Masa pemerintahan Ali
Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sepupu nabi Islam Muhammad, Imam Syiah pertama, dan salah satu dari empat anggota Khulafaur Rasyidin setelah Abu Bakar (m. 632–634), Umar (m. 634–644), dan Utsman (m. 644–656); diakui sebagai khalifah keempat dan penguasa tertinggi negara Islam Kekhalifahan Rasyidin pada tahun 656 setelah pendahulunya yaitu Utsman dibunuh oleh pemberontak Mesir di tengah tuduhan nepotisme, ketidakadilan, dan korupsi yang tersebar luas. Ali melakukan perubahan radikal segera setelah aksesinya di Madinah dan kebijakannya yang sangat egaliter memberinya dukungan dari kelompok-kelompok yang kurang mampu dan mengesampingkan suku Quraisy yang kuat. Beberapa di antara tokoh terkemuka Quraisy memberontak melawan Ali dengan dalih balas dendam untuk Utsman di Pertempuran Jamal (656) dan Pertempuran Siffin (657). Pertempuran Siffin berakhir dengan perjanjian damai yang gagal dan beberapa pendukung Ali yang membelot kemudian mendirikan Khawarij, sekte yang dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan Ali pada tahun 661 saat ia memimpin salat subuh. Bagi sebagian orang, kekhalifahan singkat Ali dicirikan oleh kejujurannya, pengabdiannya yang teguh pada Islam, perlakuannya yang setara terhadap para pendukungnya, dan kemurahan hatinya terhadap musuh-musuhnya yang dikalahkan. Sementara sejarawan lain mengkritik kebijakannya karena terlalu idealis dan tidak memiliki fleksibilitas politik. SejarahLatar belakangSetelah kematian Muhammad, Abu Bakar (m. 632–634) terpilih sebagai khalifah pertama pada pertemuan Saqifah Bani Sa'idah.[1] Ia memerangi sejumlah pemberontak dan mengirimkan berbagai ekspedisi ke wilayah Suriah yang berada di bawah kendali Kekaisaran Bizantium.[2] Pemerintahannya yang singkat berakhir ketika ia meninggal dunia pada 634 M. Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab (m. 634–644), yang membawa Kekhalifahan Rasyidin menuju masa-masa kejayaannya setelah berhasil menaklukan seluruh Kekaisaran Sasaniyah, Mesopotamia, Suriah, dan Mesir pada 643.[3] Pemerintahan Umar berakhir ketika ia dibunuh pada tahun 644 dan digantikan oleh Utsman bin Affan (m. 644–656),[4] penerusnya yang dipilih melalui komite beranggotakan enam orang yang telah dibentuk oleh Umar sebelum kematiannya.[5] Pada awal masa pemerintahan Utsman, keadaan tetap stabil dan kekhalifahan Rasyidin menjadi negara yang sejahtera. Namun, Utsman memilih untuk mengontrol negara dengan mengandalkan kerabat-kerabatnya dari Bani Umayyah. Ia menunjuk kerabatnya untuk semua jabatan gubernur dan menunjuk sepupunya yaitu Marwan bin al-Hakam sebagai sekretarisnya.[6][7] Sumber-sumber awal cenderung menuduh bahwa Marwan dan kerabat Utsman lainnya menggunakan jabatan mereka untuk memperdayai Utsman dan berhasil menguasainya.[8] Selain itu, masyarakat juga mengadukan perilaku tirani dari gubernur-gubernur yang ditunjuk oleh Utsman kepada para sahabat senior, di antaranya adalah Abu Dzar, Ibnu Mas'ud, dan Ammar bin Yasir.[9] Ali sendiri secara terbuka mengkritik Utsman, dan seringkali melindungi para sahabatnya (termasuk Abu Dzar dan Ammar yang melakukan protes secara terang-terangan) dari murka khalifah.[10] Meskipun demikian, Ali turut membantu Utsman meredakan pergolakan dan bahkan ikut serta dalam menenangkan gerakan oposisi.[11][12] Ketegangan terus berlanjut selama tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Utsman. Kekhalifahannya sekarang ditentang oleh Bani Makhzum, Bani Hasyim, Bani Zuhrah serta berbagai klan Quraisy lainnya yang menarik dukungan mereka terhadap Utsman.