Pulau Matalaang
Matalaang adalah nama sebuah pulau kecil berpenghuni yang berada di gugusan Kepulauan Sabalana, perairan Laut Flores dan secara administratif masuk pada wilayah Desa Sabalana, Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pulau Matalaang memiliki wilayah seluas 830.951,1696400 m2.[1] Secara astronomis, pulau ini terletak di titik koordinat .[2] Pulau yang luasnya 12 km² (termasuk wilayah perairan) ini berbatasan dengan Pulau Laiya di sebelah Utara, Pulau Saribu di sebelah Selatan, Perairan Selat Makassar di sebelah Barat dan Pulau Meong di sebelah Timur. Akses ke Pulau Matalaang yang merupakan pusat pemerintahan Desa Sabalana dapat menggunakan perahu milik warga yang sedang menjual hasil laut dengan waktu tempuh antara 18 dan 22 jam dari Pelabuhan Paotere Kota Makassar dan antara 10 dan 12 jam dari Pulau Sumbawa. Lebih dekatnya akses ke Pulau Sumbawa atau Lombok membuat warga lebih sering berinteraksi dengan pulau tersebut. Hampir setiap pekan kapal yang mengangkut hasil laut maupun orang dari Pulau Matalaang berlabuh di pelabuhan Sumbawa atau Lombok. DemografiWarga yang menghuni pulau ini pada tahun 2007 tercatat berjumlah 1.135 jiwa yang terdiri dari 530 laki-laki dan 605 perempuan (PMU Coremap II Kabupaten Pangkep 2007). Mereka umumnya beretnis Bugis, Makassar, dan Mandar. Beberapa warga pendatang dari Pulau Sumbawa dan Lombok juga berdiam di pulau ini dan telah berbaur dengan warga asli melalui interaksi sosial kewargaan sehari-hari maupun ikatan perkawinan. Ekosistem dan sumberdaya hayatiRataan terumbu karang di Pulau Matalaang tersebar merata pada semua sisi pulau. Kondisi terumbu karang telah rusak akibat pengrusakan oleh manusia. Pada kedalaman lebih dari 5 m terumbu karang meningkat menjadi status 'sedang'. Poteni jenis-jenis karang cukup bervariasi antara lain Porites lobata, Porites cylindrica, Acropora (tabulate), Acropora bercabang, karang-karang bentuk folios dan bentuk encrusting pada kedalaman lebih dari 10m. Pada daerah yang dangkal ditemukan karang-karang yang menglami bleaching (pemutihan), namun belum diketahui secara pasti apa penyebabnya. Penutupan vegetasi lamun sangat bervariasi berkisar (0-95%). Tercatat 5 jenis lamun yakni Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Zostera Moelleri. Yang didominasi oleh jenis Enhalus acoroides danThalassia hemprichii Rhizopora spp. merupakan jenis mangrove yang paling banyak ditemukan. Jenis Sonneratia spp. dan Avicenia spp dapat tumbuh baik pada lokasi yang bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir dari pinggir pantai kearah darat. Kelimpahan individu ikan karang cukup tinggi (1183 ind/500 m²) Jenis ikan konsumsi yang paling dominan adalah ekor kuning (Caesionidae), disusul jenis Pomacentridae. Tidak banyak ditemukan ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) sementara Acanthuridae, Scaridae, Siganidae, Lutjanidae dan Apogonidae dalam jumlah yang lebih banyak dibanding lokasi terumbu karang lainnya. Aktivitas pengelolaan sumberdayaInteraksi antara warga dengan sumber daya alam terutama sumber daya laut sangat tinggi. Hal ini terlihat dari jenis mata pencaharian dominan yang mereka geluti yakni petani rumput laut dan penangkap berbagai jenis ikan. Rumput laut yang dibudidayakan oleh warga adalah rumput laut jenis Eucheuma (bangko). Komoditas laut ini banyak diusahakan di pantai Pulau Lilikang dan Pulau Pamolikang. Warga dari pulau lain juga banyak yang menanam rumput laut di Pulau Lilikang termasuk dari Pulau Matalaang. Jarak antara Pulau Matalaang dan Pulau Lilikang dapat ditempuh dalam waktu ± 1 jam dengan menggunakan jolloro'. Hasil panen kemudian diangkut ke Pulau Matalaang untuk diolah. Pengolahan pasca panen dilakukan dengan membersihkan dan mengeringkan rumput laut dengan alas terpal lalu dijemur dan setelah kering dijual ke pedagang pengumpul berkisar antara Rp 4.500/kg sampai