Orang Franka
Orang Franka (bahasa Latin: Franci, tunggal: Francus) atau suku Franka (bahasa Latin: Gens Francorum) adalah sebutan bagi sekumpulan suku dari rumpun Jermani[1] yang pertama kali muncul dalam catatan-catatan bangsa Romawi dari abad ke-3 Masehi tentang suku-suku penghuni kawasan hilir dan kawasan tengah daerah aliran Sungai Rhein di perbatasan wilayah Kekaisaran Romawi. Sebutan ini kemudian hari dilekatkan pada wangsa-wangsa Jermani berbudaya Romawi yang mendirikan kerajaan di bekas wilayah barat Kekaisaran Romawi dan akhirnya menguasai seantero kawasan yang terbentang di antara Sungai Loire dan Sungai Rhein. Orang Franka kemudian menjajah banyak kerajaan kecil yang menjamur pascapenjajahan Romawi dan suku-suku rumpun Jermani selebihnya. Raja-raja Franka akhirnya diakui sebagai pengganti sah kaisar-kaisar Romawi Barat oleh Gereja Katolik.[2][3][4][a] Meskipun nama suku Franka tidak pernah disebut-sebut sebelum abad ke-3, bangsa Romawi sudah mengenal satu dua suku dari rumpun Jermani yang kemudian hari menjadi unsur pembentuk suku Franka. Suku-suku tersebut dikenal dengan nama-nama tersendiri, baik sebagai sekutu pemasok prajurit maupun sebagai musuh. Orang Franka pertama kali disebut-sebut ketika kawasan sekitar Sungai Rhein lepas dari kekuasaan bangsa Romawi dan para sekutunya. Orang Franka dilaporkan bersatu melancarkan aksi-aksi penyerbuan ke wilayah Kekaisaran Romawi, tetapi sedari awal juga dijelaskan bahwa aksi-aksi tersebut dipicu oleh serangan suku-suku lain ke daerah yang semula mereka diami, misalnya serangan orang Saksen, maupun karena didorong oleh keinginan suku-suku di dekat perbatasan untuk berpindah ke dalam wilayah kekuasaan bangsa Romawi yang sudah mereka kenal baik selama berabad-abad. Suku-suku Franka yang bermukim dekat perbatasan di dalam wilayah Kekaisaran Romawi adalah suku Sali dan suku Ripuari. Dalam catatan-catatan bangsa Romawi, orang Franka Sali disebut sebagai kelompok masyarakat yang diizinkan menetap di dalam wilayah Kekaisaran Romawi, sementara orang Franka Ripuari disebut sebagai kelompok masyarakat yang berulang kali berusaha sampai akhirnya berhasil merebut kota Köln dari bangsa Romawi dan selanjutnya menguasai daerah di tepi kiri Sungai Rhein. Pada kurun waktu perseteruan antarfaksi (tahun-tahun era 450-an dan 460-an), seorang pemimpin Franka yang bernama Kilderik berhasil menjadi perwira dalam kesatuan angkatan bersenjata Romawi di Provinsi Galia (kurang lebih sama dengan wilayah negara Prancis sekarang ini) yang terdiri atas laskar-laskar dari berbagai suku bangsa. Kilderik dan putranya, Klovis, harus bersaing melawan seorang perwira Romawi bernama Egidius demi mendapatkan jabatan raja atas masyarakat Franka di daerah sekitar Sungai Loire. Menurut keterangan Gregorius Turonensis, Egidius menjadi raja orang Franka selama 8 tahun masa pembuangan Kilderik. Jabatan raja model baru yang agaknya terinspirasi oleh kisah hidup Alarik I ini[5] adalah titik awal kemunculan wangsa Meroving, wangsa Franka yang berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Provinsi Galia pada abad ke-6, dan berdaulat atas seluruh kerajaan suku Franka di sekitar Sungai Rhein. Bermodalkan wilayah kedaulatan wangsa Meroving ini, raja-raja wangsa Karoling berjuang memperluas wilayah sampai berhasil menjadi kaisar-kaisar baru di Eropa Barat sejak tahun 800. Pada Abad Pertengahan, istilah "orang Franka" lumrah digunakan sebagai sebutan lain untuk "orang Eropa Barat", karena raja-raja Franka dari wangsa Karoling menguasai sebagian besar kawasan barat Eropa, dan menciptakan tatanan politik (cikal bakal Ancien Régime) yang diterapkan di Eropa selama berabad-abad sampai Revolusi Prancis meletus. Masyarakat Eropa Barat sama-sama beragama Kristen Katolik Roma dan sama-sama berjuang dalam Perang Salib di Negeri Syam. Sesudah bercokol di Negeri Syam, mereka tetap menyebut diri "orang Franka", dan menyebut negara-negara yang mereka dirikan sebagai negara-negara orang Franka. Pada tahun 1099, sebagian besar Laskar Salib yang ada di Yerusalem adalah orang-orang Prancis, yakni bangsa yang suatu ketika pernah menyebut dirinya "orang Franka". Laskar Salib selebihnya terdiri atas para pendatang dari negara-negara lain di Eropa, antara lain orang Spanyol, orang Jerman, dan orang Hungaria.[6] Kenyataan ini berdampak panjang terhadap sebutan bagi orang Eropa Barat dalam banyak bahasa di dunia.[7][8][9] Kawasan barat Eropa dikenal bangsa Persia dengan nama "Faranggistan" (Negeri Peranggi), dan orang Eropa Barat disebut "Faranji" (orang Peranggi) oleh bangsa Arab.[10] Semenjak didirikan, kerajaan-kerajaan orang Franka sudah terbagi secara politik maupun hukum menjadi kerajaan timur yang cenderung berciri Jermani, dan kerajaan barat yang cenderung berciri Romawi. Kerajaan timur kemudian hari menjadi "Kekaisaran Romawi Suci" yang adakalanya disebut "Jerman", sementara kerajaan barat adalah kerajaan yang didirikan wangsa Meroving di Galia, daerah yang penduduknya mengamalkan budaya Romawi dan menuturkan bahasa-bahasa rumpun Romawi. Bekas wilayah kerajaan barat sampai sekarang dikenal dengan nama Prancis (bahasa Prancis: France), dari kata Latin Francia, yang berarti "negeri orang Franka". EtimologiFranka (Franci) bukanlah nama suku, tetapi dalam jangka waktu beberapa abad berubah menjadi nama yang lekat dengan suku-suku pembentuk suku besar Franka. Berpatokan pada pendapat Edward Gibbon dan Jacob Grimm,[11] kata "franka" telah dihubung-hubungkan dengan kata sifat "frank" dalam bahasa Inggris, yang makna purwanya adalah "merdeka".[12] Ada pula teori-teori yang mengatakan bahwa kata "franka" berasal dari kata Jermani untuk "lembing" (misalnya kata franca dalam bahasa Inggris Lama atau kata frakka dalam bahasa Skandinavia Lama).[13] Kata "franka" juga mungkin bersumber dari kosakata bahasa-bahasa lain dalam rumpun Jermani yang berarti "garang", "bagak", atau "lancang" (kata frech dalam bahasa Jerman, kata vrac dalam bahasa Belanda Pertengahan, kata frǣc dalam bahasa Inggris Lama, dan kata frakkr dalam bahasa Norwegia Lama).[14] Dalam pidatonya yang menyanjung Kaisar Konstantinus Agung, sehubungan dengan eksekusi mati para tawanan Franka di gelanggang kota Trier pada tahun 306 dan beberapa kejadian lain, pujangga Emenius menyindir orang Franka dengan kalimat berikut ini:[15][16]