[13] Utsman dituduh melakukan tindak nepotisme dan korupsi.[14][15] Oposisi terhadap Utsman meningkat dan dalam waktu singkat berubah menjadi pemberontakan. Masyarakat yang kecewa melakukan aksi demonstrasi di rumah Utsman (di Madinah), dan aksi demonstrasi berubah menjadi pengepungan setelah terbunuhnya salah seorang partisan.[16] Ali sendiri telah mengirim kedua putranya, Hasan dan Husain untuk menjaga keamanan Utsman.[17][18] Pada 17 Juni 656, beberapa pemberontak menerobos masuk ke dalam rumah dan membunuh Utsman yang sedang membaca al-Qur'an,[19] sementara Hasan bersama penjaga keamanan lainnya seperti Ibnu Zubair dan Sa'id bin al-Ash dilaporkan terluka.[20] PelantikanSetelah kematian Utsman, kandidat potensial khalifah adalah Ali dan Thalhah bin Ubaidillah,[21] sementara Bani Umayyah telah melarikan diri ke Suriah dan para pemberontak menguasai Madinah.[21] Thalhah mungkin mendapatkan sejumlah dukungan di Mesir, sementara Ali didukung oleh mayoritas Anshar dan para pemberontak.[21][22][23] Para kepala suku utama juga menyukai Ali pada saat itu.[24] Pada awalnya, Ali menolak untuk dilantik menjadi khalifah dan mengatakan bahwa ia lebih suka menjadi wazir (terj. har. 'menteri'), mungkin karena ia tidak ingin terlibat lebih jauh lagi dengan politik.[25] Menurut beberapa sejarawan, Ali menolak jabatan khalifah karena khawatir akan dicurigai sebagai dalang utama pembunuhan Utsman.[26] Namun, masyarakat terus mendesaknya, yang menyebabkan Ali terpaksa menerima jabatan khalifah.[27] Ali dibai'at sebagai khalifah keempat di Masjid Nabawi di Madinah sehari atau beberapa hari setelah pembunuhan Utsman.[28][29][30] Oposisi Aisyah dan MuawiyahAli menghadapi situasi yang berbeda dengan masa pemerintahan Abu Bakar (m. 632–634) dan Umar (m. 634–644). Pada masa kedua khalifah pertama, umat Islam masih bersatu. Mereka juga memiliki banyak permasalahan yang harus diselesaikan seperti perluasan wilayah Islam, pembangunan negara, dan penunjukan para pejabat.[31] Ketika Ali memecat sejumlah gubernur dan pejabat, ia menghadapi berbagai kelompok yang menentang kebijakan tersebut. Hal ini dianggap sebagai penyebab munculnya pemberontakan.[21] Setelah mendengar aksesi Ali di Madinah, Aisyah yang merupakan salah satu janda Muhammad segera memosisikan dirinya di Makkah dan secara terbuka menyalahkan pembunuhan Utsman kepada Ali.[32] Hal ini sejalan dengan kekhawatiran Ali sebelumnya.[26] Aisyah segera bergabung dengan kedua tokoh besar Quraisy, Thalhah dan Zubair serta mendeklarasikan perlawanan terhadap kekhalifahan Ali.[33][34] Aisyah segera mengumpulkan pasukan dan bergerak ke Basra sambil menyerukan pencopotan jabatan Ali sebagai khalifah,[35] sementara Ali menolak dan menegaskan bahwa dirinya adalah khalifah yang sah.[36] Akibat dari perselisihan ini adalah Pertempuran Jamal (656), di mana Ali berperang melawan pasukan Aisyah, Thalhah, dan Zubair di sekitar wilayah Basra.[37][38] Aisyah sendiri dibawa ke medan pertempuran dengan ditandu di atas Unta merah, yang kemudian menjadi asal dari nama pertempuran tersebut.[39] Pada pertempuran ini, Ali berhasil memenangkan pertempuran dan Aisyah dikembalikan ke Makkah,[40] sementara Thalhah dan Zubair terbunuh selama pertempuran.[41][42] Setelah Ali memindahkan ibukota ke kota garnisun Kufah, Ali mengirim sebuah surat kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Suriah yang telah memerintah Suriah sejak masa pemerintahan Umar.