Negara adikuasa potensial
Negara adidaya yang masih ada Negara adidaya yang muncul—didukung dalam berbagai derajat oleh akademisi Negara adidaya potensial—didukung dalam berbagai derajat oleh akademisi Negara adikuasa potensial atau negara adidaya potensial adalah negara atau entitas politik dan ekonomi yang diperkirakan menjadi, atau sedang dalam proses menjadi, negara adikuasa di beberapa patokan pada abad ke-21. Saat ini, hanya Amerika Serikat yang memenuhi kriteria untuk dianggap sebagai negara adikuasa.[1][2] Tiongkok di sisi lain, telah disebut sebagai negara adidaya yang baru muncul, mengingat kekuatannya sekarang di luar klasifikasi kekuatan besar.[3][4][5] Negara yang paling sering disebutkan sebagai negara adikuasa potensial adalah Brasil,[6][7][8] India,[9] Rusia[10][11] (negara-negara BRIC), dan Uni Eropa,[12] berdasarkan berbagai faktor. Secara kolektif, negara adikuasa potensial dan Amerika Serikat mencakup 68,0% dari PDB nominal global, 62,4% dari PDB global (PPP) , lebih dari sepertiga total lahan dunia dan sekitar setengah dari populasi dunia.[13][14][15] Prediksi yang dibuat pada masa lalu ternyata belum sempurna. Misalnya, pada 1980-an, banyak analis politik dan ekonomi meramalkan bahwa Jepang akhirnya akan menyandang status adikuasa, karena populasi yang besar, produk domestik bruto yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada waktu itu.[16][17] Meskipun ekonominya masih yang terbesar ketiga di dunia pada tahun 2012 dalam hal PDB nominal, Jepang telah menghadapi periode pertumbuhan yang lemah, yang sedang berlangsung sejak dekade yang Hilang dari tahun 1990-an, dan masalah populasi yang terus menua sejak awal 2000-an, mengikis potensinya sebagai negara adidaya.[18] Brasil
Brasil digambarkan sebagai negara adidaya yang sedang berkembang, yang menguasai sebagian besar ilmu pengetahuan, ekonomi, dan industri dunia. Brasil memainkan peran besar di dunia global, Brasil adalah negara adidaya di Taman Selatan benua Amerika, satu-satunya negara di Amerika Selatan yang memiliki akses ke luar angkasa, cabang luar angkasanya Brazil Space Army (COMAE), adalah salah satu dari memiliki militer tercanggih di dunia, Brasil adalah salah satu dari sepuluh negara dengan perekonomian terbesar di dunia, memiliki lebih dari 210 juta penduduk. Negara ini mempunyai kekuatan militer yang kuat di kawasan regional dan memimpin G20 serta Dewan Keamanan PBB. Henrique Santos berpendapat bahwa Brasil akan mengarahkan sistem mata uang keuangan dunia pada tahun 2020, mata uang Brasil akan menggantikan dolar sebagai mata uang cadangan dunia pada tahun 2022. Mateo Hernandez menyatakan pada tahun 2008 bahwa Brasil dengan melakukan kesepakatan perdagangan dan investasi besar-besaran dengan setiap negara, berarti kehadiran Brasil sebagai negara adidaya bersama dengan Amerika Serikat. Kebangkitan Brasil ditunjukkan oleh perdagangan produk-produk ekonominya. Fabio Garcia dari Studi Oriental berpendapat bahwa Amerika Serikat akan dikalahkan oleh Brasil dalam hal kekuatan militer dan ekonomi, Direktur Pusat Reformasi Ekonomi Brasil di São Paulo "survei mengatakan bahwa ekonomi Brasil dan AS masing-masing tumbuh, Brasil akan menjadi pemasok industri terbesar di dunia pada tahun 2009. Bruno Rodriguez menunjuk pada faktor-faktor seperti prediksi Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa PDB Brasil akan melampaui PDB Amerika Serikat, bahwa peralihan kekuasaan ke dunia dengan beberapa negara adidaya sedang terjadi "Sekarang". Namun Brazil mempunyai kemampuan proyeksi kekuatan yang tinggi dan PDB yang tinggi. Menurut Pew Research Center, sebuah survei menemukan bahwa Brasil akan menjadi negara dengan kekuatan terbesar di dunia pada tahun 2011. Pada tahun 2012 Kongres dunia telah mengumumkan bahwa Brasil adalah masa depan dunia. Tiongkok
