Jan III Sobieski
Jan III Sobieski atau Yohanes III Sobieski (bahasa Latin: Ioannes III Sobiscius, bahasa Jerman: Johann III Sobieski, bahasa Lituania: Jonas III Sobieskis, 17 Agustus 1629 – 17 Juni 1696), Raja Polandia merangkap Adipati Agung Lituania sejak 1674 hingga wafat, adalah salah seorang Kepala Monarki Persemakmuran Polandia-Lituania yang paling terkenal. Kecakapan militer yang ia tunjukkan dalam peperangan melawan Imperium Utsmaniyah turut memperbesar wibawanya selaku seorang raja di mata rakyat Polandia. Masa pemerintahannya (selama 22 tahun) menandai kurun waktu stabilisasi Persemakmuran Polandia-Lituania yang sudah lama dinanti-nanti setelah Air Bah Swedia dan Pemberontakan Kmelnitski memporakporandakan negeri itu.[1] Raja yang dicintai rakyatnya ini adalah seorang senapati tangguh yang termasyhur berkat kemenangannya atas bala tentara Turki dalam Pertempuran Wina pada 1683.[2] Semenjak peristiwa itu, kaum Utsmaniyah menjulukinya "Singa Lehistan", dan Sri Paus mengelu-elukannya sebagai Juru Selamat Dunia Kristen.[3] Gelar jabatan
Riwayat hidupMasa mudaYohanes Sobieski lahir pada 17 Agustus 1629, di Olesko, sebuah kota kecil dekat Lwów di Galisia (sekarang di Ukraina) yang kala itu termasuk wilayah Voivodat Rutenia, jajahan Mahkota Kerajaan Polandia dalam wilayah negara Persemakmuran Polandia-Lituania. Ia terlahir sebagai putra keluarga bangsawan ternama, Sobieski dari Sobieszyn, ahli waris Lambang kebesaran Janina.[5][6] Ayahnya, Jakub Sobieski, adalah Voivoda (gubernur) Rutenia merangkap Kastelan (kepala puri) Kraków; ibunya, Zofia Teofillia Daniłowicz, adalah cucu dari Hetman (senapati) Stanisław Żółkiewski.[6] Yohanes Sobieski dibesarkan di Żółkiew.[6] Setelah lulus dari Kolese Nowodworski di Kraków pada 1643, Yohanes remaja melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Filsafat Universitas Jagielloński sampai diwisuda pada 1646.[6][7] Setamat kuliah, Yohanes bersama abangnya, Marek Sobieski, melakukan perjalanan keliling Eropa Barat selama lebih dari dua tahun.[6][8] Mereka berkunjung ke Leipzig, Antwerpen, Paris, London, Leiden, dan Den Haag.[6] Selama perjalanan keliling Eropa Barat, ia berjumpa dengan tokoh-tokoh besar di masa itu, seperti Louis de Bourbon-Condé, Charles II dari Inggris, dan Willem van Oranje. Ia juga menyempatkan diri mempelajari bahasa Prancis, Jerman, dan Italia, selain bahasa Latin.[9] Kedua adik-beradik itu pulang ke Persemakmuran Polandia-Lituania pada 1648. Begitu menerima kabar kemangkatan Raja Władysław IV Waza dan meletusnya Pemberontakan Kmelnitski, mereka pun segera mendaftarkan diri sebagai sukarelawan dalam angkatan bersenjata negaranya.[6][10] Keduanya ikut bertempur dalam pengepungan Zamość.[6] Mereka membentuk dan memimpin sendiri pasukan-pasukan pataka (chorągiew) kavaleri (satu pasukan Kazaki bersenjata ringan, dan satu pasukan Husari bersenjata berat),[6] namun nasib akhirnya memisahkan keduanya. Pada 1649, Jakub ikut berjuang dalam Pertempuran Zboriv.[6] Pada 1652, Marek wafat dalam tahanan orang Tatar setelah tertangkap dalam Pertempuran Batih.[6][11] Yohanes dipromosikan menjadi pułkownik (kolonel) dan maju menggempur musuh dengan gagah berani dalam Pertempuran Berestechko.