[43] Dalam surat tersebut, Ali memerintahkan Muawiyah agar segera berbai'at kepada Ali dan secara khusus memberitahukan bahwa Ali berencana untuk memberhentikan Muawiyah dari jabatannya.[44][43] Setelah menerima surat tersebut, Muawiyah segera bergabung dengan jenderal Mesir Amr bin Ash dan melancarkan propaganda di seluruh Suriah serta menuduh Ali sebagai dalang di balik pembunuhan Utsman.[45][46][47][48] Dalam propagandanya, Muawiyah juga menyerukan balas dendam Bani Umayyah atas pembunuhan Utsman, di mana Muawiyah menegaskan bahwa Utsman dibunuh secara tidak sah.[47][48] Meskipun begitu, sejumlah sejarawan berpendapat bahwa seruan balas dendam Muawiyah hanyalah sebagai dalih untuk merebut kekuasaan,[49][50][51][52] sementara Amr telah dijanjikan jabatan gubernur Mesir seumur hidup apabila mendukung Bani Umayyah dalam pemberontakan melawan Ali.[53] Pada akhirnya, Ali menghadapi Muawiyah dan Amr pada Pertempuran Siffin (657) yang berakhir dengan perjanjian damai yang gagal dan pembentukan kelompok ekstremis Khawarij.[54][55][56] KhawarijSebelum Pertempuran Siffin berakhir, beberapa orang pendukung Ali memprotes perjanjian damai yang akan diselenggarakan dan mendirikan kelompok baru yang disebut sebagai Khawarij.[57][42] Kelompok ini mungkin terbentuk karena kekhawatiran mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas pembunuhan Utsman.[58] Sementara itu, perjanjian damai yang sebelumnya telah direncanakan gagal dan Ali bersiap untuk menghadapi konfrontasi kedua dengan Mu'awiyah.[54][59][56] Ketika Ali mendengar oposisi dari kelompok Khawarij, Ali segera mengunjungi mereka untuk menenangkan mereka dan secara khusus mengundang mereka untuk kembali mendukungnya.[60][61] Usulan Ali ditolak oleh Khawarij, yang menyebabkan Ali terpaksa berangkat ke Suriah untuk menghadapi Mu'awiyah tanpa bersama mereka.[62] Namun, ketika Ali mendengar kaum Khawarij melakukan kekerasan dan membunuh banyak orang yang tidak sependapat dengan mereka,[63][60] Ali memutuskan untuk mengubah arah pasukan ke markas Khawarij di Nahrawan dan memerangi mereka semua pada Pertempuran Nahrawan (658).[63] Pembunuhan AliSetelah Pertempuran Nahrawan berakhir, salah seorang loyalis Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam berkumpul bersama kedua temannya di sebuah rumah.[64] Mereka merasa simpati dengan rekan-rekan mereka yang terbunuh dan merencanakan pembunuhan Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin Ash yang menurut mereka menjadi dalang utama perang saudara.[65] Dari ketiga orang yang ditargetkan, hanya Ali yang berhasil dibunuh.[66] Ali dipukul menggunakan pedang beracun oleh Ibnu Muljam pada bulan Januari 661 pada saat memimpin salat subuh di Masjid Agung Kufah.[42] Seluruh sejarawan Muslim sepakat bahwa Ali melarang putra-putranya untuk menyakiti Ibnu Muljam dan menetapkan bahwa apabila ia sembuh, maka Ibnu Muljam akan dibebaskan, namun apabila ia meninggal dunia maka Ibnu Muljam akan diberikan satu pukulan yang sama, terlepas dari apakah Ibnu Muljam mati atau tidak setelah terkena pukulan itu.[67] Putra tertua Ali, Hasan, mengikuti instruksi ini dan Ibnu Muljam kemudian dieksekusi sebagai pembalasan.[68] Kematian Ali membuat Kekhalifahan Rasyidin melemah dan keruntuhannya semakin diperkuat tatkala Hasan yang ditunjuk sebagai pengganti ayahnya menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abu Sufyan.[69][70] Penyerahan jabatan ini sekaligus menandai keruntuhan Kekhalifahan Rasyidin dan pendirian Kekhalifahan Umayyah oleh Muawiyah.[71] KeadilanSejarawan asal Italia, Laura Veccia Vaglieri, menggambarkan Ali sebagai orang yang sangat setia pada tujuan Islam,[72] dan pandangannya diterima oleh banyak kalangan.