Homoseksualitas
Homoseksualitas atau kesamalaminan adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada "pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis" terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas lain yang berbagi itu."[1][2] Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori utama orientasi seksual, bersama dengan biseksualitas dan heteroseksualitas, dalam kontinum heteroseksual-homoseksual. Ilmuwan tidak tahu secara pasti apa yang menentukan orientasi seksual seseorang, tetapi mereka menduga bahwa orientasi seksual dipicu oleh kombinasi faktor genetik, hormon, dan lingkungan,[3][4][5] dan bukanlah suatu pilihan.[3][4][6] Mereka mengacu kepada teori-teori yang berbasiskan pada biologi,[3] yang menyebut faktor genetik, lingkungan awal di uterus, atau keduanya.[7][8] Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pengalaman pada masa kecil berperan terhadap orientasi seksual.[7][9] Selain itu, upaya untuk mengubah orientasi seksual juga tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah.[10] Konsensus ilmu-ilmu perilaku dan sosial dan juga profesi kesehatan dan kesehatan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas adalah salah satu bentuk keragaman orientasi seksual manusia.[10] Homoseksualitas tidak dikategorikan sebagai penyakit kejiwaan dan bukan penyebab efek psikologis negatif; prasangka terhadap kaum biseksual dan homoseksual-lah yang menyebabkan efek semacam itu.[10] Meskipun begitu banyak sekte-sekte agama dan organisasi "mantan-gay" yang memandang bahwa kegiatan homoseksual adalah dosa atau kelainan. Bertentangan dengan pemahaman umum secara ilmiah, berbagai sekte dan organisasi ini kerap menggambarkan bahwa homoseksualitas merupakan "pilihan".[11] Istilah umum dalam homoseksualitas yang sering digunakan adalah lesbian untuk perempuan pecinta sesama jenis dan gay untuk pria pecinta sesama jenis, meskipun gay dapat merujuk pada laki-laki atau perempuan. Bagi para peneliti, jumlah individu yang diidentifikasikan sebagai gay atau lesbian — dan perbandingan individu yang memiliki pengalaman seksual sesama jenis — sulit diperkirakan atas berbagai alasan.[12] Dalam modernitas Barat, menurut berbagai penelitian, 2% sampai 13% dari populasi manusia adalah homoseksual atau pernah melakukan hubungan sesama jenis dalam hidupnya.[13][14][15][16][17][18][19][20][21][22][23] Sebuah studi tahun 2006 menunjukkan bahwa 20% dari populasi secara anonim melaporkan memiliki perasaan homoseksual, meskipun relatif sedikit peserta dalam penelitian ini menyatakan diri mereka sebagai homoseksual.[24] Perilaku homoseksual juga banyak diamati pada hewan.[25][26][27][28][29] Banyak individu gay dan lesbian memiliki komitmen hubungan sesama jenis, meski hanya baru-baru ini terdapat sensus dan status hukum/politik yang mempermudah enumerasi dan keberadaan mereka.[30][31][32][33][34][35][36][37][38] Hubungan ini setara dengan hubungan heteroseksual dalam hal-hal penting secara psikologis.[2] Hubungan dan tindakan homoseksual telah dikagumi, serta dikutuk, sepanjang sejarah, tergantung pada bentuknya dan budaya tempat mereka didapati.[39] Sejak akhir abad ke-19, telah ada gerakan menuju pengakuan keberadaan dan hak-hak legal bagi orang-orang homoseksual, yang mencakup hak untuk pernikahan dan kesatuan sipil, hak adopsi dan pengasuhan, hak kerja, hak untuk memberikan pelayanan militer, dan hak untuk mendapatkan jaminan sosial kesehatan. EtimologiKata homoseksual adalah hasil penggabungan bahasa Yunani dan Latin dengan elemen pertama berasal dari bahasa Yunani ὁμός homos, 'sama' (tidak terkait dengan kata Latin homo, 'manusia', seperti dalam Homo sapiens), sehingga dapat juga berarti tindakan seksual dan kasih sayang antara individu berjenis kelamin sama, termasuk lesbianisme.[40] Gay umumnya mengacu pada homoseksualitas laki-laki, tetapi dapat digunakan secara luas untuk merujuk kepada semua orang LGBT. Dalam konteks seksualitas, lesbian, hanya merujuk pada homoseksualitas perempuan. Kata "lesbian" berasal dari nama pulau Yunani Lesbos, di mana penyair Sapfo banyak sekali menulis tentang hubungan emosionalnya dengan wanita muda.[41][42] Banyak panduan penulisan modern di Amerika Serikat menyarankan untuk tidak menggunakan kata homoseksual sebagai kata benda, tetapi menggunakan kata pria gay atau lesbian.