Kata "garang" (bahasa Latin: Feroces) kerap digunakan untuk menyifatkan orang Franka.[17] Ada banyak definisi suku Franka dari berbagai periode dan sudut pandang. Selembar formularis (formulir Abad Pertengahan) yang ditulis Marculf sekitar tahun 700 M menunjukkan adanya keberlanjutan identitas kebangsaan dalam suatu masyarakat campuran dengan kalimat yang berbunyi: "Semua orang yang bermukim [di provinsi pejabat yang bersangkutan], yakni orang Franka, orang Romawi, orang Burgundi, dan bangsa-bangsa lain, hidup... menurut hukum dan adat-istiadat masing-masing."[18] Dalam karya tulis yang ia susun pada tahun 2009, Profesor Christopher Wickham mengemukakan bahwa "kata 'franka' dengan segera tidak lagi berkonotasi suku bangsa tertentu. Semua orang di sebelah utara Sungai Loire (kecuali orang Breton) tampaknya dianggap sebagai orang Franka sampai selambat-lambatnya pertengahan abad ke-7; Romani (orang Romawi) pada hakikatnya adalah kelompok masyarakat yang mendiami Akuitania sesudah itu".[19] Mitos asal-usulSelain Historia Francorum karangan Gregorius Turonensis, yang dianggap sebagai sumber terandal, masih ada dua lagi sumber lama yang menerangkan asal-usul orang Franka dengan lebih banyak bumbu cerita, yakni Tawarikh Fredegarius dari abad ke-7, dan karya tulis anonim dari abad ke-8 yang berjudul Liber Historiae Francorum. Tawarikh Fredegarius mengutip karya-karya tulis Vergilius maupun Hieronimus, dan mengklaim bahwa orang Franka berasal dari Troya.[20] Priamos dicitrakan sebagai raja orang Franka. Rakyat Priamos hijrah ke Makedonia sesudah kota Troya jatuh ke tangan musuh. Dari Makedonia, orang Franka berpencar. Rombongan yang dipimpin Raja Francio mengembara sampai ke Francia, sementara rombongan yang dipimpin Romulus mengembara sampai ke Roma. Tawarikh Fredegarius juga mengklaim bahwa Teodemer, yang disebut sebagai Raja Orang Franka oleh Gregorius Turonensis, adalah keturunan Priamos, Friga, dan Francio. Menurut sumber lain, yakni Gesta Francorum, 12.000 rakyat Troya di bawah pimpinan Priamos dan Antenor berlayar meninggalkan kampung halaman mereka sampai ke Sungai Don di Rusia, kemudian meneruskan pelayaran mereka sampai ke Panonia di tepi Sungai Donau, lalu menetap di dekat Laut Azov, tempat mereka mendirikan kota yang diberi nama Sikambria. Orang Sikambri adalah suku paling ternama di daerah asal orang Franka pada awal zaman Kekaisaran Romawi. Sekalipun sudah lama kalah dan bubar sebelum nama Franka muncul dalam catatan-catatan bangsa Romawi, nama Sikambri masih terus dikenang orang. Para pendatang dari Troya tersebut kemudian bergabung dengan angkatan bersenjata Romawi, dan dengan gagah berani berjuang menghalau musuh-musuh mereka ke rawa-rawa Mæotis, sehingga dijuluki "franka", yang berarti "garang". Satu dasawarsa kemudian, orang Romawi membunuh Priamos, mengusir Markomer dan Sunno, putra-putra Priamos dan Antenor, maupun orang-orang Franka selebihnya. SejarahZaman bahariSumber-sumber primer mengenai orang Franka purwa adalah XII Panegyrici Latini, catatan Amianus Marselinus, catatan Klaudianus, catatan Zosimos, catatan Sidonius Apolinaris, dan catatan Gregorius Turonensis. Keberadaan orang Franka pertama kali disebut-sebut dalam Historia Augusta, kumpulan biografi kaisar-kaisar Romawi. Tidak ada keterangan lain yang lebih terperinci dalam sumber-sumber primer tentang nama-nama suku atau puak Franka maupun politik dan sejarah mereka selain keterangan-keterangan berikut ini(James 1988, hlm. 35):
Pada tahun 288, Kaisar Maksimianus menundukkan orang Franka Sali, orang Kamavi, orang Frisia, dan beberapa suku lain dari rumpun Jermani yang mendiami daerah tepian Sungai Rhein. Ia memaksa suku-suku tersebut berpindah ke Germania Inferior untuk dimanfaatkan sebagai sumber tenaga kerja sekaligus untuk mencegah daerah itu ditempati suku-suku lain dari rumpun Jermani.[21][22] Kaisar Konstantius, ayah Kaisar Konstantinus Agung,[23] mengalahkan orang-orang Franka yang mendiami daerah muara Sungai Rhein pada tahun 292. Suku-suku tersebut ia paksa berpindah ke Toksandria.[24] Menurut pujangga Emenius, Kaisar Konstantius "menewaskan, mengusir, menangkap, [dan] menawan" orang-orang Franka yang bermukim di daerah muara Sungai Rhein berikut suku-suku lain yang sudah menyeberangi Sungai Rhein, dan untuk pertama kalinya menggunakan istilah nationes Franciae (bangsa-bangsa Negeri Franka). Agaknya lingkup makna kata "franka" pada kurun waktu permulaan ini jauh lebih luas, karena kadang-kadang juga mencakup orang Frisia yang mendiami daerah pesisir.[25] Dalam sumber-sumber Romawi, suku-suku orang Franka tercatat sebagai suku-suku sekutu (bahasa Latin: laeti) maupun musuh-musuh taklukan (bahasa Latin: dediticii). Sekitar tahun 260, salah satu puak Franka melancarkan serangan sampai ke daerah yang sekarang bernama Tarragona di negara Spanyol. Mereka menguasai daerah itu selama kira-kira satu dasawarsa sebelum akhirnya ditundukkan dan diusir bangsa Romawi. Pada tahun 287 atau tahun 288, Kaisar Maksimianus berhasil memaksa seorang pemimpin orang Franka bernama Genobaud untuk menyerah tanpa bertempur. Kaisar Maksimianus kemudian juga berhasil memaksa orang Sali di Toksandria, yakni kawasan yang kini disebut Negeri-Negeri Rendah, untuk takluk kepada Kekaisaran Romawi. Sayangnya, sesudah menundukkan orang Sali, ia gagal menaklukkan Britania. Riwayat Aurelianus, yang mungkin sekali ditulis oleh pujangga Vopiskus, menyebutkan bahwa pada tahun 328, orang Franka melancarkan penyerbuan tetapi dapat dikalahkan Legiun VI yang berpangkalan di Mainz. Tujuh ratus orang Franka tewas dibunuh, dan tiga ratus orang lainnya dijadikan budak belian.[26][27] Serbuan-serbuan orang Franka ke wilayah Kekaisaran Romawi di sekitar Sungai Rhein kian menjadi-jadi sehingga bangsa Romawi akhirnya mengizinkan mereka untuk mendiami daerah perbatasan di dalam wilayah Kekaisaran Romawi agar mudah dipantau. Orang Franka tercatat pula dalam Tabula Peutingeriana, sebuah atlas jalan-jalan Romawi. Atlas ini adalah salinan buatan abad ke-13 dari sebuah dokumen buatan abad ke-4 atau abad ke-5 yang memuat informasi dari abad ke-3. Bangsa Romawi sesungguhnya sudah mengetahui bentuk daratan Benua Eropa, tetapi pengetahuan tersebut tidak tercerminkan pada atlas ini, yang hanya sebuah pedoman praktis untuk mengetahui seluk-beluk jalan-jalan buatan Romawi dari satu tempat ke tempat lain. Di daerah sekitar pertengahan Sungai Rhein dalam atlas ini, tertera kata "Francia", berdekatan dengan kata "Bructeri" yang keliru ejaannya. Di atas Mainz terdapat Suevia (negeri orang Suebi), dan diatas Suevia terdapat Alamania (negeri orang Alemani). Empat suku di daerah muara Sungai Rhein yang tercantum dalam atlas ini adalah orang Kauki, orang Ampsivari (orang-orang yang bermukim di sekitar Sungai Ems), orang Keruski, dan orang Kamavi, yang ditambahi keterangan qui et Pranci (yang juga tergolong orang Franka). Kata-kata ini menyiratkan bahwa orang Kamavi dianggap sebagai bagian dari orang Franka. Tabula Peutingeriana mungkin sekali dibuat mengikuti Orbis Pictus (gambar dunia), peta yang dikerjakan selama dua puluh tahun atas perintah Kaisar Agustus untuk disimpan dan digunakan dinas perbendaharaan negara Romawi dalam urusan pengumpulan pajak. Meskipun sudah musnah, Orbis Pictus mungkin sekali adalah sumber dari informasi mengenai Provinsi Galia yang tercantum dalam Tabula Peutingeriana. Orang SaliOrang Sali pertama kali tercatat dalam karya tulis Amianus Marselinus, yang meriwayatkan keberhasilan Kaisar Yulianus menaklukkan "kaum Franka yang paling utama, yakni kaum yang lazim disebut orang Sali," pada tahun 358.