Pulau Satanger

Satanger
Koordinat7°31′9.120″LS,117°20′13.200″BT
NegaraIndonesia
Gugus kepulauanTengah
ProvinsiSulawesi Selatan
KabupatenPangkajene dan Kepulauan
Luas6.192.537,8627000 m²
Populasi1.012 (2007)
Peta
Peta

Satanger atau Satengar adalah nama sebuah pulau kecil berpenghuni yang berada di gugusan Kepulauan Tengah, perairan Laut Flores dan secara administratif masuk pada wilayah Desa Satanger, Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pulau Satanger memiliki wilayah seluas 6.192.537,8627000 m2.[1] Secara astronomis, pulau ini terletak di titik koordinat 7°31′9.120″LS,117°20′13.200″BT.[2] Pulau Satanger yang oleh warga setempat disebut juga pulau buaya karena bentuknya yang menyerupai buaya. Pulau ini di sebelah Utara berbatasan dengan Perairan Selat Makassar, di sebelah Selatan dengan Pulau Sakonci (Kabupaten Sumbawa), di sebelah Barat dengan Pulau Karangan Satanger, dan di sebelah Timur dengan Pulau Sailus Besar. Rumah-rumah pemukiman warga pada umumnya terdapat di tepi pulau sedangkan untuk daratan yang berada di tengah pulau digunakan sebagai daerah perkebunan. Pulau ini dapat dicapai dengan menggunakan perahu motor dari Pelabuhan Paotere Makassar dalam waktu ± 36 jam, dan ± 6 sampai 7 jam dari Pulau Sumbawa/Lombok. Jarak yang lebih dekat ke Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok tersebut membuat mereka lebih sering berbelanja bahan kebutuhan harian dan kenelayanan di pulau tersebut dibandingkan ke Kota Makassar atau Pangkajene.

Demografi

Pulau seluas 17,50 km² (termasuk wilayah perairan) ini didiami oleh 1.012 jiwa yang terdiri dari 501 laki-laki dan 511 perempuan (PMU Coremap II Kabupaten Pangkep, 2007). Mereka umumnya beretnis Mandar, Bugis, dan Makassar, sedangkan beberapa warga lainnya adalah pendatang dari Pulau Lombok, Bima, dan Sumbawa yang kemudian menetap di Pulau Satanger.

Ekosistem dan sumberdaya hayati

Pulau Satanger dan Pulau Karangan Satanger termasuk dalam wilayah Desa Satanger. Sekeliling Pulau Satanger terdapat terumbu karang tepi (fringing reef), disamping itu, tak jauh dari pulau ini terdapat gusung karang atau patch reef. Kondisi terumbu karang di pulau ini tergolong 'sedang' pada sisi baratnya, sementara sekitar pelabuhan, terumbu karang tergolong rusak. Komponen pasir, karang mati terbungkus algae dan patahan karang masih merupakan komponen yang besar dalam terumbu karang, walaupun proporsinya berbeda-beda di setiap titik terumbu karang di Pulau Satanger. Karang Acropora relatif lebih minim di sekitar berlabuhnya perahu. Sementara pada sisi lain (barat dan selatan) pula karang-karang Acropora dan Porites bentuk masif masih umum ditemukan. Biota asosiasi berupa sponge umum ditemukan di setiap kedalaman.

Di Pulau Satanger didapatkan 4 jenis lamun yang tersebar di beberapa pulau, yakni Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis. Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii merupakan jenis-jenis lamun yang paling sering dijumpai pada titik-titik pengamatan. Kelimpahan ikan karang relatif lebih tinggi, sekitar 2 1618 ekor/500 m. Seperti halnya di lokasi terumbu karang lain, kelompok famili ikan betok (Pomacentridae) dan ikan ekor kuning (Caesionidae) cukup melimpah. Ikan indikator kepe-kepe (Chaetodontidae) tercatat dalam jumlah yang banyak dan mudah dit emukan. Ikan konsums i Acanthuridae, Scaridae, Apogonidae, Lutjanidae, Siganidae memiliki kelimpahan yang tinggi dibanding beberapa lokasi lainnya. Biota asosiasi ekonomis yang ditemukan yakni 5 ekor lobster 2 dalam 100 m, kima dan teripang sudah jarang di sekitar lereng terumbu. Kima lubang hidup pada terumbu karang yang dangkal.

Aktivitas pengelolaan sumberdaya

Mata pencaharian warga pada umumnya berhubungan dengan sumber daya laut yakni sebagai nelayan dengan alat tangkap yang bervariasi. Nelayan pemancing (parinta', papekang) adalah nelayan yang menggunakan pancing (tali tasi dan kail) untuk menangkap ikan di laut. Para parinta' menggunakan kapal kecil (jolloro') untuk mencapai lokasi pemancingan yang rata-rata menghabiskan ± 30 menit dan ada yang mencapai 3 jam perjalanan. Areal tempat memancing berupa taka (terumbu karang) yang banyak terdapat di sebelah Selatan dan sebelah Selatan daya Pulau Satanger. Beberapa taka tersebut adalah Taka Karangan, Taka Laut, Karang Sadapur, Karang Kapas, Karang Sarimpo Kecil, Karang Sarimpo Besar. Karang Sakonci. Pada beberapa tahun lalu ketika kondisi taka dan karangan tersebut masih baik, hasil laut yang mereka dapatkan sangat melimpah. Bahkan perahupun dipenuhi ikan hasil pancingan. Areal pemancingan juga tidak terlalu jauh. Namun saat ini kondisi taka dan karangan tempat memancing sudah rusak sebagai akibat dari penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bius. Ikan hidup yang biasanya diperoleh adalah ikan sunu dan kerapu, sedangkan ikan lain seperti katambak dikeringkan lebih dahulu sebelum dijual. Pengeringan ikan ini dilakukan oleh kaum perempuan untuk kemudian dijual kepada pengumpul yang kemudian menjualnya ke Sumbawa, Lombok atau Makassar atau dikonsumsi sendiri.