[43] Demikian pula, beberapa merekomendasikan untuk sepenuhnya menghindari penggunaan kata homoseksual karena memiliki sejarah yang buruk dan karena kata tersebut hanya merujuk pada perilaku seksual seseorang (berlawanan dengan perasaan romantis) dan dengan demikian memiliki konotasi negatif.[43] Gay dan lesbian adalah alternatif yang paling umum. Huruf pertama sering dikombinasikan untuk menciptakan inisial LGBT (terkadang ditulis sebagai GLBT), di mana B dan T mengacu pada orang biseksual dan transgender. Kemunculan istilah homoseksual pertama kali ditemukan pada tahun 1869 dalam sebuah pamflet Jerman tulisan novelis kelahiran Austria Karl-Maria Kertbeny yang diterbitkan secara anonim,[44] berisi perdebatan melawan hukum anti-sodomi Prusia.[45][46] Pada tahun 1879, Gustav Jager menggunakan istilah Kertbeny dalam bukunya, Die Entdeckung der Seele (1880).[46] Pada tahun 1886, Richard von Krafft-Ebing menggunakan istilah homoseksual dan heteroseksual dalam bukunya Psychopathia Sexualis; ia mungkin meminjamnya dari buku Jager. Buku Krafft-Ebing begitu populer di kalangan baik orang awam dan kedokteran hingga istilah "heteroseksual" dan "homoseksual" menjadi istilah yang paling luas diterima untuk orientasi seksual.[46][47] Dengan demikian, penggunaan istilah tersebut berakar dari tradisi taksonomi kepribadian abad ke-19 yang lebih luas. Meskipun penulis awal juga menggunakan kata sifat homoseksual untuk merujuk pada konteks sesama jenis (seperti sekolah khusus perempuan), sekarang istilah ini digunakan secara eksklusif dalam referensi untuk daya tarik seksual, aktivitas, dan orientasi. Istilah homososial sekarang digunakan untuk menggambarkan konteks sesama jenis yang tidak secara khusus bersifat seksual. Ada juga kata yang mengacu kepada cinta sesama jenis, homofilia. SinonimBeberapa sinonim untuk ketertarikan atau aktivitas sesama jenis meliputi laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki atau LSL (digunakan di kalangan medis ketika secara khusus membahas aktivitas seksual) dan homoerotis (mengacu pada karya seni).[48] Istilah peyoratif dalam bahasa Inggris meliputi queer, faggot, fairy (peri), poof, dan homo.[49][50][51][52] Dimulai pada 1990-an, beberapa kata peyoratif telah dijadikan kata-kata positif oleh pria gay dan lesbian, seperti dalam penggunaan istilah studi queer, teori queer, dan bahkan program televisi populer Amerika Queer Eye for the Straight Guy.[53] Kata homo muncul dalam banyak bahasa lainnya tanpa konotasi penghinaan seperti dalam bahasa Inggris.[54] Namun, seperti penghinaan etnis dan penghinaan rasial, penyalahgunaan istilah-istilah ini masih bisa sangat menyinggung, dan kisaran penggunaan yang dapat diterima tergantung pada konteks dan pembicara.[55] Sebaliknya, gay, kata yang awalnya diambil oleh pria homoseksual dan wanita sebagai istilah positif afirmatif (seperti dalam pembebasan gay dan hak-hak gay),[56] telah digunakan secara peyoratif di kalangan muda.[57] Seksualitas dan identitas genderSkala KinseySkala Kinsey mencoba menggambarkan sejarah seksual seseorang atau episode aktivitas seksual mereka pada waktu tertentu. Menggunakan skala dari 0, berarti secara eksklusif heteroseksual, sampai 6, yang berarti secara eksklusif homoseksual.[58][59]
Orientasi seksual, identitas, perilakuAmerican Psychological Association, American Psychiatric Association, dan National Association of Social Workers menyatakan orientasi seksual "bukan hanya karakteristik pribadi yang dapat didefinisikan secara tersendiri. Malahan, orientasi seksual seseorang menentukan dengan siapa orang tersebut mungkin menemukan hubungan yang memuaskan":[2]
Perkembangan identitas seksual: "proses melela"Banyak orang yang merasakan ketertarikan kepada anggota jenis kelamin sama memiliki fase "melela" (coming out) dalam kehidupan mereka. Umumnya, melela digambarkan dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase "mengenali diri", dimana muncul kesadaran bahwa ia terbuka untuk hubungan sesama jenis. Fase ini sering digambarkan sebagai melela yang bersifat internal. Tahap kedua melibatkan keputusan untuk terbuka kepada orang lain, misalnya keluarga, teman, dan/atau kolega. Tahap ketiga mencakup hidup secara terbuka sebagai orang LGBT.