Muhammad Thahir Imam Lapeo
AGH. Muhammad Thahir Imam Lapeo atau lebih dikenal dengan Imam Lapeo atau Tosalama‟ Imam Lapeo,[1] merupakan tokoh sufi yang dikenal akan kecerdasannya, keberaniannya dan sifatnya yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan,[2] yang terbukti telah melahirkan sejumlah Ulama.[3] AGH. Muhammad Thahir diberi nama Imam Lapeo karena beliaulah yang mendirikan masjid di daerah Lapeo dan sekaligus menjadi imam pertama di masjid yang didirikannya itu.[4] Beliau dikenal juga dengan sebutan Kannai Tambul (‘kakek dari Istanbul’) karena beliau pernah menuntut ilmu agama hingga ke Istanbul, Turki.[5] Sufi besar Tanah Mandar [6] ini dakwahnya merambah masyarakat nelayan hingga pegunungan seperti di Buttu Daala menemani gurunya AGH. As-Syekh Habib Alwy bin Abdullah Bin Sahil Jamalullail.[3] Perjalanan hidupnya sepenuhnya diabadikan untuk ilmu dan umat.[6] Ada 74 karamah (kelebihan) dalam kisah hidup Imam Lapeo yang ditulis oleh cucu Imam Lapeo sendiri Syarifuddin Muhsin, dalam buku yang memuat tentang perjalanan hidup Imam Lapeo.[7] Peranan dan kontribusi Imam Lapeo melalui kerja-kerja sosial-keagamaan dan kebangsaan menjadi lahan persemaian kharisma, popularitas, sehingga masyarakat Mandar memposisikannya sebagai primus inter pares, yang dicirikan melalui pengakuan dan pembenaran secara sosio-kultural sebagai Waliullah.[8] KelahiranMuhammad Thahir lahir pada tahun 1839 di Pambusuang [9] (nantinya bagian dari Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia). Ada perbedaan pendapat mengenai tahun kelahiran beliau secara pasti.[4] Ada yang berpendapat bahwa Muhammad Thahir dilahirkan pada tahun 1839 ketika Raja Balanipa XII (ke-41) Tomatindo di Marica (suatu gelar yang diberikan untuk raja yang sudah meninggal) menjalankan pemerintahannya di Mandar dan semasa dengan upaya Belanda untuk menjejakkan kakinya di Mandar.[10] Pendapat lainnya, mengatakan bahwa Kiai Al. Haji. Muhammad Thahir Bin Muhammad Bin Abdul Karim Abbatalahi, lahir di Pambusuang tahun 1838 M.[11] Sejak lahir beliau diberi nama orang tuanya Junaihil Namli,[4] suatu nama yang asing dalam kosakata bahasa Mandar,[4] nama unik yang artinya sayap semut.[12] SilsilahMuhammad Thahir Bin Muhammad Bin Abdul Karim bin Aba Talha,[9] Ayahnya bernama Haji Muhammad bin Abd. Karim bin Aba Talha,[9] kakeknya bernama Abdul Karim.[13] Ibunya bernama Sitti Rajiah.[14] Menurut silsilah, ibunya St. Rajiah berasal dari keturunan hadat Tenggelang,[15] suatu daerah yang berstatus distrik dalam wilayah pemerintahan Swapraja Balanipa,[16] yang nantinya setelah tahun 2002 di Indonesia termasuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Polewali Mamasa [17]. Perlu diketahui bahwa Ikaji adalah sebutan dari Sitti Rajiah kecil.[18] PendidikanLatar belakangZaman dimana Junaihil Namli lahir dan dibesarkan berada pada masyarakat yang bercirikan feodal.[19] Hal itu ditandai dengan adanya penguasa, abdi raja bahkan daerah Mandar secara keseluruhan pada masa itu berstatus daerah jajahan pemerintah Hindia Belanda.