fosgen, gas mustar, gas air mata, dan sianogen klorida dalam jumlah besar dipindahkan ke Luzon dari gudang senjata di Australia dan Nugini sebagai bagian dari persiapan Operasi Olympic. MacArthur menjamin bahwa satuan Chemical Warfare Service sudah terlatih untuk menggunakannya.[21] Penggunaan senjata biologis di Jepang turut dipertimbangkan.[22] Serangan udara di JepangKetika Amerika Serikat mengembangkan rencana kampanye udara terhadap Jepang sebelum Perang Pasifik, pencaplokan pangkalan Sekutu di Pasifik Barat pada beberapa pekan pertama konflik Pasifik menandakan bahwa serangan udara baru dimulai pada pertengahan 1944 setelah Boeing B-29 Superfortress siap dikerahkan ke ajang pertempuran.[23] Operasi Matterhorn melibatkan pemindahan pesawat-pesawat B-29 yang berpangkalan di India ke pangkalan di sekitar Chengdu, Tiongkok, untuk persiapan penyerangan target-target strategis di Jepang.[24] Upaya tersebut gagal memenuhi tujuan strategis yang dikehendaki para perumus rencana karena permasalahan logistik, kesulitan mekanis pesawat pengebom, kerentanan pangkalan persiapan di Tiongkok, dan jarak tempuh yang jauh menuju kota-kota di Jepang.[25] Brigadir Jenderal Pasukan Udara Angkatan Darat Amerika Serikat (USAAF) Haywood S. Hansell menetapkan bahwa Guam, Tinian, dan Saipan di Kepulauan Mariana cocok dijadikan pangkalan B-29, namun saat itu masih dikuasai Jepang.[26] Strategi pun diganti agar sesuai dengan perang udara,[27] dan kepulauan tersebut direbut kembali antara Juni dan Agustus 1944. Beberapa pangkalan udara dibangun,[28] dan B-29 diterbangkan dari Kepulauan Mariana bulan Oktober 1944.[29] Pangkalan-pangkalan tersebut dapat disuplai oleh kapal kargo tanpa hambatan.[30] XXI Bomber Command memulai misi penyerangan Jepang pada tanggal 18 November 1944.[31] Usaha awal untuk mengebom Jepang dari Kepulauan Mariana sama tidak efektifnya seperti B-29 di Tiongkok. Hansell melanjutkan operasi pengeboman tepat berketinggian tinggi yang menyasar industri penting dan jaringan transportasi sekalipun taktik ini tidak berdampak besar.[32] Usaha ini gagal karena kesulitan logistik dengan pangkalan yang jauh, masalah teknis yang dialami pesawat baru dengan teknologi yang juga baru, cuaca yang tidak bersahabat, dan perlawanan musuh.[33][34] Pengganti Hansell, Mayor Jenderal Curtis LeMay, menjadi komandan operasi pada Januari 1945 dan pada awalnya masih meneruskan taktik pengeboman tepat yang sama dengan hasil yang tidak memuaskan pula. Serangan tersebut awalnya menargetkan fasilitas industri penting, tetapi sebagian besar proses produksi Jepang dilakukan di bengkel-bengkel kecil dan rumah warga.[38] Di bawah tekanan markas USAAF di Washington, LeMay mengganti taktik dan memutuskan bahwa pengeboman bakar tingkat rendah di perkotaan Jepang merupakan satu-satunya cara untuk menghancurkan kemampuan produksi mereka; beralih dari pengeboman tepat ke pengeboman wilayah dengan bom bakar.[39] Seperti kebanyakan pengeboman strategis pada Perang Dunia II, tujuan serangan USAAF di Jepang adalah menghancurkan industri perang musuh, membunuh atau melumpuhkan warga sipil yang dipekerjakan oleh industri perang, dan menurunkan moral sipil. Warga sipil yang terlibat dalam upaya perang lewat berbagai aktivitas seperti pembangunan benteng dan produksi munisi dan material perang lainnya di pabrik dan bengkel dianggap sebagai kombatan secara hukum dan pantas diserang.[40][41] Selama enam bulan selanjutnya, XXI Bomber Command di bawah pimpinan LeMay mengebom 67 kota di Jepang. Pengeboman Tokyo, atau Operation Meetinghouse, tanggal 9–10 Maret menewaskan sekitar 100.000 orang dan menghancurkan perkotaan seluas 16 mil persegi (41 km2) dan 267.000 bangunan dalam satu malam saja. Operasi ini merupakan pengeboman paling mematikan sepanjang Perang Dunia II. Sebanyak 20 B-29 ditembak jatuh oleh meriam flak dan pesawat tempur.[42] Pada bulan Mei, 75% bom yang dijatuhkan merupakan bom bakar yang dirancang untuk membakar "kota kertas" Jepang. Pada pertengahan Juni, enam kota terbesar di Jepang telah diluluhlantakkan.[43] Berakhirnya pertempuran di Okinawa bulan itu memberikan Sekutu kesempatan untuk memanfaatkan pangkalan udara yang letaknya lebih dekat dengan pulau-pulau utama Jepang. Kampanye pengeboman pun ditingkatkan. Pesawat yang terbang dari kapal induk Sekutu dan Kepulauan Ryukyu secara rutin menyasar target-target di Jepang sepanjang 1945 menjelang Operasi Downfall.[44] Pengeboman dialihkan ke kota-kota kecil yang dihuni 60.000 sampai 350.000 jiwa. Menurut Yuki Tanaka, AS mengebom lebih dari seratus kota di Jepang.[45] Serangan-serangan tersebut juga mematikan.[46] Militer Jepang tidak mampu menghentikan serangan Sekutu dan persiapan pertahanan sipil Jepang tidak cukup kuat. Pesawat tempur dan senjata antipesawat Jepang sulit menyasar pesawat pengebom yang terbang sangat tinggi.[47] Sejak April 1945, pesawat penyergap Jepang harus menghadapi pesawat tempur pengawal Amerika Serikat yang berpangkalan di Iwo Jima dan Okinawa.[48] Pada bulan itu, Pasukan Udara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Pasukan Udara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang berhenti menyergap pesawat Sekutu supaya masih ada pesawat tempur yang tersisa menjelang invasi.[49] Pada pertengahan 1945, Jepang mengurangi frekuensi penyergapan B-29 yang melakukan pengintaian di Jepang untuk menghemat bahan bakar.[50] Pada Juli 1945, Jepang menimbun 1.156.000 US barel (137.800.000 l; 36.400.000 US gal; 30.300.000 imp gal) avgas untuk persiapan penyerbuan Jepang.[51] Meski militer Jepang memutuskan untuk melanjutkan serangan terhadap pesawat pengebom Sekutu sebelum bulan Juni berakhir, pesawat tempur yang beroperasi saat itu sudah sangat sedikit sehingga tidak sempat berganti taktik untuk mencegah serangan udara Sekutu.[52] Pengembangan bom atomPenemuan fisi nuklir oleh kimiawan Jerman Otto Hahn dan Fritz Strassmann tahun 1938 dan penjelasan teorinya oleh Lise Meitner dan Otto Frisch memungkinkan terjadinya pengembangan bom atom.[53] Kekhawatiran bahwa proyek bom atom Jerman akan menghasilkan senjata atom pertama di dunia tercantum dalam surat Einstein-Szilard. Para ilmuwan yang mengungsi dari Jerman Nazi dan negara-negara fasis lainnya juga sama khawatirnya. Sentimen tersebut mendorong pelaksaaan penelitian pertama di Amerika Serikat pada akhir 1939.[54] Pengembangan baru melesat setelah MAUD Committee dari Britania Raya melaporkan pada akhir 1941 bahwa sebuah bom hanya membutuhkan 5–10 kilogram uranium-235 yang sudah mengalami pengayaan isotop daripada berton-ton uranium yang tidak dikayakan (unenriched) disertai moderator neutron (e.g. air berat).[55] Bekerja sama dengan Britania Raya dan Kanada yang masing-masing memiliki proyek Tube Alloys dan Chalk River Laboratories,[56][57] Proyek Manhattan, di bawah arahan Mayor Jenderal Leslie R. Groves, Jr., dari Korps Teknisi Angkatan Darat AS, merancang dan membangun bom atom pertama di dunia.[58] Groves menunjuk J. Robert Oppenheimer sebagai pelaksana dan kepala Los Alamos Laboratory di New Mexico, tempat bom atom tersebut dirancang.[59] Dua jenis bom berhasil dikembangkan. Little Boy adalah senjata fisi jenis bedil yang mengandung uranium-235, isotop uranium langka yang dibuat di Clinton Engineer Works di Oak Ridge, Tennessee.[60] Fat Man adalah senjata nuklir jenis implosi yang lebih kuat dan efisien namun lebih rumit yang mengandung plutonium, unsur sintetis yang dibuat di sejumlah reaktor nuklir di Hanford, Washington. Senjata implosi uji coba, The Gadget, diledakkan di Trinity Site, dekat Alamogordo, New Mexico, pada tanggal 16 Juli 1945.[61] Jepang juga memiliki program senjata nuklir sendiri, tetapi kekurangan sumber daya manusia, mineral, dan pendanaan seperti Proyek Manhattan, dan tidak pernah membuat kemajuan dalam pengembangan bom atom.[62] PersiapanPenyusunan rencana dan pelatihan509th Composite Group dibentuk pada tanggal 9 Desember 1944 dan diaktifkan tanggal 17 Desember 1944 di Wendover Army Air Field, Utah, di bawah pimpinan Kolonel Paul Tibbets.[63] Tibbets ditugaskan untuk menyusun dan memimpin kelompok tempur untuk mengembangkan cara menjatuhkan senjata atom di target-target di Jerman dan Jepang. Karena skuadronnya terbagi menjadi pesawat pengebom dan pesawat angkut, kelompok ini digolongkan sebagai satuan "komposit" alih-alih satuan "pengebom".