[12] Sebagai perwira yang berpotensi menjadi senapati, Yohanes diutus Raja Jan II Kazimierz ke Konstantinopel di wilayah Imperium Utsmaniyah sebagai anggota rombongan misi diplomatik yang dipimpin Mikołaj Bieganowski.[6][13] Yohanes memanfaatkan kunjungan itu untuk mempelajari bahasa Tatar dan bahasa Turki, serta mendalami tradisi militer dan siasat tempur Turki.[6][13] Agaknya ia sempat pula bergabung dengan pasukan persekutuan Polandia-Tatar yang terbentuk selama jangka waktu yang singkat dalam Pertempuran Okhmativ pada 1655.[6] Ketika terjadi invasi Swedia atas Polandia yang terkenal pula dengan sebutan "Air Bah Swedia", Yohanes bergabung dengan resimen-resimen Polandia Besar yang dipimpin oleh Krzysztof Opaliński, Voivoda Poznań. Bala tentara Polandia Besar dipaksa menyerah di Ujście, dan bersumpah setia pada Raja Swedia, Karl Gustav.[6][13] Meskipun demikian, sekitar akhir bulan Maret 1656, Yohanes meninggalkan bala tentara Polandia Besar dan menyeberang ke kubu Raja Polandia, Jan Kazimierz Waza, untuk bergabung dengan bala tentara yang dipimpin oleh Hetman Stefan Czarniecki dan Hetman Jerzy Sebastian Lubomirski.[6] SenapatiPada 26 Mei 1656, ia diangkat menjadi chorąży koronny (pembawa pataka Mahkota).[14] Dalam pertempuran tiga hari di Warsawa pada 1656, Yohanes memimpin satu resimen kavaleri Tatar beranggotakan 2.000 prajurit.[14][15] Ia ikut terlibat dalam sejumlah pertempuran selama dua tahun berikutnya, termasuk dalam Pengepungan Toruń pada 1658.[14] Pada 1659, ia terpilih menjadi anggota Sejm (Majelis Rendah Parlemen Polandia), dan menjadi salah seorang wakil Polandia dalam perundingan dengan kaum Kazaki yang menghasilkan Perjanjian Hadyach.[14] Pada 1660, ia terlibat dalam serangan terakhir terhadap orang Swedia di Prusia, dan diganjari jabatan Starosta (penghulu negeri) Stryj oleh pemerintah kerajaan.[14] Tak seberapa lama kemudian, ia sudah kembali ikut berperang melawan orang Rusia, terlibat dalam Pertempuran Slobodyshche dan Pertempuran Liubar, serta sekali lagi menjadi salah seorang wakil Polandia dalam perundingan baru dengan kaum Kazaki yang menghasilkan Perjanjian Chudniv pada penghujung tahun itu.[14] Melalui kenalan-kenalan pribadinya, ia menjadi pendukung berat kubu Prancis dalam majelis istana Polandia yang diwakili oleh Permaisuri Marie Louise Gonzaga. Keberpihakannya pada kubu Prancis kian kokoh pada 1665, setelah menikahi Marie Casimire Louise de la Grange d'Arquien dan dipromosikan menjadi Marsekal Besar Mahkota Kerajaan Polandia. Pada tahun 1666, ia dipromosikan menjadi Hetman Lapangan Mahkota Kerajaan Polandia.[5] Pada 1662, ia terpilih kembali menjadi anggota Sejm, dan dilibatkan dalam usaha mereformasi militer. Ia juga menjadi anggota Sejm pada 1664 dan 1665,[14] sementara pada tahun 1663 ia disibukkan oleh perang melawan Rusia.[14] Yohanes tetap setia kepada Raja Polandia ketika terjadi Pemberontakan Lubomirski pada 1665–1666, meskipun hal itu adalah suatu keputusan yang sulit baginya.[14][16] Ia berpartisipasi dalam Sejm 1665, dan setelah beberapa kali tertunda, ia menerima jabatan bergengsi sebagai Marsekal Besar Mahkota Kerajaan Polandia pada 18 Mei tahun itu.