[61] Di Amerika Serikat saat ini [per kapan?], orang sering "come out" di usia sekolah menengah atas atau kuliah. Pada usia ini, mereka mungkin tidak percaya atau meminta bantuan dari orang lain, terutama ketika orientasi mereka tidak diterima di masyarakat. Terkadang keluarga mereka sendiri bahkan tidak diberitahu. Menurut Rosario, Schrimshaw, Hunter, Braun (2006), "perkembangan identitas seksual lesbian, gay, atau biseksual (LGB) adalah suatu proses yang kompleks dan sering kali sulit. Tidak seperti anggota kelompok minoritas lainnya (misalnya, minoritas etnis dan ras), sebagian besar individu LGB tidak dibesarkan dalam komunitas serupa dimana mereka dapat belajar tentang identitasnya dan mematangkan dan mendukung identitas itu. Sebaliknya, individu LGB sering dibesarkan dalam komunitas yang abai atau secara terbuka memusuhi homoseksualitas. "[62] Dilela (bahasa Inggris: outing) adalah upaya membongkar orientasi seksual seorang yang tertutup.[63] Politisi terkenal, selebriti, kalangan dinas militer, dan pendeta telah "dibongkar" dengan motif mulai dari kebencian hingga ke alasan politik atau keyakinan moral. Banyak yang berkomentar menentang keras praktik ini atas dasar privasi,[64] sementara beberapa mendukung pembongkaran homoseksualitas tokoh masyarakat yang menggunakan pengaruh mereka untuk menyakiti gay lainnya.[65] Identitas genderPara penulis awal orientasi homoseksual biasanya memahami keterkaitan intrinsik pada jenis kelamin subjek. Sebagai contoh, mereka berpendapat bahwa individu yang berperawakan perempuan yang tertarik pada individu berperawakan perempuan lainnya akan memiliki atribut maskulin, dan sebaliknya.[66] Pemahaman ini dianut oleh sebagian besar teoretisi penting homoseksualitas dari pertengahan abad ke-19 hingga awal abad 20, seperti Karl Heinrich Ulrichs, Richard von Krafft-Ebing, Magnus Hirschfeld, Havelock Ellis, Carl Jung dan Sigmund Freud, serta individu-individu dari kalangan homoseksual sendiri. Namun, pemahaman tentang homoseksualitas sebagai inversi seksual pada saat itu telah memicu pertikaian dan silang pendapat, dan setelah paruh kedua abad ke-20, identitas gender semakin dilihat sebagai fenomena yang berbeda dari orientasi seksual. Individu-individu transgender dan cisgender dapat tertarik kepada pria, perempuan atau keduanya, meskipun prevalensi orientasi seksual yang berlainan sangat berbeda dalam dua populasi ini. Individu homoseksual, heteroseksual atau biseksual dapat bersifat maskulin, feminin, atau androgini, dan di samping itu, banyak anggota dan pendukung komunitas lesbian dan gay sekarang yang melihat "heteroseksual sesuai gender" dan "homoseksual tidak sesuai gender" sebagai stereotip negatif. Meskipun demikian, sebuah penelitian oleh J. Michael Bailey dan K.J. Zucker telah menemukan bahwa mayoritas laki-laki gay dan lesbian tumbuh tidak sesuai gender selama masa kecil mereka.[67] Richard C. Friedman, dalam bukunya Male Homosexualiy yang terbit pada tahun 1990,[68] menulis dari sudut pandang psikoanalisis, berpendapat bahwa hasrat seksual dimulai lebih lambat dari yang dilansir dalam tulisan-tulisan Sigmund Freud. Ia menunjukkan hasrat seksual muncul bukan pada masa bayi, tetapi antara usia 5 dan 10 tahun dan tidak terfokus kepada figur orang tua tetapi pada orang di sekitarnya. Oleh karena itu, menurutnya pria homoseksual tidak abnormal, karena tidak pernah tertarik secara seksual pada ibu mereka.[69] Konstruksi sosialKarena orientasi homoseksual bersifat kompleks dan multi-dimensi, beberapa akademisi dan peneliti[siapa?], terutama dalam studi Queer, berpendapat bahwa homoseksual adalah konstruksi sejarah dan sosial. Pada tahun 1976 sejarawan Michel Foucault berpendapat bahwa homoseksualitas sebagai identitas tidak ada pada abad ke-18.[butuh rujukan] Orang-orang pada masa itu berbicara tentang "sodomi" yang mengacu kepada tindakan seksual. Sodomi saat itu merupakan kejahatan yang sering diabaikan tetapi terkadang dijatuhi hukuman berat. Istilah homoseksual sering digunakan dalam budaya Eropa dan Amerika untuk mencakup keseluruhan identitas sosial seseorang, yang meliputi diri dan kepribadian. Dalam budaya Barat beberapa orang membicarakan identitas dan komunitas gay, lesbian, dan biseksual. Dalam budaya lain, label homoseksual dan heteroseksual tidak menentukan identitas sosial atau menunjukkan afiliasi komunitas berdasarkan orientasi seksual.[70] Beberapa ilmuwan, seperti David Green, menyatakan bahwa homoseksualitas adalah konstruksi sosial modern Barat, dan dengan demikian tidak dapat digunakan dalam konteks seksualitas antar pria non-Barat, atau pada masa pra-modern Barat.[71] Percintaan dan hubungan sesama jenisIndividu-individu dengan orientasi homoseksual dapat mengekspresikan seksualitasnya dalam berbagai cara, dan dapat atau dapat tidak muncul dalam perilaku mereka.