[64] Bekerja sama dengan Proyek Manhattan di Los Alamos, Tibbets memilih Wendover sebagai pangkalan pelatihannya alih-alih Great Bend, Kansas, dan Mountain Home, Idaho, karena letaknya yang terpencil.[65] Setiap pesawat pengebom melaksanakan sedikitnya 50 latihan menjatuhkan bom labu palsu atau aktif. Tibbets kemudian menyatakan bahwa pasukan terbangnya siap tempur.[66] 509th Composite Group terdiri atas 225 perwira resmi dan 1.542 prajurit resmi; hampir semuanya kelak dikerahkan ke Tinian. Selain personel resmi, 509th Composite Group menempatkan 51 warga sipil dan personel militer dari Project Alberta di Tinian[67] yang diberi nama 1st Technical Detachment.[68] Skuadron Pengeboman ke-393, bagian dari 509th Composite Group, dilengkapi dengan 15 pesawat B-29 Silverplate. Pesawat ini telah disesuaikan untuk mengangkut senjata nuklir dan dilengkapi dengan mesin yang diinjeksi bahan bakar, baling-baling dorongan terbalik Curtiss Electric, aktuator pneumatik untuk membuka dan menutup pintu ruang bom dengan cepat, dan pemutakhiran lainnya.[69] Pasukan pendukung darat dari 509th Composite Group dikirimkan menggunakan kereta api pada tanggal 26 April 1945, ke tempat pemberangkatannya di Seattle, Washington. Pada tanggal 6 Mei, pasukan pendukung berlayar dengan SS Cape Victory menuju Kepulauan Mariana, sedangkan materialnya dikirimkan menggunakan SS Emile Berliner. Cape Victory berhenti sejenak di Honolulu dan Eniwetok, tetapi penumpangnya tidak diizinkan keluar dari wilayah pelabuhan. Pasukan pendahulu yang terdiri atas 29 perwira dan 61 prajurit diterbangkan dengan C-54 ke North Field di Tinian antara tanggal 15 Mei dan 22 Mei.[70] Ada pula dua perwakilan dari Washington, D.C., Brigadir Jenderal Thomas Farrell, wakil komandan Proyek Manhattan, dan Laksamana Muda William R. Purnell dari Military Policy Committee.[71] Mereka bertugas memutuskan urusan kebijakan yang lebih tinggi di tempat. Bersama Kapten William S. Parsons, komandan Project Alberta, mereka dikenal dengan sebutan "Kepala Gabungan Tinian".[72] Penentuan targetPada bulan April 1945, Marshall meminta Groves memberi target-target pengeboman agar disetujui dirinya dan Stimson. Groves membentuk Target Committee yang dipimpin Marshall sendiri beranggotakan Farrell, Mayor John A. Derry, Kolonel William P. Fisher, Joyce C. Stearns, dan David M. Dennison dari USAAF; dan ilmuwan John von Neumann, Robert R. Wilson, dan William Penney dari Proyek Manhattan. Target Committee mengadakan rapat di Washington tanggal 27 April; di Los Alamos tanggal 10 Mei, tempat pertemuan antara komite, ilmuwan, dan teknisi di sana; dan di Washington lagi tanggal 28 Mei, tempat pertemuan komite dengan Tibbets dan Komandan Frederick Ashworth dari Project Alberta, serta penasihat ilmiah Proyek Manhattan, Richard C. Tolman.[73] Target Committee mencalonkan lima target: Kokura, tempat berdirinya salah satu pabrik amunisi terbesar di Jepang; Hiroshima, tempat pemberangkatan dan pusat industri yang dijadikan markas militer besar; Yokohama, daerah perkotaan yang menjadi tempat produksi pesawat, peralatan mesin, kapal, perangkat listrik, dan penyulingan minyak; dan Kyoto, pusat industri besar. Pemilihan target memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
Sebagian besar kota-kota ini tak tersentuh oleh operasi pengeboman malam, dan Pasukan Udara Angkatan Darat setuju untuk menghapusnya dari daftar target sehingga penilaian keefektifan senjata dapat dibuat secara tepat. Hiroshima disebut sebagai "depot pasukan dan tempat pemberangkatan penting yang terletak di wilayah industri perkotaan. [Hiroshima] merupakan target radar yang baik dan ukurannya cukup besar sehingga sebagian besar kota mungkin rusak parah. Terdapat perbukitan di sekitarnya yang memungkinkan efek pemusatan ledakan sehingga potensi kerusakan semakin besar. Karena ada sungai, [Hiroshima] bukan target bom bakar yang tepat."[74] Target Committee menyatakan bahwa, "Kami menyepakati bahwa faktor psikologis dalam penentuan target merupakan hal penting. Dua faktor tersebut adalah (1) memperoleh dampak psikologis terbesar untuk melawan Jepang dan (2) membuat penjatuhan bom pertama semantap mungkin sehingga kehebatan senjata ini dapat diakui oleh dunia internasional setelah berita [tentang pengeboman ini] terbit. Kyoto pantas karena merupakan pusat industri militer yang penting sekaligus pusat pendidikan sehingga penduduknya dapat memahami kehebatan senjata ini. Istana Kekaisaran di Tokyo lebih terkenal daripada target-target lain, tetapi nilai strategisnya rendah."[74] Edwin O. Reischauer, pakar Jepang di Dinas Intelijen Angkatan Darat AS, konon katanya mencegah pengeboman Kyoto.[74] Dalam otobiografinya, Reischauer membantah klaim tersebut:
Pada tanggal 30 Mei, Stimson meminta Groves menghapus Kyoto dari daftar target karena memiliki warisan sejarah, agama, dan budaya, tetapi Groves hanya melihat objek militer dan industrinya.[77] Stimson lalu berbincang dengan Presiden Harry S. Truman perihal masalah ini. Truman setuju dengan Stimson, dan Kyoto pun sementara dihapus dari daftar target.[78] Groves berusaha memasukkan kembali Kyoto ke daftar target pada bulan Juli, tetapi Stimson bersikukuh dengan pendapatnya.[79][80] Tanggal 25 Juli, Nagasaki menggantikan tempat Kyoto di dalam daftar target.[80] Perintah serangan diserahkan ke Jenderal Carl Spaatz pada tanggal 25 Juli dengan tanda tangan Jenderal Thomas T. Handy, pelaksana tugas Kepala Staf, karena Marshall sedang menghadiri Konferensi Potsdam bersama Truman.[81] Pada hari itu, Truman menulis di diarinya bahwa:
Rencana demonstrasiPada awal Mei 1945, Stimson membentuk Interim Committee atas desakan kepala Proyek Manhattan dan memberi saran tentang tenaga nuklir atas persetujuan Truman.[83] Pada rapat tanggal 31 Mei dan 1 Juni, ilmuwan Ernest Lawrence menyarankan pelaksanaan demonstrasi non-tempur di Jepang.[84] Arthur Compton kemudian mengatakan bahwa:
Rencana demonstrasi diperkenalkan lagi dalam Laporan Franck yang diterbitkan oleh fisikawan James Franck pada tanggal 11 Juni dan Scientific Advisory Panel menolak laporannya pada tanggal 16 Juni. Panel penasihat mengatakan bahwa, "kami merasa demonstrasi teknis tidak dapat mengakhiri perang; kami tidak melihat alternatif yang layak selain penjatuhan bom secara langsung di target militer." Franck kemudian mengirimkan laporannya ke Washington, D.C. Interim Committee kemudian mengadakan rapat tanggal 21 Juni untuk menilai kembali kesimpulan awalnya. Komite kemudian menegaskan bahwa tidak ada alternatif selain menjatuhkan bom di target militer.[86] Seperti Compton, banyak pejabat dan ilmuwan AS yang berpendapat bahwa demonstrasi akan menghilangkan nilai kejut serangan atom, dan Jepang akan membantah efek mematikan dari bom atom sehingga misi Sekutu tidak akan membuat Jepang menyerah. Tahanan perang Sekutu bisa saja dipindahkan ke tempat demonstrasi dan tewas akibat ledakan bom. Mereka juga khawatir bahwa bomnya akan gagal karena bom yang dipakai di Trinity bersifat stasioner, tidak dijatuhkan dari langit. Selain itu, hanya dua bom yang siap pakai pada awal Agustus meskipun masih banyak bom lain yang sedang diproduksi. Pembuatan bom itu sendiri memakan biaya miliaran dolar, jadi demonstrasi satu bom saja sudah sangat mahal.[87][88] SelebaranSelama beberapa bulan, AS telah menjatuhkan lebih dari 63 juta selebaran di seluruh Jepang yang berisi peringatan serangan udara kepada warga sipil. Banyak kota di Jepang yang mengalami kerusakan parah akibat pengeboman udara; sekitar 97% wilayah perkotaan luluh lantak. LeMay mengira bahwa selebaran akan meningkatkan dampak pengeboman secara psikologis dan mengurangi stigma internasional mengenai pengeboman kota. Meski sudah diberi peringatan, penolakan perang oleh warga Jepang tetap tidak efektif. Rakyat Jepang mempercayai isi selebaran tersebut, tetapi siapapun yang ketahuan menyimpannya akan ditangkap.[89][90] Teks selebaran disiapkan oleh tahanan perang Jepang karena mereka lebih pantas "untuk memohon kepada sesama prajuritnya".[91] Sebagai persiapan penjatuhan bom atom di Hiroshima, pemimpin militer AS memutuskan untuk menolak demonstrasi pengeboman dan selebaran peringatan karena bomnya belum tentu meledak dan memaksimalkan kejutan psikologis.[92] Hiroshima tidak diberitahu bahwa bom baru dengan kemampuan menghancurkan yang lebih kuat akan dijatuhkan di sana.