[20] Kondisi itu merupakan tantangan tersendiri bagi Junaihil Namli baik dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat biasa maupun sebagai penganjur agama Islam.[19] Sejak kecil ia tergolong anak yang patuh dan dikenal oleh masyarakat sebagai anak yang taat dan patuh terhadap orang tuanya, beliau juga dikenal sebagai orang jujur, pemberani, dan mempunyai kemauan keras.[4] Junaihil Namli berlatar belakang dari keluarga yang taat beragama.[4] Latar belakang keluarga yang taat beragama ini sangat mempengaruhi proses pembentukan jiwa Imam Lapeo dan mewarnai kehidupannya, ini terlihat sejak beliau masih kanak-kanak.[21] Ayahnya adalah seorang petani dan nelayan, disamping itu masyarakat mengenalnya sebagai guru mengaji.[4] Kemampuan mengaji Muhammad bin Haji Abdul Karim Abbatalahi, diwarisi dari ayahnya yang tidak lain adalah kakek Imam Lapeo sendiri yang dikenal dengan nama H. Abdul Karim Abtalahi yang popular dimasyarakat dengan nama Nugo.[18] Kakeknya adalah penghafal al-Quran di Pambusuang.[13] Melihat latar belakang keluarga Junaihil Namli baik ayah dan ibunya yakni sebagai guru mengaji (ayahnya) dan keturunan hadat (ibunya), menunjukan bahwa beliau merupakan keturunan yang cukup dikenal dan dihormati dalam masyarakat.[21] Hal lain, bahwa didikan dan arahan orang tuanya, menjadi dasar bagi beliau dalam kehidupan selanjutnya.[21] Demikian halnya dengan kondisi yang berasal dari keluarga nelayan, mempunyai tantangan yang cukup besar dalam upaya memenuhi kehidupannya.[21] Ia terbiasa dengan arus gelombang laut bersama ayahnya mencari ikan dilaut.[15] PambusuangDi bidang pendidikan, pendidikan formalnya tidak menonjol.[22] Dalam mengikuti pendidikan non-formal ia lebih tertarik pada pelajaran-pelajaran agama Islam.[22] Junaihil Namli mendapat pendidikan al-Quran dari kakeknya bernama Abdul Karim.[13] Di usia kanak-kanaknya Junahim Namli telah khatam Al-Qur’an beberapa kali melampaui teman-teman sebayanya.[22] Menjelang usia remaja, ia lebih memperdalam bahasa Arab seperti nahwu syaraf di Pambusuang.[22] Lingkungan Pambusuang yang religius menjadikan Muhammad Thahir mendapat pendidikan agama yang baik.[13] Pulau SalemoLalu dia pergi ke Pulau Salemo (masa itu sangat terkenal sebagai tempat pendidikan pesantren yang melahirkan para ulama di bawah bimbingan ulama besar dari Gresik, Jawa Timur ) menimba dan menambah ilmu-ilmu agama Islam.[22] Beberapa tahun ia tinggal di Salemo.[22] Tepatnya, sejak kehadiran Guru Ga'de yang melahirkan sejumlah Ulama besar tanah Mandar.[13] Guru Ga'de adalah keturunan Maulana Malik Ibrahim dari Gresik Jawa Timur, pembawa Islam pertama di Nusantara.[13] Ulama yang dilahirkan Guru Ga'de diantaranya As-Syekh Habib Alwy bin Abdullah Bin Sahil Jamalullail, guru dari Muhammad Thahir, kemudian AGH. Muhammad Nuh yang mendirikan Pesantren Nuhiyah di Pambusuang dan AGH. Alwi, Imam Masjid Bala, Pambusuang.[13] PadangPada usianya yang baru 15 tahun beliau berani mengikuti pamannya Haji Buhari Ke Padang, Sumatera Barat,[15] dan tinggal selama 4 tahun menambah ilmu.[23] untuk berdagang lipa’ sa’be (sarung sutra).