[28][29] Kaisar Yulianus membiarkan orang Franka mendiami daerah Texuandria sebagai fœderatus di dalam wilayah Kekaisaran Romawi, sesudah berpindah ke daerah itu dari kawasan delta Sungai Rhein dan Sungai Maas.[30][31] Naskah Notitia Dignitatum dari abad ke-5 berisi catatan tentang sekelompok prajurit yang disebut Salii (orang Sali). Beberapa abad kemudian, orang Franka di daerah yang sama, kemungkinan besar orang Sali, menguasai Sungai Scheldt dan memutuskan arus transportasi ke Britania di Selat Inggris. Pasukan Romawi berhasil menundukkan tetapi gagal mengusir orang Franka, yang terus ditakuti sebagai gerombolan bajak laut. Orang Sali pada umumnya dianggap sebagai pendahulu orang Franka yang terdesak ke arah barat daya sampai ke kawasan yang sekarang menjadi wilayah negara Prancis. Kawasan tersebut pada akhirnya dikuasai oleh wangsa Meroving. Anggapan ini muncul karena wangsa Meroving menerbitkan kitab hukum Sali (bahasa Latin: Lex Salica) yang diberlakukan di wilayah Neustria, mulai dari Sungai Liger (Sungai Loire) sampai ke daerah Silva Carbonaria (Hutan Arang), yakni wilayah kerajaan yang didirikan wangsa Meroving di luar daerah permukiman asli orang Franka. Pada abad ke-5, orang Franka di bawah pimpinan Klodio bergerak memasuki kawasan permukiman Bangsa Romawi di daerah "Silva Carbonaria" (Hutan Arang) dan daerah-daerah di seberangnya, yang kira-kira sama dengan kawasan barat Wallonia sekarang ini. Silva Carbonara adalah batas pemisah daerah asal orang Sali di sebelah utara dari kawasan yang sudah berbudaya Romawi di sebelah selatan, yakni di provinsi Romawi Belgica Secunda (kira-kira sama dengan daerah yang dahulu kala disebut "Belgium" oleh Yulius Kaisar). Klodio menaklukkan Tournai, Artois, Cambrai, dan daerah-daerah lain sampai ke Sungai Somme. Klodio kerap dianggap sebagai leluhur wangsa Meroving. Kemudian hari, Kilderik I, yang menurut Gregorius Turonensis disebut-sebut sebagai keturunan Klodio, dipandang sebagai kepala pemerintahan di wilayah provinsi Belgica Secunda dan mungkin sekali juga di daerah-daerah lain.[32] Catatan-catatan sejarah mengenai Kilderik I menyebutkan bahwa ia sering dilibatkan dalam aksi-aksi pasukan Romawi di daerah sekitar Sungai Loire, jauh di sebelah selatan. Keturunan Kilderik I kemudian hari menguasai daerah Galia Romawi sampai ke daerah sekitar Sungai Loire, dan mendirikan Kerajaan Neustria, yang kelak menjadi negara Prancis pada Abad Pertengahan. Putra Kilderik I, Klovis I, juga menundukkan kerajaan-kerajaan orang Franka yang lebih merdeka di sebelah timur Silva Carbonaria dan Belgica II, dan mendirikan Kerajaan Austrasia, yang mula-mula memberlakukan "Hukum Ripuari". Orang RipuariOrang Franka Rheinland yang tinggal di daerah sekitar sungai Rhein kira-kira dari Mainz sampai Duisburg, yakni daerah sekitar kota Köln, sering kali dianggap bukan bagian dari orang Sali, dalam dalam teks-teks modern kadang-kadang disebut sebagai orang Franka Ripuari. Naskah Ravennatis Anonymi Cosmographia menyiratkan bahwa Francia Renensis (Negeri Franka Rheinland) mencakup civitas (kota-kota atau negeri-negeri) lama orang Ubi yang terletak di Germania II (Germania Inferior) dan kawasan utara Germania I (Germania Superior), termasuk kota Mainz. Sebagaimana orang Sali, orang Ripuari juga disebut-sebut dalam catatan-catatan bangsa Romawi sebagai suku perongrong dan pemasok laskar dalam angkatan bersenjata Romawi. Berbeda dengan orang Sali, tidak ada catatan mengenai kapan, jika memang pernah, Kekaisaran Romawi secara resmi mengizinkan orang Ripuari untuk bermukim di dalam wilayahnya. Orang Ripuari kemudian hari berhasil menguasai kota Köln, dan mendapatkan nama "Ripuari", yang mungkin saja berarti "orang sungai". Bagaimanapun juga, kitab hukum wangsa Meroving disebut Lex Ribuaria, tetapi mungkin sekali hukum ini berlaku di seluruh daerah lama orang Franka, termasuk daerah-daerah orang Sali. Dalam Getica, sejarawan Iordanes menyebutkan bahwa orang Ripari termasuk salah satu pasukan auxilia (laskar asing) yang dipimpin Panglima Flavius Aetius dalam Pertempuran Châlons pada tahun 451. Ia menulis sebagai bahwa "pasukan-pasukan auxilia-nya adalah sebagai berikut: orang Franka, orang Sarmatia, orang Armorika, orang Litika, orang Burgundi, orang Saksen, orang Ripari, orang Olibrioni... (bahasa Latin: Hi enim affuerunt auxiliares: Franci, Sarmatae, Armoriciani, Liticiani, Burgundiones, Saxones, Riparii, Olibriones...).[33] Akan tetapi orang Ripari (orang-orang sungai) tersebut sekarang ini dianggap bukanlah orang Franka Ripuari, melainkan kesatuan militer yang berpangkalan di Sungai Rhone.[34] Wilayah orang Ripuari yang terletak di kedua daerah tepi Sungai Rhein menjadi bagian utama dari wilayah Austrasia wangsa Meroving, yang membentang sampai ke Germania Inferior (kemudian hari disebut Germania Secunda, mencakup daerah-daerah asli orang Sali maupun orang Ripuari, kira-kira sama dengan daerah Lotharingia Hilir pada Abad Pertengahan), Gallia Belgica Prima (disebut daerah "Belgium" menjelang akhir zaman Kekaisaran Romawi, kira-kira sama dengan daerah Lotharingia Hulu pada Abad Pertengahan), dan negeri-negeri yang terletak di kawasan tepi timur Sungai Rhein. Kerajaan wangsa Meroving (481–751)Gregorius Turonensis (Buku II) melaporkan keberadaan kerajaan-kerajaan kecil orang Franka pada abad ke-5 di sekitar Köln, Tournai, Cambrai dan tempat-tempat lain. Kerajaan wangsa Meroving pada akhirnya menguasai kerajaan-kerajaan lain, mungkin sekali karena kedekatannya dengan struktur kekuasaan Romawi di kawasan utara Galia. Tampaknya angkatan bersenjata Franka terintegrasi sampai taraf tertentu dengan struktur kekuasaan tersebut. Mulanya Aegidius adalah magister militum (senapati) yang diangkat Kaisar Mayorianus. Namun sesudah Kaisar Mayorianus mangkat, ia dipandang sebagai pemberontak Romawi yang bergantung pada kekuatan laskar-laskar Franka. Gregorius Turonensis melaporkan bahwa Kilderik I dihukum buang selama 8 tahun, sementara Aegidius menyandang gelar "Raja orang Franka". Kilderik akhirnya pulang dari pembuangan dan menyandang gelar yang sama. Aegidius wafat pada tahun 464 atau 465.