[56][73] Dengan demikian, kekhalifahan singkat Ali dicirikan oleh keadilannya yang ketat, seperti yang dicatat oleh Reza Shah-Kazemi,[74] Wilferd Madelung,[73] Moojan Momen,[56] Mahmoud M. Ayoub,[75] John Esposito,[76] Hassan Abbas,[77] dan banyak sejarawan modern lainnya.[78] Dalam pidato pengukuhannya, Ali menegur umat Islam karena menyimpang dari jalan yang lurus setelah kematian Muhammad,[79] dan menambahkan bahwa mereka harus memprioritaskan kebajikan dibanding harta dan dunia.[80] Dia berjanji bahwa tanah publik yang diberikan oleh Utsman kepada para kerabatya akan diambil kembali dan dikembalikan kepada rakyat.[81][82] Dengan maksud memulihkan visi pemerintahan kenabian,[83][84] Ali memberlakukan sejumlah kebijakan kontroversial yang digambarkan sebagai "pemerintahan revolusioner" oleh sejarawan Syiah Muhammad H. Thabathaba'i.[80] Ali segera memberhentikan hampir semua gubernur yang pernah mengabdi pada Utsman,[34] mengatakan bahwa orang-orang seperti itu tidak boleh diangkat ke jabatan mana pun.[85] Dia mengganti mereka dengan orang-orang yang dianggapnya saleh,[86][87] sebagian besar dari Anshar dan Bani Hasyim.[86] Ali juga membagikan dana perbendaharaan secara merata di antara umat Islam, mengikuti praktik Muhammad.[88] Dia dikatakan tidak mentolerir korupsi, seperti yang terlihat dari instruksi untuk komandannya, Malik al-Asytar,[89] dan juga dari surat peringatannya kepada pejabatnya Ziyad bin Abihi[89] dan sepupunya Ibnu Abbas.[90] Beberapa dari mereka yang terkena dampak kebijakan ini segera memberontak melawan Ali dengan dalih balas dendam untuk Utsman.[91] Di antara mereka adalah Mu'awiyah bin Abu Sufyan, gubernur petahana Suriah.[92] Veccia Vaglieri mengkritik Ali karena "kekakuan yang berlebihan", dan mengatakan bahwa dia tidak memiliki fleksibilitas politik.[72] Wilferd Madelung juga memandang kebijakan Ali di atas sebagai indikasi kenaifan politiknya dan keengganannya untuk mengkompromikan prinsip-prinsipnya demi kepentingan politik.[93] Mahmoud M. Ayoub mengatakan bahwa Ali tidak naif secara politik tetapi idealis,[94] menambahkan bahwa kejujuran Ali yang tanpa kompromi dan kebijakannya yang sangat egaliter mengesampingkan orang Arab dan suku Quraisy yang kuat.[95] Namun, para sejarawan mengakui bahwa sifat-sifat Ali ini juga mengubahnya menjadi teladan kebajikan Islam bagi para pengikutnya.[96][95] Thabathaba'i dan Ayoub mengemukakan bahwa Ali memerintah dengan kebenaran daripada fleksibilitas politik.[91][84][97] Namun menurut Ayoub, fleksibilitas politik tetap menjadi kualitas kepemimpinan Muhammad.[84][98] Pandangannya ditolak oleh Thabathaba'i yang menegaskan bahwa Islam tidak pernah mengizinkan kompromi atas alasan keadilan.[99][97] Untuk mendukung pandangannya, Thabathaba'i mencatat bahwa Muhammad berulang kali menolak seruan perdamaian dari musuh-musuhnya dengan imbalan membiarkan dewa-dewa mereka dan meninggalkan dakwah.[99] Shah-Kazemi juga mengatakan bahwa Muhammad mengangkat beberapa mantan musuhnya ke posisi kepemimpinan untuk memberi mereka kesempatan membuktikan pengabdian mereka untuk Islam, tanpa mengkompromikan prinsip-prinsipnya. Sebaliknya, membenarkan orang-orang yang diberhentikan Ali sama saja dengan mengabaikan korupsi mereka dan merusak landasan moral kekhalifahannya.[100] Ali Bahramian menyatakan bahwa mengganti gubernur adalah satu-satunya tindakan yang tersedia bagi Ali, baik secara prinsip maupun dalam praktik. Dia juga mencatat bahwa ketidakadilan adalah keluhan utama para pemberontak provinsi dan mereka akan berbalik melawan Ali seandainya dia mengukuhkan gubernur Utsman.