[22] Di sana beliau menuntut ilmu kepada ulama-ulama yang sudah tersohor.[24] Makkah & IstanbulSekembalinya dari Padang ia melanjutkan perjalanan menuju Makkah di samping untuk menunaikan ibadah haji juga untuk memperdalam ilmunya,[24] mendatangi Ulama besar memperdalam ilmu fikih, tafsir, hadits, teologi dan lain-lain.[23] Ia tinggal di Makkah beberapa tahun lamanya.[23] Diantara gurunya di Makkah adalah Syekh Muhammad Ibna.[3] Perjalanannya ke Makkah dilaksanakan pada tahun 1886.[3] Selain itu, Muhammad Thahir juga melakukan rihlah ilmiah hingga ke Istanbul, Turki.[3] Tempat lainnyaSelain itu, Muhammad Thahir juga berguru di Pare-pare antara lain kepada Al Yafi'i (ayahanda Prof. Dr. H. M. Ali Al Yafi').[9] Kemudian termasuk pula Pulau Madura, antara lain kepada Syekh Kholil Bangkalan dan Pulau Jawa. Tempat perguruannya yang lain adalah di Tarim, selain itu di Singapura, Malaka, dan lainnya.[25] Pernikahan & keluargaDalam usia yang semakin dewasa, Junaihil Namli semakin ditempah oleh pengalaman hidupnya baik sebagai seorang anak nelayan, maupun pengetahuan keagamaannya.[21] Modal pengalaman itulah, sehingga pada usianya yang ke 27 tahun beliau dinikahkan oleh gurunya yang bernama Sayyid Alwi Jamaluddin Bin Sahil.[21] Ia adalah seorang ulama besar dari Yaman.[21] Junaihil Namli dinikahkan dengan seorang gadis yang bernama Hagiyah yang kemudian berganti nama menjadi Rugayyah.[21] Sejak perkawinannya itu pula oleh gurunya Junaihil Namli diganti menjadi Muhammad Thahir.[26] Dalam kehidupannya, Muhammad Thahir melangsungkan perkawinan sebanyak enam kali.[21] Versi lain menyebutkannya tujuh kali.[3] Perkawinan ini didasarkan pada kesadarannya bahwa hal tersebut merupakan salah satu strategi dakwah yang paling efektif dalam pembaharuan Islam.[21] Perlu digaris bawahi bahwa dari istri pertama sampai keempat merupakan keluarga atau keturunan tokoh-tokoh masyarakat, dari setiap daerah asalnya.[26] Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk lebih mengembangkan Islam dikalangan Masyarakat, melalui orang-orang yang berpegaruh di daerahnya.[19] Pernikahan Muhammad Thahir dapat digambarkan sebagai berikut;
Putra-putri Muhammad Thahir sebagian besar melanjutkan usaha bapaknya mengabdi untuk kepentingan agama Islam.[27] Salah seorang putrinya yang bernama Hj. Aisyah Tahir, populer dengan panggilan Ummi Aisyah, adalah tokoh wanita Sulawesi Selatan pernah memimpin Muslimat Nahdlatul Ulama, yang menjelang akhir hayatnya Ummi Aisyah dikenal sebagai wanita yang memiliki kemampuan metafisik yang lebih.[27] Dakwah, ketokohan & pengaruhGerakan dakwah Muhammad Thahir lebih menonjol pada aspek karamah dan kewaliannya, hal itu sangat kuat mengakar pada masyarakat Mandar yang dikenal nelayan.[3] Saat dakwah ke daerah polman, ia diangkat menjadi Qadhi Kerajaan Tappalang.[25] Jejaring Muhammad Thahir dengan Ulama-ulama di Jawa seperti Syekh Kholil Bangkalan dan Mbah Makshum Lasem terhubung oleh guru dan sahabat Muhammad Thahir, yakni Habib Alwi bin Abdullah al-Sahl.[25] Pembangunan Masjid
— Emha Ainun Najib, 2016, Pada Haul ke-64 Imam Lapeo [28]