[35] Baik Kilderik maupun putranya, Klovis I, disebut sebagai penguasa Provinsi Romawi Belgica Secunda oleh Santo Remigius, pemuka agama di Provinsi Belgica Secunda pada masa pemerintahan Klovis. Klovis mengalahkan Syagrius, putra Aegidius, pada tahun 486 atau 487, kemudian memenjarakan dan menghukum mati raja orang Franka, Kararik. Beberapa tahun kemudian, ia membunuh Ragnakar, raja orang Franka di Kambrai, dan saudara-saudaranya. Sesudah menaklukkan Kerajaan Soissons dan mengusir orang Visigoth dari kawasan selatan Galia dalam Pertempuran Vouillé, ia menegakkan hegemoni orang Franka atas sebagian besar wilayah Galia, termasuk Bourgogne, Provence, dan Bretagne, yang pada akhirnya disatukan dengan wilayah orang Franka oleh para penggantinya. Pada tahun-tahun era 490-an, ia menaklukkan seluruh kerajaan orang Franka yang terletak di kawasan tepi barat Sungai Maas kecuali kerajaan orang Franka Ripuari, dan mampu menjadikan kota Paris sebagai ibu kota kerajaannya. Sesudah menaklukkan Koln pada tahun 509, Klovis menjadi raja pertama atas seluruh orang Franka. Klovis I membagi wilayah kekuasaannya kepada keempat putranya yang bersatu menundukkan Burgundia pada tahun 534. Perang saudara antara Sigebert I dan Kilperik I, yang dipicu oleh perseteruan istri-istri mereka, Brunhilda dan Fredegunda, berlarut-larut sampai ke masa pemerintahan anak dan cucu mereka. Muncul tiga subkerajaan, yakni Austrasia, Neustria, dan Burgundia. Ketiga-tiganya berkembang sendiri-sendiri, tetapi masing-masing berusaha menundukkan yang lain. Pengaruh besar klan Arnulfing, wangsa yang berkuasa di Austrasia, membuat pusat politik kerajaan orang Franka lambat laun bergeser ke daerah Rheinland. Seluruh negeri orang Franka dipersatukan pada tahun 613 oleh Klothar II, putra Kilperik, yang menerbitkan Maklumat Paris dalam rangka menekan korupsi dan mengukuhkan kekuasaannya. Sesudah kesuksesan militer yang dicapai putra sekaligus pengganti Klothar II, Dagobert I, kekuasaan raja mulai mengecil selama masa pemerintahan beberapa orang raja yang secara turun-temurun disebut raja-raja menganggur (bahasa Prancis: rois fainéants). Seusai Pertempuran Tertry pada tahun 687, Orang Besar Istana, yang sebelumnya merupakan kepala pengurus rumah tangga istana, secara efektif memegang tampuk pemerintahan sampai tahun 751. Dengan persetujuan dari Sri Paus dan kaum bangsawan, Pipin Si Pendek memakzulkan Kilderik III, raja orang Franka terakhir dari wangsa Meroving, dan naik takhta menjadi raja orang Franka pertama dari wangsa penguasa yang baru, yakni wangsa Karoling. Kekaisaran wangsa Karoling (751–843)Kesatuan yang dicapai wangsa Meroving memastikan berlanjutnya apa yang kini disebut sebagai Renaisans Karoling. Ketenteraman Kekaisaran wangsa Karoling diusik perang saudara yang merugikan semua pihak, tetapi perpaduan ketatanegaraan Franka dan agama Kristen Romawi membuatnya tetap bersatu secara hakiki. Ketatanegaraan dan kebudayaan Franka sangat bergantung pada masing-masing raja dan tujuan-tujuan yang hendak mereka capai, sehingga ketatanegaraan dan kebudayaan tiap-tiap kerajaan bagian berkembang sendiri-sendiri. Meskipun tujuan-tujuan seorang raja bergantung pada persekutuan politik keluarganya, keluarga-keluarga penguasa di Negeri Franka menganut keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan asasi ketatanegaraan yang sama, yang berakar pada ketatanegaraan Romawi maupun Jermani. Negara bangsa Franka mengukuhkan cengkeramannya atas sebagian besar kawasan barat Eropa menjelang akhir abad ke-8, sehingga berkembang menjadi Kekaisaran Wangsa Karoling. Setelah dinobatkan menjadi Kaisar Romawi Suci oleh Paus Leo III pada tahun 800 Masehi, Karel Agung dan anak cucunya, yang notabene adalah raja-raja Franka, diakui pula sebagai pengganti sah kaisar-kaisar wilayah barat Kekaisaran Romawi. Dengan status baru penguasanya, Kekaisaran Wangsa Karoling lambat laun dipandang masyarakat Eropa Barat sebagai kesinambungan pemerintahan Kekaisaran Romawi Kuno. Negara kekaisaran ini adalah cikal bakal dari beberapa negara yang kemudian hari terbentuk, antara lain Prancis, Kekaisaran Romawi Suci, dan Burgundia, meskipun identitas Franka tetap lebih melekat pada negara Prancis. Sepeninggal Karel Agung, putra satu-satunya yang masih hidup, Ludwig Si Warak, dinobatkan menjadi raja sekaligus kaisar. Meskipun demikian, sepeninggal Ludwig Si Warak, wilayah kekaisaran orang Franka dibagi-bagikan kepada ketiga putranya, sesuai dengan adat orang Franka yang mewajibkan pembagian warisan secara sama rata kepada kepada semua ahli waris laki-laki yang masih hidup. MiliterKeikutsertaan dalam angkatan bersenjata Romawisuku-suku bangsa Jermani, termasuk suku-suku di kawasan delta Sungai Rhein yang kemudian hari menjadi orang Franka, diketahui ikut serta menjadi bagian dari angkatan bersenjata Romawi sejak zaman Yulius Kaisar. Sesudah pemerintahan bangsa Romawi di Galia bubar pada era 260-an, kesatuan yang dipimpin oleh Postumus, panglima berdarah Jermani asal Batavia, melakukan pemberontakan dan mempermaklumkan Postumus sebagai kaisar baru yang akan memulihkan ketertiban di Galia. Sejak saat itu, prajurit-prajurit Jermani dalam angkatan bersenjata Romawi, terutama orang Franka, dinaikkan pangkatnya. Beberapa dasawarsa kemudian, Karausius orang Menapi mempermaklumkan diri sebagai kaisar atas Britania dan kawasan utara Galia dengan dukungan para prajurit dan laskar Franka. Prajurit-prajurit Franka seperti Magnentius, Silvanus, dan Arbitio menempati posisi kepala pasukan dalam angkatan bersenjata Romawi pada pertengahan abad ke-4. Keterangan dari Amianus Marselinus membuktikan bahwa angkatan bersenjata orang Franka dan orang Alemani dibentuk dan diatur menurut tata cara angkatan bersenjata Romawi. Seusai invasi Klodio, pasukan-pasukan Romawi yang bermarkas di daerah daerah tapal batas Sungai Rhein menjadi semacam angkatan bersenjata Romawi "cabang" Franka, dan orang Franka diketahui membentuk pasukan-pasukan serupa pasukan Romawi yang didukung industri zirah dan senjata serupa buatan Romawi. Keadaan ini setidaknya berlangsung sampai pada masa hidup cendekiawan Prokopius (ca. 500 – ca. 565), yakni seabad lebih sesudah tumbangnya pemerintahan wilayah barat Kekaisaran Romawi. Prokopius meriwayatkan bahwa bekas angkatan bersenjata Romawi yang bermarkas di daerah sekitar Sungai Rhein masih beroperasi dalam satuan-satuan legiun seperti pasa zaman penjajahan Romawi. Pada zaman wangsa Meroving, orang Franka memadukan adat-istiadat suku bangsa Jermani dengan organisasi ala Romawi dan sejumlah inovasi taktis yang penting. Sebelum menaklukkan Galia, orang Franka masih bertempur sebagai angkatan bersenjata suku, kecuali bila bertempur sebagai bagian dari kesatuan militer Romawi bersama-sama dengan kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata Romawi lainnya. Praktik-praktik militer orang FrankaUmber-sumber utama seputar cara-cara bertempur dan persenjataan orang Franka adalah karya-karya tulis Amianus Marselinus, Agatias, dan Prokopius. Agatias dan Prokopius adalah sejarawan-sejarawan Romawi Timur yang mencatat intervensi orang Franka dalam Perang Goth. Dalam karya tulisnya yang disusun pada tahun 539, Prokopius mengemukakan sebagai berikut:
Agatias, rekan sezaman Prokopius, yang menyusun karya-karya tulisnya mengikuti gaya penulisan Prokopius, mengemukakan sebagai berikut:
Meskipun kutipan di atas telah digunakan sebagai pernyataan mengenai praktik-praktik ketentaraan orang Franka pada abad ke-6, bahkan telah diekstrapolasikan terhadap seluruh kurun waktu sebelum pembaharuan yang dilakukan Karel Martel pada tahun-tahun awal pertengahan abad ke-8, historiografi pasca-Perang Dunia II telah menggarisbawahi karakteristik-karakterisik warisan Romawi dalam militer Franka dari awal masa penaklukan Galia. Para pujangga Romawi Timur menyajikan keterangan-keterangan yang saling bertentangan dan membingungkan. Menurut Procopius, orang Franka tidak bersenjatakan tombak, sementara menurut Agathias, tombak adalah salah satu senjata utama orang Franka. Kedua-duanya sepakat bahwa sebagian besar personel angkatan bersenjata Franka adalah prajurit pejalan kaki yang diperlengkapi dengan kapak lempar, pedang, dan perisai. Keterangan Procopius dan Agathias juga bertentangan dengan keterangan para pujangga Galia dari zaman yang sama (Sidonius Apollinaris dan Gregorius Turonensis) dan bukti-bukti arkeologi. Lex Ribuaria, kitab hukum orang Franka Rheinland atau orang Franka Ripuari dari awal abad ke-7, memerinci nilai berbagai macam barang yang harus diserahkan pada saat membayar wergild (denda pati). Sebatang tombak dan sebuah perisai hanya bernilai dua keping solidus, sebilah pedang berikut sarungnya bernilai tujuh keping solidus, sebuah ketopong bernilai enam keping solidus, sementara "baju besi" bernilai dua belas keping solidus.[38] Scramasax (belati) dan mata panah ditemukan dalam jumlah besar di makam-makam orang Franka sekalipun para sejarawan Romawi Timur tidak menyebutkannya dalam daftar persenjataan orang Franka. Keterangan-keterangan yang tersaji dalam karya tulis Gregorius Turonensis maupun naskah Lex Salica menyiratkan bahwa orang-orang Franka pada zaman bahari adalah bangsa penunggang kuda. Sejumlah sejarawan modern bahkan mempradalilkan bahwa orang Franka memiliki banyak sekali kuda sehingga dapat mereka manfaatkan untuk meluku ladang, dan dengan demikian memiliki teknologi pertanian yang lebih maju dibanding bangsa-bangsa tetangganya. Lex Ribuaria menetapkan bahwa seekor kuda betina sama nilainya dengan seekor lembu atau sepasang perisai dan tombak, yakni dua keping solidus, sementara seekor kuda jantan bernilai tujuh keping solidus, atau sama dengan nilai sebilah pedang berikut sarungnya,[38] yang menyiratkan bahwa kuda adalah satwa yang relatif umum didapati di mana-mana. Boleh jadi para pujangga Romawi Timur menganggap kuda orang Franka relatif tidak penting jika dibandingkan dengan pasukan berkuda Yunani, yang mungkin sekali akurat.[39] Angkatan bersenjata wangsa MerovingUnsur dan perkembanganLembaga militer orang Franka menyerap berbagai macam pranata Romawi yang sudah ada di Galia, terutama semasa dan sesudah aksi-aksi penaklukan yang dilancarkan Raja Klovis I pada akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6. Strategi militer orang Franka berkisar pada usaha mempertahankan dan merebut perkubuan (bahasa Latin: castra), dan perkubuan pada umumnya dijaga garnisun-garnisun milites (pasukan romawi) atau laeti (pasukan non-Romawi), yakni pasukan mantan tentara bayaran asal Jermani. Di Seluruh Galia, keturunan prajurit-prajurit Romawi terus mengenakan pakaian seragam dan menjalankan tugas-tugas seremonial datuk-datuk mereka. Dalam hierarki militer orang Franka, pangkat di bawah raja adalah leudes, para pengikut setia yang pada umumnya adalah 'para prajurit kawakan' yang bertugas jauh dari istana.[40] Raja dilindungi pengawal-pengawal elit yang disebut antrustio. Seringkali personel antrustio adalah warga centannae, permukiman-permukiman garnisun yang didirikan untuk kepentingan militer dan penegakan hukum. Regu pengawal pribadi raja sehari-hari terdiri atas antrustiones (prajurit-prajurit kawakan dari kalangan ningrat) dan pueri (prajurit-prajurit muda dari kalangan rakyat jelata).[41] Semua pejabat tinggi Franka dikawal oleh pueri. Angkatan bersenjata Franka tidak hanya terdiri atas prajurit-prajuri Franka dan Galia-Romawi saja, tetapi juga prajurit-prajurit Saksen, Alan, Taifal, dan Alemani. Sesudah Burgundia takluk pada tahun 534, lembaga-lembaga militer yang sudah sangat tertata di kerajaan itu disatukan dengan angkatan bersenjata Franka. Lembaga militer Burgundia yang terkemuka adalah angkatan bersenjata yang dibawahi Patricius Burgundia. menjelang akhir abad ke-6, dalam perang-perang yang dipicu oleh Fredegund dan Brunhilda, raja-raja wangsa Meroving memperkenalkan unsur baru dalam angkatan bersenjata mereka, yakni pasukan wajib militer praja. Pasukan praja terdiri atas semua warga laki-laki berbadan sehat di sebuah praja yang diwajibkan untuk melaporkan diri apabila dipanggil untuk menunaikan tugas militer, mirip dengan mobilisasi umum. Wajib militer praja diberlakukan atas sebuah kota berikut daerah sekitarnya. Mula-mula raja-raja Franka hanya berhak memerintahkan pengerahan pasukan praja dari kota-kota tertentu di kawasan barat Galia, di Neustria, dan di Akuitania. Panglima-panglima pasukan praja selalu berbeda dari panglima-panglima garnisun kawasan perkotaan. Pasukan praja sering kali dipimpin oleh pamong prajanya. Sekalipun jarang terjadi, pernah pula diberlakukan wajib militer umum atas seluruh wilayah kerajaan, dan mencakup tenaga kawula tani yang disebut pauperes (kaum papa) dan inferiores (rakyat kecil). Wajib militer umum juga diberlakukan atas daerah-daerah kadipaten suku di seberang