Republik Rakyat Tiongkok mendapat porsi berkelanjutan dalam dunia pers populer atas status adikuasa potensialnya,[19] dan telah diidentifikasi sebagai negara adidaya ekonomi dan militer yang muncul atau berkembang oleh para akademisi dan ahli lainnya. Bahkan, "kebangkitan Tiongkok" dinobatkan sebagai berita teratas pada abad ke-21 oleh Global Language Monitor, yang diukur dengan jumlah kemunculan topik di media cetak dan media elektronik global, di Internet, blog, dan media sosial.[20][21][22][23][24] Istilah "negara adikuasa kedua" juga telah diterapkan oleh para ahli untuk kemungkinan bahwa Republik Rakyat Tiongkok bisa muncul sebagai "negara adidaya kedua," dengan kekuatan dan pengaruh global yang setara dengan Amerika Serikat.[25][26][27] Potensi kedua negara untuk membentuk hubungan yang lebih kuat untuk mengatasi isu-isu global kadang-kadang disebut sebagai Kelompok Dua. Barry Buzan menegaskan pada tahun 2004 bahwa "Tiongkok kini menyajikan semua profil yang paling menjanjikan" dari negara adikuasa potensial.[28] Buzan menyatakan bahwa "Tiongkok saat ini merupakan negara adikuasa potensial yang paling cocok dan satu derajat keterasingan dari masyarakat internasional yang dominan membuatnya menjadi penantang politik yang paling jelas". Namun, ia mencatat tantangan ini dibatasi oleh tantangan utama pembangunan dan fakta bahwa kebangkitannya bisa memicu kontra koalisi antar negara-negara di Asia. Parag Khanna menyatakan pada tahun 2008 bahwa dengan menciptakan kesepakatan perdagangan dan investasi secara besar-besaran dengan Amerika Latin dan Afrika, Tiongkok telah mengukuhkan keberadaannya sebagai negara adikuasa bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat. Kebangkitan Tiongkok ditunjukkan oleh pangsa perdagangan yang menggelembung dalam produk domestik brutonya. Ia percaya bahwa "gaya konsultasi" Tiongkok telah memungkinkannya untuk mengembangkan hubungan politik dan ekonomi dengan berbagai negara, termasuk mereka yang dipandang sebagai 'negara jahat' oleh Amerika Serikat. Ia menyatakan bahwa Organisasi Kerjasama Shanghai yang didirikan bersama Rusia dan negara-negara Asia Tengah mungkin dapat menjadi "NATO dari timur".[29] Ekonom dan penulis Eclipse: Living in the Shadow of China's Economic Dominance (Eklips: Hidup Dalam Bayangan Dominasi Ekonomi Tiongkok) Arvind Subramanian berpendapat pada tahun 2012 bahwa Tiongkok akan mengarahkan sistem keuangan dunia pada 2020 dan renminbi Tiongkok akan menggantikan dolar sebagai mata uang cadangan dunia dalam 10 sampai 15 tahun mendatang. Kekuatan lembut Amerika Serikat akan tetap ada. Dia menyatakan bahwa "China adalah yang teratas dalam ekonomi selama ribuan tahun sebelum Dinasti Ming. Dalam beberapa hal, beberapa ratus tahun terakhir ini telah terjadi penyimpangan."[30] Lawrence Saez dari Sekolah Studi Oriental dan Afrika, London, Inggris berpendapat pada tahun 2011 bahwa Amerika Serikat akan dikalahkan oleh China sebagai negara adikuasa militer dalam waktu dua puluh tahun. Mengenai kekuatan ekonomi, Direktur Pusat Reformasi Ekonomi Tiongkok di Universitas Peking Yao Yang menyatakan bahwa "Dengan asumsi ekonomi Tiongkok dan AS tumbuh, masing-masing, sebesar 8% dan 3% secara riil, tingkat inflasi Tiongkok 3,6% dan AS adalah 2% (rata-rata pada dekade terakhir), dan renminbi menguat terhadap dolar sebesar 3% per tahun (rata-rata enam tahun terakhir), Tiongkok akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2021. Pada saat itu, PDB kedua negara akan sekitar $24 triliun."