Mazhab teologi Islam
Mazhab teologi Islam adalah berbagai paham dan aliran dalam Islam terkait ʿaqīdah (akidah), keimanan, dan ketuhanan. Di awal sejarah Islam pada abad 7-8 Masehi, pemikiran teologi dan keilmuan belum terbentuk sebagaimana di periode-periode berikutnya. Beberapa kelompok yang muncul umumnya masih prematur dan dipengaruhi oleh faktor politik, seperti perebutan kekhalifahan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Perpecahan yang awalnya lebih bersifat politis, seiring berjalannya waktu memunculkan perbedaan teologis,[1] dan hal ini menghadirkan berbagai mazhab teologi di dunia Islam. Di antar mazhab-mazhab Teologi Islam yang utama adalah Qadariyah, Falasifah, Jahmiyah, Murji'ah, Muktazilah, Batiniyah, Asyʿariyah, Maturidiyah, dan Atsariyah. Menurut Encyclopaedia of the Qur'ān (2006), "Al-Qur'an merangkum berbagai tema teologis dari berbagai ajaran agama sebelumnya, dan melalui nabinya, Muhammad, menyajikan visi yang utuh tentang Sang Pencipta, kosmos, dan manusia. Dan terkait perselisihan teologis di kalangan dunia muslim berikutnya terbukti beredar di seputar penafsiran pesan nash Al-Qur'an, yang itu terkait erat dengan perjalanan hidup Muhammad".[2] Namun, sejarawan modern dan pengkaji Islam lainnya menduga bahwa beberapa gagasan teologis yang muncul kemudian nampaknya dipengaruhi artefak pemikiran kaum politeistik di Arab pra-Islam, seperti kepercayaan pada fatalisme (qadariyah) yang muncul dalam pemikiran teologi muslim manakala membicarakan masalah-masalah metafisik seperti sifat-sifat Tuhan. takdir, dan kehendak bebas.[3][4] Akidah (Arab: العقيدة, al-ʿaqīdah) berasal dari kata al-ʿaqdu yang secara harfiah berarti: ikatan, pengesahan, penguatan; adapun kata al-ʿaqīdah sendiri secara harfiah berarti: prinsip, dasar atau pondasi, pengikatan, doktrin, kredo, keyakinan, dan pengakuan.[5] Adapun pengertian secara terminologi adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa.[5] Dalam kajian agama dan humaniora, istilah biasanya diterjemahkan sebagai "teologi" dan paham-paham di dalamnya disebut "mazhab teologi"—yang berbeda dari mazhab fiqih. Adapun pengajaran atau kajian di dalamnya termasuk pelajaran ilmu kalam, falsafah, dan ushuluddin. Salah satu mazhab teologi yang paling awal berkembang adalah Muktazilah yang sudah muncul pada pertengahan abad ke-8 Masehi.[3][6] Dari kasus perpecahan antara Khawarij, Sunni, dan Syiah di kalangan umat Islam yang terjadi setelah kematian Nabi Muhammad, golongan Khawarij mengembangkan doktrin ekstrim yang memisahkan mereka dari arus utama Sunni dan Syiah.[1] Kalangan Khawarij terkenal karena mengembangkan pendekatan radikal takfiri (pengkafiran, ekskomunikasi) dengan menuduh pengikut Sunni dan Syiah sebagai kafir atau munafik, dan karena itu menganggap mereka layak dihukum mati karena telah murtad (ridda).[1] Pada abad ke-10 lahir mazhab akidah Asyʿariyah yang berkembang sebagai tanggapan terhadap Muktazilah yang diprakarsai oleh Imam Asyʿari. Ilmu kalamIlmu Kalam (bahasa Arab: علم الكلام,ʿilm al-kalām; atau bisa disingkat "Kalam") adalah satu cabang ilmu keislaman yang membahas masalah akidah atau keimanan berdasarkan argumen rasional tanpa mengesampingkan nash Al-Qur'an dan As-Sunnah.[7] Ilmu ini juga lazim disebut sebagai Ilmu Ushuluddin (dasar-dasar agama), Ilmu ʿAqaid ( (akidah), dan Ilmu Tauhid (keesaan Tuhan). Secara garis besar Ilmu Kalam membahas persoalan teologis (Qismul Ilahiyat) terkait wujud, sifat, dan perbuatan Tuhan dan kaitannya dengan qadha dan qadhar serta kehendak bebas manusia; persoalan kenabian (Qismul Nubuwah) terkait sifat dan tugas para rasul-Nya, pewahyuan dan risalah, hingga persoalan pewaris kenabian (kekhalifahan); dan persoalan Hari Akhir (Qismul Al-Sam'iyat) terkait Hari Kebangkitan, surga dan neraka, serta pembalasan atas manusia.