[42] Hal ini disetujui oleh Shah-Kazemi, yang menambahkan bahwa pemerataan kekayaan negara oleh Ali merupakan perubahan yang diperlukan untuk mengatasi dampak sosial yang tak terelakkan dari ketidaksetaraan besar yang tercipta di bawah pemerintahan Umar dan Utsman.[101] Otoritas agamaAli memandang dirinya tidak hanya sebagai pemimpin politik tertinggi umat Islam, tetapi juga sebagai otoritas keagamaan yang eksklusif.[102][50] Ini terbukti dalam pidato pengukuhannya sebagai khalifah, [79] sementara Hugh N. Kennedy turut menyatakan bahwa Ali melihat penguasa sebagai sosok karismatik yang membimbing umat Islam.[103] Ali dengan demikian mengklaim otoritas agama untuk menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah,[104] dan khususnya pesan esoteris dari naskah tersebut.[105] Dia dihormati karena dia penerus Muhammad. Ath-Thabari menulis bahwa bahwa Ali mengatakan, "Kami berperang melawan mereka atas isi wahyu yang eksoterik (zahir) dan hari ini kami melawan mereka karena pesan esoterisnya (batin)".[106] Klaim Ali ini membedakannya dari para pendahulunya yang mungkin dipandang hanya sebagai pelaksana hukum Tuhan.[107] Sebagai imbalannya, beberapa pendukung Ali benar-benar menganggapnya sebagai pemimpin yang dibimbing oleh Tuhan.[108] Beberapa pendukungnya juga mengaku merasakan ikatan kesetiaan spiritual yang absolut dan mencakup segalanya yang melampaui politik.[109] Keberadaan kelompok ini dibuktikan dengan riwayat Sunni dan Syiah dari Pertempuran Shiffin (657) dan beberapa karya sastra yang berasal dari Fitnah Pertama (656–661).[108] Setelah Khawarij membelot dari Ali, sekitar empat puluh ribu pendukungnya menawarkan bai'at dan berjanji untuk mendukung setiap pendukung Ali dan memusuhi musuh-musuh Ali.[110] Termasuk di antara jajaran pendukung setia Ali ini adalah kaum Anshar dan suku-suku dari Jazirah Arab selatan.[111] Para pendukung ini membenarkan kesetiaan mutlak mereka kepada Ali atas dasar jasa-jasanya dalam Islam,[112] hubungan kekerabatannya dengan Muhammad,[113] dan juga pidato terakhir Muhammad di Ghadir Khum tak lama sebelum kematiannya pada tahun 632 dengan ucapannya yang terkenal,[109]
Banyak dari para pendukung Ali memandangnya sebagai pewaris Muhammad dan penggantinya yang sah setelah kematiannya,[114] hal ini paling tidak dibuktikan oleh puisi-puisi yang ditulis pada masa itu.[115][116] Kata wasi (terj. har. 'pewaris') ini juga muncul dalam pidato pelantikan Ali yang dicatat dalam buku Tarikh al-Ya'qubi karya sejarawan Islam Ya'qubi.[116] Namun, ada sebuah laporan dari ath-Thabari yang menghubungkan gagasan Ali sebagai wasi Muhammad dengan tokoh legendaris Abdullah bin Saba'. Husain M. Jafri dan Maria M. Dakake menolak kaitan ini dengan mengatakan bahwa istilah wasi tersebut digunakan secara luas di kalangan pendukung Ali selama Pertempuran Shiffin.[115][117] Pada saat yang sama, representasi Syiah tentang Abu Bakar dan Umar sebagai perampas hak-hak Ali tidak ada dalam wacana sejarah (Sunni).[112] Kebijakan fiskalAli menentang kontrol terpusat atas pendapatan provinsi.[118] Dia juga membagi rata pajak dan rampasan di antara umat Islam,[118][72] mengikuti preseden Muhammad dan Abu Bakar.[119][88] Ayoub dan Jafri menulis bahwa Ali membagikan isi perbendaharaan Kufah setiap hari Jumat.