[93] Berbagai sumber memberi informasi berbeda seputar selebaran terakhir yang dijatuhkan di Hiroshima sebelum pengeboman atom. Robert Jay Lifton menulis bahwa selebaran terakhir disebar tanggal 27 Juli,[93] dan Theodore H. McNelly mencantumkan tanggal 3 Juli.[92] Sejarah USAAF menyebutkan bahwa sebelas kota tercantum dalam selebaran tanggal 27 Juli, tetapi Hiroshima bukan salah satu kota tersebut, dan tidak ada penyebaran selebaran pada 30 Juli.[90] Penyebaran selebaran dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus dan 4 Agustus. Selebaran mungkin saja disebarkan di Hiroshima pada akhir Juli atau awal Agustus karena korban selamat menyebutkan adanya penyebaran selebaran beberapa hari sebelum bom atom dijatuhkan.[93] Salah satu selebaran mencantumkan dua belas kota yang ditargetkan oleh pengeboman bakar: Otaru, Akita, Hachinohe, Fukushima, Urawa, Takayama, Iwakuni, Tottori, Imabari, Yawata, Miyakonojo, dan Saga. Hiroshima tidak masuk daftar tersebut.[94][95][96][97] Deklarasi PotsdamTruman menunda penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi Potsdam selama dua minggu agar bom bisa diuji coba sebelum perundingan dengan Stalin dimulai. Uji Coba Trinity tanggal 16 Juli melebihi harapan semua orang. Pada tanggal 26 Juli, para pemimpin negara Sekutu menandatangani Deklarasi Potsdam yang mencantumkan syarat penyerahan diri Jepang. Deklarasi ini dibuat sebagai ultimatum dan menyatakan bahwa tanpa penyerahan diri, Sekutu akan menyerang Jepang sehingga mengakibatkan "kemusnahan angkatan bersenjata Jepang secara total dan tak terhindarkan dan kehancuran tanah air Jepang yang juga tak terhindarkan". Bom atom tidak disebutkan dalam komunike tersebut. Tanggal 28 Juli, koran-koran Jepang melaporkan bahwa deklarasi tersebut ditolak oleh pemerintah Jepang. Sore itu juga, Perdana Menteri Suzuki Kantarō menyatakan dalam konferensi pers bahwa Deklarasi Potsdam hanyalah tiruan (yakinaoshi) Deklarasi Kairo dan pemerintah Jepang akan mengabaikannya (mokusatsu, "membunuh dengan mendiamkan").[98] Pernyataan tersebut ditafsirkan oleh media Jepang dan asing sebagai penolakan deklarasi secara terang-terangan. Kaisar Hirohito yang sedang menunggu respon Soviet atas ajakan perdamaian Jepang tidak mengambil tindakan untuk mengubah sikap pemerintah.[99] Jepang baru mau menyerah asalkan kekaisaran tidak dibubarkan; Jepang tidak diduduki; angkatan bersenjata Jepang dibubarkan secara sukarela; dan para penjahat perang diadili di pengadilan Jepang.[100] Menurut Perjanjian Quebec tahun 1943 dengan Britania Raya, Amerika Serikat sepakat bahwa senjata nuklir tidak akan dijatuhkan di negara lain tanpa persetujuan bersama. Pada Juni 1945, kepala British Joint Staff Mission, Marsekal Lapangan Sir Henry Maitland Wilson, setuju bahwa penggunaan senjata nuklir di Jepang akan dicatat secara resmi sebagai keputusan Combined Policy Committee.[101] Di Potsdam, Truman menyetujui permintaan Winston Churchill bahwa Britania akan diwakili saat bom atom dijatuhkan. William Penney dan Kapten Kelompok Leonard Cheshire diutus ke Tinian, namun mereka mengetahui bahwa LeMay tidak akan mengizinkan mereka ikut terbang dalam misi pengeboman. Hal yang bisa mereka lakukan adalah mengirim sinyal jelas ke Wilson.[102] BomBom Little Boy, kecuali muatan uraniumnya, selesai dibuat pada awal Mei 1945.[103] Proyektil uranium-235 selesai dibuat tanggal 15 Juni, dan targetnya dibuat tanggal 24 Juli.[104] Target dan bom pra-rakitan (bom yang separuh dirakit tanpa komponen fisi) diberangkatkan dari Hunters Point Naval Shipyard, California, pada tanggal 16 Juli menggunakan kapal penjelajah USS Indianapolis dan tiba di tempat tujuan tanggal 26 Juli.[105] Isi target diterbangkan pada tanggal 30 Juli.[104] Inti plutonium pertama dan inisiator urchin polonium-beriliumnya dipindahkan menggunakan peti barang berbahan magnesium yang dirancang oleh Philip Morrison di bawah pengawasan kurir Project Alberta, Raemer Schreiber. Magnesium dipilih karena tidak merusak inti plutonium.[106] Inti bom diangkut menggunakan pesawat C-54 milik 320th Troop Carrier Squadron, bagian 509th Composite Group, dari Kirtland Army Air Field pada tanggal 26 Juli dan tiba North Field tanggal 28 Juli. Tiga peledak pra-rakitan Fat Man berkekuatan tinggi (F31, F32, dan F33) diangkut di Kirtland pada tanggal 28 Juli oleh tiga pesawat B-29 dari 393d Bombardment Squadron plus satu pesawat dari 216th Army Air Force Base Unit dan diberangkatkan ke North Field. Ketiga peledak tiba pada tanggal 2 Agustus.[107] HiroshimaHiroshima pada Perang Dunia IIPada hari pengeboman, Hiroshima merupakan kota penting dari segi industri maupun militer. Beberapa satuan militer berpangkalan di dekat Hiroshima, termasuk markas Angkatan Darat Umum Kedua pimpinan Marsekal Lapangan Shunroku Hata. Angkatan Darat Umum Kedua memimpin pertahanan Jepang bagian selatan,[108] dan bermarkas di Istana Hiroshima. Hata membawahkan kurang lebih 400.000 prajurit, sebagian besar di antaranya ditempatkan di Kyushu untuk mengantisipasi serbuan Sekutu.[109] Di kota ini juga terdapat markas Angkatan Darat ke-59, Divisi ke-5, dan Divisi ke-224, satuan mobil yang baru dibentuk.[110] Kota ini dilindungi oleh lima baterai artileri senjata antipesawat 7-cm dan 8-cm (2,8 dan 3,1 inci) dari Divisi Antipesawat ke-3, termasuk unit dari Resimen Antipesawat ke-121 dan 122 dan Batalyon Antipesawat Terpisah ke-22 dan 45. Secara keseluruhan, lebih dari 40.000 personel militer ditempatkan di Hiroshima.[111] Hiroshima adalah pangkalan suplai dan logistik militer Jepang berukuran kecil, namun arsenal militernya besar.[112] Kota ini juga merupakan pusat komunikasi, pelabuhan penting, dan tempat berkumpulnya tentara.[77] Hiroshima adalah kota terbesar kedua di Jepang setelah Kyoto yang masih bertahan meski diserang berkali-kali.[113] Alasannya, Hiroshima tidak punya industri pesawat yang menjadi target utama XXI Bomber Command. Pada tanggal 3 Juli, Kepala Staf Gabungan menghapus Hiroshima, Kokura, Niigata, dan Kyoto dari jalur pesawat pengebom.[114] Pusat kota dipadati oleh bangunan beton berkerangka dan bangunan berstruktur ringan. Wilayah di luar pusat kota dipadati oleh bengkel kecil berbahan kayu yang tersebar di antara rumah-rumah Jepang. Pabrik terletak di pinggiran kota. Rumah di Hiroshima terbuat dari kayu dengan atap tanah liat. Banyak pula bangunan industri yang berkerangka kayu. Seluruh wilayah perkotaan Hiroshima rentan terbakar.[115] Sebelum pengeboman atom, populasi Hiroshima mencapai puncaknya sebanyak 381.000 jiwa, lalu perlahan turun karena evakuasi sistematis yang dilaksanakan pemerintah Jepang. Saat serangan terjadi, jumlah penduduk Hiroshima 340.000–350.000 jiwa.[116] Penduduk heran karena Hiroshima tidak menjadi target pengeboman bakar.[117] Sejumlah pihak menduga bahwa kota ini hendak dijadikan markas pendudukan Amerika Serikat. Ada pula yang menduga bahwa kerabat mereka di Hawaii dan California meminta pemerintah AS untuk tidak mengebom Hiroshima.[118] Pejabat pemerintah kota memerintahkan penghancuran beberapa bangunan untuk menciptakan pemecah api berukuran panjang pada tahun 1944.[119] Pemecah api terus diperluas dan diperpanjang sampai pagi tanggal 6 Agustus 1945.[120] PengebomanHiroshima adalah target utama misi pengeboman nuklir pertama pada tanggal 6 Agustus; Kokura dan Nagasaki menjadi target alternatif. Setelah diberi maklumat sesuai Operations Order No. 35, pesawat B-29 Enola Gay dari 393d Bombardment Squadron yang dipiloti Tibbets lepas landas dari North Field, Tinian, menuju Jepang dengan masa tempuh enam jam. Enola Gay (diambil dari nama ibu Tibbets) dikawal oleh dua pesawat B-29. The Great Artiste, di bawah pimpinan Mayor Charles Sweeney, mengangkut instrumen, sedangkan Necessary Evil yang saat itu belum diberi nama, di bawah pimpinan Kapten George Marquardt, bertugas sebagai perekam foto.[121]
