Abu Mansur al-Maturidi, yang merupakan pengikut mazhab Hanafi, mendasarkan pendapat teologis dan perspektif epistemologisnya pada ajaran pendiri mazhab tersebut, Abu Hanifah (abad ke-8 M).[14]
Eksistensi etika bersifat objektif dan manusia mampu mengenalinya cukup dengan akal.[16]
Meski manusia mampu menyadari adanya Allah, manusia membutuhkan wahyu dan bimbingan para nabi dan rasul, karena keinginan manusia dapat mengalihkan akal dan karena pengetahuan tertentu tentang Allah telah diberikan secara khusus kepada para nabi (misalnya Al-Qur'an diturunkan kepada Muhammad menurut Islam, yang diyakini Muslim diberi pengetahuan khusus ini dari Allah dan hanya melalui Muhammad pemahaman ini dapat diakses oleh orang).[15]
Manusia bebas menentukan tindakannya dalam ruang lingkup kemungkinan yang diberikan Allah. Dengan demikian, Allah telah menciptakan segala kemungkinan, tetapi manusia bebas untuk memilih.[15]
Pengikut Maturidiyah menyatakan bahwa iman tidak bertambah atau berkurang bergantung pada perbuatan seseorang; melainkan takwa yang bertambah dan berkurang.[19]
Maturidiyah menekankan monoteisme.
Mengenai akidah, tidak seperti ulama penganut Atsariyah (teologi tradisionalis), al-Maturidi tidak berpendapat bahwa malaikat itu pasti sempurna. Merujuk pada ayat Surahal-Baqarah, al-Maturidi mencatat bahwa malaikat juga telah diuji.[20] Merujuk pada Surahal-Anbiyāʼ, ia menunjukkan, malaikat yang mengeklaim sifat-sifat Ketuhanan untuk diri mereka sendiri akan diazab di neraka.[21] Tentang Iblis, juga disebut sebagai Setan, memperdebatkan bahwa Iblis termasuk malaikat atau jin tidak berguna, karena yang lebih penting untuk diketahui, dia telah menjadi musuh manusia.[22]
Maturidiyah meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang diberi akal, sehingga berbeda dari binatang. Hubungan antara manusia dan Allah berbeda dengan hubungan alam dan Allah; karena manusia diberkahi dengan kehendak bebas, tetapi karena kedaulatan Tuhan, Tuhan menciptakan tindakan yang berhak dipilih manusia, sehingga manusia dapat melakukannya. Etika dapat dipahami hanya dengan pemikiran rasional dan tidak memerlukan tuntunan kenabian. Al-Maturidi juga menganggap hadis tidak dapat diandalkan jika bertentangan dengan akal.[23] Lebih lanjut, teologi Maturidiyah menentang antropomorfisme (tasybih) dan keserupaan, tetapi tidak mengingkari sifat-sifat ketuhanan.
Maturidiyah membela gagasan bahwa Surga dan Neraka hidup berdampingan dengan dunia yang fana, berbeda dengan pernyataan Muktazilah bahwa Surga dan Neraka akan diciptakan hanya setelah Hari Penghakiman. Sifat-sifat surga dan neraka sudah berlaku di dunia. Abul-Laith as-Samarqandi (944–983 M) menyatakan bahwa tujuan keberadaan kedua alam akhirat tersebut secara bersamaan adalah agar mereka memahami pentingnya takut kepada Allah.[24]:168
Konsep iman
Doktrin al-Maturidi, berdasarkan teologi dan mahzab fikihḤanafī,[25] menegaskan kemampuan dan kehendak manusia di samping pengagungan Allah dalam tindakan manusia, memberikan kerangka doktrinal untuk fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi yang lebih besar. Maturidiyah berkembang dan menyebar di antara populasi Muslim di Asia Tengah sejak abad ke-10 dan seterusnya.[26]