[7] Ilmu Kalam memang berkembang lebih lambat dibanding keilmuan keislaman lainnya seperti Ilmu Fikih dan Ilmu Hadits.[7] Namun, itu bukan berarti tidak ada pembicaraan tentang persoalan teologis di masa-masa awal perkembangan Islam, hanya saja sifatnya belum sistematis dan didominasi topik seputar kekhalifahan, keimanan dan kekufuran akibat dosa, serta takdir.[7][8] Di abad-abad berikutnya ilmu ini mulai berkembang dan mendapat perhatian melalui tokoh-tokohnya seperti Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi,[7] serta banyak cendikiawan lainnya seperti Al-Ghazali, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Harus diakui bahwa Ilmu Kalam mendapat pengaruh dari Filsafat Yunani, terutama sejak penerjemahan besar-besaran teks-teks Yunani ke bahasa Arab di era Abbasiyah di sepanjang abad ke-10 hingga abad ke-12 Masehi, namun pada waktu Ilmu Kalam dan kemudian diperkaya oleh Filsafat Yunani,[7][8][9] sehingga beberapa sarjana modern melihat Ilmu Kalam merupakan asimilasi dari ilmu teologi keislaman dengan logika Aristotelian.[6] Di awal perkembangan IslamDi awal sejarah Islam pada abad 7-8 Masehi, pemikiran teologi dan keilmuan belum terbentuk sebagaimana di periode-periode berikutnya. Beberapa kelompok yang muncul umumnya masih prematur dan dipengaruhi oleh faktor politik, seperti perebutan kekhalifahan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Firqah yang menonjol adalah kelompok Muhakimah (bahasa Arab: محكمة) merujuk pada kelompok yang abstain secara politik pada arbitrase sekitar Perang Shiffin. Secara teologis, seiring berjalannya waktu mereka terbagi menjadi dua sekte besar yang disebut Khawarij dan Ibadiyah.[10] KhawarijKaum Khawarij percaya bahwa Abu Bakar dan Umar merupakan khalifah terpilih dan benar, namun menganggap Utsman bin Affan telah menyimpang pada hari-hari terakhir kekuasaannya, serta percaya bahwa Ali ibn Abi Thalib telah berdosa ketika menyetujui arbitrase dengan Muʿāwiyah dalam Pertempuran Siffin. Sebagian besar pasukan pendukung Khalifah Ali menolak menyetujui arbitrase itu dan memilih tidak menjadi pendukung keduanya. Khawarij menolak doktrin maksum untuk para pemimpin umat Muslim, berbeda dengan Syiah yang menganggap para imam maksum.[11] Cendekiawan muslim modern Abul Ala Maududi menulis perbedaan doktrin Khawarij dengan doktrin Sunni pada umumnya. Kaum Khawarij percaya bahwa perbuatan dosa disamakan dengan kufur dan bahwa setiap pelaku dosa besar dianggap sebagai kafir kecuali dia bertaubat. Dengan mengambil posisi ini, kaum Khawarij mencela semua khalifah yang pernah ada. Semua kaum muslim juga dapat kufur karena: pertama, mereka tidak bebas dari dosa; kedua, karena menganggap para khalifah sebagai orang beriman; dan ketiga, karena mengambil hukum dari mereka yang berdosa, termasuk para sahabat.[12] Selain itu, kaum Khawarij percaya bahwa kepatuhan kepada khalifah bersifat mengikat manakala sang khalifah mengatur urusan dengan adil, tetapi jika dia menyimpang maka wajib untuk dihadapi, diturunkan atau malah dibunuh. IbadiyahIbadiyah memiliki beberapa doktrin yang tumpang tindih dengan aliran Asyʿariyah dan Muktazilah, bahkan beberapa sekte Syiah.[10] JahmiyahJahmiyah adalah pengikut teolog Jahm bin Safwan yang mengasosiasikan dirinya dengan Al-Harith ibn Surayj . Dia adalah pendukung determinisme ekstrim, di mana menurutnya manusia hanya bertindak secara metaforis dengan cara yang sama seperti matahari bertindak saat terbenam.