Jindo

Jembatan Jindo
Jindo
Hangul
진도
Hanja
珍島
Alih AksaraJindo
McCune–ReischauerChindo

Jindo adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat daya Semenanjung Korea.[1] Pulau ini merupakan pulau utama di Kabupaten Jindo, Provinsi Jeolla Selatan dan termasuk salah satu pulau besar Korea Selatan selain Jeju, Ganghwa dan Geoje.[1] Masyarakat yang mendiami pulau Jindo memiliki kebudayaan dan tradisi yang unik.[1]

Jindo sebagai tempat pengasingan

Karena letaknya yang jauh dari pusat kekuasaan, Jindo sejak lama dijadikan sebagai tempat pembuangan politik.[1] Selain itu, karena kekayaan alamnya yang melimpah, pulau ini juga sering menjadi pusat pemberontakan terhadap penguasa di daratan Semenanjung Korea.[1]

Tercatat sejak masa pertengahan Dinasti Goryeo, Jindo mulai menjadi tempat pembuangan. Pada saat itu putra Yi Ja-gyeom diasingkan karena perbuatan ayahnya. Yi Cha-gyeom adalah seorang pejabat istana yang memberontak terhadap pemerintahan Raja Injong. Pada masa Dinasti Joseon (1397-1910), Jindo lebih sering lagi dijadikan tempat pengasingan politik. Pada awal berdirinya Joseon, banyak tokoh-tokoh pejabat istana dan keturunan wangsa Goryeo yang diasingkan di Jindo. Beberapa orang berhasil kembali, namun yang lain meninggal karena dibunuh mata-mata dari istana.

Sebuah catatan yang dibuat oleh inspektur kerajaan dari provinsi Jeolla pada abad ke-18, menuliskan bahwa terlalu banyak orang yang dibuang di Jindo sehingga rakyat asli menjadi kesulitan pangan karena harus memberi mereka makan.[1]

Sebagian besar orang buangan adalah anggota kerajaan yang berpendidikan atau bangsawan yang mengapresisasi kesenian. Karena ingin melupakan berbagai masalah yang dihadapi, sebagian besar menuangkan pikiran dalam tulisan dan lukisan. Rakyat asli pun menghibur orang-orang ini dengan nyanyian dan tarian mereka.

Budaya

Yeongdeungsal

Yeongdeungsal

Yeongdeungsal adalah festival yang diselenggarakan berdasarkan fenomena alam yang terjadi setiap tahun di antara Pulau Jindo dengan Pulau Modo dimana selat sepanjang 2,3 km yang membelah kedua pulau akan mengering selama satu jam. Festival ini dinamakan Yeongdeungsal atau Festival Jalur Laut Jindo. Festival ini diramaikan oleh puluhan ribu turis yang akan menyusuri jalur tersebut dan mengumpulkan berbagai jenis makanan laut yang terdampar di jalur itu. Festival ini diramaikan pula dengan tari-tarian dan nyanyian tradisional khas Jindo.

Ssitgim-gut

Ssitgim-gut adalah ritual shamanisme yang dilaksanakan oleh masyarakat Jindo. Ritual ini dilakukan untuk menghubungkan alam manusia dengan orang mati. Ssitgim-gut dipercaya dapat mengantarkan jiwa orang yang sudah meninggal menuju surga dan membersihkan semua keinginannya yang masih tersisa di dunia. Ritual ini dipimpin oleh seorang dukun wanita yang dinamakan mudang. Ia akan mengalami kerasukan roh dan menjadi perantara untuk mengutarakan pesan-pesan orang yang sudah meninggal tersebut.

Musik dan lagu daerah

Lagu daerah masyarakat Jindo dianggap bagian dari Namdo Sori (Lagu Daerah Selatan) dan memiliki banyak nyanyian terkenal seperti:

  • Deul Norae adalah nyanyian khas petani Jindo yang dinyanyikan pada saat menanam padi di ladang secara bersama-sama. Nyanyian bernada ceria ini dibawakan oleh masyarakat di desa Inji dan Chisan-myeon.
  • Jindo Banga Taryong adalah jenis lagu yang dinyanyikan pada saat menggiling biji-bijian.
  • Jindo Arirang adalah jenis lagu arirang yang berasal dari Jindo.

Flora dan fauna

Anjing Jindo

Anjing Jindo adalah anjing ras asal Jindo yang merupakan jenis anjing yang paling populer di Korea. Anjing Jindo awalnya dibiakkan untuk berburu babi hutan, kelinci, luak dan rusa. Karakternya yang menonjol adalah kesetiaan dan sangat patuh pada majikannya, selain itu dikenal pula dengan sifatnya yang cerdas. Anjing Jindo dapat membawa hasil buruan langsung kepada pemiliknya. Pemerintah Korea Selatan melindungi anjing Jindo sebagai hewan endemis Korea. Ukuran tubuhnya tampak serupa dengan Shiba Inu dan Akita Inu.

Tempat bersejarah

Jindo memiliki banyak tempat bersejarah seperti kuil-kuil dan benteng. Kuil Ssanggye dibangun pada tahun 857 pada masa kerajaan Silla Bersatu. Kuil ini direkonstruksikan kembali pada tahun 1684 pada masa Dinasti Joseon.

Referensi

  1. ^ a b c d e f (Inggris) Kim Joo-young (1996). "Chindo: An Island of Cultural Relics" (PDF). Koreana. 10. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 21 Juni 2010. 
Kembali kehalaman sebelumnya