Setelah meninggalkan Tinian, pesawat terbang di atas Iwo Jima untuk menjemput pesawat Sweeney dan Marquardt pukul 05:55 di ketinggian 9.200 kaki (2.800 m),[123] dan melanjutkan penerbangan ke Jepang. Pesawat tiba di target pengeboman dengan cuaca cerah di ketinggian 31.060 kaki (9.470 m).[124] Parsons, pemimpin misi, mengaktifkan bom di udara untuk mengurangi risiko saat lepas landas. Ia pernah melihat langsung empat B-29 jatuh dan terbakar saat lepas landas dan khawatir ledakan nuklir akan terjadi bila B-29 yang mengangkut Little Boy jatuh.[125] Asistennya, Letnan Dua Morris R. Jeppson, mencabut pengaman bom 30 menit sebelum tiba di target pengeboman.[126] Pada malam tanggal 5–6 Agustus, radar peringatan awal Jepang melacak penerbangan sejumlah pesawat Amerika Serikat yang mengarah ke Jepang bagian selatan. Radar melacak 65 pesawat pengebom ke arah Saga, 102 ke Maebashi, 261 ke Nishinomiya, 111 ke Ube, dan 66 ke Imabari. Sirene serangan udara dinyalakan dan siaran radio dihentikan di sejumlah kota, termasuk Hiroshima. Sirene kondusif dinyalakan di Hiroshima pukul 00:05.[127] Sekitar satu jam sebelum pengeboman, sirene serangan udara dinyalakan kembali ketika Straight Flush terbang di atas kota. Pesawat ini mengirimkan pesan singkat yang diterima Enola Gay. Pesan tersebut berisi: "Sebaran awan kurang dari 3/10 di semua ketinggian. Saran: bom utama."[128] Sirene kondusif dinyalakan lagi di Hiroshima pukul 07:09.[129] Pada pukul 08:09, Tibbets memulai misinya dan menyerahkan kendali pesawat ke perwira pengebomnya, Mayor Thomas Ferebee.[130] Bom dilepaskan pukul 08:15 (waktu Hiroshima) sesuai rencana. Little Boy yang mengangkut kurang lebih 64 kg (141 pon) uranium-235 memerlukan 44,4 detik untuk jatuh dari ketinggian jelajah 31.000 kaki (9.400 m) menuju ketinggian ledakan 1.900 kaki (580 m) di atas kota.[131][132][133] Enola Gay terbang sejauh 115 mi (185 km) sebelum diterjang gelombang kejut yang dihasilkan ledakan.[134] Karena angin samping, bom meleset dari titik acuannya, Jembatan Aioi, sejauh kira-kira 800 ft (240 m) dan meledak pas di atas Klinik Bedah Shima[135] di 34°23′41″N 132°27′17″E / 34.39468°N 132.45462°E. Ledakannya setara dengan 16 kiloton TNT (67 TJ), ± 2 kt.[132] Senjata ini dianggap sangat tidak efisien karena hanya 1,7% material bom yang mengalami fisi.[136] Radius kehancuran total mencapai 1 mil (1,6 km), sedangkan radius kebakarannya mencapai 44 mil persegi (110 km2).[137] Orang-orang di darat melaporkan melihat pika atau kilau cahaya terang yang diikuti don, bunyi dentuman keras.[138] Sekitar 70.000–80.000 orang, 20.000 di antaranya tentara, atau 30% penduduk Hiroshima tewas akibat ledakan dan kebakaran pascaledakan,[139][140] dan 70.000 orang sisanya cedera.[141] Peristiwa di daratSejumlah bangunan beton bertulang di Hiroshima dibangun dengan sangat kuat karena faktor gempa bumi di Jepang, dan kerangkanya tidak runtuh meski letaknya dekat dengan pusat ledakan. Karena bom meledak di udara, ledakan lebih terpusat ke bawah alih-alih ke samping sehingga menyelamatkan Aula Pameran Industri Prefektur, sekarang dikenal dengan nama kubah Genbaku (A-bomb). Gedung ini dirancang dan dibangun oleh arsitek Ceko, Jan Letzel, dan terletak 150 m (490 ft) dari titik nol. Reruntuhan gedung diberi nama Tugu Perdamaian Hiroshima dan terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1996 meski ditentang Amerika Serikat dan Tiongkok. Kedua negara beralasan bahwa justru negara-negara Asia selain Jepanglah yang mengalami korban jiwa dan kehancuran properti terbesar dalam Perang Dunia II, dan penganugerahan penghargaan UNESCO kepada Jepang tidak memiliki dasar sejarah.[142] Amerika Serikat memperkirakan bahwa 47 mil persegi (120 km2) wilayah kota Hiroshima hancur. Pejabat pemerintah Jepang memperkirakan bahwa 69% bangunan di Hiroshima rata dengan tanah dan 6–7% bangunan mengalami kerusakan.[143] Pengeboman atom memicu kebakaran yang menyebar cepat lewat rumah-rumah berbahan kayu dan kertas. Seperti kota-kota lainnya di Jepang, pemecah api gagal mencegah kebakaran.[144] Pengeboman Hiroshima
Eizō Nomura adalah korban selamat yang diketahui paling dekat dengan ledakan bom. Ia saat itu berada di bawah tanah gedung beton bertulang (disebut Rest House setelah perang) yang berjarak 170 meter (560 ft) dari titik nol (hiposentrum).[145][146] Ia hidup sampai usia 80 tahunan.[147][148] Akiko Takakura merupakan salah satu korban selamat yang paling dekat dengan hiposentrum ledakan. Ia saat itu berada di gedung Bank Hiroshima yang berjarak 300 meter (980 ft) dari titik nol.[149] Lebih dari 90% dokter dan 93% perawat di Hiroshima tewas atau terluka. Sebagian besar dari mereka sedang berada di pusat kota, wilayah yang paling parah kerusakannya.[150] Banyak rumah sakit hancur atau rusak parah. Hanya satu dokter, Terufumi Sasaki, yang masih bertugas di Red Cross Hospital.[144] Meski situasinya demikian, kepolisian dan relawan mendirikan pusat evakuasi di rumah sakit, sekolah, dan stasiun trem pada sore hari. Kamar mayat didirikan di perpustakaan Asano.[151] Sebagian besar pasukan markas Angkatan Darat Umum Kedua Jepang sedang menjalani latihan fisik di lapangan Istana Hiroshima, sekitar 900 yard (820 m) dari hiposentrum. Serangan tersebut menewaskan 3.243 tentara di lapangan ini.[152] Ruang komunikasi Markas Distrik Militer Chugoku yang bertugas mengeluarkan dan menyalakan sirene serangan udara terletak di semi-bawah tanah istana. Yoshie Oka, siswi Sekolah Menengah Atas Perempuan Hijiyama yang ditugaskan sebagai petugas komunikasi di sana, mengirimkan pesan bahwa alarm telah dinyalakan di Hiroshima dan Yamaguchi ketika bom meledak. Ia memakai telepon khusus untuk memberitahu Markas Fukuyama bahwa, "Hiroshima telah diserang oleh sebuah bom jenis baru. Hampir seluruh kota ini mengalami kehancuran total."[153] Karena Wali Kota Senkichi Awaya tewas saat sedang sarapan bersama putra dan cucunya di kediaman wali kota, Marsekal Lapangan Hata, meski sedikit terluka, mengambil alih pemerintahan kota dan memimpin pengiriman bantuan. Banyak stafnya yang tewas atau cedera parah, termasuk seorang pangeran Korea dari Dinasti Joseon, Yi Wu, yang menjabat sebagai letnan kolonel Angkatan Darat Jepang.[154][155] Staf senior Hata yang selamat adalah Kolonel Kumao Imoto; ia ditugaskan sebagai kepala staf Hata. Pelabuhan Ujina Hiroshima tidak mengalami kerusakan, dan tentara Jepang mengerahkan kapal bunuh diri untuk mencegah serbuan Amerika Serikat, mengangkut korban cedera, dan membawa mereka ke rumah sakit militer di Ujina.[154] Truk dan kereta membawa persediaan bantuan dan mengungsikan korban selamat dari kota.[156] Dua belas penerbang Amerika Serikat dipenjara di Markas Kepolisian Militer Chugoku, 1.300 kaki (400 m) dari hiposentrum ledakan.[157] Sebagian besar dari mereka tewas seketika, walaupun ada dua penerbang yang kabarnya telah dieksekusi. Dua penerbang lainnya yang terluka parah ditinggalkan di pinggir Jembatan Aioi oleh Kempei Tai, lalu ditimpuk batu sampai tewas.[158] Laporan selanjutnya menunjukkan bahwa 8 tahanan perang AS yang dikabarkan tewas akibat ledakan bom justru kenyataannya ditahan di Istana Hiroshima dan telah dieksekusi sebagai bagian dari program eksperimen kedokteran sebelum pengeboman atom terjadi.[159] Kabar pengeboman di JepangOperator kendali NHK di Tokyo melihat bahwa stasiun Hiroshima menghentikan siarannya. Ia mencoba menyambungkan lagi program NHK menggunakan kabel telepon lain, tetapi gagal.[160] Sekitar 20 menit kemudian, pusat telegraf kereta api Tokyo menyadari bahwa telegraf jalur utama berhenti tersambung di sebelah utara Hiroshima. Dari sejumlah stasiun kereta kecil yang berjarak 16 km (10 mi) dari kota, muncul berbagai laporan tak resmi dan sepotong-potong mengenai ledakan mengerikan di Hiroshima. Semua laporan tersebut dikirimkan ke markas Staf Umum Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.[161] Berbagai pangkalan militer mencoba menghubungi Stasiun Kendali Angkatan Darat di Hiroshima berkali-kali. Sambungan sunyi dari kota ini membingungkan Staf Umum; mereka tahu bahwa tidak ada serangan musuh besar-besaran di sana dan tidak ada arsenal peledak besar di Hiroshima pada waktu itu. Seorang perwira muda ditugaskan untuk terbang ke Hiroshima, mendarat, mengamati kerusakan yang ada, dan pulang ke Tokyo membawa informasi utuh. Mereka merasa bahwa tidak ada kejadian serius di sana dan ledakan yang dilaporkan hanya kabar burung semata.[161] Perwira staf berangkat ke bandara dan terbang ke arah barat daya. Setelah terbang selama tiga jam, ia bersama pilotnya melihat awan asap yang sangat besar dari jarak 160 km (100 mi) dari Hiroshima. Seusai berputar-putar di atas kota untuk mengamati kerusakan, mereka mendarat di selatan kota. Ia mulai mengatur tindakan penyelamatan setelah melapor ke Tokyo. Dugaan awal Tokyo bahwa Hiroshima luluh lantak akibat bom jenis baru disampaikan lewat pengumuman Presiden Truman enam belas jam kemudian.