[16] Sekitar akhir bulan April atau awal bulan Mei 1666, ia kembali menerima jabatan tinggi dari pemerintah persemakmuran, yakni sebagai Hetman Lapangan Mahkota Kerajaan Polandia.[16] Tak lama kemudian, ia dikalahkan dalam Pertempuran Mątwy, dan menandatangani Persetujuan Łęgonice pada 21 Juli, yang mengakhiri Pemberontakan Lubomirski.[16] Pada bulan Oktober 1667, ia kembali meraih kemenangan atas kaum Kazaki yang dipimpin Petro Doroshenko beserta sekutu-sekutu mereka, orang-orang Tatar dari Krimea, dalam Pertempuran Podhajce pada masa Perang Polandia–Kazaki–Tatar (1666–1671).[13] Kemenangan ini memulihkan citranya sebagai seorang senapati yang mumpuni.[16] Pada bulan November tahun itu, anak sulungnya, Jakub Ludwik Henryk Sobieski, lahir di Paris.[16] Pada 5 Februari 1668, ia diangkat menjadi Hetman Besar Mahkota Kerajaan Polandia, jabatan militer tertinggi di Persemakmuran Polandia-Lituania, dan dengan demikian secara de facto menjadi panglima tertinggi atas segenap Angkatan Bersenjata Polandia.[13] Pada penghujung tahun itu, ia mendukung pencalonan Louis, Condé Agung dari Prancis sebagai Raja Polandia. Setelah rencana pencalonan itu gagal, ia beralih mendukung Philipp Wilhelm, Elektor Palatina.[16] Setelah Michał Korybut Wiśniowiecki terpilih menjadi Raja Polandia, Yohanes memutuskan untuk bergabung dengan kubu oposisi; bersama para sekutunya, ia memveto sejumlah sidang Sejms (termasuk sidang-sidang pembahasan upacara penobatan raja baru). Sikap politiknya ini membuat ia tidak disenangi di kalangan szlachta pada umumnya.[16] Meskipun sikap pro-Prancis membuatnya dijauhi sebagian orang, kemenangan demi kemenangan yang diraihnya dalam peperangan melawan invasi orang Tatar pada 1671 justru membuatnya bertambah sekutu baru.[16] Pada 1672, Persemakmuran Polandia-Lituania mengalami guncangan politik. Kubu Yohanes yang pro-Prancis dan kubu Raja Michał Wiśniowiecki membentuk konfederasinya masing-masing. Kedua kubu tampaknya lebih mementingkan pertikaian mereka daripada bersatu padu menghadapi orang-orang Turki Utsmaniyah yang sedang gencar-gencarnya menyerbu kawasan selatan negeri Polandia.[17] Kubu istana menuntut kerajaan menyita lahan-lahannya, mencabut pangkat-pangkatnya, dan menyatakan dirinya sebagai "musuh negara".[17] Dampak buruk dari pertikaian ini mencapai puncaknya dengan penandatanganan Perjanjian Buchach yang sangat mempermalukan Persemakmuran Polandia-Lituania. Perjanjian ini mewajibkan Persemakmuran Polandia-Lituania untuk menyerahkan daerah-daerah tertentu dalam wilayah kekuasaannya dan membayar upeti tahuhan kepada Imperium Utsmaniyah.[18] Yohanes akhirnya berhasil mengupayakan keseimbangan antara kegiatan politik dan pertahanan negara. Kombinasi antara kemenangan-kemenangannya di medan perang dan keberhasilan perundingan antara kedua kubu dalam sidang Sejm pada bulan April 1673, pada akhirnya menghasilkan kata mufakat, dan kubu istana pun menarik kembali tuntutan serta penentangannya terhadap Yohanes.[17] Pada 11 November 1673, Yohanes kembali meraih kemenangan besar di medan perang, kali ini dengan mengalahkan bala tentara Utsmaniyah dalam Pertempuran Khotyn dan merebut benteng kota itu.