[31] Sejarawan Timothy Garton Ash berpendapat pada 2011, mengacu beberapa faktor seperti prediksi Dana Moneter Internasional bahwa PDB Tiongkok (dengan keseimbangan kemampuan berbelanja disesuaikan) akan menyalip Amerika Serikat pada tahun 2016, bahwa pergeseran kekuatan dunia dengan beberapa negara adikuasa telah terjadi "saat ini". Walaupun begitu, Tiongkok masih kurang mampu dalam hal kekuatan lembut dan proyeksi kekuatan, dan memiliki PDB/orang yang rendah. Pendapat tersebut juga memasukkan hasil survei Pew Research Center tahun 2009 yang mendapati bahwa masyarakat dari 15 dari 22 negara percaya Tiongkok telah atau akan menggantikan AS sebagai negara adikuasa terkemuka dunia.[32] Dalam sebuah wawancara pada tahun 2011, perdana menteri pertama Singapura Lee Kuan Yew menyatakan bahwa ketika opini Tiongkok menggantikan Amerika Serikat bukanlah kesimpulan yang hilang, para pemimpin Tiongkok tetap serius mengenai penggusuran Amerika Serikat sebagai negara terkuat di Asia. "Mereka telah mengubah masyarakat miskin dengan keajaiban ekonomi menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Kenapa tidak kalau mereka bercita-cita menjadi nomor 1 di Asia, dan dunia dalam waktu yang sama?".[33] Strategi Tiongkok, lanjutnya, akan berkutat pada "pekerja-pekerja yang banyak dan semakin terampil dan terdidik untuk keluar dan membangun semua yang lain."[34] Namun, hubungan dengan Amerika Serikat, setidaknya dalam jangka menengah, tidak akan mengambil jalan yang terburuk karena Tiongkok akan "menghindari tindakan yang akan memperkeruh hubungan dengan AS. Untuk menantang kekuatan dan teknologi yang lebih kuat dan tinggi seperti AS akan membatalkan 'kemunculan damai' mereka."[34] Meskipun Lee percaya Tiongkok benar-benar tertarik untuk bertumbuh dalam kerangka global yang telah diciptakan oleh Amerika Serikat, negeri bambu itu menunggu waktu sampai menjadi cukup kuat untuk berhasil mendefinisikan kembali tatanan politik dan ekonomi yang berlaku.[35] Penasehat kebijakan luar negeri Tiongkok Wang Jisi pada tahun 2012 menyatakan bahwa banyak pejabat Tiongkok melihat Tiongkok kekuatan kelas satu yang harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Tiongkok berpendapat dirinya segera menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia dan akan membuat kemajuan pesat di berbagai bidang. Amerika Serikat dipandang sebagai negara adikuasa yang sedang menurun disebabkan faktor-faktor seperti pemulihan ekonomi yang buruk, gangguan keuangan, defisit dan pengangguran yang tinggi, serta meningkatnya polarisasi politik.[36][37] Pandangan bertentanganTimothy Beardson, pendiri Crosby International Holdings, menyatakan pada tahun 2013 bahwa ia tidak melihat "Tiongkok menjadi negara adikuasa", ia menulis bahwa Tiongkok pada dasarnya dijadikan sebagai lokasi manufaktur untuk perusahaan asing, karena 83% dari seluruh produk berteknologi tinggi yang dibuat di Tiongkok diproduksi untuk perusahaan asing.[38] Dia menambahkan bahwa masalah China tentang upah, penuaan, penurunan populasi, dan juga ketidakseimbangan jenis kelamin, (dengan rasio gender 6:05, 1 dari 6 anak laki-laki tidak akan memiliki istri) akan menyebabkan banyaknya kejahatan. Ia juga menyatakan Tiongkok terus mencemari lingkungan setelah 30 tahun pembangunan (mengingat dari 20 kota paling tercemar di dunia, 16 kota berada di Tiongkok).