[161] Peristiwa 7–9 AgustusSetelah pengeboman Hiroshima, Truman mengeluarkan pengumuman penggunaan senjata baru. Ia menyatakan, "Kami bersyukur atas takdir Tuhan" karena proyek bom atom Jerman telah digagalkan, dan Amerika Serikat beserta sekutunya telah "menghabiskan dua miliar dolar dalam pertaruhan ilmu pengetahuan terbesar sepanjang sejarah—dan [kami] menang." Truman kemudian memperingatkan Jepang: "Bila mereka enggan menerima tuntutan kita, kebinasaan akan menghujani mereka dari udara, kebinasaan yang belum pernah terjadi di muka Bumi ini. Serangan udara ini akan diikuti serangan laut dan darat dengan besaran dan kemampuan yang belum pernah mereka lihat seumur hidup dengan keahlian tempur yang mereka ketahui dengan sangat baik."[164] Pemerintah Jepang tidak bereaksi. Kaisar Hirohito, pemerintah, dan dewan perang mempertimbangkan empat syarat penyerahan diri: kokutai (lembaga kekaisaran dan politis nasional) tidak dibubarkan; Markas Kekaisaran menjadi pihak yang melaksanakan perlucutan senjata dan demobilisasi; Kepulauan Utama Jepang, Korea, atau Formosa tidak diduduki; dan pemerintah Jepang menjadi pihak yang mengadili para penjahat perang.[165] Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov memberitahu Tokyo bahwa Uni Soviet akan melakukan pelanggaran Pakta Kenetralan Soviet–Jepang secara sepihak tanggal 5 Agustus. Pukul dua belas malam lewat dua menit tanggal 9 Agustus waktu Tokyo, infanteri, kendaraan lapis baja, dan angkatan udara Soviet dikerahkan dalam Operasi Serangan Strategis Manchuria.[166] Empat jam kemudian, Tokyo menerima kabar pernyataan perang Uni Soviet. Perwira senior Angkatan Darat Jepang bersiap-siap memberlakukan darurat militer di seluruh Jepang atas dukungan Menteri Perang Korechika Anami untuk mencegah upaya perdamaian.[167] Pada tanggal 7 Agustus, sehari setelah Hiroshima dihancurkan, Dr. Yoshio Nishina dan fisikawan atom lainnya tiba di sana dan menilai kerusakan dengan hati-hati. Mereka kembali ke Tokyo dan memberitahu kabinet pemerintah bahwa Hiroshima dihancurkan oleh bom atom. Laksamana Soemu Toyoda, Kepala Staf Umum Angkatan Laut, memperkirakan bahwa hanya satu atau dua bom yang disiapkan Amerika Serikat. Mereka memutuskan untuk siap-siap diserang lagi: "Kehancuran akan terus berdatangan, namun perang akan terus berjalan."[168] Pemecah sandi Magic dari Amerika Serikat merekam pesan kabinet tersebut.[169] Purnell, Parsons, Tibbets, Spaatz, dan LeMay bertemu di Guam pada hari yang sama untuk membahas tindakan selanjutnya.[170] Karena tidak ada indikasi penyerahan diri Jepang,[169] mereka memutuskan untuk menjatuhkan satu bom lagi. Parsons mengatakan bahwa Project Alberta akan menyiapkannya pada 11 Agustus, tetapi Tibbets menyerahkan laporan cuaca yang menunjukkan buruknya kondisi terbang pada tanggal itu akibat badai. Ia meminta agar bom bisa disiapkan pada tanggal 9 Agustus. Parsons menyanggupi permintaan Tibbets.[171][170] Nagasaki
Nagasaki pada Perang Dunia IIKota Nagasaki merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Jepang selatan dan menjadi kota penting semasa perang karena memiliki banyak aktivitas industri, termasuk produksi artileri, kapal, perlengkapan militer, dan material perang lainnya. Empat perusahaan terbesar di kota ini adalah Galangan Kapal Mitsubishi, Galangan Kapal Listrik Mitsubishi, Pabrik Senjata Mitsubishi, dan Pabrik Baja dan Senjata Mitsubishi. Keempat perusahaan ini mempekerjakan sekitar 90% tenaga kerja di Nagasaki dan mencakup 90% industri di kota ini.[173] Meski tergolong kota industri yang penting, Nagasaki tidak diterjang bom bakar karena letak geografisnya membuat kota ini sulit dilacak oleh radar AN/APQ-13.[114] Tidak seperti kota target lainnya, Nagasaki tidak dikeluarkan dari jalur pesawat pengebom sesuai surat perintah Kepala Staf Gabungan tanggal 3 Juli[114][174] dan dibom kecil-kecilan sebanyak lima kali. Dalam serangan tanggal 1 Agustus, sejumlah bom konvensional berkekuatan tinggi dijatuhkan di kota ini. Beberapa bom menghantam galangan kapal dan dok di selatan kota, dan beberapa lainnya menghantam Pabrik Baja dan Senjata Mitsubishi.[173] Pada awal Agustus, kota ini dilindungi oleh Resimen Antipesawat ke-134 dari Divisi Antipesawat ke-4 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Mereka dilengkapi empat baterai artileri senjata antipesawat 7 cm (2,8 in) dan dua lampu sorot.[111] Berbeda dengan Hiroshima, hampir semua bangunan di Nagasaki bergaya Jepang lama, terbuat dari kayu atau berkerangka kayu dengan dinding kayu (dengan atau tanpa plaster), dan beratapkan tanah liat. Banyak industri dan usaha kecil didirikan di bangunan kayu atau material lain yang tidak mampu menahan ledakan. Nagasaki dibiarkan berkembang tanpa penataan kota yang layak; permukiman didirikan di dekat pabrik dan permukiman lainnya sepadat mungkin di seluruh lembah industri Nagasaki. Pada hari pengeboman, sekitar 263.000 orang sedang berada di Nagasaki, termasuk 240.000 penduduk Jepang, 10.000 penduduk Korea, 2.500 pekerja Korea, 9.000 tentara Jepang, 600 pekerja Tiongkok, dan 400 tahanan perang Sekutu di perkemahan di sebelah utara Nagasaki.[175][176] PengebomanPenentuan waktu pengeboman kedua menjadi tugas Tibbets. Serangan Kokura awalnya dijadwalkan pada 11 Agustus, lalu digeser dua hari lebih awal untuk menghindari lima hari prakiraan cuaca buruk mulai 10 Agustus.[177] Tiga pra-rakitan bom telah diangkut ke Tinian (F-31, F-32, dan F-33). Pada tanggal 8 Agustus, latihan pengeboman dilakukan di lepas pantai Tinian oleh Sweeney menggunakan pesawat pengebom Bockscar. Rakitan F-33 dipakai untuk menguji komponennya, dan F-31 dipakai untuk misi tanggal 9 Agustus.[178]
Pada pukul 03:49 tanggal 9 Agustus 1945, Bockscar, diterbangkan oleh awak Sweeney, mengangkut Fat Man ke target utama (Kokura) dan target kedua (Nagasaki). Rencana misi serangan kedua hampir sama seperti misi Hiroshima: dua pesawat B-29 terbang satu jam sebelumnya untuk memantau cuaca dan dua B-29 terbang mengawal Sweeney untuk instrumentasi dan perekaman foto misi. Sweeney lepas landas membawa bom yang sudah diaktifkan dengan pengaman listrik.[180] Semasa inspeksi pra-penerbangan Bockscar, teknisi penerbangan memberitahu Sweeney bahwa pompa bahan bakar yang tidak aktif membuat Bockscar tidak mungkin mengangkut 640 galon AS (2.400 l; 530 imp gal) bahan bakar di dalam tangki cadangan. Bahan bakar tersebut masih harus dibawa ke Jepang dan dikembalikan sehingga memakan bahan bakar lebih banyak. Mengganti pompa membutuhkan waktu berjam-jam; memindahkan Fat Man ke pesawat lain juga membutuhkan waktu yang lama dan berbahaya karena bomnya aktif. Tibbets dan Sweeney memutuskan untuk melanjutkan misi dengan pesawat Bockscar.[181][182] Kali ini, Penney dan Cheshire diizinkan mengawal misi ini sebagai pemantau di pesawat ketiga, Big Stink, yang diterbangkan oleh perwira operasi kelompok, Mayor James I. Hopkins, Jr. Pemantau di pesawat cuaca melaporkan bahwa cuaca di kedua kota target cerah. Saat pesawat Sweeney tiba di titik kumpul untuk persiapan terbang ke pesisir Jepang, Big Stink tidak ada.[180] Menurut Cheshire, Hopkins berada terbang 9.000 kaki (2.700 m) lebih tinggi daripada ketinggian seharusnya dan tidak terbang berputar di atas Yakushima seperti yang sudah disepakati bersama Sweeney dan Kapten Frederick C. Bock; Bock menerbangkan pesawat pendukung B-29 The Great Artiste. Hopkins malah terbang dengan pola melengkung sejauh 40-mil (64 km).[183] Meski diperintahkan untuk tidak terbang memutar lebih dari lima belas menit, Sweeney terus menunggu Big Stink atas usulan Ashworth, operator senjata pesawat yang memimpin misi ini.[184] Setelah melewati batas waktu keberangkatan selama setengah jam, Bockscar, ditemani The Great Artiste, melanjutkan penerbangan ke Kokura dengan waktu tempuh tiga puluh menit. Penundaan di titik kumpul mengakibatkan terbentuknya awan di Kokura disertai asap bekas serangan pengeboman bakar oleh 224 B-29 di Yahata sehari sebelumnya. Selain itu, Pabrik Baja Yawata sengaja membakar tar batu bara agar menghasilkan asap hitam.