[13] Warta kemenangan dari medan perang tersiar pada waktu yang sama dengan kabar duka kemangkatan Raja Michał, yang menghembuskan nafas terakhirnya sehari sebelum pertempuran berlangsung.[13] Keadaan ini membuat Yohanes menjadi sosok yang paling menonjol di Polandia, sehingga pada 19 Mei 1674 ia terpilih menjadi Kepala Monarki Persemakmuran Polandia-Lituania.[5] Pencalonannya mendapat dukungan dari semua pihak, kecuali selusin atau lebih anggota parlemen (yang sebagian besar adalah kalangan pendukung keluarga bangsawan Pac dari Lituania).[17] Mengingat perang belum berakhir, kehadiran Yohanes masih diperlukan di garis depan, sehingga upacara penobatan harus ditunda sampai keadaan memungkinkan. Setelah hampir dua tahun sejak terpilih, Yohanes Sobieski akhirnya dimahkotai sebagai Raja Yohanes III pada 2 Februari 1676.[5][17] Raja PolandiaMeskipun merupakan negara terbesar dan tergolong negara berpenduduk terpadat di Eropa kala itu,[19] Persemakmuran Polandia-Britania pada saat Yohanes Sobieski naik takhta adalah sebuah negeri yang porak-poranda akibat perang yang tak berkesudahan selama hampir setengah abad.[20] Perbendaharaan negara nyaris kosong, dan hanya sedikit yang dapat ditawarkan oleh istana kepada para pembesar praja, yang sering kali lebih memilih untuk bersekutu dengan kerajaan-kerajaan asing daripada dengan kepala negaranya sendiri.[21][22] Yohanes memiliki sejumlah rencana jangka panjang, termasuk rencana untuk mengangkat martabat keluarga Sobieski menjadi wangsa penguasa turun-temurun atas Persemakmuran Polandia-Lituania, merebut kembali daerah-daerah yang telah jatuh ke tangan lawan, dan memperkuat negeri Polandia melalui reformasi di berbagai bidang.[22][23] Salah satu ambisinya adalah mempersatukan umat Kristen Eropa dalam sebuah perang salib untuk mengusir orang-orang Turki dari bumi Eropa.[23] Akan tetapi, pada permulaan masa pemerintahannya, negara Polandia sedang mengalami krisis fiskal dan menghadapi ancaman militer di kawasan utara. Raja Prancis, Louis XIV, telah berjanji untuk memperantarai perundingan gencatan senjata antara Imperium Utsmaniyah dan Polandia, sehingga Yohanes dapat memusatkan perhatiannya pada Prusia. Perundingan gencatan senjata berakhir dengan kegagalan, dan rencana-rencana yang hendak dijalankannya di kawasan Baltik harus ditunda demi menanggulangi ancaman Imperium Utsmaniyah di kawasan selatan.[18][22][24] Pada musim gugur 1674, ia kembali berperang melawan bala tentara Utsmaniyah dan berhasil merebut kembali sejumlah kota dan benteng, termasuk Bratslav, Mogilev, dan Bar. Keberhasilan ini memperkukuh kembali pertahanan kawasan perbatasan selatan Polandia di Ukraina.[17] Pada 1675, Yohanes berhasil mematahkan serangan orang-orang Turki dan Tatar atas kota Lviv.[17][25] Pada 1676, orang-orang Tatar mulai melancarkan serangan balasan dan menyeberangi Sungai Dneper, tetapi gagal merebut kembali kota Żórawno yang strategis letaknya; tak lama kemudian, sebuah kesepakatan damai (Perjanjian Żurawno) akhirnya ditandatangani oleh kedua belah pihak.