[120][121] Praktek ini mungkin menunjukkan pandangan egaliter Ali,[78] yang dengan demikian berusaha mengungkap tatanan sosial yang didirikan di bawah pendahulunya:[87] Umar mendistribusikan pendapatan negara sesuai dengan manfaat dan prioritas Islam yang dirasakan,[122] namun hal ini tetap menimbulkan perbedaan kelas dalam masyarakat Islam dengan menempatkan orang Quraisy di atas orang Arab lainnya, dan orang Arab di atas orang non-Arab.[123][124][125] Umar kemudian menyesali sistem ini, yang ternyata malah menggantikan prinsip kesetaraan al-Qur'an di antara orang beriman.[123] Pada gilirannya, Utsman banyak dituduh melakukan nepotisme[126][122] dan korupsi.[14][15] Selama kekhalifahannya, elit suku kembali berkuasa sebagaimana tatanan umat Islam awal.[127] Kebijakan baru Ali untuk mendistribusikan pendapatan secara khusus menarik para imigran di Irak,[128] di antaranya adalah mualaf non-Arab di Kufah. Ali memperjuangkan visi universalis tentang Islam dan menawarkan hak yang setara kepada mereka.[129] Secara lebih umum, kebijakan egaliter Ali memberinya dukungan dari hampir semua kelompok kurang mampu yang dikesampingkan oleh para khalifah setelah kematian Muhammad dan kelompok yang mencari kepemimpinan Islam yang saleh.[128] Kelompok Muslim kurang mampu ini juga tertarik untuk memulihkan kembali tatanan sosial Umar dan melihat Ali sebagai harapan terbaik mereka untuk mencapainya.[129] Sebaliknya, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, keduanya adalah sahabat Muhammad yang telah mengumpulkan kekayaan yang sangat besar di bawah pemerintahan Utsman.[130] Mereka berdua memberontak melawan Ali setelah khalifah menolak memberi mereka bantuan.[131][88] Beberapa tokoh lain di kalangan Quraisy juga menentang Ali dengan alasan yang sama.[132][133] Ali dikatakan bahkan menolak permintaan dana publik dari saudaranya, Aqil.[134][135][133][136][137] Sebagai perbandingan, Ali tetap menggaji kaum Khawarij dari bagian mereka di perbendaharaan negara walaupun mereka memberontak melawannya.[138][139] Mengenai perpajakan, Ali menginstruksikan pejabatnya untuk mengumpulkan pembayaran secara sukarela dan tanpa pelecehan, serta memprioritaskan orang miskin saat mendistribusikan dana.[140] Ali juga tertarik dengan sektor pertanian,[141] dan menginstruksikan Malik al-Asytar dalam sebuah surat untuk lebih memerhatikan pengembangan tanah daripada perpajakan jangka pendek.[141][142] Ilmu-ilmu keislamanThabathaba'i berpendapat bahwa ilmu-ilmu Islam sebagian besar diabaikan selama Penaklukan Muslim, dan para tentara cenderung mengumpulkan kekayaan materi dari negeri yang mereka taklukan.[143] Dia menambahkan bahwa penulisan hadis pada masa itu juga sangat minim terutama setelah Muhammad melarang para sahabatnya untuk menulis perkataannya.[144][145] Sebaliknya, Ali menggunakan pemerintahannya untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu Islam,[146] merintis ilmu tata bahasa Arab dan metafisika Islam.[146][56] Shah-Kazemi menyatakan bahwa dalam khotbah publik yang dikaitkan dengan Ali di Nahjul Balaghah, Ali mengatakan bahwa ilmu pengetahuan lebih diperlukan sebagai pedoman etika dan dasar agama komunitas Muslim.[147] Ali juga mengajari murid-muridnya, yang kelak akan menjadi para ulama pertama di bidang fikih, teologi, tafsir dan tajwid al-Qur'an. Di antara murid-murid itu adalah Uwais al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Maitsam al-Tammar, Rusyaid al-Hajari,[146] Hasan al-Bashri, dan ar-Rabi' bin Khutsaim.[148][149] Aturan perangAli dianggap sebagai otoritas aturan perang intra-Muslim dalam yurisprudensi Islam.