[13] Mazhab ini sekarang sudah tidak ada. QadariyahQadariyyah awalnya awalnya ditujukan kepada para teolog muslim awal yang menegaskan bahwa manusia secara ontologis bebas dan memiliki kehendak bebas yang total, karenanya menjustifikasi mengapa Tuhan menimpakan hukuman kepada manusia yang berbuat salah.[14][15] Doktrin mereka diadopsi oleh kaum Muktazilah yang berkembang sesudahnya.[14] Murji'ahMurji'ah ( bahasa Arab: المرجئة ) adalah mazhab teologi awal yang muncul sebagai perlawanan atau golongan Khawarij, khususnya terkait hubungan antara dosa dan kemurtadan. Murji'ah percaya bahwa dosa tidak mempengaruhi iman, melainkan hanya berdampak pada takwa. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa siapa pun yang menyatakan telah beriman minimal harus dianggap sebagai muslim, dan dosa saja tidak cukup untuk membuat seseorang dicap sebagai kafir. Pendapat kaum Murji'ah ini mendominasi seluruh mazhab sesudahnya, terutama Khawarij dan Asy'ariyah. SunniUmumnya kalangan Sunni mengadopsi mazhab teologi Asyʿariyah,[16] meski ada juga yang memilih Mātūrīdiyah dan lainnya.[17] Muslim Sunni adalah denominasi Islam terbesar dan dikenal sebagai kelompok Ahlussunnah wal-Jamāʿah, atau kerap hanya dipanggil Ahlussunnah . Kata "sunni" sendiri berasal dari kata sunnah, yang mengindikasikan pengakuan bahwa kelompok mengikuti ajaran dan perbuatan nabi Muhammad. Oleh karena itu, istilah “Sunni” mengacu pada mereka yang mengikuti atau memelihara sunnah Nabi Muhammad. Banyak paham teologis yang muncul di dunia Sunni, namum beberapa yang terkenal adalah sebagai berikut: AtsariyahAtsariyah (bahasa Arab: أثري ; literalis) adalah paham teologis yang menolak ajaran rasionalistik, atau secara spesifik adalah ilmu kalam dan falsafah, dan mengajarkan literalisme ketat dalam menafsirkan nash Al-Qur'an.[18] Sebutan ini berasal dari kata Arab "atsar" yang secara harfiah berarti "sisa" atau "kisah".[19] Para pengikutnya disebut Atsariyah atau Atsaris Bagi pengikut Atsariyah, makna lahiriah dari Al-Qur'an, dan khususnya tradisi kenabian, merupakan otoritas tunggal dalam masalah keyakinan tanpa perlu bantuan perangkat rasional (ilmu kalam).[20] Dalam memahami Al-Qur'an kaum Atsaris mengambil prinsip amodal (apa yang tersurat itu yang dipahami), berlawanan dengan mazhab lain yang membolehkan ta'wil (penafsiran metaforis); karena itu mereka tidak berusaha mengkonseptualisasikan makna ayat-ayat Al-Qur'an secara rasional dan sepenuhnya percaya bahwa makna hakiki harus diserahkan hanya kepada Tuhan (tafwid).[21] Intinya, maknanya sudah diterima tanpa menanyakan "bagaimana" (bilaa kayfa). MuktazilahMuktazilah adalah mazhab teologi yang mulanya bersifat apolitis dengan mengambil sikap netral di antara pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya. Lambat laun kelompok ini membentuk mazhab teologi sendiri yang berkembang di Basra dan Bagdad (abad ke-8 hingga ke-10).[22][23] Menurut berbagai sumber Sunni, teologi Muktazilah muncul pada abad ke-8 di Basra (sekarang di Irak) ketika Wāṣil ibn ʿAṭā' (w. 131 H/748 M) menarik diri (iʿtazala, asal kata mu'tazilah) dari pengajaran Hasan al -Bashri setelah perselisihan teologis mengenai masalah al-Manzilah bayna al-Manzilatayn (posisi antara dua posisi), di mana Wasil ibn Ata bernalar bahwa seorang pendosa berat (fāsiq) tidak dapat digolongkan sebagai mukmin atau kafir tetapi berada di perantara posisi (al-manzilah bayna manzilatayn).[24] Aliran Muktazilah kemudian mengembangkan bentuk rasionalisme Islamyang sebagian dipengaruhi oleh melimpahnya penerjemahan falsafah Yunani. Ajaran teologinya mencakup tiga prinsip fundamental: keesaan (tauhid) dan keadilan (ʿadl) Tuhan;[25] kehendak bebas manusia, dan status Al-Quran sebagai makhluk.