Masjid Nur Al-Taubah di Lapeo adalah masjid yang dibangun oleh Muhammad Thahir, oleh masyarakat Mandar disebut Masigi Lapeo (Masjid Lapeo).[27] Masjid itu dikenal dengan menaranya menyerupai arstitektur Istambul, Muhammad Thahir adalah imam pertama di masjid di daerah Lapeo ini dan kemudian diberi nama Imam Lapeo,[4] sehingga Imam Lapeo juga disapa dengan nama "Kanne Ambol", yakni orang yang pernah menngunjungi Istanbul, peralihan sebutan Istanbul ke Ambol.[12] Selain makna lainnya, "Ambol", yakni jangan coba-coba bertetangan dengan Imam Lapeo, nanti mendapatkan teguran secara langsung.[12] Ada sekitar 17 masjid yang tersebar di pesisir Sulawesi Barat yang pembangunannya di prakarsai olehnya.[29] Lembaga PendidikanImam Lapeo menebar keagungan Islam dengan jalan dakwah melalui lembaga-lembaga pendidikan.[30] Proses pengentasan kebodohan masyarakat Mandar kala itu dilakukan dengan cara membuat pengajian-pengajian kecil.[31] Tapi dari hari ke hari muridnya semakin bertambah, kemudian dengan dibantu oleh para murid setianya, maka berdirilah sebuah lembaga pendidikan yang berlokasi di samping Masjid Nuruttaubah Lapeo, nantinya di lokasi ini berdiri lembaga pendidikan yang bernama MTs DDI Lapeo Kecamatan Campalagian, dan kemudian meleburkan diri menjadi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah yayasan Darud Dakwah wal-Irsyad di Tahun 1972.[31] SufistikPeran Imam Lapeo, tidak terlepas dengan karamah kesufian yang ada pada dirinya.[7] Misalnya, tangannya kebal terhadap api.[7] Diceritakan, selama belajar di hadapan Sayyid Alwi al-Maliki, Imam Lapeo juga bertindak sebagai penuntun unta terhadap gurunya dalam berbagai perjalanan.[7] Saat sang guru Sayyid Alwi al-Maliki bersama muridnya Imam Lapeo melakukan perjalanan antara Makkah dan Madinah, karena keamanan di jalan kurang terjamin, mereka singgah istirahat dan berkemah di jalanan.[7] Ketika itu, sang gurunya mengetahui Imam Lapeo mengisap rokok.[7] Sang Guru langsung mengambil rokok tersebut dari tangannya, dan rokok yang terbakar itu ditekankan ke telapak tangan muridnya.[7] Dalam keadaan demikian, Imam Lapeo tidak merintih dan tidak merasakan kesakitan, malah hal itu dibiarkannya sampai semuanya selesai.[7] Realitas keislaman masyarakat Mandar sarat dengan nuansa sufistik.[8] Sementara Imam Lapeo memiliki kualifikasi sebagai Ulama sufi dengan beragam peran sosial keagamaan dan wawasan kebangsaanya yang tinggi.[8] Hal ini terlihat dari pengakuan yang disampaikan masyarakat Mandar dan dari analisis kepustakaan setempat.[8] Peranan dan pengaruh Imam Lapeo terhadap masyarakat Mandar tidak terlepas dari pengetahuan dan pengalamannya dari proses pengembaraan intelektual di tingkat domestik dan mancanegara yaitu Singapura, Turki dan Arab Saudi.[8] Tarekat
— Andi Ibrahim Masdar, 2016, Bupati Polewali Mandar [32]