[17] Meskipun Kamieniec Podolski dan sebagian besar Podolia tetap menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Imperium Utsmaniyah, Polandia mampu mengimbangi kekuatan Utsmaniyah di daerah-daerah itu dengan merebut kembali kota Bila Tserkva dan kota Pavoloch.[17] Penandatanganan perjanjian dengan pihak Utsmaniyah menjadi awal dari periode damai yang sangat diperlukan untuk membangun kembali negeri Polandia dan memperkuat kekuasaan kerajaan. Yohanes akhirnya berhasil mereformasi Angkatan Bersenjata Polandia.[24] Bala tentara dibagi menjadi resimen-resimen, tembiang pasukan infantri diganti dengan kapak perang, formasi-formasi tempur pasukan husar dan pasukan dragon mulai pula diterapkan dalam pasukan kavaleri Polandia.[26] Selain itu, Yohanes memperbanyak jumlah senjata api dan memperkenalkan siasat-siasat tempur artileri yang baru.[26] Yohanes juga menyusun rencana untuk menaklukkan Prusia dengan memanfaatkan pasukan-pasukan Swedia dan dukungan Prancis.[24] Persemakmuran Polandia-Lituania memang sudah lama ingin mengambil alih kekuasaan atas provinsi swapraja ini dari penguasa pribuminya, dan Yohanes berharap dapat menjadikannya sebagai bagian dari wilayah kekuasaan keluarganya.[22] Karena satu dan lain hal, permufakatan rahasia yang dibentuk pada 1675 ini (disebut Perjanjian Jaworów) gagal mengubah status quo. Peperangan melawan Imperium Utsmaniyah tak kunjung dimenangkan secara paripurna oleh Persemakmuran Polandia-Lituania; dan selama itu pula Elektor Agung (Brandenburg) berhasil mencapai kata sepakat dengan Prancis, berhasil memukul mundur bala tentara Swedia ketika hendak menginvasi Prusia, dan berhasil membujuk banyak pembesar Persemakmuran Polandia-Lituania untuk menentang rencana memerangi Prusia.[17][22][25][27][28] Dengan dukungan Brandenburg dan Monarki Habsburg, para seteru Yohanes di dalam negeri bahkan berencana untuk memakzulkannya dan memilih Karl dari Lothringen sebagai raja pengganti.[27] Dengan ditandatanganinya kesepakatan antara Prancis dan Prusia pada 1678, Yohanes pun kehilangan sekutu utama dalam mewujudkan rencananya memerangi Prusia, sehingga ia mulai menjauhkan diri dari kubu pro-Prancis. Langkah ini tak ayal lagi merenggangkan hubungan Polandia-Prancis. Sidang Sejm 1683, yang memutuskan untuk mengusir Duta Besar Prancis karena terlibat dalam rencana pemakzulan Raja Yohanes III, menandai berakhirnya persekutuan Polandia-Prancis.[27] Di saat yang sama, ia berdamai dengan faksi pro-Habsburg, dan mulai condong ke arah pembentukan persekutuan dengan Austria.[27][28] Meskipun tidak mampu mengakhiri penentangan terhadap dirinya di dalam negeri, langkah ini berhasil menarik simpati dari beberapa pihak. Untuk sementara waktu penentangan terhadap dirinya melemah berkat keberhasilan manuver-manuver politiknya, antara lain dengan menganugerahkan jabatan Hetman Besar kepada salah seorang pimpinan dari kubu penentangnya, Stanisław Jan Jabłonowski.[27][29] Sadar bahwa Polandia kekurangan sekutu dan sewaktu-waktu dapat diserang oleh negara-negara tetangganya (situasi yang mirip dengan Air Bah Swedia), pada 1683 Yohanes menjalin persekutuan dengan Leopold I, Kaisar Romawi Suci.[27] Kedua belah pihak berjanji akan saling membantu bilamana ibu kota mereka terancam diserang.