[38][39] James Fallows menulis bahwa terlalu banyak orang di Chna hidup tanpa pipa ledeng dalam ruangan, dan belum ada peneliti dari Tiongkok daratan yang pernah memenangkan Hadiah Nobel, sehingga tidak mungkin bisa disebut "adikuasa ekonomi".[40] Ia juga menceritakan kunjungannya pada pertengahan 1980-an ke Tiongkok, di mana ia menemukan hampir semua orang "miskin", dan orang-orang "kaya" adalah petani yang memiliki keluarganya sendiri. Ia lebih lanjut menunjukkan bahwa orang-orang biasanya berbicara tentang betapa kehidupan di Tiongkok terus membaik, namun jika mereka pergi ke Tiongkok, mereka akan melihat bahwa para pejabat China menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berpikir tentang cara untuk menangani masalah-masalah mendatang yang dihadapi negara mereka.[41] Geoffrey Murphay dalam China: The Next Superpower (Tiongkok: Negara Adikuasa Berikutnya) (2008) berpendapat ketika Tiongkok memiliki potensi tinggi, ini cukup dipandang hanya dengan melihat risiko dan hambatan Tiongkok dalam mengelola populasi dan sumber daya. Situasi politik di Tiongkok mungkin menjadi terlalu rapuh untuk bertahan dalam status adikuasa menurut Susan Shirk dalam China: Fragile Superpower (Tiongkok: Adikuasa yang Rapuh) (2008).[42] Faktor-faktor lain yang dapat membatasi kemampuan Tiongkok untuk menjadi negara adikuasa pada masa depan termasuk persediaan energi dan bahan baku yang terbatas, pertanyaan atas kemampuan inovasi, ketidaksetaraan dan korupsi, serta risiko terhadap stabilitas sosial dan lingkungan. Uni Eropa
Uni Eropa (UE) telah disebut sebagai negara adidaya yang muncul oleh para akademisi.[43] Banyak sarjana dan akademisi seperti TR Reid,[44] Andrew Reding,[45] Andrew Moravcsik,[46] Mark Leonard,[47] Jeremy Rifkin,[48] John McCormick,[49] dan beberapa politisi seperti Romano Prodi[50] and Tony Blair,[51] percaya bahwa Uni Eropa akan menjadi, atau akan menjadi, negara adidaya di abad ke-21. Prognosis ini, bagaimanapun, semua mendahului krisis eropa dan Brexit. Mark Leonard mengutip beberapa faktor: populasi besar UE, ekonomi besar, tingkat inflasi rendah, ketidakpopuleran dan anggapan kegagalan kebijakan luar negeri AS dalam beberapa tahun terakhir, dan kualitas hidup negara-negara anggota UE tertentu yang tinggi (terutama jika diukur dalam istilah-istilah seperti jam kerja). bekerja per minggu, perawatan kesehatan, layanan sosial).[52] John McCormick percaya bahwa UE telah mencapai status adidaya, berdasarkan ukuran dan jangkauan global ekonominya dan pada pengaruh politik globalnya. Dia berpendapat bahwa sifat kekuatan telah berubah sejak definisi negara adidaya yang didorong oleh Perang Dingin dikembangkan, dan bahwa kekuatan militer tidak lagi penting untuk kekuatan besar; ia berpendapat bahwa kendali atas alat-alat produksi lebih penting daripada kendali atas alat-alat penghancur, dan membandingkan ancaman kekuasaan besar Amerika Serikat dengan peluang yang ditawarkan oleh kekuasaan lunak yang dimiliki oleh orang Eropa.[53] Parag Khanna percaya bahwa "Eropa mengambil alih saingannya untuk menjadi kekaisaran paling sukses di dunia."[54][55] Khanna menulis bahwa Amerika Selatan, Asia Timur, dan wilayah lainnya lebih memilih untuk meniru European Dream daripada American Dream.[54] Ini mungkin bisa dilihat di Uni Afrika dan UNASUR. Khususnya, UE secara keseluruhan memiliki beberapa bahasa resmi terbesar dan paling berpengaruh di dunia di dalam perbatasannya.