Gempa bumi Jawa 1867
Gempa bumi besar Jawa 1867 terjadi pada 10 Juni 1867, hari senin, pada pagi hari perkiraan pukul 04.20 waktu setempat. Gempa itu berpusat di Bantul di lepas pantai selatan pulau Jawa, Hindia Belanda dengan perkiraan magnitudo 7.8 Mw, salah satu gempa bumi terkuat yang pernah mengguncang Pulau Jawa. Kehancuran yang meluas terjadi di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di mana sebanyak 700 hingga 1.000 orang tewas, termasuk 236 orang tewas di Surakarta. Gempa bumi intraslab dengan kedalaman menengah ini tidak menyebabkan tsunami. Peristiwa gempa ini terdokumentasi secara baik oleh catatan Hindia Belanda, dan menjadikan salah satu peristiwa terdahsyat yang pernah melanda Yogyakarta.[1] Gempa bumiGuncangan utama, gempa bumi mungkin disertai dengan gempa pendahuluan yang tidak terlalu kuat, pada tanggal 17 Mei 1865, dan gempa susulan masing-masing pada tanggal 28 Maret 1875. Peristiwa ini dianggap mewakili peningkatan seismik di Lempeng Australia yang menunjam. Model simulasi gempa kerak dangkal dan zona subduksi besar tidak konsisten dengan laporan sejarah. Kurangnya pengamatan terhadap tsunami membantah teori gempa zona subduksi, sedangkan teori gempa kerak dangkal tidak sejalan dengan pemahaman tektonik pulau tersebut. Pemodelan gempa intraslab berkekuatan 7,8 pada kedalaman 80 km (50 mil) sesuai dengan laporan mengenai kerusakan yang meluas, berintensitas tinggi, dan berat. DampakKerusakanGempa dirasakan dari Banten, hingga Bali, sepanjang 900 km. Perkiraan (MMI VIII-IX) di Yogyakarta. Getaran gempa berlangsung selama 70 detik membuat kota Yogyakarta dan sekitarnya, porak poranda. Ribuan orang tewas dan puluhan ribu rumah rusak parah. Monumen Golong Gilig (sekarang: Tugu Yogyakarta) pun ikut runtuh sebagian. Apalagi gempa Yogyakarta diiringi suara gemuruh bangunan bergerak yang sangat hebat. Semua orang di Yogyakarta mengenalnya sebagai tahun bencana. “Keakraban” nusantara dengan gempa bumi bukan rahasia lagi. Kepulauan ini memang rawan gempa sejak dahulu kala. Catatan perjalanan para selebriti dunia, seperti Letnan Gubernur Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-1826) dan Naturalis Alfred Russel Wallace adalah beberapa di antaranya. Raffles mengamati, banyak candi-candi nusantara yang runtuh akibat gempa. Wallace juga punya pendapatnya sendiri. Ia menyebutkan, dari sekian banyak tempat yang pernah ia kunjungi, wilayah nusantara merupakan wilayah yang paling rawan gempa bumi. Wallace mengamati hal tersebut saat ia melangkah ke Manado, (Sulawesi) pada tahun 1858. Pasca gempa kerusakan parah pada beberapa bangunan. Lokasi terkenal seperti Bangsal Manis, Bangsal Srimanganti, Witana di Sitihinggil, Gedhong Panggung, Masjid Besar Serambi, dan Kompleks Istana Tamansari mengalami tingkat kerusakan yang bervariasi. Selain itu, Masjid Agung Surakarta dan ikon Tugu Pal Putih mengalami kerusakan parah. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengalami kerusakan rusak berat. Beberapa bangunan di kompleks istana Taman Sari hancur. Fitur air di area tersebut terkuras. Kompleks yang rusak akhirnya menjadi tempat tinggal para penghuni liar. Candi Sewu[2] di Klaten mengalami keruntuhan total pada struktur kubah utamanya.[3] Sebelum peristiwa Gempa 1867, pada tahun 1865, Gunung Merapi sempat meletus selama beberapa minggu, mengeluarkan asap, abu, dan menandakan akan terjadi sesuatu yang buruk di seluruh Pulau Jawa. Dua tahun kemudian, pertanda buruk mulai terlihat: pada tanggal 10 Juni 1867, gempa bumi dahsyat melanda Yogyakarta dan menyebabkan kerusakan parah baik di kota maupun sekitarnya. Ribuan orang kehilangan nyawa dan banyak rumah serta bangunan di kota hancur,” ujar Werner Kraus dalam buku Raden Saleh: Hidup dan Karyanya (2018).[4] KorbanTotal korban tewas akibat gempa bumi Yogyakarta tahun 1867, bervariasi antara 700 hingga 1,000 orang tewas. Di Surakarta, sedikitnya 236 orang tewas. 12 korban jiwa diantaranya orang Eropa. Empat orang tewas tertimpa bangunan batu yang runtuh di sebuah kamp di Kabupaten Pekalongan. Kerusakan parah juga dilaporkan terjadi di Bantul. Di Salatiga, gempa menyebabkan jam berhenti pada saat kejadiannya: 04:21, namun goncangan berlangsung hingga pukul 04:22. Di Gunung Merapi banyak terjadi tanah longsor.[5] Kerusakan sedang pada fasilitas pabrik dan industri dilaporkan terjadi di Bandjardjawa. Efek dari gempa tersebut juga dirasakan pada kapal yang berlabuh di Batavia yang terletak ratusan mil jauhnya. Ratusan rumah roboh di Kabupaten Semarang dan puluhan orang dilaporkan tewas. Terjadi tanah longsor besar di Wonosobo dan Purwokerto. Di Surabaya, sebuah gereja retak dan pabrik gula rusak. Resiko gempa bumiBerdasarkan hasil simulasi dari National hazard, wilayah Yogyakarta dan sekitarnya kini memiliki populasi lebih dari 3,7 juta jiwa. Jika terjadi gempa bumi dengan intensitas yang sama terjadi kembali, diperkirakan akan menyebabkan sekitar 60.000 korban jiwa.[6] Ancaman di masa depanPesisir selatan Jawa dikenal sangat aktif secara seismik. Gempa bumi intraslab dengan kedalaman antara 60–100 km (37–62 mi) terjadi secara berulang di wilayah selatan Yogyakarta.[7] Gempa bumi besar antara tahun 1840 dan 2006 tercatat secara historis atau instrumental di dekat Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah. Banyak dari gempa bumi ini menimbulkan kerusakan, atau bahkan menimbulkan korban jiwa.[8] Beberapa peristiwa besar terjadi pada gempa tahun 1840, 1867, dan 1875. Peristiwa besar lainnya terjadi pada gempa bumi tahun 1926,[9] lalu gempa pada 1937,[10] dan terakhir gempa bumi tahun 1943. Beberapa seismolog memperingatkan, bahwa peristiwa serupa dapat terjadi di masa mendatang.[11] Lihat juga
Referensi
|