[22] Perjanjian persekutuan ditandatangani oleh wakil-wakil dari kedua kepala monarki pada 31 Maret 1683, dan diratifikasi oleh kaisar dan Parlemen Polandia dalam hitungan minggu.[30] Meskipun ditujukan secara langsung terhadap Imperium Utsmaniyah dan secara tidak langsung terhadap Prancis, langkah ini menguntungkan Yohanes karena dinilai berguna untuk mempertahankan tapal batas selatan Polandia, sehingga menuai dukungan di dalam negeri.[27] Persekutuan ini menjadi cikal bakal dari Liga Suci, yang diprakarsai oleh Paus Inosensius XI untuk mempertahankan eksistensi dunia Kristen.[31] Sementara itu, pada musim semi 1683, mata-mata Polandia berhasil mendapatkan informasi mengenai persiapan perang yang sedang dilakukan oleh orang-orang Turki. Yohanes curiga perang itu menyasar dua kota Polandia, Lwów dan Kraków.[13] Sebagai tindakan antisipasi, Yohanes mulai membentengi kota-kota itu dan memerintahkan pendaftaran tentara di seluruh wilayah persemakmuran.[13] Pada bulan Juli, datang utusan dari Austria meminta bantuan Polandia.[32] Angkatan Bersenjata Polandia segera bersiap-siap untuk berperang melawan Imperium Utsmaniyah. Pada bulan Agustus, bala tentara sekutu dari Bayern dan Sachsen datang bergabung, di bawah pimpinan Karl dari Lothringen.[30][32] Pertempuran WinaKeberhasilannya yang terbesar adalah memenangkan Pertempuran Wina pada 1683 bersama bala tentara gabungan Polandia dan Jerman, melawan orang-orang Turki Utsmaniyah di bawah pimpinan Kara Mustafa.[27][32] Ketika ia tiba di Wina, bala tentara Utsmaniyah sudah hampir berhasil membobol tembok kota itu. Yohanes Sobieski segera memerintahkan bala tentara untuk bersiap-siap melancarkan serangan besar-besaran pada 12 September. Pada dini hari tersebut, bala tentara gabungan beranggotakan sekitar 65.000[33]–76.000[32] prajurit (termasuk 22.000[33]–27.000 prajurit Polandia[27]) menyerbu bala tentara Turki berkekuatan sekitar 300.000[33]–350.000[32] prajurit. Sekitar pukul 5 petang, setelah memantau pertempuran pasukan infantri dari puncak bukit Kahlenberg, Yohanes Sobieski memimpin pasukan kavaleri husaria Polandia beserta bala tentara Austria dan Jerman dalam serangan besar-besaran di kaki bukit itu. Tak lama kemudian, barisan tempur lawan berhasil diterobos dan bala tentara Utsmaniyah pun tercerai berai.[34] Pada pukul 5:30 petang, Raja Yohanes Sobieski masuk ke dalam tenda panglima Utsmaniyah yang telah ditinggalkan Kara Mustafa, dan Pertempuran Wina pun usai.[30][32] Sri Paus dan para pembesar negara asing mengelu-elukan Yohanes sebagai "Juru Selamat kota Wina dan tamadun Eropa Barat."[35] Dalam sepucuk surat kepada istrinya, ia menulis, "Semua orang dari kalangan rakyat jelata menciumi kedua tanganku, kedua kakiku, dan pakaianku; yang lain hanya menyentuhku, sambil berkata: 'Ah, mari kita cium tangan yang gagah perkasa ini!'"[36] Perang melawan Imperium Utsmaniyah masih belum berakhir. Yohanes harus kembali menghadapi bala tentara Utsmaniyah dalam Pertempuran Párkány pada 7–9 Oktober.[37] Setelah serangkaian kemenangan awal, orang-orang Polandia pun menyadari bahwa mereka bukanlah pasukan utama dalam bala tentara Liga Suci; keikutsertaan mereka tidak diganjari keuntungan wilayah maupun politik yang bertahan lama.