[150] Dia melarang pejuang Muslim untuk melakukan penjarahan[151][152] dan sebagai gantinya, ia membagi pajak secara merata sebagai gaji di antara para prajurit. Keputusan ini mungkin menjadi subyek perselisihan antara Ali dan beberapa pendukungnya yang kemudian mengarah ke pembentukan Khawarij.[151] Sebelum Pertempuran Unta (656), Ali juga melarang mengejar para buronan, membunuh para tahanan, dan mengirim tabib kepada para pejuang yang terluka.[153] Dengan keputusan tersebut, Ali tetap mengakui hak para pemberontak sebagai Muslim,[152][154] meskipun mereka mungkin dianggap sebagai ancaman terhadap ketertiban negara.[155] Ali juga memaafkan para pemberontak setelah kemenangannya,[152][154] dan praktek ini telah diabadikan dalam hukum awal Islam,[152] misalnya dalam keputusan tokoh Sunni Muhammad asy-Syaibani tentang pemberontakan.[153] Di luar langkah-langkah ini, Ali sering dikenal karena kemurahan hatinya kepada musuh-musuh yang telah dikalahkan olehnya.[156][56][73] Dia juga menasihati Malik al-Asytar untuk tidak menolak seruan perdamaian dan tidak melanggar kesepakatan apapun.[157] Ali juga memperingatkannya agar tidak melakukan pertumpahan darah kecuali kepada orang-orang yang melanggar hukum.[158] Dia melarang komandannya untuk mengganggu warga sipil kecuali saat tersesat atau sangat membutuhkan makanan.[159] Dia juga mendesak al-Asytar untuk menggunakan perang hanya apabila negosiasi gagal.[160] Ali juga memerintahkan al-Asytar untuk tidak menyerang musuh terlebih dahulu,[160] dan hal ini juga dicontohkan oleh Ali dalam Pertempuran Jamal dan Pertempuran Nahrawan.[161][162] Ali melarang pasukannya membunuh orang-orang yang terluka dan melarikan diri, memutilasi musuh yang telah mati, memasuki rumah tanpa izin, menjarah, dan melukai para wanita.[163] Veccia Vaglieri menambahkan bahwa Ali mencegah perbudakan wanita dan anak-anak dalam kemenangan, meski ada yang memprotes.[72] Sebelum peperangan utama terjadi pada Pertempuran Siffin, Ali tetap membiarkan musuhnya mengakses air minum ketika dia menguasai sumber air.[164][165] Menurut Kelsay, dalam kebijakannya, Ali melihat bahwa perdamaian adalah tujuan utamanya untuk mengakhiri perang saudara Muslim.[166][167] KesederhanaanAli menjalani kehidupan yang sederhana,[146][168] dan secara ketat memisahkan pengeluaran publik dan pribadinya.[168] Beberapa sejarawan menulis bahwa Ali mengonsumsi makanan sederhana dan memperbaiki barang-barangnya sendiri.[169] Ali menegur Utsman bin Hunaif, gubernur Basra, karena menerima undangan perjamuan. Ali menanyakan bagaimana dia bisa pergi tidur dengan perut kenyang sementara orang-orang di sekitarnya kelaparan.[170] Ali juga mengatakan, "Tuhan telah mewajibkan para pemimpin sejati untuk membuat diri mereka sepadan dengan orang-orang terlemah yang mereka kuasai, sehingga kemiskinan tidak menimbulkan ketamakan."[168] Ketika dia pindah ke Kufah sebagai ibu kota de-facto yang baru,[171][37][172] Ali menolak untuk tinggal di kastil gubernur dan menyebutnya qasr al-khabal (terj. har. 'kastil korupsi'). Sebaliknya, dia tinggal bersama keponakannya Ja'da bin Hubairah di sebuah rumah kecil di samping masjid.[40][173] Menurut al-Ya'qubi, "Ali tidak pernah mengenakan pakaian baru, tidak pernah menaruh hatinya pada kekayaan, dan menggunakan hartanya untuk memberi sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan.”[174] Seluruh ulama Muslim sepakat bahwa Ali menghormati hak milik pribadi tetapi tidak mengizinkan orang-orang kaya menambah kekayaan mereka dengan menindas orang-orang miskin.[175] ToleransiShah-Kazemi percaya bahwa Ali menjunjung tinggi kebebasan berbicara dalam toleransinya terhadap kaum Khawarij selama konflik antara pihaknya dengan pihak Khawarij. Ketika beberapa orang mendesaknya untuk segera menghukum kaum Khawarij, Ali berkata bahwa dia akan membela diri dengan kata-katanya selama mereka hanya menyerangnya dengan kata-kata, ia akan membela dirinya dengan tangannya jika mereka telah menyerangnya dengan tangan mereka, dan ia baru akan membela dirinya dengan pedang jika mereka telah menyerangnya dengan pedang.[176] Laporan serupa diberikan oleh asy-Syaibani,[177] yang juga menambahkan laporan lainnya:[178]
