Qadar
Qadar (bahasa Arab: قدر, secara harfiah berarti "kekuatan")[1][2][3] adalah konsep takdir ilahi dalam Islam.[4] Karena Tuhan Maha Tahu dan Maha Kuasa, segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi di alam semesta, termasuk perilaku manusia yang berdosa diperintahkan oleh-Nya.[5] Pada saat yang sama, kita sebagai manusia bertanggung jawab atas tindakan kita, dan akan diberi penghargaan atau hukuman yang sesuai pada Hari Penghakiman.[6] Takdir Ilahi adalah salah satu dari enam rukun iman Islam Suni, (bersama dengan keyakinan akan Keesaan Allah, Kitab-Kitab yang diturunkan, para Nabi Islam, Hari Kebangkitan dan para malaikat). Konsep ini juga telah disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai "Ketetapan" Allah.[7] Karena banyak hal yang terjadi sebagai bagian dari ketetapan Allah adalah buruk/jahat, “kehendak Allah” dapat dibagi menjadi dua macam—kehendak universal (segala sesuatu yang terjadi, pokok bahasan artikel ini); dan "kehendak legislatif", apa yang Allah perintahkan kepada manusia untuk dilakukan yang terkadang tidak (mematuhi syariah). Beberapa sekolah Islam awal (Qadariyah dan Muʿtazilah) tidak menerima doktrin takdir; Muʿtazila berpendapat bahwa "tidak terpikirkan" bahwa Tuhan "akan menghukum manusia atas apa yang Dia sendiri telah perintahkan". Predestinasi tidak termasuk dalam Lima Rukun Iman Islam Syi'ah. Setidaknya beberapa sumber menggambarkan Muslim Syi'ah sebagai menyangkal takdir, dan setidaknya seorang ulama Syi'ah (Naser Makarem Shirazi) berpendapat "kepercayaan pada takdir adalah pengingkaran keadilan".[8] Takdir dalam agama IslamUmat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi. Untuk memahami konsep takdir, jadi umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Dimensi ketuhananDimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dimensi kemanusiaanDimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah memperintahkan manusia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya.
Implikasi Iman kepada takdirKesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya tahu takdirnya setelah terjadi. Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk mengubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinilainya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid 57:23). Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.
Lihat pulaReferensi
|