Rp 5.600/kg. Harga jual tersebut seringkali berubah-ubah menurut ketentuan pedagang pengumpul. Para pengumpul kemudian menjual ke eksportir/industri di Sumbawa, Lombok, atau Makassar. Kegiatan budidaya ini berlangsung hampir sepanjang tahun dengan jangka waktu produksi (mulai dari penurunan bibit hingga pemanenan) selama 40 hari. Nelayan pemancing (parinta', papekang) adalah nelayan yang menggunakan pancing (tali tasi dan kail) untuk menangkap ikan di laut. Parinta' menggunakan jolloro' untuk mencapai lokasi dengan waktu tempuh antara 4 sampai 5 jam. Beberapa tahun lalu ketika kondisi taka-taka tersebut masih baik, hasil laut yang mereka dapatkan sangat melimpah, dengan areal pemancingan juga tidak terlalu jauh, namun saat ini kondisi taka sudah rusak. Warga menduga bahwa penyebabnya adalah maraknya penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bius. Para pelaku pemboman dan pembiusan berasal dari beberapa desa sekitar seperti Desa Balobaloang, Desa Sailus serta nelayan dari pulau-pulau di Makassar, sedangkan pelaku dari propinsi lain berasal dari NTT yang menggunakan bom dan bius, dan dari Propinsi Bali untuk menangkap ikan hias. Ikan hasil pancingan biasanya dikeringkan terlebih dahulu oleh kaum perempuan sebelum dijual kepada pengumpul, yang selanjutnya dijual ke Sumbawa, Lombok atau Makassar, atau dikonsumsi sendiri. Pencarian ikan hidup (pakedo-kedo) juga digeluti oleh warga Pulau Matalaang. Pakedo-kedo merupakan pemancing yang berangkat memancing dengan berkelompok menggunakan kapal berukuran relatif besar. Ikan yang menjadi target adalah ikan yang dijual dalam keadaan hidup seperti ikan sunu dan ikan kerapu yang mereka jual kepada ponggawa/pengumpul yang juga adalah pemilik kapal. Kemudian pengumpul menjual ikan hidup tersebut ke Sumbawa, Lombok atau Bali. Pada musim tertentu sebagian besar warga beraktivitas sebagai pencari gurita dengan daerah penangkapan di sekitar Pulau Matalaang, yakni di Pulau Laiya, Pulau Sanane, Pulau Sabalana, Pulau Pamolikang dan Gusung Bassia. Kadang-kadang mereka juga mencari di daerah yang termasuk wilayah desa lain di Kecamatan Liukang Tangaya dan Kecamatan Kalukuang Masalima (Kalmas). Pa'gurita menggunakan sebuah kapal berukuran relatif besar yang kadang-kadang memuat 50 orang dalam satu kali kegiatan. Ponggawa sekaligus pemilik kapal berlaku sebagai pemimpin pagurita yang juga akan langsung membeli hasil tangkapan anggota kelompok. Apabila lokasi penangkapan termasuk dalam wilayah desa lain, maka mereka biasanya meminta izin sekaligus membayar pajak kepada pemerintah Desa setempat. Hasil tangkapan maksimal dapat diraih antara bulan Februari dan Maret. Pada saat musim puncak ini, hampir seluruh nelayan bekerja sebagai pa'gurita. Beberapa warga juga menggunakan jaring untuk menangkap ikan. Jenis alat tangkap ini berbentuk memanjang yang dilengkapi dengan pelampungpelampung kecil yang terbuat dari gabus. Alat ini dipasang diperairan karang yang relatif dangkal. Ikan tangkapan yang biasanya diperoleh adalah katambak, tendro, laccukang dan ikan pelagis lainnya. Dalam sehari mereka dapat menjaring sebanyak 4 sampai 5 kali dalam sehari. Hasil laut yang didapatkan kemudian dikeringkan terlebih dahulu sebelum dijual kepada pengumpul. Pengumpul selanjutnya menjual ikan kering tersebut ke daerah lain seperti Sumbawa, Lombok atau Makassar. Para pengguna jaring saat ini mengeluhkan minimnya hasil tangkapan. Saat ini sebagian besar nelayan hanya menggunakan jaring manakala musim pencarian gurita telah berlalu. Sarana dan prasaranaSarana dan prasarana umum yang terdapat di desa ini terdiri atas SD, SMP terbuka, Pustu, jalan, dermaga, generator listrik dan telepon satelit. Kebutuhan air tawar untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, cuci, dan masak dipenuhi dengan mengandalkan sumur yang digali di sekitar rumah tinggal mereka. Referensi
Pranala luar |