[1] Beberapa memiliki hubungan seksual dengan individu-individu dengan identitas gender sama, lain gender, biseksual atau dapat juga berselibat.[1] Penelitian menunjukkan banyak pasangan lesbian dan gay yang menginginkan, dan berhasil dalam memiliki komitmen dan hubungan yang bertahan lama. Sebagai contoh, data survei menunjukkan bahwa antara 40% dan 60% pria gay dan antara 45% dan 80% dari lesbian saat ini terlibat dalam hubungan percintaan.[72] Data survei juga menunjukkan bahwa antara 18% dan 28% dari pasangan gay dan antara 8% dan 21% dari pasangan lesbian di AS telah hidup bersama selama sepuluh tahun atau lebih.[72] Sejumlah penelitian telah mengungkapkan bahwa pasangan homoseksual dan heteroseksual setara satu sama lain dalam ukuran kepuasan dan komitmen dalam hubungan percintaan,[73][74] bahwa usia dan gender lebih dapat diandalkan sebagai alat ukur kepuasan dan komitmen hubungan percintaan,[74] dan bahwa individu heteroseksual atau homoseksual memiliki harapan dan impian hubungan percintaan yang sebanding.[75] DemografiData tepercaya tentang ukuran populasi gay dan lesbian sangat penting dalam memberikan informasi kebijakan publik.[76] Misalnya, demografi membantu menghitung biaya dan keuntungan dari manfaat kemitraan domestik, dampak dari legalisasi adopsi anak oleh pasangan gay, dan dampak dari kebijakan militer Amerika Serikat Don't Ask Don't Tell.[76] Selanjutnya, pengetahuan tentang ukuran populasi "gay dan lesbian menjanjikan bantuan bagi para ilmuwan sosial memahami beragam pertanyaan penting -pertanyaan tentang kriteria umum pasar tenaga kerja, akumulasi modal, spesialisasi tugas dan peran dalam rumah tangga, diskriminasi, dan pemilihan lokasi geografis."[76] Namun, terdapat kesulitan dalam mengukur prevalensi homoseksualitas.[12] Penelitian harus mengukur beberapa karakteristik yang dapat atau tidak dapat menentukan orientasi seksual seseorang. Kalangan yang memiliki hasrat sesama jenis mungkin lebih besar dari kalangan orang yang bertindak memenuhi keinginannya itu, yang mungkin juga lebih besar dari kalangan orang yang menyatakan diri sebagai gay/lesbian/biseksual.[76] Pada tahun 1948 dan 1953, Alfred Kinsey melaporkan bahwa hampir 46% dari subjek laki-laki "bereaksi" secara seksual kepada orang-orang dari kedua jenis kelamin dalam perjalanan kehidupan dewasa mereka, dan 37% memiliki, setidaknya, satu pengalaman homoseksual.[77][78] Metodologi Kinsey ini menuai kritikan.[79][80] Sebuah penelitian kemudian mencoba menghilangkan bias terhadap sampel, tetapi masih memperoleh kesimpulan yang sama.[81] Perkiraan populasi homoseksualitas eksklusif berkisar antara 1-20 persen dari populasi, biasanya ditemukan lebih banyak populasi gay daripada lesbian.[14][15][18][19][21][22][23][24][82] Perkiraan frekuensi aktivitas homoseksual juga bervariasi dari satu negara ke negara lain. Sebuah penelitian tahun 1992 melaporkan bahwa 6,1% laki-laki di Britania Raya telah memiliki pengalaman homoseksual, sementara di Prancis jumlah itu hanya 4,1%.[83] Menurut survei tahun 2003, 12% dari warga Norwegia telah melakukan hubungan seks homoseksual.[22] Di Selandia Baru, sebuah penelitian tahun 2006 menunjukkan bahwa 20% dari populasi secara anonim melaporkan memiliki perasaan homoseksual, beberapa dari mereka mengaku sebagai homoseksual. Persentase individu yang teridentifikasi homoseksual sejumlah 2-3%.[24] Hasil sebuah polling tahun 2008, menunjukkan dimana hanya 6% penduduk Britania Raya menetapkan orientasi seksualnya sebagai homoseksual atau biseksual, lebih dari dua kali angka itu (13%) yang memiliki beberapa bentuk kontak seksual dengan individu berjenis kelamin sama.[23] Pada pemilu AS 2008, berdasarkan hasil pemungutan suara, 4% dari pemilih menyatakan diri sebagai gay, lesbian, atau biseksual, sama seperti pada tahun 2004.[84] Menurut Lembaga Sensus Amerika Serikat pada tahun 2000 ada sekitar 601.209 pasangan rumah tangga tak menikah.[85] Di Britania Raya, hasil survei Kantor Statistik Nasional melansir angka 1,5% gay atau biseksual, dan menunjukkan kesamaan dengan hasil survei lain yang memberi kisaran antara 0,3% dan 3%.[78] PsikologiPsikologi adalah salah satu disiplin ilmu pertama yang mempelajari orientasi homoseksual sebagai fenomena diskrit (terpisah). Upaya pertama mengklasifikasikan homoseksualitas sebagai penyakit dibuat oleh gerakan seksolog amatir Eropa di akhir abad ke-19. Pada tahun 1886, seksolog terkemuka, Richard von Krafft-Ebing, menyejajarkan homoseksualitas bersama dengan 200 studi kasus praktik seksual menyimpang lainnya dalam karya, Psychopathia Sexualis. Krafft-Ebing mengedepankan bahwa homoseksualitas disebabkan oleh "kesalahan bawaan lahir [selama kelahiran]" atau "inversi perolehan". Dalam dua dekade terakhir dari abad ke-19, pandangan lain mulai mendominasi kalangan medis dan psikiatris, menilai perilaku tersebut menunjukkan jenis individu dengan orientasi seksual bawaan dan relatif stabil. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, model patologis homoseksualitas banyak digunakan. American Psychological Association, American Psychiatric Association, dan National Association of Social Workers berpendapat:
[7] Penelitian dan literatur klinis menunjukkan bahwa atraksi seksual dan cinta, perasaan, dan perilaku dalam konteks hubungan sesama jenis bersifat normal dan positif. Konsensus ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku dan profesi kesehatan dan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan salah satu variasi orientasi seksual manusia.[87] Kini, terdapat bukti penelitian yang menunjukkan bahwa menjadi gay, lesbian atau biseksual sesuai dengan kesehatan mental normal dan penyesuaian sosial.[7] ICD-9 yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (1977) mencantumkan homoseksualitas sebagai penyakit kejiwaan; kemudian dihilangkan dalam ICD-10 yang disahkan oleh Sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-43 pada tanggal 17 Mei 1990.[88][89] Seperti DSM-II, ICD-10 menambahkan orientasi seksual ego-distonik, mengacu kepada individu yang ingin mengubah identitas gender atau orientasi seksual mereka karena gangguan perilaku atau psikologis( F 66,1 ). Masyarakat Psikiatri Tionghoa menghapuskan homoseksualitas dari Klasifikasi Gangguan Mental Tionghoa pada tahun 2001, lima tahun setelah dilakukan studi oleh asosiasi tersebut.[90] Menurut Royal College of Psychiatrists "sejarah buram ini menunjukkan bagaimana marjinalisasi terhadap sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri kepribadian tertentu (dalam hal ini kasus homoseksualitas) dapat menyebabkan praktik medis berbahaya dan dasar diskriminasi di masyarakat.[7] Namun, pengalaman diskriminasi dalam masyarakat dan kemungkinan penolakan oleh sebaya, kerabat, dan yang lainnya, seperti kolega, mengakibatkan sejumlah individu LGB mengalami kendala kesahatan mental dan masalah penyalahgunaan obat yang lebih kuat ketimbang rata-rata. Meskipun ada klaim dari kelompok-kelompok politik konservatif di Amerika Serikat bahwa tingginya kendala kesehatan mental adalah bukti bahwa homoseksualitas itu sendiri merupakan gangguan mental, tidak ada bukti apapun yang dapat mendukung klaim seperti itu."[91] Kebanyakan individu lesbian, gay, dan biseksual menjalani psikoterapi dengan alasan sama seperti individu heteroseksual (stres, kesulitan dalam hubungan, kesulitan menyesuaikan diri dengan situasi sosial atau tempat kerja, dll); orientasi seksual mereka mungkin penting, sepele, atau tidak penting bagi perlakuan dan pokok permasalahan mereka. Apapun masalahnya, ada risiko tinggi prasangka anti-gay terhadap klien psikoterapi yang lesbian, gay, dan biseksual.[92] Penelitian psikologis untuk hal ini telah membantu melawan sikap dan tindakan berprasangka ("homofobia") yang merugikan, dan secara umum membantu gerakan perjuangan hak-hak LGBT.[93] Penerapan psikoterapi yang disetujui harus didasarkan pada fakta-fakta ilmiah berikut:[87]
EtiologiWalaupun ilmuwan mendukung model biologis untuk menjelaskan asal mula orientasi seksual,[3] mereka merasa bahwa orientasi seksual tidak ditentukan oleh satu faktor saja. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah faktor biologis dan lingkungan; faktor biologis dapat berupa genetika dan hormon yang mempengaruhi perkembangan otak fetus, sementara faktor lingkungan dapat bersifat sosiologis, psikologis, atau lingkungan awal di dalam uterus.[1][3][4] Ilmuwan pada umumnya sepakat bahwa orientasi seksual bukanlah suatu pilihan.[4][94] American Psychological Association, American Psychiatric Association, dan National Association of Social Workers pada tahun 2006 menyatakan:
Pada tahun 2007, Royal College of Psychiatrists menyatakan:
American Academy of Pediatrics dalam Pediatrics pada tahun 2004 menyatakan:
American Psychological Association menyatakan "mungkin ada banyak penyebab terbentuknya orientasi seksual seseorang dan sebab-sebab tersebut berbeda pada tiap individu", dan mengatakan orientasi seksual kebanyakan orang ditentukan pada usia dini.[1] Penelitian tentang bagaimana orientasi seksual pada pria dapat ditentukan oleh faktor genetik atau faktor prenatal lainnya, menjadi perdebatan sosial dan politik terkait dengan isu homoseksualitas, dan juga menimbulkan kekhawatiran tentang profil genetik dan pengujian pralahir.[97] Profesor Michael King menyatakan: "Kesimpulan yang dicapai oleh para ilmuwan dalam menyelidiki asal usul dan stabilitas orientasi seksual adalah bahwa itu merupakan karakteristik manusia yang terbentuk sejak awal kehidupan, dan tidak dapat berubah. Bukti ilmiah asal usul homoseksualitas dianggap relevan sebagai perdebatan teologis dan sosial karena adanya anggapan bahwa orientasi seksual adalah sebuah pilihan."[98] Para penulis dari penelitian pada tahun 2008 menyatakan "ada cukup bukti bahwa orientasi seksual manusia dipengaruhi secara genetik, sehingga tidak diketahui bagaimana homoseksualitas, yang cenderung menurunkan keberhasilan reproduksi, mampu bertahan dalam populasi pada frekuensi yang relatif tinggi". Mereka berhipotesis bahwa "walaupun gen yang membawa kecenderungan homoseksualitas mengurangi keberhasilan reproduksi homoseksual, gen tersebut dapat memberikan beberapa keuntungan pada heteroseksual yang membawa gen itu". Hasil studinya menunjukkan bahwa "gen yang membawa kecenderungan homoseksualitas dapat memberikan keuntungan perkawinan pada heteroseksual, yang dapat membantu menjelaskan evolusi dan terjaganya homoseksualitas dalam populasi".[99] Sebuah studi tahun 2009 juga memperlihatkan peningkatan kesuburan wanita yang signifikan berhubungan dengan keturunan homoseksual dari garis ibu (tetapi tidak pada mereka yang berada pada garis keturunan ayah).[100] Dalam abstraksi studinya tahun 2010, Garcia-Falgueras dan Swaab menyatakan, "otak janin berkembang selama masa intrauterin ke arah laki-laki melalui kerja testosteron pada sel-sel saraf yang berkembang, atau ke arah perempuan melalui ketiadaan hormon ini. Dengan cara ini, identitas gender kita (keyakinan tergabung dalam gender pria atau wanita) dan orientasi seksual telah diprogram atau diatur dalam struktur otak ketika masih dalam kandungan. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa lingkungan sosial setelah kelahiran membawa pengaruh pada identitas gender atau orientasi seksual."[101] Kisah lesbian dan kesadaran akan orientasi seksualnyaKaum lesbian sering kali memiliki pengalaman seksualitas berbeda dari pria gay, dan memiliki pemahaman etiologi berbeda, di mana studi-studi etiologi banyak berfokus terutama pada pria. Dalam sebuah survei surat tahun 1970-an oleh Shere Hite di Amerika Serikat, kalangan lesbian menyatakan alasan mereka menjadi lesbian. Ini adalah satu-satunya penelitian utama seksualitas perempuan yang telah mempelajari bagaimana perempuan memahami menjadi homoseksual sejak Kinsey pada tahun 1953. Penelitian ini menghasilkan informasi tentang pemahaman umum perempuan dalam hubungan lesbian dan orientasi seksual mereka. Kaum perempuan berbicara tentang social conditioning, yang membuat "hampir mustahil bagi saya untuk memiliki hubungan seksual yang benar-benar sehat dengan seorang pria".[102] Perempuan lain menyatakan bahwa karena kondisi mereka "perempuan jauh lebih peka terhadap kebutuhan orang lain", maka "kegiatan seksual lebih baik secara fisik dan emosional dengan perempuan", juga mengungkapkan dia lebih menyukai simetri kekuasaan dan estetika antar perempuan.[102] Beberapa perempuan mengungkapkan, "secara pribadi saya lebih suka perempuan, mereka lebih lembut dan penuh kasih sayang",[102] dan beberapa bicara tentang bagaimana mereka menemukan hubungan emosional dengan wanita lebih memuaskan dibandingkan dengan laki-laki, perempuan menjadikan mereka lebih kreatif dan serba bisa. Seorang wanita melaporkan lebih mudah baginya "untuk menyerahkan diri secara emosional terhadap wanita".[102] Seorang wanita yang telah menjadi lesbian selama dua tahun mengatakan ia menjumpai hubungan seksual dengan perempuan lebih menyenangkan baik pada tingkat psikologis maupun fisik daripada dengan laki-laki, hal ini "dikarenakan wanita-wanita yang pernah berhubungan seks dengan saya telah menjadi teman saya telah sebelumnya, yang tidak pernah terjadi dengan laki-laki. Dengan berteman akan terbangun rasa percaya yang saya pikir sangat penting untuk kepuasan keintiman fisik. Berkaitan dengan wanita lain secara fisik tampak seperti hal yang paling alami di dunia. Anda sudah mengetahui bagaimana memberikan ia kesenangan. Kelembutan tampaknya menjadi kunci, dan merupakan perbedaan utama hubungan dengan pria dan wanita."