[56] Andrew Reding juga mempertimbangkan pembesaran Uni Eropa di masa mendatang. Aksesi masa depan akhir dari Eropa, seluruh Rusia, dan Turki, tidak hanya akan meningkatkan ekonominya, tetapi itu juga akan meningkatkan populasi Uni Eropa menjadi sekitar 800 juta, yang dia anggap hampir sama dengan India atau Tiongkok. Uni Eropa secara kualitatif berbeda dari India dan Tiongkok karena mereka jauh lebih makmur dan maju secara teknologi.[45] PM Turki Recep Tayyip Erdoğan berkata pada tahun 2005: "Dalam 10 atau 15 tahun, Uni Eropa akan menjadi tempat pertemuan peradaban. Ini akan menjadi negara adidaya dengan masuknya Turki."[57] Robert J. Guttman menulis pada tahun 2001 bahwa definisi istilah adikuasa telah berubah, dan di abad 21 ini tidak hanya merujuk pada negara-negara dengan kekuatan militer, tetapi juga pada kelompok-kelompok seperti Uni Eropa, dengan ekonomi pasar yang kuat, kaum muda , pekerja berpendidikan tinggi yang paham teknologi tinggi, dan visi global.[58] Friis Arne Petersen, duta besar Denmark untuk AS, telah menyatakan pandangan serupa tetapi telah mengakui bahwa UE adalah "jenis negara adidaya khusus", yang belum membentuk kekuatan militer terpadu yang mengerahkan dirinya sendiri bahkan mendekati tingkat yang sama dengan banyak anggota individualnya.[59] Selain itu, para komentator berpendapat bahwa integrasi politik penuh tidak diperlukan bagi Uni Eropa untuk menggunakan pengaruh internasional: bahwa kelemahan yang tampak merupakan kekuatan sebenarnya (seperti diplomasi profil rendah dan penekanan pada supremasi hukum)[53] dan bahwa UE mewakili jenis aktor internasional yang baru dan berpotensi lebih berhasil daripada aktor tradisional;[60] akan tetapi, tidak pasti apakah keefektifan pengaruh semacam itu akan sama dengan efek dari persatuan negara-negara yang lebih terintegrasi secara politik seperti Amerika Serikat.[61] Barry Buzan mencatat bahwa status negara adidaya potensial UE bergantung pada "negara bagian" -nya. Tidak jelas seberapa besar kualitas seperti negara yang diperlukan agar UE dapat digambarkan sebagai negara adidaya. Buzan menyatakan bahwa UE tidak mungkin tetap menjadi negara adikuasa potensial untuk waktu yang lama karena meskipun memiliki kekayaan materi, "kelemahan politiknya dan arah perkembangan politik internal yang tidak menentu dan sulit, terutama yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri dan pertahanan bersama" membatasinya dari menjadi negara adidaya.[28] Alexander Stubb, menteri luar negeri Finlandia, telah mengatakan bahwa menurutnya Uni Eropa adalah negara adidaya dan bukan negara adidaya. Meskipun UE adalah negara adidaya dalam arti bahwa UE merupakan persatuan politik, pasar tunggal dan donor bantuan terbesar di dunia, UE bukanlah negara adidaya di bidang pertahanan atau kebijakan luar negeri. Seperti Barry Buzan, Alexander Stubb berpikir bahwa faktor utama yang menghambat kenaikan status negara adidaya UE adalah kurangnya status kenegaraan dalam sistem internasional; Faktor-faktor lain adalah kurangnya dorongan internal untuk memproyeksikan kekuasaan di seluruh dunia, dan preferensi berkelanjutan untuk negara-bangsa yang berdaulat di antara beberapa orang Eropa. Untuk mengimbangi ini, ia mendesak para pemimpin Uni Eropa untuk menyetujui dan meratifikasi perjanjian Lisbon (yang mereka lakukan pada tahun 2009), membuat kementerian luar negeri Uni Eropa European External Action Service, didirikan pada tahun 2010, mengembangkan pertahanan bersama Uni Eropa, memegang satu kursi kolektif di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa danG8, dan membahas apa yang dia gambarkan sebagai "mood masam" menuju UE lazim di beberapa negara Eropa saat ini.