Luak

Marawa, bendera tradisional Minangkabau yang melambangkan tiga luak.

Luak atau luhak adalah wilayah konfederasi dari beberapa nagari di Minangkabau yang terletak di pedalaman Sumatera Barat. Wilayah ini merupakan wilayah pemukiman awal penduduk Minangkabau yang dikenal dengan istilah Darek (bahasa Indonesia: darat) untuk membedakannya dengan wilayah rantau Minangkabau, baik Rantau Pasisie di sepanjang pantai barat Sumatra maupun Rantau Hilia di wilayah Riau dan bagian barat Jambi. Dalam Tambo Alam Minangkabau luak memiliki makna kurang atau berkurang.[1]

Terdapat tiga luak di Minangkabau, yaitu :

  1. Luak Tanah Data yang meliputi Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung, Kota Padang Panjang, Kota Sawahlunto, Kabupaten Solok dan Kota Solok sekarang.
  2. Luak Agam yang meliputi Kabupaten Agam (kecuali wilayah pesisir di barat), Kota Bukittinggi, dan Kabupaten Pasaman sekarang.
  3. Luak Limopuluah yang meliputi Kabupaten Lima Puluh Kota, Kota Payakumbuh dan sebagian Kabupaten Kampar sekarang.

Ketiga luak tersebut juga dijuluki dengan luak nan tigo (luak yang tiga)[2], dan masing-masingnya juga disimbolkan dalam marawa yang terdiri dari 3 warna yakninya 'kuning' yang melambangkan Luhak Tanah Data, 'merah' yang melambangkan Luhak Agam, dan 'hitam' yang melambangkan Luhak Limopuluah. Luhak terdiri dari beberapa nagari, di mana setiap nagari yang ada di dalam suatu luak dipimpin oleh para penghulu[3] dan mempunyai adat yang sama, sedangkan adat di suatu luhak dengan adat di luak yang lain tidak sama.[4] Namun ditemukan juga dalam luak yang sama pun, pada beberapa nagarinya memiliki penerapan adat yang berbeda. Sesuai dengan pepatah, “lain padang lain ilalangnyo, lain lubuak lain ikannyo”, di setiap wilayah di Minangkabau tidak ada yang benar-benar memiliki kesamaan adat secara mutlak.

Luhak Nan Tigo merupakan wilayah awal Minangkabau, lalu berkembang hingga mempunyai wilayah rantaunya, dan bahkan waktu munculnya jauh ada sebelum berdirinya Kerajaan Pagaruyung. Jadi untuk melihat awal mulanya Minangkabau bukan merujuk pada awal berdirinya Kerajaan Pagaruyung seperti yang banyak disalahpahami oleh banyak orang, namun merujuk pada awal mulanya Luhak Nan Tigo ini. Walaupun istilah nama Minangkabau ini disebutkan muncul jauh belakangan daripada kemunculan Luhak Nan Tigo ini yang merupakan wilayah awal Minangkabau.

Mengenai asal mula nama 'Minangkabau', terdapat beberapa versi, namun ada 3 versi yang diketahui secara umum yaitu :

  1. Berasal dari kata 'Minanga', yang merupakan suatu kerajaan yang pernah berdiri, yang kemudian dari sana muncullah tokoh yang bernama Dapunta Hyang yang kelak akan mendirikan Kerajaan Sriwijaya di wilayah selatan di Sumatra. Di sisi lain, nama "Minang" (Kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 yang berbahasa Sanskerta.[5]
  2. Berdasarkan Tambo Minangkabau, disebutkan berasal dari suatu peristiwa adu kerbau, namun hal ini kurang terdapat kejelasan karena ada beberapa versi mengenai alur cerita adu kerbau ini, berhubung ini juga disampaikan melalui tradisi lisan secara turun temurun, baik itu mengenai peristiwanya maupun juga mengenai waktu peristiwa itu terjadi.
  3. Berdasarkan pemaparan dari Sutan Muhammad Taufiq Thaib, S.H. bergelar Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung - Tuanku Mudo Mahkota Alam yang juga sebagai raja Pagaruyung secara simbolis sebelumnya, yang merupakan tokoh generasi keempat keturunan raja Pagaruyung yang terakhir berdaulat yaitu Sultan Alam Bagagarsyah, disebutkan bahwa kata 'Minangkabau' berasal dari kata Bahasa Arab yaitu Mu'minan Kanabawiyah.[6]

Dari Luhak Nan Tigo ini setelah peradaban awalnya, diketahui kemudian muncul suatu kerajaan yang diketahui sebagai kerajaan yang pertama kalinya ada di sepanjang riwayat sejarah Minangkabau yaitu Kerajaan Pasumayan Koto Batu dengan rajanya bergelar Sri Maharajo Dirajo, lalu setelah itu pecah menjadi Kerajaan Bungo Satangkai yang dipimpin oleh Datuak Katumangguangan dan Kerajaan Dusun Tuo yang dipimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dan juga munculnya suatu kerajaan yang lainnya. Selain itu, nagari-nagari yang tidak berada di bawah suatu kerajaan tertentu, pemerintahannya menerapkan sistem konfederasi. Dan tentu bukan Kerajaan Pagaruyung yang disebut sebagai kerajaan yang pertama kali ataupun suatu pemerintahan yang pertama kali ada di Minangkabau.

Setelah Datuak Katumangguangan mencetuskan sistem Lareh Koto Piliang dengan prinsip "bajanjang naiak, batanggo turun", dan juga Datuak Parpatiah Nan Sabatang mencetuskan sistem Lareh Bodi Chaniago dengan prinsip "tagak samo tinggi, duduak samo randah", maka Luhak Nan Tigo menerapkan sistem tersebut dengan rincian bahwa Luhak Tanah Data menerapkan Lareh Koto Piliang dan sedangkan Luhak Agam beserta Luhak Limopuluah menerapkan Lareh Bodi Chaniago, walaupun di masa sekarang ini kedua lareh tersebut ada berbaur di antara ketiga luak (luhak) tersebut setelah sejak lama adanya persebaran suku dari kedua lareh ini ke berbagai wilayah di Luhak Nan Tigo.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Alam Minangkabau « Adat Budaya Minangkabau.
  2. ^ Luhak dan Rantau.
  3. ^ cimbuak.net Sekilas Tentang Minangkabau Diarsipkan 2012-05-25 di Wayback Machine..
  4. ^ Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau oleh Edwar Jamaris.
  5. ^ Cœdès, George (1930). Les Inscriptions Malaises de Çrivijaya. BEFEO. 
  6. ^ Wonderful Indonesia (15 April 2014). "Travelling to West Sumatera (Japanese Language)". YouTube. Diakses pada sekitar tahun 2015 - 2017.
Kembali kehalaman sebelumnya