[102] Perempuan berbicara tentang perempuan menjadi pasangan seksual lebih baik dan itu merupakan hal pokok: "Saya menemukan perempuan adalah kekasih yang lebih unggul; mereka tahu apa yang wanita inginkan dan hampir semua punya kedekatan emosional yang tidak pernah dapat dicocokkan dengan seorang pria. Lebih lembut, lebih menimbang dan memahami perasaan, dll"[102] Pandangan muncul dikarenakan laki-laki dianggap sebagai individu yang kaku secara "seksual atau emosional atau lainnya", dan lesbianisme dianggap "sebagai alternatif untuk abstinensi" dan untuk laki-laki umumnya.[102] Pria dianggap layaknya seorang anak kecil, sementara hubungan dengan perempuan digambarkan lebih sebagai "persekutuan diri".[102] Hubungan seks serta hubungan dengan wanita dipandang sebagai cara untuk memperoleh kemerdekaan dari laki-laki; "hubungan seks dengan perempuan berarti merdeka dari laki-laki."[102] Kinerja seksual laki-laki juga adalah masalah lain, "dua puluh menit dengan pria, setidaknya sama dengan satu jam dengan perempuan, atau biasanya lebih",[102] juga perhatian terhadap kebutuhan seksual wanita itu sendiri yang "tampak memiliki tingkat energi lebih berkelanjutan setelah orgasme, dan lebih mungkin untuk mengetahui dan melakukan sesuatu jika saya tidak puas".[102] Salah satu pemahaman tentang perbedaan itu adalah bahwa seks dengan wanita "bukanlah 'pertukaran' atau 'dagang' atau jasa", dan bukan terfokus pada orgasme, dengan "lebih berciuman dan berpegangan" dan "lebih perhatian terhadap kesenangan saya", seks dialami sebagai pembebasan. Seks dengan perempuan juga dipandang sebagai tindakan politik; "Saya melihat lesbianisme seperti menempatkan semua energi saya (seksual, sosial, politik, dll) ke wanita. Seks adalah suatu bentuk kenyamanan sementara berhubungan seks dengan laki-laki adalah untuk memberi mereka kenyamanan."[102] Hite lebih peduli dengan apa yang dikatakan responden ketimbang data kuantitatif. Dia menemukan dua perbedaan paling signifikan antara pengalaman responden dengan laki-laki dan perempuan yaitu fokus pada rangsangan klitoris, dan keterlibatan emosional dan tanggapan orgasmik.[102] Sejak Hite melakukan penelitiannya, dia mengakui bahwa beberapa wanita mungkin telah memilih identitas politik seorang lesbian. Julie Bindel, seorang wartawan Inggris, menegaskan bahwa "politik lesbianisme terus membangun kesadaran hakiki karena memperkuat gagasan bahwa seksualitas adalah pilihan, dan kita tidak ditakdirkan pada nasib tertentu karena kromosom kita." baru-baru ini tahun 2009.[103] Upaya mengubah orientasi seksualTidak ada studi ilmiah yang mampu membuktikan apakah upaya mengubah orientasi seksual dapat benar-benar mengubah orientasi seksual seseorang.[10] Konsensus dari ilmu-ilmu perilaku dan ilmu sosial dan pakar kesehatan dan kejiwaan adalah bahwa homoseksualitas merupakan variasi normal dan positif dari orientasi seksual manusia,[10] dan Asosiasi Psikologi Amerika juga mengatakan bahwa "kebanyakan orang merasakan sedikit atau tidak sama sekali pilihan tentang orientasi seksual mereka".[104] Terkait dengan upaya pengubahan itu sendiri, hampir semua lembaga kesehatan mental profesional telah menerapkan pernyataan kebijakan yang memperingatkan para pakar dan masyarakat tentang "terapi" yang dimaksudkan untuk mengubah orientasi seksual. Lembaga-lembaga ini termasuk American Psychiatric Association, American Psychological Association, American Counseling Association, National Association of Social Workers di Amerika Serikat,[105] the Royal College of Psychiatrists,[106] dan Australian Psychological Society.[107] American Psychological Association dan the Royal College of Psychiatrists juga telah menyatakan kekhawatiran terhadap pandangan kelompok yang mencoba mengubah orientasi seksual (seperti NARTH), karena menurut mereka pandangan tersebut tidak didukung oleh ilmu pengetahuan dan menciptakan suatu lingkungan di mana prasangka dan diskriminasi dapat berkembang.[106][108] Fluiditas orientasiAmerican Psychiatric Association (APA) telah menyatakan "beberapa orang meyakini bahwa orientasi seksual merupakan bawaan dan bersifat tetap, namun, orientasi seksual berkembang sepanjang riwayat hidup seseorang".[109] Dalam sebuah pernyataan bersama dengan organisasi-organisasi medis Amerika, APA mengatakan bahwa "masing-masing individu menyadari mereka adalah heteroseksual, gay, lesbian, atau biseksual pada waktu yang berlainan dalam hidupnya".