ID Food
PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) berbisnis dengan nama ID FOOD, adalah sebuah badan usaha milik negara Indonesia yang bergerak di bidang pangan. Pada tahun 2021, perusahaan ini ditunjuk sebagai induk holding BUMN yang bergerak di bidang pangan, dan pada bulan Januari 2022, perusahaan ini pun meluncurkan "ID FOOD" sebagai identitas dari holding. Peluncuran identitas ID FOOD dimaksudkan untuk memberikan arah dan fokus yang lebih jelas kepada perusahaan ini sebagai BUMN Holding Pangan. Hadirnya Holding Pangan bertujuan untuk mewujudkan tiga objektif utama, yakni mendukung ketahanan pangan nasional, meningkatkan inklusivitas petani, peternak dan nelayan, serta menjadi perusahaan pangan berkelas dunia. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1964 sebagai kelanjutan dari nasionalisasi terhadap aset-aset milik konglomerat Oei Tiong Ham Concern (OTHC) yang ada di Indonesia. Sejarah1964 - 2003Pada akhir dekade 1980-an hingga 1990-an, perusahaan ini menggabungkan sejumlah anak usahanya. Pada tahun 1986, PT Bandareksa Rajawali (pengelola pergudangan), PT Apotik Bima (pengelola apotik), dan PT Mutiara Rajawali (pengelola lahan yasan) digabung ke dalam PT Rajawali Nusindo, sementara PT Perkebunan Karet Cimayak dan PT Perkebunan Karet Cileles digabung untuk kemudian dijual pada tahun 1987. Dana hasil penjualan kedua perkebunan karet tersebut kemudian digunakan untuk mendirikan PT Rajawali Gloves Corporation yang bergerak di bidang produksi sarung tangan golf pada tahun 1991, bersama investor asal Amerika Serikat sebagai penyedia pasar dan investor asal Korea Selatan sebagai penyedia teknologi. PT Rajawali Gloves Corporation saat ini dalam proses likuidasi, karena kekurangan modal. Pada tahun 1991 juga, PT Industrial Management Company (IMACO) digabung ke dalam perusahaan ini. IMACO sebelumnya diberi tanggung jawab untuk mengelola PT Pabrik Gula Krebet Baru, PT Pabrik Gula Rejo Agung Baru, PT Madu Baru, PT Phapros, serta Pabrik Batu dan Semen Tahan Api (PBSTA) “LOKA”.[5] Pada tahun 1996, PT Pabrik Gula Krebet Baru dan PT Pabrik Gula Rejo Agung Baru digabung untuk membentuk PT Pabrik Gula Rajawali I. Pada tahun 1988, perusahaan ini mendirikan PT Perkebunan Mitra Ogan bersama PTPN III untuk mengelola sebuah perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan. Pada tahun 1990, perusahaan ini juga mendirikan PT Perkebunan Mitra Kerinci bersama PTPN IV untuk mengelola sebuah perkebunan teh seluas 2.025 hektar di Sumatera Barat. Pada tahun 1992, perusahaan ini membeli mayoritas saham PT Pabrik Gula Tjandi di Sidoarjo, dan kemudian mengubah nama perusahaan tersebut menjadi PT Pabrik Gula Candi Baru pada tahun 1993.[6] Pada tahun 1994, Pemerintah Indonesia resmi menyerahkan mayoritas saham PT Perkebunan XIV ke perusahaan ini, dan nama perusahaan tersebut pun diubah menjadi PT Pabrik Gula Rajawali II. Pada tahun 1992, Pemerintah Indonesia menyerahkan sebuah pabrik kondom yang terletak di Bandung kepada perusahaan ini, dan kemudian dibentuklah PT Mitra Rajawali Banjaran untuk mengelola pabrik tersebut. Pada tahun 1998, anak usaha perusahaan ini yang bergerak di bidang produksi alat suntik, yakni PT Skifa Rajawali Indonesia, digabung ke dalam PT Mitra Rajawali Banjaran. Pada tahun 1997, perusahaan ini mengakuisisi produsen karung plastik asal Mojokerto, PT Citramass Plastik Industri, yang kemudian digabung ke dalam PT Rajawali Nusindo. Perusahaan ini lalu juga mengakuisisi PT Gabungan Import Export Bali yang saat itu bergerak di bidang distribusi barang konsumen buatan Unilever dan lampu buatan Philips di Bali.[7] Nama perusahaan tersebut kemudian diubah menjadi PT GIEB Indonesia. 2004 - Januari 2022Pada tanggal 7 Juli 2004, perusahaan ini memisahkan unit bisnis produksi kulit dan karung plastik dari PT Rajawali Nusindo menjadi dua perusahaan tersendiri, masing-masing dengan nama PT Rajawali Tanjungsari dan PT Rajawali Citramass. Pada tanggal 5 November 2014, nama PT Rajawali Tanjungsari diubah menjadi PT Rajawali Tanjungsari Enjiniring. Pada tahun 2017, Rajawali Tanjungsari Enjiniring berekspansi ke bisnis produksi karung plastik.