Menurut mayoritas sejarawan, laporan-laporan ini memuat berbagai perintah dalam hukum Islam yang digunakan oleh Ali sebagai tanggapan terhadap tuduhan dari pihak oposisi. Khalifah harus menahan diri dari penggunaan kekerasan, kecuali apabila pihak pemberontak benar-benar melakukan kekerasan. Bahkan tidak cukup dengan hanya mengetahui bahwa para pemberontak berniat menyerang.[179] Ada indikasi bahwa Ali menganggap agama minoritas (ahlul dzimma) secara hukum sama dengan non-Muslim. Ali dikatakan telah menetapkan tebusan darah akibat pembunuhan dengan nominal yang sama untuk semua warga negara, terlepas dari keyakinan yang mereka anut.[180] Untuk pajak jizyah yang diwajibkan atas mereka, Ali melarang pejabatnya untuk menekan para ahlul dzimma saat memungut pajak.[174] Kesejahteraan sosialAli mengambil beberapa langkah awal untuk merealisasikan kekhalifahan sebagai negara kesejahteraan. Dalam suratnya kepada Malik al-Asytar, Ali mendesaknya untuk memprioritaskan orang-orang yang membutuhkan, orang-orang tua, dan orang-orang yang cacat. Ali juga menugaskan seorang wakil untuk mengawasi kebutuhan mereka, dan mengurus mereka secara pribadi.[181] Shah-Kazemi menuliskan sebuah kisah yang menceritakan pertemuan antara Ali dan seorang pekerja yang sudah tua dan lemah. Dia memberikan pekerja itu tunjangan ḍuʿafa tetap dari perbendaharaan negara dan menegur orang-orang di lingkungan itu dengan mengatakan, "Kalian telah membuat orang tua dan lemah ini bekerja, sedangkan kalian tidak memberikan bantuan apapun kepadanya".[182] Ali sendiri berpandangan bahwa kemiskinan bukanlah sebuah stigma atau diskualifikasi dan keadilan tidak dapat dicampuradukkan dengan nepotisme, favoritisme, atau politik.[183][184][185] PandanganCendekiawan Sunni Ahmad bin Hanbal memuji habis-habisan Ali dengan mengatakan bahwa Ali adalah perhiasan kekhalifahan.[186] Linda Jones dan John Esposito memandang kekhalifahan Ali sebagai model sosial-politik dan kebenaran agama yang menentang korupsi duniawi dan ketidakadilan sosial.[81][76] Moojan Momen, Laura Veccia Vaglieri dan Wilferd Madelung menulis bahwa kekhalifahan Ali dicirikan oleh kejujurannya, pengabdiannya yang tak tergoyahkan kepada Islam, perlakuannya yang setara terhadap para pendukungnya, dan kemurahan hatinya terhadap musuh-musuh yang telah dikalahkan olehnya.[73][56][72] Sumber-sumber awal menyatakan bahwa Ali menganggap peperangannya melawan orang-orang Muslim yang dia anggap salah sebagai kewajiban demi menegakkan keadilan Islam.[72] Shah-Kazemi mengatakan bahwa Ali berjuang untuk keadilan dan kasih sayang untuk semua orang, terlepas dari agama mereka.[187] Sumber-sumber awal juga sepakat bahwa Ali dengan setia mengabdi untuk Islam dan berusaha untuk menetapkan kebijakan yang adil sesuai dengan al-Quran dan Sunnah.[78][188] Sejarawan modern cenderung memandang masa pemerintahan Ali sebagai model pemerintahan Islam yang adil, di mana keadilan dan belas kasihan ditunjukkan kepada manusia terlepas dari kelas, keyakinan dan warna kulit.[183][184][185] Referensi
Sumber
|