Sungai Rhein yang masih pagan berdasarkan perintah raja. Orang Saksen, orang Alemani, dan orang Thuringi juga memiliki adat wajib militer, dan raja-raja Franka dapat memanfaatkan tenaga pasukan wajib militer dari suku-suku tersebut. Pada pertengahan abad ke-7, satu per satu daerah kadipaten suku memutuskan hubungan dengan raja-raja Franka, sehingga tenaga pasukan wajib militer mereka tidak dapat lagi diandalkan. Radulf, Raja Thuringia, pernah memberlakukan wajib militer untuk kepentingan perang melawan Sigebert III pada tahun 640. Tak seberapa lama kemudian, adat wajib militer menyebar ke Austrasia dan daerah-daerah yang belum banyak terpengaruh budaya Romawi di Galia. Pada taraf yang lebih tinggi, raja-raja dapat memerintahkan pengerahan pasukan wajib militer daerah dari Austrasia (yang tidak memiliki kota-kota besar peninggalan bangsa Romawi). meskipun demikian, segala bentuk wajib militer lambat laun menghilang pada abad ke-7 selepas masa pemerintahan Raja Dagobert I. Pada kurun waktu yang disebut sebagai zaman raja-raja menganggur (bahasa Prancis: rois fainéants) tersebut, adat wajib militer menghilang dari Austrasia (pada pertengahan abad ke-7) dan kemudian hari juga menghilang dari Burgundia dan Neustria. Hanya di daerah Akuitania, daerah yang cepat melepaskan diri dari kekuasaan monarki terpusat orang Franka, lembaga-lembaga militer masih bertahan sampai abad ke-8. Pada separuh akhir abad ke-7 dan separuh awal abad ke-8, tokoh-tokoh militer penting di Galia adalah para magnatus (pembesar) dari kalangan Gereja maupun luar Gereja. Para magnatus memiliki angkatan bersenjata sendiri. Prajurit-prajurit dalam angkatan bersenjata ini adalah para kawula si magnatus yang dipersenjatai. Aspek-aspek lain dari angkatan bersenjata wangsa Meroving, yang sebagian besar berasal dari bangsa Romawi atau hasil inovasi raja-raja, menghilang dari panggung ketatanegaraan pada abad ke-8. Strategi, taktik, dan perlengkapanAngkatan bersenjata wangsa Meroving diperlengkapi dengan baju halkah, ketopong, perisai, ganjur, pedang, busur dan anak panah, serta kuda tempur. Perlengkapan tempur pasukan-pasukan pribadi mirip dengan perlengkapan tempur pasukan-pasukan Galia-Romawi menjelang runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Pasukan berkuda orang Alan yang menetap di Armorica mempengaruhi gaya bertempur orang Breton sampai abad ke-12. Para personil wajib militer dari kota-kota setempat mengenakan zirah yang layak dan bahkan menunggang kuda, tetapi mayoritas personil wajib militer adalah golongan pauperes (kaum papa) dan inferiores (rakyat kecil), yang kebanyakan adalah para petani dan membawa senjata-senjata yang tidak efektif, misalnya alat-alat pertanian. Suku-suku bangsa di sebelah timur Sungai Rhein, yakni orang Franka, orang Saksen, bahkan orang Wendi, yang kadang-kadang dipanggil untuk ikut berperang, memakai zirah ala kadarnya dan membawa senjata-senjata seperti tombak dan kapak. Hanya beberapa orang saja yang menunggang kuda.[butuh rujukan] Masyarakat Franka pada zaman wangsa Meroving adalah masyarakat yang militan. Orang Franka menggelar pertemuan tahunan setiap hari Marchfeld (tanggal 1 Maret). Dalam pertemuan ini, raja dan kaum bangsawan berkumpul di sebuah lapangan terbuka dan menetapkan sasaran yang akan digempur pada musim perang mendatang. Pertemuan ini merupakan ajang pertunjukan kekuatan raja sekaligus sebuah cara untuk mengukuhkan kesetiaan angkatan bersenjata kepadanya.[42] Dalam perang-perang saudara, raja-raja wangsa Meroving mengutamakan penguasaan tempat-tempat berbenteng dan pemanfaatan mesin-mesin pengepungan. Dalam perang-perang melawan musuh dari luar, tujuan yang hendak dicapai biasanya adalah perolehan jarahan atau pemaksaan kewajiban membayar upeti. Hanya di kawasan seberang Sungai Rhein sajalah wangsa Meroving berusaha memperluas kekuasaan politik atas tetangga-tetangga mereka. Dalam urusan taktik, wangsa Meroving memanfaatkan banyak sekali taktik tempur bangsa Romawi, terutama taktik-taktik pengepungan. Taktik-taktik tempur wangsa Meroving sangat luwes dan dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan kondisi medan tempur. Taktik mengecoh lawan diterapkan tanpa batas. Pasukan berkuda merupakan unsur yang cukup besar dalam angkatan darat, tetapi prajurit-prajurit berkuda senantiasa siap turun dari tunggangannya dan bertempur seperti prajurit-prajurit pejalan kaki. Wangsa Meroving mampu membentuk angkatan laut. Perang laut yang dilancarkan Teoderik I terhadap orang Dani pada tahun 515 melibatkan kapal-kapal laik-laut dan perahu-perahu sungai yang digunakan di Sungai Loire, Sungai Rhone, dan Sungai Rhein. KebudayaanBahasaDalam konteks linguistik modern, bahasa orang Franka purwa disebut "bahasa Franka Lama" atau "bahasa Franken Lama" dan mengacu kepada dialek-dialek Jermani Barat yang dituturkan orang Franka sebelum terjadinya pergantian konsonan kali kedua dalam bahasa suku bangsa Jermani antara tahun 600 dan 700. Sesudah penggantian konsonan tersebut, muncul berbagai macam dialek bahasa orang Franka. Dialek-dialek yang tidak mengalami pergantian konsonan kemudian hari menjadi bahasa Belanda, sementara dialek-dialek selebihnya mengalami pergantian konsonan sampai taraf yang berbeda-beda dan akhirnya menjadi bagian dari rumpun besar dialek bahasa Jerman.[43] Belum ada peninggalan tertulis dalam bahasa orang Franka selain dari sejumlah kecil prasasti rune yang ditemukan di bekas wilayah kediaman orang Franka, misalnya Prasasti Bergakker. Perbedaan antara bahasa Belanda Lama dan bahasa Franka Lama sangatlah tipis, mengingat Bahasa Belanda Lama (disebut pula bahasa Franken Hilir Lama) adalah istilah yang digunakan sebagai sebutan bagi varian bahasa suku bangsa Jermani yang tidak terdampak pergantian konsonan kali kedua dalam bahasa suku bangsa Jermani.[44] Sudah cukup banyak kosakata bahasa Franka Lama yang dapat direkonstruksi dengan cara menelaah kata-kata serapan dari bahasa suku bangsa Jermani terdahulu yang ditemukan dalam bahasa Prancis Lama maupun dengan cara rekonstruksi perbandingan melalui bahasa Belanda.[45][46] Pengaruh bahasa Franka Lama terhadap kosakata dan fonologi Galia-Romawi sudah lama menjadi pokok perdebatan ilmiah.[47] Pengaruh bahasa orang Franka diduga mencakup sebutan untuk keempat arah mata angin, yakni nord (utara), sud (selatan), est (timur), dan ouest (barat), maupun sekurang-kurangnya 1000 lagi kata turunan.