Wangsa Utsmaniyah
Wangsa Utsmaniyah, nama resmi Wangsa keluarga Utsmaniyah (Turki Otoman: خاندان آل عثمان Ḫānedān-ı Āl-ı ʿOsmān) (juga disebut Utsmani, Osmani. Disebut Ottoman dalam ejaan Inggris) adalah nama keluarga penguasa dari Kesultanan Utsmaniyah yang berdiri selama 623 tahun (tahun 1299 sampai 1922). Kepala keluarga ini juga menjadi kepala dunia Islam dengan disandangnya gelar khalifah selama 407 tahun, yakni dari tahun 1517 sampai 1924, menjadikannya sebagai dinasti terlama kedua setelah Abbasiyah yang menyandang gelar khalifah. NamaNama keluarga besar ini diambil dari nama Osman, penguasa pertama negara Utsmaniyah. Sepeninggalnya, para keturunannya meneruskan perannya sebagai kepala negara. Osman I dan putranya, Orhan, selalu diikutsertakan dalam daftar Sultan Utsmaniyah, meskipun gelar sultan secara resmi baru disandang oleh Murad I, putra Orhan. Kekuasaan mereka berbeda-beda, sesuai dengan kebijakan dan pribadi sang sultan. Dalam beberapa kasus, sultan adalah penguasa mutlak yang memegang penuh kendali pemerintahan, sedangkan dalam kesempatan lain, sultan juga dapat menyerahkan kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan kepada wazir agung (setara perdana menteri). PeranWangsa Utsmaniyah adalah salah satu dinasti Muslim terlama yang berkuasa. Dinasti ini memerintah negara yang juga memiliki nama yang sama dengan nama keluarga besarnya, Kesultanan Utsmaniyah, sebuah negara yang bermula dari daerah Anatolia dan meluas hingga menguasai Timur Tengah, Afrika Utara, dan Balkan. Anggota Wangsa Utsmaniyah menjadi kepala negara Utsmaniyah selama 623 tahun (1299 sampai 1922) dan silsilah semua sultannya tersambung dari jalur ayah dengan penguasa pertamanya. Kepala keluarga ini secara resmi juga menyandang gelar khalifah, gelar pemimpin dunia Islam, setelah mereka menaklukan Kesultanan Mamluk Mesir yang merupakan pelindung bagi Khalifah Abbasiyah yang sudah tidak memiliki wilayah kekuasaan pasca jatuhnya Baghdad pada 1258. Wangsa Utsmaniyah menyandang gelar khalifah selama 407 tahun, yakni dari tahun 1517 sampai 1924, meskipun mereka sudah mengklaim gelar ini sebelum tahun 1517. Status keluarga ini sebagai penguasa negara Utsmaniyah berakhir seiring dengan dibubarkannya negara ini pada 1 November 1922. Sepeninggalnya, pemimpin Wangsa Utsmaniyah masih tetap mempertahankan gelar khalifahnya selama dua tahun, sebelum akhirnya lembaga kekhalifahan dibubarkan dan keluarga ini diasingkan dari Republik Turki, negara penerus Utsmaniyah. Anggota keluarga Wangsa Utsmaniyah yang masih hidup beserta keturunannya dari jalur laki-laki kemudian menggunakan marga Osmanoğlu (secara harfiah bermakna 'putra Osman') sampai sekarang. GelarAnggota Wangsa Utsmaniyah menggunakan gelar-gelar yang diambil dari beberapa bahasa, utamanya dari bahasa Arab, Persia, dan Turki. Di antara gelar-gelar yang mereka sandang, sultan adalah gelar yang paling umum diketahui. Sultan (سلطان) berasal dari bahasa Arab dan bermakna "kekuatan". Di Indonesia dan Barat, gelar ini adalah gelar yang paling umum diketahui untuk merujuk pemimpin Utsmani. Meski begitu, sejak abad keenam belas, gelar sultan tidak hanya disandang oleh pemimpin Utsmani, tetapi juga oleh semua anggota Wangsa Utsmani, dengan pangeran menyandang gelar ini di depan namanya dan putri di belakang namanya. Misalnya, Şehzade Sultan Mehmed dan Mihrimah Sultan, anak-anak Sultan Suleyman Al Qanuni. Sebagaimana putri, permaisuri dan ibu suri juga menyandang gelar tersebut di belakang nama mereka. Penggunaan ini menegaskan konsep Utmani bahwa kedaulatan berada di tangan keluarga.[1] Pemimpin UtsmaniGelar utama dari penguasa Utsmani adalah sultan, khan, dan padisyah, yang masing-masingnya berasal dari bahasa Arab, Turki, dan Persia. Selain itu, penguasa Utsmani juga memiliki gelar lain yang menunjukkan pengesahan klaim mereka sebagai pewaris atas negara-negara yang telah ditaklukannya. Meski daftar Sultan Utsmani selalu dimulai dari Osman I, nyatanya gelar sultan baru secara resmi digunakan pada masa cucunya, Murad I. Dua pemimpin Utsmani awal, Osman dan Orhan, meggunakan gelar bey, gelar bahasa Turki untuk kepala suku dan juga dapat diartikan dengan adipati. Mereka juga menggunakan gelar ghazi (غازي), istilah dalam bahasa Arab yang mengacu pada orang yang turut serta dalam perang jihad. Dalam tradisi bangsa Turki, nama disebut terlebih dahulu baru diikuti gelarnya. Misal: Osman Ghazi, Orhan Bey. Pemimpin ketiga Negara Utsmani, Murad I, mulai menanggalkan gelar ini dan mulai menggunakan gelar sultan