Nelayan jaring/pukat (Pajaring) adalah nelayan yang menggunakan jaring dalam menangkap ikan. Jaring yang dilengkapi dengan pelampung dibentangkan memanjang di laut untuk menjerat ikan, terutama ikan yang berada dikolong dan permukaan air. Ikan tendro dan baronang adalah ikan yang paling banyak didapatkan. Ikan lain yang diperoleh adalah ikan laccukang, pappa dan katambak. Hasil tangkapan diolah dengan jalan dikeringkan lalu dijual.

Nelayan Pabubu adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap bubu untuk menangkap ikan. Alat bubu ini berupa jaring dari bahan aluminium yang ditepiannya diberi rotan atau kayu. Alat ini berbentuk persegi dengan model lancip pada sebuah sisinya dan berukuran panjang 1 m dan lebar 0,5 m. Ikan target alat ini adalah komoditas ikan hidup, seperti ikan sunu dan ikan kerapu serta ikan karang lainnya. Ikan sunu yang mereka jual dalam keadaan hidup dihargai sebesar Rp 90.000,-/kg, sedangkan ikan sunu kering Rp 25.000,-/kg. Ikan kerapu dihargai antara Rp 30.000,- dan Rp 35.000,-/kg jika dijual dalam keadaan masih hidup dan dihargai Rp 2.500,-/kg bila dijual kering. Hasil tangkapan berupa ikan hidup biasanya ditampung untuk sementara di keramba apung untuk menambah ukuran ikan sehingga harganya menjadi lebih tinggi. Hasil laut dijual kepada ponggawa yang juga merangkap sebagai pedagang pengumpul yang kemudian menjual hasil laut tersebut ke Sumbawa, Lombok atau Bali dan Makassar.

Kegiatan budidaya rumput laut diusahakan warga di pantai sekitar pulau dan terutama di sebelah Selatan dan sedikit di Utara. Kadang-kadang juga ada yang membudidayakan di daerah muara yang menjorok ke dalam pulau (tergantung musim). Pengadaan bibit dilakukan dengan membeli dari petani rumput laut di Pulau Lilikang, Desa Sabalana. Pengolahan pasca panen dilakukan dengan cara mengeringkan rumput laut di sekitar rumah dengan beralas terpal. Rumput laut yang telah dikeringkan kemudian dijual kepada pengumpul dengan harga antara Rp 4.500,- dan Rp 5.000,-/kg. Para pengumpul kemudian memasarkannya ke daerah Sumbawa, Lombok atau Bima serta Makassar. Aktifitas budidaya rumput laut tidak dilakukan oleh warga pada bulan September dan Oktober karena pada saat tersebut rumput laut mengalami kerusakan akibat penyakit sehingga cenderung merugikan petani.

Warga Pulau Satanger juga memanfaatkan keberadaan pohon kelapa yang banyak tumbuh di daratan pulau. Buah kelapa mereka jual kepada pembeli yang berasal dari Sumbawa dan Makassar. Harga jualnya berkisar Rp 500,- dan Rp 700,-/buah. Selain itu, buah kelapa juga diolah menjadi minyak kelapa oleh kaum perempuan lalu dijual dengan harga antara Rp 4.000,- dan Rp 5.000,-/botol. Batang pohon kelapa kadang-kadang digunakan sebagai bahan untuk mendirikan rumah. Produk lain dari tanaman kelapa yang diusahakan oleh warga adalah kopra yang dijual ke Sumbawa, Lombok dan Makassar. Pohon pisang juga banyak ditanam oleh warga terutama pada bagian tengah pulau. Buahnya selain dijual ke Sumbawa, kadang-kadang juga mereka konsumsi sendiri.

Sarana dan Prasarana

Jenjang pendidikan yang dapat ditempuh di pulau ini hanya sampai tingkat SD, karena sarana pendidikan yang tersedia hanya sampai jenjang tersebut. Mereka yang ingin menempuh pendidikan lanjutan biasanya ke pulau lain, seperti Sumbawa, Lombok, dan Makassar. Beberapa warga juga menyediakan pendidikan non formal berupa tempat pengajian anak yang meraka kelola sendiri.

Air untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, cuci dan memasak diperoleh warga dengan menggali sumur di sekitar rumah-rumah mereka. Pada musim hujan air yang mereka peroleh tergolong tawar, sedangkan pada musim kemarau rasanya relatif payau, sedangkan kebutuhan energi listrik untuk berbagai keperluan seperti penerangan, hiburan dan lain-lain dipasok oleh sebuah mesin generator yang berfungsi pada pukul 18.00 sampai pukul 22.00 WITA. Prasarana jalan di pulau ini sebagian diantaranya telah berbahan beton dan paving block, sedangkan sebagian lainnya masih berupa tanah. Beberapa sarana umum lain yang terdapat di pulau ini adalah Pustu, masjid, dan dermaga.

Referensi

  1. ^ Abdul Haris Farid, Suhardjono, dan Dwi Wulan Titik Andari. Laporan Penelitian: Penguasaan dan Pemilikan atas Tanah Pulau-Pulau Kecil di Propinsi Sulawesi Selatan. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, 2013. Hlm. 1–53.
  2. ^ Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2012). "Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia". www.ppk-kp3k.kkp.go.id. Diakses tanggal 26 September 2022. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya