Hasan Basri Durin
Hasan Basri Durin gelar Datuak Rangkayo Mulia Nan Kuniang (15 Januari 1935 – 9 Juli 2016) adalah mantan politikus Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wali Kota Jambi (1966 - 1968), Wali Kota Padang (1972 - 1983), Pembantu Gubernur Sumatera Barat wilayah II (1983 - 1987), Gubernur Sumatera Barat dua periode (1987 -1997), Ketua Fraksi Utusan Daerah MPR (FUD, MPR) tahun 1998 dan Menteri Negara Urusan Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (1998 - 1999).[1] Hasan Basri Durin lahir dan dibesarkan di kampung halamannya yang bernama Nagari Jaho, sebuah desa atau nagari yang terletak di dekat Padang Panjang. Setelah menamatkan SMA di Bukittinggi, ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sebelum terjun ke dunia politik, ia sempat bekerja sebagai Sekretaris Panitia Pemilihan Daerah (PPD) Jambi dan Sumatera Barat. Pada bulan Oktober 1971, ia diangkat sebagai Penjabat Wali Kota Padang, kemudian menggantikan Akhiroel Yahya menjadi Wali Kota Padang selama dua periode dari tahun 1973 hingga tahun 1983. Setelah itu, ia menggantikan Azwar Anas sebagai Gubernur Sumatera Barat dan menjabatnya dari tahun 1987 sampai 1997. Setelah Presiden Suharto lengser kemudian digantikan oleh B.J. Habibie, ia diangkat menjadi Menteri Negara Agraria dalam Kabinet Reformasi Pembangunan dan menjabatnya sampai ketika kementerian itu dihapus oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1999. Riwayat HidupKehidupan awalHasan Basri Durin lahir pada 15 Januari 1935 di Nagari Jaho, yang kini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Ayahnya, yakni Mahmud Durin Datuk Majo Indo adalah guru di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho, sementara ibunya bernama Darama.[2] Ia menjalani masa kecil bersama keluarganya di kampungnya. Ia masuk Sekolah Desa di Jaho, kemudian meneruskan pendidikannya ke SMP di Padang Panjang pada akhir tahun 1947. Setamat SMP, karena gagal dalam tes kesehatan untuk masuk Sekolah Guru Atas (SGA), ia memutuskan untuk masuk ke SMA di Bukittinggi.[2] Setelah tamat pada tahun 1954, ia berambisi untuk masuk ke Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Batusangkar, tetapi kembali gagal ketika mengikuti tes. Pada akhir tahun 1954, ia memutuskan meninggalkan kampungnya dengan menaiki kapal dari Teluk Bayur menuju Jakarta untuk mengikuti tes penerimaan pegawai Departemen Luar Negeri. Tidak lama setelah menapakkan kaki di perantauan, datanglah surat pemberitahuan kepada orang tuanya yang tinggal di Padang Panjang bahwa ia mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan beasiswa ikatan dinas dari Departemen Dalam Negeri. Dari Jakarta, Hasan Basri Durin kemudian melanjutkan perantauannya ke Yogyakarta. Hasan Basri Durin mempunyai empat orang anak. Putra tertua Hasan bernama Weno Aulia. Weno merupakan pengusaha yang bergerak di bidang minyak dan gas. Makanan cepat saji dan sejumlah usaha lainnya. Selain pengusaha, Weno juga aktif di politik. Dia bernaung dibawah partai Golkar dan menjabat sebagai ketua Kosgoro Sumatera Barat. Weno memiliki dua orang anak dari pernikahannya dengan Prof. Dr. Diana Kartika. Diana pernah menjabat wakil rektor Universitas Bung Hatta. Kampus yang didirikan oleh Hasan Basri Durin. Dan Diana merupakan guru besar di universitas terkemuka di Sumatera Barat itu. KarierSetelah tamat dengan meraih gelar sarjana muda di UGM pada tahun 1958, ia segera ditugaskan oleh Departemen Dalam Negeri di Jambi sebagai Sekretaris Panitia Pemilihan Daerah (PPD). Setelah dua tahun bertugas di Jambi, ia melanjutkan pendidikan tingkat doktorandus di UGM. Ketika itulah, sekitar awal 1960, Hasan Basri Durin berjumpa dengan Zuraida Manan, gadis sekampungnya yang telah dikenalnya sejak SMA, lalu mempersuntingnya. Pada akhir tahun 1960, ia menyelesaikan studi doktoralnya di UGM, kemudian ia segera ditugaskan kembali di Jambi sebagai Sekretaris Wali Kota Jambi. Untuk memperdalam pengetahuan di bidang pemerintahan, ia dikirim ke Universitas Negeri Wayne di Michigan, Amerika Serikat dari tahun 1962 sampai 1963.[3] Pulang dari Amerika, ia dipercaya menjadi Penjabat Wali Kota Jambi (1966–1968) saat usianya waktu itu baru mencapai 31 tahun. Namun, intrik-intrik politik di Jambi mengakibatkan ia harus meninggalkan daerah itu.[4] Pada tahun 1970, ia menjabat Sekretaris PPD Sumatera Barat. Pada tahun 1971 ia diangkat sebagai Penjabat Wali Kota Padang,[5] yang kemudian mengantarkan dirinya menjadi Wali Kota Padang dari tahun 1973 hingga tahun 1983.[6][7] Empat tahun berikutnya ia menjabat Pembantu Gubernur Sumatera Barat Wilayah II, sebelum kemudian terpilih sebagai Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1987–1997), menggantikan Azwar Anas yang sebelumnya juga telah menjabat selama dua periode. Setelah turun dari jabatan Gubernur Sumatera Barat, ia terpilih menjadi Ketua Fraksi Utusan Daerah MPR-RI (1997).[8] Setelah itu, ia diangkat sebagai Menteri Negara Agraria dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpin Presiden B.J. Habibie.[9][10][11] Pada saat itu, politik Indonesia sedang berada di awal pusaran badai reformasi yang kemudian berhasil melengserkan Suharto dari kursi presiden dan akhirnya menumbangkan Rezim Orde Baru, sementara B.J. Habibie yang menggantikan Suharto tidak berhasil mengendalikan kapal politik Indonesia yang sedang oleng itu.[12] Sedikit banyaknya kondisi yang demikian juga berimbas kepada Hasan Basri Durin, seperti fitnahan-fitnahan korupsi terhadap dirinya semasa menjabat Gubernur Sumatera Barat yang antara lain berakibat pada terjadinya insiden penyanderaan terhadap dirinya dalam bus ketika mengunjungi Kampus IKIP Padang (kini Universitas Negeri Padang) di Air Tawar, Padang pada 27 Agustus 1998.[13][14] Pada 23 Oktober 1999, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menggantikan B.J. Habibie melantik kabinetnya. Namun, Gus Dur menghapus Kementerian Agraria. Bersamaan dengan itu, karier politik Hasan Basri Durin, yang telah dijalaninya selama 43 tahun berakhir. KematianHasan Basri Durin meninggal dunia pada hari Sabtu, 9 Juli 2016, pukul 00.30 WIB di kediamannya Pancoran, Jakarta Selatan karena pendarahan otak.[1] Ia meninggalkan empat orang anak dan sebelas orang cucu. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.[15] Tanda KehormatanDalam Negeri
Luar Negeri
Rujukan
Pranala luar
|