[46] Meskipun orang Franka pada akhirnya berhasil menaklukkan seluruh Galia, tampaknya masyarakat penutur bahasa Franka Lama hanya menyebar dalam jumlah besar ke kawasan utara Galia saja, yakni kawasan yang bahasanya terpengaruh bahasa Franka Lama. Selama beberapa abad, kawasan utara Galia menjadi kawasan dwibahasa (bahasa Latin Umum dan bahasa orang Franka). Bahasa yang digunakan dalam urusan tulis-menulis, di bidang pemerintahan, dan oleh Gereja adalah bahasa Latin. Urban T. Holmes berpendapat bahwa suatu ragam bahasa Jermani terus dipertuturkan sebagai bahasa kedua oleh para pamong praja Austrasia di kawasan barat dan Neustria di kawasan utara selambat-lambatnya sampai era 850-an, dan baru sepenuhnya lenyap sebagai sebuah bahasa tutur dari daerah-daerah yang sekarang menuturkan bahasa Prancis pada abad ke-10.[48] Seni rupa dan arsitekturSeni rupa dan arsitektur orang Franka purwa tergolong dalam tahap perkembangan seni rupa Zaman Migrasi. Hanya segelintir karya seni dan arsitektur peninggalan Zaman Migrasi yang masih lestari sampai sekarang. Tahap perkembangan berikutnya adalah tahap perkembangan seni rupa zaman wangsa Karoling, atau, khususnya untuk bidang arsitektur, zaman pra-Romanik. Sangat sedikit karya arsitektur dari zaman wangsa Meroving yang masih lestari. Agaknya gedung-gedung gereja yang pertama kali dibangun orang Franka adalah gedung-gedung berbahan baku kayu. Gedung-gedung gereja kayu yang paling besar ukurannya adalah gedung-gedung jenis basilika. Karya arsitektur dari zaman wangsa Meroving yang paling utuh adalah gedung baptisterium di Poitiers, yang memiliki tiga kubah separuh khas Galia-Romawi. Sejumlah gedung baptisterium berukuran kecil dapat dijumpai di kawasan selatan Prancis. Karena baptisterium lambat laun tidak terpakai, bangunan-bangunan yang sudah ada tidak dimutakhirkan sehingga terlestarikan sampai sekarang dalam bentuk aslinya. Perhiasan (misalnya kerongsang), senjata (termasuk pedang dengan hiasan pada hulunya), dan sandangan (misalnya mantel dan terompah) telah ditemukan di sejumlah situs makam. Makam Ratu Aregund, yang ditemukan pada tahun 1959, serta harta karun Gourdon, yang dipendam tak lama sesudah tahun 524, merupakan contoh-contoh yang paling menonjol. Segelintir naskah beriluminasi dari zaman wangsa Meroving, misalnya Sacramentarium Gelasianum, memuat banyak sekali corak hias yang menyerupai bentuk satwa. Benda-benda buatan orang Franka tersebut menampakkan pemanfaatan langgam dan corak hias khas Akhir Abad Kuno yang lebih banyak serta tingkat kemahiran dan kerumitan dalam desain dan pembuatan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan barang-barang sezaman dari Kepulauan Inggris. Meskipun demikian, hanya sedikit sekali yang masih lestari, sehingga mungkin saja tidak mewakili barang-barang dengan mutu terbaik dari zaman tersebut.[49] Barang-barang buatan pusat-pusat utama renaisans Karoling, yang menampakkan peralihan dari kurun waktu sebelumnya, jauh lebih banyak yang masih lestari. Bidang kesenian mendapat dukungan dan kucuran dana dari Karel Agung, seniman-seniman asing didatangkan bilamana keahliannya diperlukan, dan perkembangan seni rupa pada zaman wangsa Karoling menjadi penentu jalan sejarah perkembangan seni rupa Dunia Barat. Naskah-naskah beriluminasi dan papan-papan gading berukir dari zaman Karoling, yang lestari dalam jumlah yang berpatutan, hampir sama mutunya dengan naskah-naskah beriluminasi dan papan-papan gading berukir buatan Konstantinopel. Peninggalan utama arsitektur Karoling adalah gedung Kapel Istana di Aachen, yang dibangun dengan meniru bentuk gedung Basilika San Vitale di Ravenna. Beberapa pilar kapel istana ini memang didatangkan dari Ravenna. Banyak pula gedung lain yang masih lestari sejak dibangun sampai sekarang, misalnya gedung-gedung biara di Centula dan Sankt Gallen, serta gedung Kölner Dom. Gedung-gedung dan gugus-gugus bangunan tersebut dilengkapi dengan banyak menara.[50] AgamaAgama asliJejak-jejak Agama asli orang Franka masih dapat dijumpai dalam sumber-sumber primer, tetapi tidak selamanya dapat dipahami. Tafsir-tafsir yang dicetuskan para ahli pada Zaman Modern sangat berlainan satu sama lain, tetapi agaknya agama asli orang Franka memiliki banyak kesamaan dengan agama-agama asli suku bangsa Jermani lainnya. Mungkin sekali agama asli orang Franka adalah salah satu bentuk dari politeisme suku bangsa Jermani. Agama ini sangat bersifat ritual. Berbagai kegiatan sehari-hari dikaitkan dengan bermacam-macam dewa-dewi. Dewa tertinggi dalam agama asli orang Franka boleh jadi adalah Kuinotaurus, dewa air yang dipercaya sebagai leluhur wangsa Meroving.[51] Banyak dewa-dewi orang Franka hanya dipuja di tempat-tempat tertentu, dan kesaktian mereka terbatas pada daerah-daerah tertentu. Di luar dari daerah-daerah tersebut, mereka tidak dipuja maupun ditakuti. Sebagian besar dewa-dewi orang Franka sangat "membumi" karena berwujud dan berkaitan dengan benda-benda tertentu, bertolak belakang dengan sifat Allah menurut agama Kristen.[52] Jejak agama asli orang Franka terlihat di situs makam Kilderik I. Jenazah Kilderik ditemukan terbalut sehelai kain bertabur hiasan-hiasan kecil berbentuk lebah. Agaknya ada kaitan antara hiasan berbentuk lebah ini dengan lembing tradisional orang Franka yang dinamakan anggon (sengat) sesuai bentuk mata lembingnya. Mungkin sekali corak fleur de lys (bunga bakung) berasal dari bentuk mata anggon. Agama KristenSegelintir orang Franka, seperti Silvanus, sudah lebih dahulu memeluk agama Kristen. Pada tahun 493, Raja Klovis I memperistri seorang putri Katolik dari Burgunia berna Klotilda, dan akhirnya dibaptis pada tahun 496 oleh Santo Remigius setelah berjaya mengalahkan orang Alemani dalam Pertempuran Tolbiakum. Menurut Gregorius Turonensis, lebih dari tiga ratus orang prajuritnya juga ikut serta dibaptis.[53] Keputusan Klovis untuk memeluk agama Kristen berdampak besar terhadap jalan sejarah Eropa, karena kala itu orang Franka adalah satu-satunya suku besar di antara suku-suku bangsa Jermani pemeluk agama Kristen tanpa penganut paham Arianisme dari kalangan bangsawan dalam jumlah besar, sehingga dengan sendirinya terjalin hubungan mesra antara Gereja Katolik dan orang Franka. Meskipun banyak bangsawan Franka segera mengikuti langkah Klovis memeluk agama Kristen, seluruh rakyat Klovis baru dapat dikristenkan setelah melalui banyak ikhtiar, bahkan rakyat di beberapa daerah baru memeluk agama Kristen dua abad kemudian.[54] Menurut Tawarikh Santo Denisius, tokoh-tokoh Franka yang masih kukuh memeluk agama asli tidak menyetujui keputusan Klovis untuk memeluk agama Kristen. Tokoh-tokoh ini kemudian bersatu memihak Ragnakar, pahlawan yang sangat berjasa membantu perjuangan Klovis menjadi raja orang Franka. Ragnakar akhirnya dihukum mati atas perintah Klovis, tetapi alasannya tidak disebutkan dalam Tawarikh Santo Denisius.