[185] Awan dan asap menutupi 70% wilayah Kokura dan mengaburkan titik acuan bom. Tiga penerbangan pengeboman dilaksanakan selama 50 menit selanjutnya, membuang bahan bakar, dan memicu penyerangan armada pesawat oleh pasukan pertahanan Yawata, namun pesawat pengebom tidak dapat melihat target penjatuhan bom. Pada penerbangan pengeboman ketiga, tembakan senjata antipesawat Jepang semakin dekat, dan Letnan Kedua Jacob Beser yang saat itu sedang mengawasi komunikasi Jepang melaporkan adanya aktivitas lewat pita radio pesawat tempur Jepang.[186] Seusai melakukan tiga penerbangan pengeboman di atas kota dengan bahan bakar rendah akibat kegagalan pompa, mereka terbang ke target kedua, Nagasaki.[180] Perhitungan konsumsi bahan bakar di tengah perjalanan menunjukkan bahwa Bockscar tidak akan mampu mencapai Iwo Jima dan harus terbang ke Okinawa. Awalnya mereka memutuskan bahwa apabila Nagasaki tidak terlihat saat mereka tiba, awak pesawat akan menerbangkan bomnya ke Okinawa dan menjatuhkannya di laut bila perlu. Ashworth kemudian memutuskan untuk mengambil pendekatan radar apabila target tidak terlihat.[187] Sekitar pukul 07:50 waktu Jepang, sirene serangan udara dinyalakan di Nagasaki. Sirene kondusif dinyalakan pukul 08:30. Ketika hanya dua B-29 Superfortress terlihat pukul 10:53, Jepang berasumsi bahwa kedua pesawat tersebut sedang dalam misi pengintaian dan tidak menyalakan sirene lagi.[188] Beberapa menit kemudian pada pukul 11:00, The Great Artiste menjatuhkan instrumen yang dilengkapi tiga parasut. Instrumen-instrumen ini berisi surat tak bertanda tangan kepada Profesor Ryokichi Sagane, fisikawan Universitas Tokyo yang belajar bersama tiga ilmuwan pencipta bom atom di Universitas California, Berkeley. Surat tersebut berisi permohonan kepada Sagane untuk memperingatkan masyarakat tentang bahaya senjata pemusnah massal. Pesan tersebut ditemukan oleh militer, tetapi baru diserahkan kepada Sagane satu bulan kemudian.[189] Pada tahun 1949, salah satu penulis surat tersebut, Luis Alvarez, bertemu Sagane dan menandatanganinya.[190] Pukul 11:01, jeda di antara awan di langit Nagasaki memungkinkan perwira pengebom Bockscar, Kapten Kermit Beahan, melihat target bom sesuai rencana. Bom Fat Man yang mengandung inti plutonium berbobot 64 kg (141 pon) dijatuhkan di lembah industri Nagasaki di 32°46′25″N 129°51′48″E / 32.77372°N 129.86325°E. Bom meledak 47 detik kemudian di ketinggian 1.650 ± 33 ft (503 ± 10 m) di atas lapangan tenis,[191] separuh jalan antara Pabrik Baja dan Senjata Mitsubishi di selatan dan Arsenal Nagasaki di utara. Ledakan terjadi hampir 3 km (1,9 mi) di sebelah barat laut target awal. Ledakan tersebut dibatasi oleh Lembah Urakami, dan sebagian besar kota dilindungi oleh lembah di sekitarnya.[192] Ledakan bom setara dengan 21 ± 2 kt (87,9 ± 8,4 TJ)[132] dan menghasilkan panas bersuhu 3.900 °C (7.050 °F) serta angin kencang berkecepatan 1.005 km/h (624 mph).[193] Big Stink melihat ledakan dari jarak seratus mil dan terbang ke arah Nagasaki untuk melihat lebih dekat.[194] Karena penundaan misi dan kegagalan pompa bahan bakar, Bockscar tidak memiliki bahan bakar yang cukup untuk mendarat darurat di Iwo Jima, jadi Sweeney dan Bock terbang ke Okinawa. Setibanya di sana, Sweeney terbang memutar selama 20 menit untuk meminta izin pendaratan dari menara pengawas. Ia lalu menyadari bahwa radionya rusak. Dengan bahan bakar kritis, Bockscar berhasil mendarat di Lapangan Terbang Yontan, Okinawa. Dengan bahan bakar untuk sekali upaya pendaratan, Sweeney dan Albury mendaratkan Bockscar dengan kecepatan 150 mil per jam (240 km/h) alih-alih kecepatan normal 120 mil per jam (190 km/h) dan menembakkan suar bahaya untuk memberitahu awak darat mengenai pendaratan mendadak. Saat Bockscar melakukan pendekatan ke landasan, mesin nomor dua mati karena kehabisan bahan bakar. Setelah mendarat keras, pesawat B-29 tersebut oleng ke kiri menuju barisan pesawat pengebom B-24 sebelum pilot berhasil mengendalikannya. Baling-baling terbalik B-29 tidak mampu memperlambat pesawat, dan karena kedua pedal rem sama-sama ditekan, Bockscar berbelok 90 derajat di ujung landasan agar tidak tergelincir keluar landasan. Ketika pesawat berhenti, mesin kedua sudah mati akibat kekosongan bahan bakar. Teknisi penerbangan lalu mengukur bahan bakar di tangki dan menunjukkan bahwa bahan bakar yang tersisa cukup untuk terbang kurang dari lima menit.[195] Setelah misi dilaksanakan, identifikasi pesawat mulai dipertanyakan. Saksi mata pertama, wartawan perang William L. Laurence dari New York Times yang ikut menumpang pesawat Bock, melaporkan bahwa Sweeney adalah pemimpin misi di The Great Artiste. Ia juga menulis bahwa nomor "Victor"-nya adalah 77, nomornya Bockscar, dan sejumlah personel berkomentar bahwa 77 adalah nomor baju pemain rugbi Red Grange.[196] Laurence telah duluan mewawancarai Sweeney dan awaknya dan tahu bahwa mereka menyebut pesawatnya The Great Artiste. Kecuali Enola Gay, tak satupun B-29 milik 393d yang namanya dicat di hidung pesawat; informasi ini ditulis dalam kesaksian Laurence. Tak menyadari perubahan pesawat, Laurence menduga Victor 77 adalah The Great Artiste,[197] padahal sebenarnya Victor 89.[198] Peristiwa di daratMeski bom ini lebih kuat daripada bom di Hiroshima, dampaknya dibatasi oleh perbukitan di Lembah Urakami yang sempit.[199] Dari 7.500 karyawan Jepang yang bekerja di Pabrik Munisi Mitsubishi, termasuk pelajar yang dimobilisasi dan pekerja reguler, 6.200 karyawan tewas. Kurang lebih 17.000–22.000 orang yang bekerja di pabrik perang lainnya di Nagasaki juga tewas.[200] Perkiraan korban tewas bervariasi mulai dari 22.000 sampai 75.000 jiwa.[201][202][203][204] Beberapa hari dan bulan setelah ledakan, banyak orang yang meninggal akibat dampak bom. Karena terdapat pekerja asing tak resmi dan personel militer transit di sana, perbedaan perkiraan total korban tewas pada akhir 1945 sangat besar. Berbagai penelitian menyebutkan angka mulai dari 39.000 sampai 80.000 jiwa.[116][204] Tidak seperti jumlah korban militer yang tewas di Hiroshima, hanya 150 tentara yang tewas seketika di Nagasaki, termasuk 36 tentara dari Resimen AAA ke-134 dari Divisi AAA ke-4 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.[111][205] Sedikitnya delapan tahanan perang diketahui tewas akibat pengeboman ini dari total perkiraan 13 tahanan perang tewas, termasuk seorang warga Britania, Kopral Angkatan Udara Kerajaan Ronald Shaw,[206] dan tujuh tahanan perang Belanda.[207] Seorang tahanan perang Amerika Serikat, Joe Kieyoomia, sedang berada di Nagasaki saat pengeboman terjadi, namun selamat karena dilindungi oleh dinding penjara yang terbuat dari beton.[208] 24 tahanan perang Australia di Nagasaki selamat.[209] Radius kehancuran total mencapai 1 mi (1,6 km). Kebakaran tersebar dari wilayah utara kota sampai 2 mi (3,2 km) di selatan pusat ledakan.[137][210] Sekitar 58% Pabrik Senjata Mitsubishi dan 78% Pabrik Baja Mitsubishi rusak. Pabrik Listrik Mitsubishi hanya mengalami 10% kerusakan struktural karena terletak di batas zona kehancuran utama. Arsenal Nagasaki luluh lantak akibat ledakan ini.[211] Rencana pengeboman atom selanjutnyaGroves berharap ada pengeboman atom lagi pada 19 Agustus, tiga lagi sepanjang bulan September, dan tiga lainnya bulan Oktober.[88] Pada tanggal 10 Agustus, ia mengirim memorandum ke Marshall bahwa "bom selanjutnya ... harus siap dijatuhkan pada hari cerah pertama setelah 17 atau 18 Agustus." Pada hari yang sama, Marshall mengomentari memo tersebut: "Bom tersebut tidak akan dijatuhkan di Jepang tanpa seizin Presiden."[88] Truman diam-diam meminta pengeboman lanjutan pada 10 Agustus. Permintaan tersebut membatalkan perintah sebelumnya yang menyatakan bahwa kota-kota target akan diserang bom atom "setelah bomnya siap".[212] Di Departemen Perang ada pembahasan seputar penghematan bom yang diproduksi untuk Operasi Downfall. "Masalahnya sekarang [13 Agustus] adalah bila Jepang tidak menyerah, apakah kita perlu menjatuhkan [bom atom] terus-menerus tiap kali satu [bom] selesai dibuat dan dikirimkan ke sana atau menahan diri ... lalu menjatuhkan semuanya dalam waktu singkat. Bukan dalam satu hari, melainkan masa waktu yang singkat. [Kita] perlu mempertimbangkan pula target yang hendak diserang. Dengan kata lain, bukankah kita perlu berfokus pada target yang akan menjadi bantuan terbesar bagi serbuan [Sekutu] alih-alih industri, moral, psikologi, dan semacamnya? Lebih ke manfaat taktis daripada manfaat lain."