pada tahun 1383. Namun karena gelar ini sudah digunakan oleh banyak pemimpin Muslim di dunia, pemimpin Utsmani mulai menggunakan variasi dari gelar ini untuk membedakan diri mereka dengan pemimpin Muslim lain yang statusnya lebih rendah. Murad I menyatakan dirinya sebagai sultan-i azam (سلطان اعظم, sultan agung). Bayezid I menggunakan gelar Sultan Rum. Rum sendiri adalah istilah Arab untuk Romawi. Gelar lain yang disandang pemimpin Utsmani adalah khan (dieja 'han' dalam bahasa Turki), gelar bagi penguasa atau pemimpin militer Asia Tengah. Bersama gelar sultan, han digunakan sebagai penyebutan standard untuk pemimpin Utsmani, mencerminkan penggabungan warisan Islam dan Asia Tengah. Misal, Sultan Suleyman Han.[1] Masyarakat Utsmani sendiri lebih sering menyebut pemimpin mereka dengan padişah ('padisyah' dalam ejaan bahasa Indonesia).[2] Gelar ini berasal dari bahasa Persia dan dapat disepadankan dengan 'kaisar' atau 'maharaja' dalam bahasa Indonesia. Dengan menyandang gelar ini, pemimpin Ustmani menyatakan superioritas mereka di atas para raja. Setelah penaklukan Konstantinopel, pemimpin Utsmani juga menyandang gelar Kayser-i Rûm (Kaisar Romawi) sebagai pernyataan bahwa mereka adalah pewaris Kekaisaran Romawi.[3][4][5] Pemimpin Dinasti Ustmani juga menyandang gelar khalifah yang merupakan gelar bagi pemimpin umat Islam. Gelar ini mulai diklaim oleh Murad I dan secara resmi menjadi gelar pemimpin Utsmani setelah pada tahun 1517, Sultan Selim I menaklukan Kesultanan Mamluk Mesir yang berperan sebagai pelindung Khalifah Abbasiyah yang sudah kehilangan wilayah kekuasaan setelah serangan Mongol pada 1258. Wangsa Abbasiyah kemudian menyerahkan kedudukan khalifah kepada Wangsa Utsmaniyah dan gelar ini terus disandang pemimpin Utsmani sampai 1924. Anggota dinastiMereka yang termasuk anggota Wangsa Utsmani adalah laki-laki (pangeran) dan perempuan (putri) yang silsilahnya tersambung dengan Osman I dari jalur ayah, dan juga anak laki-laki dan perempuan dari putri. PangeranLaki-laki yang silsilahnya tersambung dari jalur ayah sampai Osman I. Sebagai calon sultan, para pangeran pada masa awal Utsmani diberi tugas untuk memerintah provinsi sebagai bentuk pelatihan dan bekal mereka nantinya bila naik takhta. Namun selepas masa kekuasaan Ahmed I, para pangeran tetap tinggal di istana sampai salah seorang dari mereka naik takhta.
PuteriPerempuan yang silsilahnya tersambung dari jalur ayah sampai Osman I.
Anak-anak putri
Kerabat anggota dinastiMereka yang bukan termasuk anggota Wangsa Utsmaniyah, tetapi memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat dengan mereka, juga memiliki gelar khusus dan hak-hak istimewa tertentu. Ibu suriKedudukan ibu suri normalnya selalu disandang oleh ibu dari sultan yang sedang berkuasa. Meski begitu, ada beberapa kasus saat ibu tiri sultan berperan sebagai ibu suri saat ibu kandung sultan sendiri telah meninggal.
Pasangan sultan dan pangeranPada umumnya, sultan dan para pangeran memiliki lebih dari satu pasangan, baik berstatus sebagai istri maupun selir. Peringkat kedudukan para pasangan sultan ini biasanya didasarkan atas urutan kelahiran putra-putra mereka. Ibu dari putra tertua sultan memiliki kedudukan tertinggi di antara pasangan sultan yang lain. Meski begitu, tidak ada gelar yang dapat disejajarkan dengan permaisuri (pasangan utama) lantaran semua pasangan sultan menyandang gelar yang sama dan perbedaan peringkat di antara mereka tidak begitu mencolok. Utsmani baru secara resmi memiliki kedudukan yang dapat disetarakan dengan permaisuri pada masa Suleyman Al Qanuni.
Pasangan putriSuami dari putri menyandang gelar damat atau damad (داماد). Gelar ini berasal dari bahasa Persia. Contoh penggunaan gelar: Damad Ibrahim Pasya. Keluarga OsmanoğluSepeninggal dibubarkannya lembaga kekhalifahan pada tahun 1924, anggota Wangsa Utsmani diasingkan dari Republik Turki. Mereka semua bertolak dari Stasiun Sirkeci dan kemudian hidup menyebar di Eropa, Amerika Serikat, dan Timur Tengah dan hidup dalam belitan kemiskinan.[6] Dikarenakan mantan Sultan Mehmed VI Vahideddin tinggal di San Remo, banyak anggota Wangsa Utsmani yang tinggal di Prancis selatan. Setelah tinggal sebentar di Swiss, khalifah terakhir, Şehzade Abdulmecid II berpindah ke Côte d'Azur dan tinggal di Nice. Anggota Wangsa Utsmani ini menggunakan marga Osmanoğlu yang secara harfiah bermakna 'putra Osman'. Anggota perempuan Wangsa Utsmani diperkenankan kembali ke Turki pada 1951[7] dan anggota laki-lakinya pada 1973.[8] Lihat pulaRujukan
Pranala luar
|