[26][27] Meskipun pengikut Muktazilah mengandalkan rasionalitas dalam memahami masalah ketuhanan, namun titik berangkatnya adalah sama yakni ajaran Islam.[28][29] AsyʿariyahAsyʿariyah adalah mazhab teologi yang didirikan oleh seorang cendekiawan, mujadid, dan ahli ilmu kalam bernama Abū al-Ḥasan al-Asyʿari yang hidup pada abad ke-9 hingga ke-10.[30][31][32] Asyʿarīyah membangun jalan tengah antara doktrin teologi Atsariyah dan Muktazilah.[30][32][33][34] Mazhab Asyʿarīyah berpendapat bahwa kebenaran tertinggi hanya dapat diketahui melalui wahyu; dan bahwa tanpa wahyu, rasio manusia tidak berdaya untuk membedakan kebaikan (haq) dan keburukan (batil). Dalam upaya untuk menjelaskan bagaimana Tuhan memiliki kekuasaan dan kendali atas segala sesuatu, tetapi manusia bertanggung jawab atas dosa-dosa mereka, al-Asyʿari mengembangkan doktrin kasb (perolehan), di mana setiap dan semua tindakan manusia, bahkan mengangkat jari, diciptakan . oleh Tuhan, tetapi manusia yang melakukan tindakan itu bertanggung jawab untuk itu, karena mereka telah "memperoleh" tindakan itu.[35] Sementara al-Asyʿari menentang pandangan mazhab Muʿtazilite saingannya, dalam Istihsan al-Khaud juga tampak bahwa ia menentang pandangan yang menolak semua perdebatan, yang dianut oleh mazhab tertentu seperti Zahiri (literalis), Mujassimite (antropteis), dan Muhaddithin (tradisionalis) karena terlalu menekankan pada taqlid (mengikuti secara buta). Asyʿariyah menjadi aliran pemikiran teologis utama dalam Islam Sunni dan menjadi aliran teologis paling penting dalam sejarah Islam.[31] Di antara para teolog Asyʿariyah yang menonjol adalah Imam al-Ghazali, Imam Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu al-Jawzi, Jalaluddin as-Suyuti, Fakhruddin ar-Razi, Ibnu Asakir, Tajuddin as-Subki, dan Ahmad Baihaqi.[36] MaturidiyahMazhab Maturidiyah didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi, dan merupakan mazhab teologi kedua paling populer di kalangan Sunni, terutama di wilayah-wilayah yang dulunya dikuasai Ottoman dan Mughal. Kebanyakan pengikut Maturidiyah berasal dari mazhab fikih Hanafi.[37] Mazhab Maturidi mengambil posisi tengah antara mazhab Asyʿariah dan Mutazilah dalam persoalan mengetahui kebenaran/kebatilan dan kehendak bebas. Maturidiyah mengajarkan bahwa nalar manusia dapat mengenali kebaikan dan keburukan sekalipun tanpa bimbingan wahyu, sekaligus tetap mempertahankan bahwa wahyu adalah sumber pengetahuan tertinggi. Dalam pandangan mereka, etika memiliki kebenaran objektifnya, dengan demikian manusia dapat mengenali yang baik dan yang buruk hanya dengan menggunakan akalnya tanpa wahyu.[38] Misalnya manusia dapat mengenali bahwa pembunuhan adalah suatu tindakan yang buruk. Menyangkut masalah Rukun Iman, pengikut Maturidiyah percaya bahwa surga dan neraka telah ada sejak manusia hidup di dunia saat ini; dan mereka juga memandang malaikat memiliki kesempurnaan.[39][40] Selain itu, Maturidiyah percaya bahwa Tuhan adalah Maha Pencipta dan dapat mengendalikan semua ciptaan-Nya, namun tetap mengizinkan manusia mengambil keputusan individual. SyiahZaidiyahDenominasi Zaidiyah dalam Syi'ah sangat dekat pandangannya dengan mazhab teologi Muʿtazilah; perbedaan utamanya hanya terletak pada doktrin imamah. Di antara golongan Syiah, kaum Zaidiyah adalah yang paling mirip dengan golongan Sunni,[41] karenanya tidak heran bila fikih dan teologinya sejalan dengan umumnya pandangan Sunni.