Selain mengembangkan tradisi tahfidz, ia juga berinisiasi kepada Tarekat Syadziliyah dan berdakwah dalam lisan saja.[25] Tipologi tarekat yang dianut Imam Lapeo lebih cenderung pada wawasan tasawuf moderat, yang selalu mencari titik keseimbangan antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi.[33] Hal ini dibuktikan dengan peran aktif Imam Lapeo dalam taqarrub (pendekatan) kepada Allah SWT dan keterlibatannya dalam politik kebangsaan dengan ikut melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dan Jepang.[8] Modal sosial-keagamaan ini menjadi pijakan masyarakat Mandar.[33] Posisi sakralitas tersebut berlanjut hingga kini yang ditandai oleh konsistensi masyarakat Mandar dalam memelihara simbul-simbul sakral Imam Lapeo, diantaranya masjid, makan, rumah yang diistilahkan oleh masyarakat Mandar Boyang Kayyang.[33] Tarekat yang dianut dan dikembangkan di tanah Mandar adalah tarekat Syadzilliyah yang diperoleh langsung dari pusat ilmu tasawuf di Istanbul, Turki.[8] Beberapa ajaran tarekat yang konsisten diaplikasikan Imam Lapeo dan dilaksanakan oleh masyarakat Mandar hingga kini meliputi tazkiyatun nafs melalui proses takhalli, tahalli, tajalli, konsep hakekat Muhammadiyah, wirid (zikir) dan hizb (amalan) yang menjadi tipikal ajaran tarekat Syadziliyah.[8] Pengaruh dan ajaran tarekat ini sangat signifikan terhadap perilaku keberagamaan masyarakat Mandar.[8] Sebagai guru Naqsyabandiyah, Imam Lapeo dikenal kharismatik [34] Ada 2 tempat Imam Lapeo berkhalwat, di kebun dan sebidang tanah yang terletak di Paccini.[35] Perjuangan kemerdekaanAGH. Muhammad Thahir Imam Lapeo bukan hanya ulama menjadi pejuang dalam usaha pembangunan Islam, tetapi juga seorang pejuang kemerdekaan, beliau banyak tampil dalam berjuang melawan tentara NICA, terutama sewaktu berada di Mandar.[36] Pengaruhnya Imam Lapeo terhadap masyarakat islam di Mandar terlampau besar, maka pemerintah NICA Belanda menghentikan dakwahnya sebab timbul kekhawatiran akan timbul perlawanan, akibat pengaruh yang dimainkan oleh Imam Lapeo.[36]
KewafatanMenjelang kematiannya, Imam Lapeo berpesan supaya disediakan batang pisang sebelah menyebelah (pihak kanan dan pihak kiri) sebagai tempat bersandarnya bicara dengan mungkar nakir.[37] AGH. Muhammad Thahir Imam Lapeo wafat pada hari selasa, 27 Ramadhan 1362 H atau 17 Juni 1952 M dalam usia 113 tahun.[6] Beliau dimakamkan pada hari rabu keesokan harinya,[37] di halaman Masjid Nur Al-Taubah di Lapeo yang dibangunnya, yang disebut Masigi Lapeo (Masjid Lapeo) oleh masyarakat Mandar (nantinya bagian wilayah Campalagian, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia) [27].[19] Sewaktu jenazah beliau diangkat, terasa sangat ringan seakan-akan tidak ada kecuali kain, ketika disuapi dengan tanah pada bagian kepala, pengubur menyaksikan jasad di dalam kain kafan.[37] Setelah menyuapi terdengar di telinga mereka suara batuk.[37] Pesan yang paling dia utamakan kepada masyarakat adalah selalu berkata jujur, pesan lainnya adalah melaksanakan sholat dan ibadah lainnya.[37] Makamnya terawat dengan baik,[6] dan tetap ramai diziarahi [1] Haul Imam LapeoHaul AGH. Muhammad Thahir Imam Lapeo diperingati setiap tahunnya yang biasanya bertempat di Masjid Lapeo/Masigi Lapeo pada tanggal 17 Juni atau terkadang disesuaikan dengan momentum keagamaan lainnya.[6] Catatan Akhir
Bibliografi
|