[37] Peperangan yang berlarut-larut juga menggerogoti kedudukan Yohanes di dalam negeri Polandia.[37] Selama empat tahun berikutnya, pasukan Polandia terus memblokade benteng-benteng penting yang dikuasai pasukan Utsmaniyah di Kamenets, sementara pasukan Tatar Utsmaniyah menjarahi daerah-daerah di kawasan perbatasan. Pada 1691, Yohanes kembali berperang di Moldavia dengan hasil yang sedikit lebih baik, namun tidak mampu meraih kemenangan yang paripurna.[37] Akhir hayatMeskipun sebagian besar waktunya dihabiskan di medan perang, sehingga terkesan memiliki kondisi kesehatan yang prima, namun menjelang akhir hayatnya Sang Raja pun jatuh sakit, dan kondisi kesehatannya terus menurun dari hari ke hari.[38] Raja Yohanes III Sobieski menghembuskan nafas terakhir di Wilanów, Polandia, pada 17 Juni 1696 akibat serangan jantung mendadak.[38] Permaisurinya, Marie Casimire Louise de La Grange d'Arquien, mangkat pada 1716 di Blois, Prancis; jenazahnya diantar kembali ke Polandia. Sang Raja dan permaisurinya disemayamkan bersama-sama di ruang bawah tanah Katedral Wawel, Kraków, Polandia.[39] Ia digantikan oleh August II.[40] Tinggalan dan jasaYohanes Sobieski dikenang oleh rakyat Polandia sebagai seorang "raja pahlawan", sang pemenang yang berjaya mematahkan ancaman Utsmaniyah di Wina. Citra ini kian luas tersebar setelah kisah hidupnya diriwayatkan kembali dalam banyak karya tulis abad ke-19.[41] Dalam Polski Słownik Biograficzny (Kamus Biografi Polandia), ia digambarkan sebagai "sesosok pribadi yang melampaui orang-orang sezamannya, namun tetap menjadi bagian dari mereka"; seorang oligarka dan pembesar, yang mementingkan harta dan kekuasaan pribadi.[41] Sebagian besar ambisinya timbul berkat dorongan istrinya, yang jelas-jelas lebih ia cintai daripada takhta (ketika didesak untuk menceraikan sang istri dan menikahi mantan permaisuri sebagai syarat untuk mendapatkan takhta, dengan serta-merta ia menolak takhta), dan yang cenderung ia turuti kata-katanya, kadang-kadang secara membabi buta.[42][43] Ia gagal mereformasi Persemakmuran Polandia-Lituania yang kian merosot, dan juga gagal mewariskan takhta Polandia kepada keturunannya.[41] Selain memiliki kecakapan militer yang mumpuni, ia juga seorang yang berpendidikan tinggi lagi terpelajar, serta seorang pengayom ilmu pengetahuan dan seni rupa. Ia memberi dukungan untuk berkarya bagi astronom Johannes Hevelius, matematikawan Adam Adamandy Kochański, dan sejarawan sekaligus penyair Wespazjan Kochowski. Tempat kediamannya, Istana Wilanów, adalah istana pertama di antara sekian banyak istana yang kelak dibangun bertebaran di seantero wilayah Persemakmuran Polandia-Lituania selama dua abad kemudian.[41]
KeluargaPada 5 Juli 1665, Yohanes menikahi janda mendiang Jan "Sobiepan" Zamoyski, Marie Casimire Louise de La Grange d'Arquien (1641–1716), yang berasal dari Nevers, Burgundia, Prancis. Anak-anak mereka adalah:
Keluarga Sobieski
Budaya populer
Lihat pula
Rujukan
Kepustakaan
Bacaan lebih lanjut
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Jan III Sobieski. Wikisumber memiliki karya asli dari atau mengenai:
|