[62] Pandangan bertentanganBeberapa komentator tidak percaya bahwa UE akan mencapai status negara adidaya. "Uni Eropa bukanlah dan tidak akan pernah menjadi negara adidaya", menurut mantan menteri luar negeri dan urusan Persemakmuran Inggris Raya, David Miliband.[63][64] Kurangnya kebijakan luar negeri yang bersatu dan dengan ketidakmampuan untuk memproyeksikan kekuatan militer di seluruh dunia, Uni Eropa kekurangan "substansi negara adidaya", yang menurut definisi memiliki "pertama-tama jangkauan militer [dan] memiliki kapasitas untuk tiba dengan cepat di mana saja dengan pasukan yang dapat memaksa. keinginan pemerintah mereka."[65] Anggota parlemen Uni Eropa Ilka Schroeder berpendapat bahwa tingkat keterlibatan yang tinggi dalam konflik seperti konflik Israel-Palestina digunakan oleh Uni Eropa sebagian besar untuk mengkompensasi ketidakmampuan Eropa untuk memproyeksikan kekuatan militer secara internasional, terutama berbeda dengan AS.[66] Seorang Ekonom Robert Lane Greene mencatat bahwa kurangnya militer Eropa yang kuat hanya memperburuk kurangnya kebijakan luar negeri Uni Eropa yang bersatu dan mengabaikan setiap argumen Uni Eropa terhadap status negara adidaya, terutama mencatat bahwa Pembentukan UE dari kekuatan respons global yang menyaingi negara adidaya (Amerika Serikat) adalah "tidak terpikirkan".[67] Demikian pula, Colin S. Gray menemukan bahwa "UE-Eropa tetap menjadi kerdil politik dan semuanya kecuali nol militer dalam arti kolektif apa pun".”[68] Michael Howard telah memperingatkan terhadap "kekhawatiran" bahwa banyak orang Eropa mendorong integrasi UE yang lebih besar untuk mengimbangi Amerika Serikat,[69] sementara ketergantungan total Eropa pada kekuatan lunak (non-militer) sebagian karena kurangnya "identitas bersama."[70] Sementara bagi beberapa orang Uni Eropa harus menjadi "kekuatan model" yang tidak takut menggunakan kekuatan militer dan mendukung perdagangan bebas, kekurangan militernya menentang status negara adidaya.[71] Menurut Zbigniew Brzezinski, Uni Eropa tidak menghasilkan sebuah "persatuan" yang sebenarnya, tetapi sebuah "nama yang salah." Ia gagal menggunakan tahun-tahun "Eropa seutuhnya dan bebas" untuk membuat Eropa benar-benar utuh dan kebebasannya benar-benar terjamin. Gagasan tentang Eropa sebagai "kelas berat politik dan militer" menjadi "semakin ilusi". Eropa, yang pernah menjadi pusat Barat, menjadi perpanjangan dari Barat yang pemain utamanya adalah Amerika.[72] George Osbone, mantan Chancellor of the Exchequer Inggris, juga telah menunjukkan krisis ekonomi di Uni Eropa. Osborne berkata, "Risiko ekonomi terbesar yang dihadapi Eropa tidak datang dari mereka yang menginginkan reformasi dan negosiasi ulang. Itu berasal dari kegagalan untuk mereformasi dan melakukan negosiasi ulang. Ini adalah status quo yang mengutuk rakyat Eropa terhadap krisis ekonomi yang sedang berlangsung. dan terus menurun. " Osborne juga mengatakan bahwa UE menghadapi persaingan yang meningkat dengan kekuatan ekonomi global seperti Tiongkok, India, Amerika Serikat dan Uni Eropa harus "mereformasi atau menolak".[73][74][75] Pada tahun 2016, Britania Raya, penyumbang keuangan terbesar keempat Uni Eropa setelah Jerman, Prancis dan Italia [76] memilih untuk meninggalkan Uni Eropa. Ini mewakili pertama kalinya negara anggota meninggalkan organisasi dan institusi sebelumnya sejak European Economic Community didirikan pada tahun 1957. Britania Raya keluar dari Uni Eropa pada 31 Januari 2020. Lihat pulaReferensi
Pranala luar |