[8] Pada bulan Desember 2010, perusahaan ini membeli mayoritas saham PT Laras Astra Kartika yang bergerak di bidang agroindustri kelapa sawit di Ogan Komering Ulu Timur.[7] Pada tahun 2013, perusahaan ini meluncurkan jaringan minimarket yang diberi nama Waroeng Rajawali untuk menjual produk dari perusahaan ini, seperti gula, teh, dan daging sapi, serta produk dari BUMN-BUMN lain.[9] Pada tahun 2014, dengan sistem waralaba, Waroeng Rajawali menargetkan dapat membuka hingga 1.500 gerai di seluruh Indonesia.[10] Pada tahun 2015, perusahaan ini menghentikan pengembangan Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali, karena kesulitan bersaing dengan merek minimarket lain, seperti Indomaret dan Alfamart.[11] Pada tahun 2016, PT Mitra Kerinci membangun pabrik teh hijau di Sangir, Solok Selatan, Sumatera Barat dengan kapasitas pengolahan sebesar 60 ton pucuk basah per hari.[12] Selama tahun 2015, Mitra Kerinci dapat memproduksi sebanyak 18.874 ton pucuk basah dengan tingkat produktivitas mencapai 3,69 ton per hektar.[12] Pada tanggal 27 Maret 2019, perusahaan ini resmi menjual mayoritas saham Phapros ke PT Kimia Farma dengan harga Rp 1,36 triliun, sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk membentuk holding BUMN di bidang farmasi.[13] Pada tanggal 7 Januari 2022, pemerintah Indonesia resmi menunjuk perusahaan ini sebagai induk holding BUMN pangan, yang beranggotakan Sang Hyang Seri, Perusahaan Perdagangan Indonesia, Garam, Berdikari, dan Perikanan Indonesia.[14] Lima hari kemudian, perusahaan ini meluncurkan "ID FOOD" sebagai identitas dari holding.[15] Pada bulan November 2022, perusahaan ini setuju untuk memulai proses pelepasan mayoritas saham PT Mitra Kerinci ke PTPN IV.[16] Bidang usahaBidang usaha yang digeluti oleh perusahaan ini bersifat terintegrasi dari hulu sampai hilir. Usaha perkebunan kelapa sawit tidak hanya pada penjualan CPO, namun juga diolah menjadi minyak goreng. Hasil perkebunan tebu pun diolah menjadi gula.
Pengembangan propertiSelain menjalankan bisnis utamanya, RNI juga pernah mengembangkan sejumlah properti. Pada tahun 1990, RNI mendapat modal dari pemerintah berupa lahan seluas 311.930 meter persegi di Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan dan lahan seluas 50.000 meter persegi di Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur. Kedua lahan tersebut sebelumnya dikelola oleh Departemen Keuangan.[18] Perusahaan ini kemudian mendirikan sebuah perusahaan patungan bersama PT Abadi Guna Papan untuk mengembangkan lahan di Kuningan Timur menjadi Mega Kuningan.[1] Sementara sebagian lahan di Pondok Ranggon kini ditempati oleh peternakan sapi yang direlokasi dari lahan di Kuningan Timur. Pada tahun 1993,[19] RNI mendapat hak pakai atas lahan seluas 54.270 meter persegi yang terletak di samping bekas Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) di Pancoran, Jakarta Selatan, setelah berhasil menyelesaikan pembangunan gedung-gedung baru MBAU dan berbagai fasilitas pendukungnya di Cilangkap, Cipayung, Jakarta Timur, yang sebelumnya gagal diselesaikan oleh PT Wirontono.[20] Lahan di Pancoran kini digunakan sebagai tempat pencetakan beton untuk proyek pembangunan LRT Jabodebek, dan setelah selesai, rencananya lahan tersebut akan dijadikan pengembangan berorientasi transit.[21] Pada tahun 1994, RNI mendapat lahan seluas 7.025 meter persegi di Jl. MT. Haryono, Jakarta Timur yang sebelumnya dimiliki oleh PT Indonesia Motor Company (IMC), sebagai kompensasi atas pengeluaran RNI untuk memenuhi kewajiban IMC, sebagaimana yang ditugaskan oleh Menteri Keuangan pada bulan Februari 1991.[22] Pada bulan Agustus 2017, perusahaan ini resmi bermitra dengan PT Waskita Karya Realty untuk membangun gedung perkantoran setinggi 15 lantai di atas lahan tersebut.[23][24] Referensi
Pranala luar
|