[42] BatiniyahBatiniyah awalnya diperkenalkan oleh Abul-Khāttāb Muhammad ibn Abu Zaynab al-Asadī,[43][44] dan kemudian dikembangkan oleh Maimun al-Qaddah [45] dan putranya Abdullah bin Maimun al-Qaddah.[46] Disebut mazhab Batiniyah karena kekhasan cara pandang mereka terhadap Al-Qur'an yang bersifat batiniyah (tersirat), dan aliran ini dipercaya mempengaruhi beberapa kelompok Syi'ah lainnya seperti mazhab Ismiliyah dan mazhab Tisna ʿAsyar. Pengikut mazhab Batiniyah dari kalangan Syiah Dua Belas adalah sekte Alevi di Anatolia dan Alawi yang banyak menetap di Suriah dan Libanon. Mereka juga mengembangkan sistem fikih sendiri yang berbeda dari fikih Jaʿfari. Populasi gabungan mereka hampir sekitar 1% dari populasi Muslim global.[47][48] IsmailiyahPerbedaan mazhab Ismailiyah dengan mazhab Tisna ʿAsyar karena mereka percaya akan imamah yang sah dan hidup selamanya, yakni Isma'il ibn Jafar[49] putra dari Ja'far ash-Shadiq. Ismailiyah percaya bahwa Ismail bin Jafar sudah mewarisi jubah imamah sebelum ayahnya meninggal.[50] Itsna 'AsyariyahMazhab teologi Itsna ʿAsyariyah meyakini imam yang berjumlah 12 orang, yang dari situlah nama mereka berasal. Khusus untuk Imam ke-12, mereka percaya bahwa ia menghilang (tidak terlihat) dan terus hidup hingga muncul kembali di Akhir Zaman. Hadis Syiah meliputi ucapan para Imam. Banyak Muslim mengkritik Syiah karena kepercayaan dan praktik tertentu, termasuk praktik seperti Duka Muharram (Mätam). Mereka adalah mazhab akidah Syiah terbesar (93%), dominan di Azerbaijan, Iran, Irak, Lebanon, dan Bahrain dan memiliki populasi yang signifikan di Pakistan, India, Afghanistan, Kuwait, dan provinsi Timur, Arab Saudi. Syiah 12 Imam adalah pengikut mazhab Jaʿfariyah atau Batiniyyah. Mazhab teologi baruAhmadiyahAhmadiyah lahir pada abad ke-19 Masehi. Secara doktrin, ajaran Ahmadiyah persis serupa dengan tradisi Sunni, seperti mempercayai Lima Rukun Islam dan Enam Rukun Iman Islam, termasuk menerima Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum.[51] Mereka dianggap ajaran sesat oleh kebanyakan lainnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad, pendiri sekte ini, sebagai mesiah, nabi, mahdi, atau sejenisnya.[52][53][54][55] Penekanan pada mesianisme atau kemahdian, membuat mereka percaya bahwa setelah Muhammad diutus ke bumi maka manifestasi kebenaran Islam akan disempurnakan seiring waktu hingga kedatangan Mahdi.[56] Kalangan Sunni dan Syiah juga mempercayai akan kedatangan Mahdi dan Nabi Isa di Akhir Zaman, tapi tidak mengakui para pemukanya sebagai nabi. Namun tidak semua pengikut Ahmadiyah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan dalam hal ini dikenal Ahmadiyah Qadian dan Lahore. Pangkal perpecahan Ahmadiyah secara umum terletak pada persoalan kenabian, takfirul-muslimin (pengkafiran umat muslim lain), dan kepemimpinan. Secara umum firqah Qadian menanggap Mirza sebagai bashar rasul (aspek lahiriah kerasulan), sedangkan firqah Lahore hanya menganggapnya sebagai mujaddid (pembaharu).[57] Namun di balik itu, perpecahan dalam tubuh Ahmadiyah memiliki aroma politik yang menyertainya, yakni perebutan khilafat (pemimpin tertinggi) Ahmadiyah yang sudah terjadi sejak tahun 1914, di mana Muhammad Ali dan para pengikutnya menyatakan keluar dari Ahmadiyah (Qadian) dan mendirikan kelompok sendiri di Lahore. Pada tahun 1994, MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah sesat dan menyesatkan, berdasarkan 9 buku utama ajaran Ahmadiyah. Fatwa ini diputuskan dalam musyawarah Nasional II tanggal 26 Mei–1 Juni 1980 di Jakarta.[58] Sejak saat itu keberadaan Ahmadiyah di Indonesia mendapat tekanan dari masyarakat muslim lainnya. Lihat pulaReferensi
|