[88] Dua rakitan Fat Man sudah disiapkan dan dijadwalkan berangkat dari Kirtland Field ke Tinian pada tanggal 11 Agustus dan 14 Agustus,[213] dan Tibbets diminta LeMay kembali ke Albuquerque, New Mexico, untuk mengambilnya.[214] Di Los Alamos, para teknisi bekerja 24 jam tanpa henti untuk membentuk inti plutonium lainnya.[215] Meski dibentuk, inti tersebut masih perlu dipadatkan dan dilapisi sampai tanggal 16 Agustus.[216] Bom baru siap dipakai tanggal 19 Agustus. Namun demikian, karena tidak bisa menghubungi Marshall, Groves mengeluarkan perintah pada 13 Agustus bahwa inti bom tidak akan dikirimkan.[212] Penyerahan diri dan pendudukan JepangSampai 9 Agustus, dewan perang Jepang masih kukuh dengan empat syarat penyerahan dirinya. Pada hari itu pula, Hirohito memerintahkan Kōichi Kido untuk "mengendalikan situasi dengan sigap ... karena Uni Soviet telah menyatakan perang melawan kita." Lalu, ia mengadakan pertemuan Kekaisaran dan meminta menteri Shigenori Tōgō memberitahu Sekutu bahwa Jepang akan menerima ketentuan penyerahan diri Sekutu dengan satu syarat, ketentuan tersebut "tidak berisi tuntutan yang melawan keputusan prerogatif Yang Mulia sebagai penguasa berdaulat."[217] Pada tanggal 12 Agustus, Kaisar memberitahu keluarganya seputar keputusan menyerah. Salah satu pamannya, Pangeran Asaka, kemudian bertanya apakah perang akan dilanjutkan bila kokutai tidak bisa dipertahankan. Hirohito menjawab, "Tentu saja."[218] Karena Sekutu membiarkan prinsip perlindungan Takhta Kekaisaran, Hirohito merekam pengumuman penyerahan dirinya pada tanggal 14 Agustus dan baru disiarkan di seluruh Jepang keesokan harinya meski sempat ada pemberontakan kecil oleh kaum militeris yang menolak untuk menyerah.[219] Dalam pernyataannya, Hirohito menyinggung pengeboman atom:
Dalam "Pengumuman Kepada Tentara dan Pelaut" yang dikirimkan tanggal 17 Agustus, ia menekankan dampak serbuan Soviet atas keputusannya untuk menyerah dan tidak menyebutkan pengeboman apapun.[221] Hirohito bertemu Jenderal MacArthur tanggal 27 September dan mengatakan bahwa, "[p]erdamaian tidak tercipta sampai akhirnya pengeboman Hiroshima menciptakan situasi yang mungkin dramatis." Selain itu, pidato "Pengumuman Kepada Tentara dan Pelaut" yang ia sampaikan ke MacArthur bersifat pribadi, bukan politis, dan tidak pernah menyatakan bahwa campur tangan Soviet di Manchuria adalah alasan utama Jepang menyerah. Faktanya, sehari setelah pengeboman Nagasaki dan serbuan Soviet ke Manchuria, Hirohito memerintahkan para penasihatnya, terutama Kepala Sekretaris Kabinet Hisatsune Sakomizu, Kawada Mizuho, dan Masahiro Yasuoka, untuk menyusun pidato penyerahan diri. Dalam pidato Hirohito, beberapa hari sebelum disiarkan di radio tanggal 15 Agustus, ia menyampaikan tiga alasan utama untuk menyerah: pertahanan Tokyo tidak akan selesai diperkuat sebelum serbuan Amerika Serikat ke Jepang, Kuil Ise akan diduduki Amerika Serikat, dan senjata atom yang dikerahkan Amerika Serikat akan memusnahkan seluruh ras Jepang. Meski intervensi Soviet terjadi, Hirohito tidak menyebutkan Soviet sebagai salah satu faktor utama penyerahan diri Jepang.[222] Penggambaran, tanggapan masyarakat, dan penyensoranSemasa perang, "ujaran anihilasionis dan eksterminasionalis" dibiarkan di seluruh lapisan masyarakat Amerika Serikat; menurut kedutaan besar Britania Raya di Washington, rakyat AS memandang rakyat Jepang sebagai "sekumpulan kutu tanpa nama".[223] Karikatur yang menggambarkan orang Jepang bukan manusia, e.g. monyet, sudah biasa waktu itu.[223] Jajak pendapat tahun 1944 soal tindakan yang harus diambil terhadap Jepang menunjukkan bahwa 13% masyarakat AS mendukung "pembunuhan" semua pria, wanita, dan anak-anak Jepang.[224][225] Setelah bom Hiroshima berhasil meledak, Robert Oppenheimer menyampaikan pidato di Los Alamos "sambil mendekapkan tangannya layaknya juara tinju".[226] Vatikan tidak menanggapi dengan baik pengeboman tersebut; surat kabar L'Osservatore Romano menyatakan bahwa Vatikan kecewa karena para penemu bom tidak menghancurkan senjata tersebut demi kemaslahatan umat manusia.[227] Namun demikian, kabar pengeboman atom disambut meriah di AS; jajak pendapat di majalah Fortune pada akhir 1945 memperlihatkan bahwa sebagian kecil rakyat Amerika Serikat (22,7%) berharap bom atom dijatuhkan lagi di Jepang.[228][229] Tanggapan positif ini dibantu oleh citra yang diperlihatkan kepada masyarakat (terutama foto awan jamur yang dahsyat) dan penyensoran foto yang menampilkan mayat dan korban selamat yang cacat.[228] Wilfred Burchett adalah wartawan pertama yang mengunjungi Hiroshima setelah bom diledakkan. Ia tiba sendirian menggunakan kereta api dari Tokyo pada tanggal 2 September, hari penyerahan diri resmi di atas kapal USS Missouri. Pesan kode Morse-nya dicetak oleh harian Daily Express di London tanggal 5 September 1945 dengan judul "The Atomic Plague". Ini merupakan laporan publik pertama yang menyebutkan dampak radiasi dan sisa nuklir.[230] Laporan Burchett tidak populer di kalangan militer Amerika Serikat. Badan sensor AS membungkam berita yang dikirimkan George Weller dari Chicago Daily News, dan menuduh Burchett terkena propaganda Jepang. Laurence mengatakan bahwa laporan penyakit radiasi tersebut adalah upaya Jepang untuk menjatuhkan semangat Amerika Serikat. Ia juga mengabaikan kesaksiannya sendiri mengenai penyakit radiasi Hiroshima yang diterbitkan satu pekan kemudian.[231] Seorang anggota United States Strategic Bombing Survey, Letnan Daniel McGovern, membawa awak film untuk mendokumentasikan hasil pengeboman pada awal 1946.[232] Hasil rekaman mereka dijadikan film dokumenter berdurasi tiga jam berjudul The Effects of the Atomic Bombs Against Hiroshima and Nagasaki. Dokumenter ini menyertakan foto-foto dari rumah sakit yang menampilkan dampak bom terhadap tubuh manusia. Film ini juga menampilkan bangunan dan mobil terbakar, dan barisan tengkorak dan tulang di tanah. Film ini "dirahasiakan" pemerintah selama 22 tahun.[233] Waktu itu redaktur di Amerika Serikat sudah biasa menyensor foto orang mati dari film, majalah, dan surat kabar.[234] Film sepanjang 90.000 ft (27.000 m) yang direkam oleh tim kamerawan McGovern belum dirilis sepenuhnya pada tahun 2009. Menurut Greg Mitchell, lewat film dokumenter Original Child Bomb (2014), sebagian kecil rekaman tersebut berhasil ditunjukkan kepada rakyat Amerika Serikat "secara telanjang dan nyata sesuai yang dikehendaki para pembuatnya".[232] Perusahaan film Nippon Eigasha mulai mengirimkan kamerawan ke Nagasaki dan Hiroshima bulan September 1945. Pada tanggal 24 Oktober 1945, seorang polisi militer AS menghentikan aktivitas perekaman oleh kamerawan Nippon Eigasha di Nagasaki. Seluruh film Nippon Eigasha disita oleh pemerintah Amerika Serikat. Film ini akhirnya dikembalikan atas permintaan pemerintah Jepang, dilepaskan ke publik, dan diselamatkan. Sejumlah film hitam-putih dirilis dan ditayangkan untuk pertama kalinya di Jepang dan Amerika Serikat pada tahun 1968 sampai 1970.[232] Penayangan rekaman kota pascaserangan dan penelitian dampak bom atom terhadap manusia dilarang semasa pendudukan Jepang. Sebagian besar informasi tersebut disensor sampai Perjanjian Perdamaian San Francisco yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan ke pihak Jepang ditandatangani pada tahun 1951.[235] Hanya informasi dampak senjata nuklir paling sensitif dan rinci yang disensor pada waktu itu. Tidak ada sensor untuk kesaksian yang ditulis sesuai kenyataan. Misalnya, buku Hiroshima yang ditulis oleh pemenang Hadiah Pulitzer John Hersey (awalnya diterbitkan dalam bentuk artikel di majalah The New Yorker)[236] tanggal 31 Agustus 1946, kabarnya diedarkan dalam bahasa Inggris di Tokyo pada Januari 1947 dan diterjemahkan ke bahasa Jepang tahun 1949.[237][238][239] Buku ini menceritakan kisah enam korban selamat sebelum pengeboman sampai beberapa bulan setelah bom Little Boy dijatuhkan.[236] Korban pascaseranganPada musim semi 1948, Atomic Bomb Casualty Commission (ABCC) didirikan berdasarkan keputusan presiden Truman kepada National Academy of Sciences – National Research Council dengan tujuan melakukan penyelidikan mengenai dampak radiasi terhadap penyintas di Hiroshima dan Nagasaki.