Menurut Maturidiyah, iman tidak bertambah atau berkurang, bergantung pada pengamatan hukum agama. Sebaliknya, perbuatan selalu mengikuti keimanan. Berdasarkan SurahṬā Hā (ayat 112), jika seorang Muslim tidak melakukan perbuatan yang ditentukan oleh hukum Islam (syariat), dia tidak dianggap keluar dari agama selama dia tidak menyangkal kewajibannya.[27] Menurut al-Maturidi, iman berasal dari hati, bukan perbuatan atau tindakan. Ia mendukung ajarannya dengan mengacu pada SurahAli ʿImrān (ayat 3:22): "Mereka itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak punya penolong." Orang dalam ayat ini adalah orang yang melaksanakan ibadah tanpa iman yang benar di dalam hati mereka. Oleh karena itu, tindakan harus berlandaskan iman untuk dapat diterima Allah.[28] Maturidiyah dikenal dengan posisinya yang tertutup tentang takfir: Berdasarkan Surah Al-Baqarah 30, Kitāb al-ʿĀlim menyatakan bahwa manusia maupun malaikat tidak dapat mengetahui isi hati manusia, sehingga tidak dapat dikatakan siapa yang di dalam hatinya adalah seorang Muslim atau tidak, kecuali pelaku kekafiran.[29] Seseorang yang melakukan dosa belum tentu kafir, tetapi kafir adalah orang yang secara terang-terangan menjauhkan diri dari Allah.[30]
Dikatakan pula bahwa ketaatan kepada Allah yang dipantau oleh para malaikat dan nabi berasal dari pengetahuan orang tentang sifat Allah dan bukan hasil dari penciptaan mereka.[20] Abū al-Qāsim al-Ḥakīm as-Samarqandī (abad ke-9 hingga ke-10 M) menjelaskan tentang kisah Harut dan Marut, yang dianggap berdosa tetapi bukan kafir dalam tradisi Islam.[31] As-Samarqandī lebih lanjut menyatakan bahwa anak-anak tidak dapat dianggap kafir dan semuanya masuk surga.[31] Menurut al-Maturidi, akal manusia harus mengakui keberadaan Tuhan yang menciptakan (bāriʾ) semata-mata berdasarkan pemikiran rasional dan lepas dari wahyu ilahi.[25] Ia berbagi keyakinan ini dengan guru dan pendahulunya Abu Hanifah an-Nu'man (abad ke-8 M), sedangkan ulama abad ke-10 Abū al-Ḥasan al-Asyʿarī tidak pernah memiliki pandangan seperti itu.[25] Meskipun penganut Maturidiyah, seperti kaum Muktazilah, pada realisme etis, yang pertama berpendapat bahwa objek moral pada akhirnya diciptakan oleh Tuhan, sehingga Tuhan tidak terikat olehnya, tetapi akal manusia dapat mendeteksi kebenaran moral itu sendiri.[32]
Yohei Matsuyama menjelaskan kata-kata al-Maturidi tentang iman, merujuk pada kewajiban untuk beriman pada satu pencipta (bāriʾ) atau pembuat (sanī), tidak semata-mata kepada Allah, dan menyimpulkan, keselamatan diperlukan untuk membangun keimanan kepada pencipta, tidak serta merta menerima formulasi teologis atau doktrinal Islam.[33]Toshihiko Izutsu juga berpendapat bahwa "beriman pada Islam" mengacu pada ketundukan kepada sang pencipta, dengan secara sukarela tunduk pada kehendak-Nya, tanpa harus menerima rumusan agama.[34]
Akan tetapi, al-Maturidi tidak memandang semua agama setara.[25] Ia mengkritik orang Kristen, Yahudi, Zoroastrian, dan ateis atau materialis (dahriyah).[25][35] Namun, ia membuat perbedaan antara agama monoteistikAbrahamik lainnya dan agama non-monoteistik non-Abrahamik, serta mengkritik Yahudi dan Kristen tentang masalah nubuatan dan nabi individu, bukan tentang Ketuhanan.[36]Agama-agama dualistik dikritik al-Maturidi mengenai konsepsi mereka tentang Tuhan,[25] dengan alasan bahwa Tuhan Yang Maha Baik, yang hanya menciptakan kebaikan, saling berlawanan dengan iblis, yang melambangkan kejahatan, mengingkari kemahakuasaan Tuhan dan tidak sesuai dengan kesempurnaan sifat Tuhan.[37]
Sebagai akhir dari ekspansi Turki, mazhab teologis Hanafiyyah dan Maturidiyyah tersebar di seluruh Persia, Irak, Anatolia barat, Suriah, dan Mesir. Banyak ulama Transoksiana dan Hanafi timur lainnya bermigrasi ke wilayah ini dan mengajar di sana dari akhir abad ke-5/11 hingga abad ke-8/14. Doktrin Maturidi secara bertahap menjadi dominan di kalangan komunitas Hanafi di seluruh dunia.