[55] Dengan banyak ikhtiar, teristimewa ikhtiar-ikhtiar dari jaringan biara yang terus meluas, satu demi satu daerah penganut agama asli akhirnya dapat diyakinkan untuk beralih ke agama Kristen.[56] Gereja orang Franka pada zaman wangsa Meroving digembleng oleh kekuatan-kekuatan dari dalam maupun dari luar. Gereja orang Franka harus memaklumi keberadaan hierarki Galia-Romawi yang menentang perubahan adat-istiadatnya, harus mengkristenkan sensibilitas-sensibilitas agama asli serta menekan ekspresi-ekspresinya, harus menciptakan landasan teologi baru bagi bentuk-bentuk jabatan raja wangsa Meroving yang berurat akar pada agama asli suku bangsa Jermani, serta harus pula menyelaraskan diri dengan kegiatan-kegiatan misionaris Irlandia dan Angli-Saksen maupun tuntutan-tuntutan dari Sri Paus.[57] Reformasi zuhud dan hubungan Gereja-negara pada zaman wangsa Karoling merupakan titik zenit Gereja orang Franka. Para petinggi pada zaman wangsa Meroving kian lama kian berharta, sehingga mampu mendanai banyak biara, termasuk biara misionaris asal Irlandia yang bernama Kolumbanus. Pada abad ke-5, ke-6, dan ke-7, gerakan zuhud muncul sebanyak dua kali di Negeri Franka, sehingga terbit aturan yang mewajibkan semua rahib maupun pertapa untuk menaati Tata Tertib Santo Benediktus.[58] Adakalanya pihak Gereja berselisih dengan raja-raja wangsa Meroving, yang mengaku berhak bersemayam di atas singgasana kerajaan atas dasar kemuliaan nasab dan cenderung kembali mengamalkan poligami seperti para leluhur mereka sebelum kedatangan agama Kristen. Roma mendorong orang Franka agar sedikit demi sedikit beralih dari ritus Galia ke ritus Romawi. Ketika para pembesar istana mengambil alih tampuk pemerintahan, pihak Gereja memberikan dukungan, dan Sri Paus pun menobatkan seorang pembesar istana menjadi kaisar yang lebih sehaluan dengan Gereja. HukumSebagaimana lazimnya dalam suku-suku bangsa Jermani, hukum-hukum orang Franka dihafal oleh para "rachimburg", sama seperti para ahli hukum di Skandinavia.[59] Ketika hukum-hukum orang Franka pertama kali muncul dalam bentuk tertulis pada abad ke-6, ada dua golongan masyarakat hukum, yakni orang Franka Sali yang tunduk kepada hukum Sali dan orang Franka Ripuari yang tunduk kepada hukum Ripuari. Masyarakat Galia-Romawi yang mendiami daerah di sebelah selatan Sungai Loire serta kaum rohaniwan tetap tunduk kepada hukum Romawi.[60] Hukum-hukum Jermani sangat mementingkan perlindungan terhadap orang pribadi dan kurang mengutamakan kepentingan negara. Menurut Michel Rouche, "hakim-hakim Franka menangani kasus pencurian anjing secermat hakim-hakim Romawi menangani kasus pertanggungjawaban keuangan seorang curialis atau anggota dewan pemerintah kota".[61] Warisan sejarahPada Abad Pertengahan, istilah "orang Franka" pernah digunakan oleh umat Kristen Ortodoks Timur dan umat Islam di sekitar Dunia Kristen (maupun di negeri-negeri yang lebih jauh lagi, misalnya di Asia) sebagai sebutan umum bagi bangsa Eropa Barat dan Eropa Tengah, yakni orang-orang dari wilayah berpenduduk Kristen Katolik ritus Latin yang tunduk kepada Sri Paus.[62] Istilah lain yang juga digunakan dengan makna serupa adalah "orang Latin". Para sejarawan modern kerap melekatkan sebutan "orang Franka" atau "orang Latin" pada umat Kristen Katolik ritus Latin di kawasan timur Mediterania tanpa pandang bulu, dan melekatkan sebutan "Romaios" dan "Rûmi" (orang Romawi) pada umat Kristen Ortodoks. Di beberapa pulau dalam wilayah negara Yunani, umat Kristen Katolik masih disebut "orang Franka" (bahasa Yunani: Φράγκοι, Frangkoi), misalnya di Pulau Siros, tempat umat Kristen Katolik disebut "orang Franka Siros" (bahasa Yunani: Φραγκοσυριανός, Frangkosirianos). Masa pemerintahan Laskar Salib di kepulauan Yunani sampai sekarang disebut "pemerintahan orang Franka" (bahasa Yunani: Φραγκοκρατία, "Frangkokratia"). Umat Kristen Katolik ritus Latin di Timur Tengah (khususnya di Syam) disebut "orang Franka Syam" (bahasa Yunani: Φραγκολεβαντίνοι, Frangkolevantinoi). Pada abad ke-13 dan ke-14, orang Mongol menyebut bangsa Eropa sebagai "orang Franka".[63] Istilah Franggistan (negeri orang Franka) digunakan umat Islam sebagai sebutan bagi Dunia Kristen Eropa, dan lumrah digunakan beberapa abad lamanya di Iran maupun di Kesultanan Utsmaniyah. Orang Tionghoa menyebut orang Portugis sebagai "orang Franka" (Hanzi: 佛郎機, fólángjī) pada era 1520-an dalam Pertempuran Tunmen dan Pertempuran Shancaowan. Bunyi karakter 佛郎機 dalam beberapa dialek bahasa Mandarin adalah Fa-lan-ki.
Lingua Franca (bahasa orang Franka) adalah bahasa pijin yang mula-mula dituturkan pada abad ke-11 oleh orang-orang Kristen Eropa dan umat Islam di bandar-bandar Laut Tengah sampai abad ke-19. Kini istilah Lingua Franka digunakan sebagai sebutan bagi bahasa-bahasa dagang, atau bahasa-bahasa pergaulan antarbangsa. Berikut ini adalah contoh kata-kata yang bercikal bakal dari istilah "Franka":
Kata "Farang" dalam bahasa Thai digunakan sebagai sebutan bagi semua orang Eropa. Kedatangan tentara Amerika Serikat semasa Perang Vietnam membuat orang Thai mengenal orang Amerika keturunan Afrika. Orang Thai menyebut mereka (dan orang-orang keturunan Afrika pada umumnya) sebagai "Farang hitam" (bahasa Thai: ฝรั่งดำ, Farang dam). Kata "Farang" kadang-kadang dilekatkan pada flora dan fauna yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa. Sebagai contoh, dalam bahasa Khmer, satwa kalkun disebut "môn barang" yang secara harfiah berarti "ayam Prancis", sementara dalam bahasa Thai, kata Farang digunakan sebagai sebutan bagi bangsa Eropa maupun buah jambu biji, yakni buah yang diperkenalkan para saudagar Portugis 400 tahun silam. Di negara Israel dewasa ini, kata "Frenk" (פרענק) dari kosakata bahasa Yidis, melalui perkembangan etimologi yang tidak lazim, digunakan sebagai sebutan bagi orang Yahudi Mizrahi dan berkonotasi sangat negatif. Sejumlah ahli bahasa, antara lain Dr. Jan Tent dan Dr. Paul Geraghty, menduga bahwa istilah "Palangi" atau "Papalangi" dalam bahasa Samoa dan bahasa-bahasa rumpun Polinesia yang digunakan sebagai sebutan bagi bangsa Eropa, mungkin masih berkaitan dengan istilah "Franka". Mungkin sekali istilah-istilah tersebut adalah kata-kata yang terserap melalui kontak awal masyarakat kepulauan Pasifik dengan orang Melayu.[69] Lihat pula
Kutipan
Catatan kaki
SumberSumber primer
Sumber sekunder
Bacaan lanjutan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Orang Franka.
|