[240] Salah satu penelitian pertama yang dilakukan ABCC adalah kehamilan di Hiroshima dan Nagasaki, dan di kota kendali Kure yang terletak 18 mi (29 km) di selatan Hiroshima, untuk mempelajari kondisi dan hasil kehamilan akibat paparan radiasi.[241] Penelitian yang dipimpin Dr. James V. Neel ini menemukan bahwa jumlah kecacatan kelahiran di kalangan anak-anak penyintas yang hamil saat pengeboman tidak terlalu tinggi.[242] National Academy of Sciences mempertanyakan prosedur Neel yang tidak menyaring populasi Kure atas dugaan paparan radiasi.[243] Di antara kecacatan kelahiran yang diamati peneliti, jumlah kasus malformasi otak di Nagasaki dan Hiroshima, termasuk mikroensefalus dan anensefali, lebih banyak 2,75 kali lipat daripada jumlah kasus di Kure.[244][245] Pada tahun 1985, genetikawan manusia dari Universitas Johns Hopkins James F. Crow mempelajari penelitian Neel dan membenarkan bahwa jumlah kecacatan kelahiran di Hiroshima dan Nagasaki tidak terlalu tinggi.[246] Banyak anggota ABCC dan penggantinya, Radiation Effects Research Foundation (RERF), yang masih mencari potensi kecacatan kelahiran atau penyebab lain di kalangan penyintas beberapa puluh tahun kemudian, namun gagal menemukan bukti persebaran kecacatan di kalangan penyintas.[247][248] Meski penelitian Neel menemukan sedikitnya jumlah kecacatan kelahiran, sejarawan Ronald E. Powaski menulis bahwa Hiroshima mengalami "peningkatan jumlah kelahiran mati, kecacatan kelahiran, dan kematian bayi" setelah pengeboman atom.[249] Neel juga meneliti masa hidup anak-anak yang selamat dari pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Ia melaporkan bahwa antara 90 sampai 95 persen anak-anak tersebut masih hidup 50 tahun kemudian.[247] Sekitar 1.900 korban tewas akibat kanker dapat ditelusuri penyebabnya pada efek bom atom. Kajian epidemiologi oleh RERF menyatakan bahwa sejak tahun 1950 sampai 2000, 46% penderita leukemia yang meninggal dan 11% penderita kanker padat yang meninggal di kalangan penyintas bom diakibatkan oleh radiasi bom. Persentase tersebut mewakili 200 penderita leukemia dan 1.700 penderita kanker padat.[250] HibakushaPara penyintas (korban selamat) pengeboman atom disebut hibakusha (被爆者 , pengucapan bahasa Jepang: [çiβa̠kɯ̥ᵝɕʲa̠]), kata berbahasa Jepang yang secara harfiah berarti "orang terdampak ledakan". Per 31 Maret 2015[update], 183.519 hibakusha diakui oleh pemerintah Jepang; sebagian besar di antaranya menetap di Jepang.[251] Pemerintah Jepang mengakui bahwa 1% di antara mereka menderita penyakit yang diakibatkan oleh radiasi.[252] Tugu peringatan di Hiroshima dan Nagasaki bertuliskan daftar nama para hibakusha yang diketahui meninggal setelah pengeboman. Nama hibakusha terus bertambah setiap tahunnya pada tanggal peringatan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Pada Agustus 2015[update], di tugu ini tercantum lebih dari 460.000 nama hibakusha; 297.684 di Hiroshima[253] dan 168.767 di Nagasaki.[254] Hibakusha bersama anak-anaknya merupakan (dan masih menjadi) korban diskriminasi di Jepang karena masyarakat tidak tahu akibat dari penyakit radiasi. Sebagian besar masyarakat Jepang percaya bahwa penyakit radiasi dapat diturunkan dan bahkan menular.[255] Diskriminasi tetap terjadi walaupun sebenarnya tidak ada kenaikan jumlah kecacatan kelahiran atau malformasi kongenital di kalangan anak-anak yang dilahirkan oleh penyintas pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.[256] Penelitian dampak psikologis jangka panjang terhadap para penyintas menemukan bahwa meski 17–20 tahun sudah berlalu sejak pengeboman, kemungkinan gejala kegelisahan dan somatisasi di kalangan penyintas justru lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya.[257] Penyintas gandaPada tanggal 24 Maret 2009, pemerintah Jepang secara resmi mengakui Tsutomu Yamaguchi sebagai hibakusha ganda. Ia diketahui sedang dalam perjalanan bisnis dan berada 3 km (1,9 mi) dari titik nol di Hiroshima saat Little Boy meledak. Ia mengalami luka bakar serius di sisi kirinya dan menginap di Hiroshima. Ia tiba di kota asalnya, Nagasaki, tanggal 8 Agustus, sehari sebelum Fat Man dijatuhkan. Ia terpapar sisa radiasi saat sedang mencari kerabat keluarganya. Ia merupakan penyintas dua pengeboman atom pertama yang secara resmi diakui pemerintah Jepang.[258] Yamaguchi meninggal dunia tanggal 4 Januari 2010 pada usia 93 tahun setelah berjuang melawan kanker perut.[259] Film dokumenter Twice Survived: The Doubly Atomic Bombed of Hiroshima and Nagasaki (2006) mendokumentasikan 165 nijū hibakusha (korban terdampak ledakan ganda) dan ditayangkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa.[260] Penyintas KoreaSemasa perang, Jepang membawa kurang lebih 670.000 penduduk Korea ke Jepang untuk dijadikan tenaga kerja paksa.[261] Sekitar 20.000 orang Korea tewas di Hiroshima dan 2.000 lainnya tewas di Nagasaki. Satu dari tujuh korban Hiroshima diperkirakan merupakan keturunan Korea. Selama sekian tahun, etnis Korea kesulitan mendapatkan pengakuan sebagai korban bom atom dan tidak mendapat tunjangan kesehatan. Sebagian besar kasus ini diselesaikan lewat tuntutan hukum.[262] Perdebatan seputar pengeboman
Peran pengeboman dalam penyerahan diri Jepang dan pembenaran etis oleh Amerika Serikat telah menjadi topik perdebatan di kalangan ilmuwan dan masyarakat selama bertahun-tahun. J. Samuel Walker menulis dalam tinjauan historiografinya bulan April 2005, "kontroversi seputar penggunaan bom tampaknya masih akan terus berlanjut." Ia menulis bahwa, "permasalahan mendasar yang memecah belah para ilmuwan selama nyaris empat puluh tahun adalah perlu tidaknya penggunaan bom demi meraih kemenangan perang di Pasifik sesuai yang diinginkan Amerika Serikat."[264] Para pendukung umumnya menegaskan bahwa kedua peristiwa pengeboman memicu penyerahan diri Jepang dan mencegah jatuhnya korban di kedua sisi pada masa Operasi Downfall. Salah satu kalimat terkenal, "Seratus juta orang [penduduk Kekaisaran Jepang] siap mati untuk Kaisar dan Bangsanya,"[265] berfungsi sebagai slogan pemersatu bangsa, namun kalimat tersebut sebenarnya merupakan pendamping frasa "sepuluh ribu tahun".[266] Dalam Memoirs yang ditulis Truman tahun 1955, "ia menyatakan bahwa bom atom mungkin telah menyelamatkan setengah juta prajurit Amerika Serikat—perkiraan jumlah korban serbuan Sekutu ke Jepang yang rencananya dilaksanakan bulan November. Stimson berbicara soal menyelamatkan satu juga prajurit AS, dan Churchil berbicara soal menyelamatkan satu juta prajurit AS dan setengah juta prajurit Britania."[267] Para ilmuwan memaparkan sejumlah skenario alternatif yang dapat mengakhiri perang tanpa invasi, tetapi skenario tersebut malah akan menewaskan banyak warga Jepang.[268] Para pendukung juga merujuk pada perintah Kementerian Perang Jepang tanggal 1 Agustus 1944 yang memerintahkan eksekusi tahanan perang Sekutu apabila perkemahan tahanan perang berubah menjadi zona tempur.[269] Para penentang pengeboman menyebutkan beberapa alasan: keyakinan bahwa bom atom pada dasarnya tidak bermoral, pengeboman dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang, pengeboman atom tidak perlu dilakukan dari sudut pandang militer, pengeboman atom tergolong terorisme negara,[270] dan pengeboman dipicu oleh rasisme dan dehumanisasi terhadap bangsa Jepang. Pandangan lainnya yang populer di kalangan kritikus pengeboman dipaparkan oleh Gar Alperovitz pada tahun 1965 dan menjadi pendapat tetap di buku-buku teks sejarah sekolah Jepang. Pandangan tersebut menjelaskan diplomasi atom: Amerika Serikat memakai senjata nuklir untuk mengintimidasi Uni Soviet pada tahap-tahap awal Perang Dingin.[271] Pengeboman atom merupakan bagian dari kampanye pengeboman biasa (konvensional) yang sama parahnya. Pengeboman biasa dibarengi pemblokiran laut dan kejatuhan Jerman (yang mengakibatkan perpindahan pasukan) akan membuat Jepang menyerah pada akhirnya. Ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945, Uni Soviet melancarkan serangan kejutan yang melibatkan 1,6 juta tentara melawan Tentara Kwantung di Manchuria. Menurut sejarawan Jepang, Tsuyoshi Hasegawa, "masuknya Soviet ke kancah perang memainkan peran yang lebih besar dalam penyerahan diri Jepang daripada pengeboman atom karena [serbuan Soviet] memupuskan harapan Jepang untuk mengakhiri perang lewat mediasi Moskwa".[272] Catatan kaki
Referensi
Bacaan lanjutan
Lihat pula
Pranala luarArsip
Peringatan
|