^ abHarvey, Ramon (2021). "Chapter 1: Tradition and Reason". Transcendent God, Rational World: A Māturīdī Theology. Edinburgh Studies in Islamic Scripture and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN9781474451673.
^Жусипбек, Галым, Жанар Нагаева, and Альберт Фролов. "Ислам и плюрализм: Что могут предложить идеи школы аль-Матуриди? Журнал Аль-Фараби, Алматы, No 4 (56), 2016 (p. 117-134)." "On the whole, the authors argue that the Maturidi school which is based on 'balanced theological rationalism', 'metaphysics of diversity', 'subjectivity of faith' and 'to be focused on justice and society-centeredness'"
^Schlesinger, Sarah J. "The Internal Pluralization of the Muslim Community of Bosnia-Herzegovina: From Religious Activation to Radicalization." Master’s Research Paper. Boston University (2011).
^Akimkhanov, Askar Bolatbekovich, et al. "Principles of Abu Mansur al-Maturidi, Central Asian Islamic theologian preoccupied with the question of the relation between the Iman/Credo and the action in Islam." European Journal of Science and Theology 12.6 (2016): 165-176.
^Yüksek Lisans Tezi Imam Maturidi'nin Te'vilatu'l-kur'an'da gaybi konulara İstanbul-2020 2501171277
^T.C.
İSTANBUL ÜNİVERSİTESİ
SOSYAL BİLİMLER ENSTİTÜSÜ
TEMEL İSLAM BİLİMLERİ ANABİLİM DALI
YÜKSEK LİSANS TEZİ
İMAM MÂTURİDÎ’NİN
TE’VÎLÂTU’L-KUR’ÂN’DA GAYBÎ KONULARA
YAKLAŞIMI
ELİF ERDOĞAN
2501171277
DANIŞMAN
Prof. Dr. Yaşar DÜZENLİ
İstanbul-202
^Rico Isaacs, Alessandro Frigerio Theorizing Central Asian Politics: The State, Ideology and Power Springer, 2018 ISBN9783319973555 p. 108
^Lange, Christian (2016). Paradise and Hell in Islamic Traditions. Cambridge United Kingdom: Cambridge University Press. ISBN978-0-521-50637-3.
^Yerzhan, K. "Principles of Abu Mansur Al-Maturidi, Central Asian Islamic Theologian Preoccupied With.pdf." A. Akimkhanov, A.Frolov, Sh.Adilbaeyva, K.Yerzhan (2016): n. pag. Print.
^Akimkhanov, Askar Bolatbekovich, et al. "Principles of Abu Mansur al-Maturidi, Central Asian Islamic theologian preoccupied with the question of the relation between the Iman/Credo and the action in Islam." European Journal of Science and Theology 12.6 (2016): 165-176.
^Rudolph, Ulrich. al-Māturīdī and the Development of Sunnī Theology in Samarqand. Brill, 2014.
^Rudolph, Ulrich. al-Māturīdī and the Development of Sunnī Theology in Samarqand. Brill, 2014.
^ abTritton, A. S. "An Early Work from the School of Al-Māturīdī." Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, no. 3/4, Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, 1966, pp. 96–99, http://www.jstor.org/stable/25202926.
^The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy. (2015). Vereinigtes Königreich: Bloomsbury Publishing. p. 311
^Zhussipbek, Galym, and Bakhytzhan Satershinov. "Search for the theological grounds to develop inclusive Islamic interpretations: Some insights from rationalistic Islamic Maturidite theology." Religions 10.11 (2019): 609. p. 5
^Zhussipbek, Galym, and Bakhytzhan Satershinov. "Search for the theological grounds to develop inclusive Islamic interpretations: Some insights from rationalistic Islamic Maturidite theology." Religions 10.11 (2019): 609. p. 6
^Zhussipbek, Galym, and Bakhytzhan Satershinov. "Search for the theological grounds to develop inclusive Islamic interpretations: Some insights from rationalistic Islamic Maturidite theology." Religions 10.11 (2019): 609. p. 3
^Bürgel, J. Christoph. "Zoroastrianism as Viewed in Medieval Islamic Sources." Muslim Perceptions of Other Religions (1999): 202-212.