[110] Sebuah laporan dari Centre for Addiction and Mental Health menyatakan: "Bagi beberapa orang, orientasi seksual berkelanjutan dan tidak berubah sepanjang hidup mereka. Bagi yang lain, orientasi seksual dapat bersifat cair dan berubah seiring waktu."[111] Hasil penelitian menunjukkan "cairnya ketertarikan, perilaku dan identitas perempuan lesbian, biseksual dan yang tanpa label dalam angka yang cukup tinggi."[112][113] Gender dan fluiditasDalam sebuah penelitian tahun 2004, subjek perempuan (baik straight maupun lesbian) memperlihatkan sikap terangsang ketika melihat film-film erotis heteroseksual serta lesbian. Di antara subjek laki-laki, pria straight hanya oleh terangsang oleh film-film erotis dengan wanita, sementara pria gay terangsang oleh film erotis dengan laki-laki. Peneliti senior penelitian tersebut mengatakan bahwa hasrat seksual perempuan lebih fleksibel terhadap kedua jenis kelamin dibandingkan dengan pria, dan ia lebih dapat berubah dari waktu ke waktu.[114] PengasuhanPenelitian ilmiah telah konsisten menunjukkan bahwa orang tua yang lesbian dan gay cocok dan mampu sebagai orang tua sama halnya dengan orang tua yang heteroseksual, dan anak-anak mereka sehat secara psikologis dan mampu menyesuaikan diri dengan baik seperti anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua heteroseksual.[115][116][117] Menurut tinjauan literatur ilmiah, tidak ada bukti sebaliknya.[2][118][119][120][121] KesehatanFisikIstilah "laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki" (LSL) dan "perempuan yang berhubungan seks dengan perempuan" (PSP) mengacu kepada orang-orang yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama terlepas dari bagaimana mereka mengidentifikasi diri -sehubungan dengan banyak yang memilih untuk tidak menerima identitas-identitas sosial sebagai lesbian, gay dan biseksual.[122][123][124][125][126] Istilah-istilah ini sering digunakan dalam literatur medis dan penelitian sosial untuk menggambarkan kelompok-kelompok tersebut dalam penelitian, tanpa perlu mempertimbangkan isu-isu seksual identitas diri. Namun, istilah-istilah ini dilihat sebagai masalah karena "mengaburkan dimensi sosial dari seksualitas, merusak pelabelan pada orang-orang lesbian, gay, dan biseksual, dan tidak cukup menjelaskan variasi dalam perilaku seksual".[127] LSL dan PSP aktif secara seksual satu sama lain untuk berbagai alasan terutama kepuasan seksual, keintiman dan ikatan. Namun, perilaku seksual dapat menjadi vektor penyakit. Beberapa contoh penyakit menular seksual yang dapat ditimbulkan oleh perilaku seks tidak aman pada kelompok LSL adalah HIV/AIDS, hepatitis A dan B, sifilis, gonorea, klamidia, dan syankroid.[128] Sementara itu, PSP berisiko terkena infeksi bakteri, virus, dan protozoa, seperti misalnya infeksi virus papiloma manusia dan vaginosis bakterialis.[129] Seks yang aman dinilai sangat penting guna meminimalisir dampak buruk.[130] Vaksinasi hepatitis A dan B juga disarankan untuk populasi LSL.[128] Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa sesi konseling mengenai pencegahan penyakit menular seksual yang diberikan secara singkat saja dapat mengurangi kemungkinan terkena penyakit menular seksual di masa depan sebesar 25 hingga 40%.[131] Meskipun begitu, Amerika Serikat saat ini melarang LSL untuk menjadi donor darah "karena mereka, sebagai kelompok memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk HIV, hepatitis B dan infeksi tertentu lainnya yang dapat ditularkan melalui transfusi."[132] Britania Raya[133] dan banyak negara Eropa menerapkan larangan yang sama.[132] Kesehatan masyarakatBerikut merupakan rekomendasi perilaku seks yang lebih aman yang telah disepakati oleh para pejabat kesehatan masyarakat bagi para perempuan yang berhubungan seks dengan perempuan (PSP) agar terhindar dari infeksi-infeksi menular seksual (IMS):
Rekomendasi seks yang lebih aman yang disepakati oleh para pejabat kesehatan masyarakat bagi laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) agar terhindar dari infeksi menular seksual (IMS):
KejiwaanKetika pertama kali dijelaskan dalam literatur medis, homoseksualitas sering didekati melalui pandangan-pandangan yang berusaha untuk menemukan psikopatologi sebagai akar penyebab terjadinya homoseksualitas. Banyak literatur tentang kesehatan kejiwaan dan pasien homoseksual berpusat kepada depresi, penyalahgunaan zat, dan bunuh diri. Meskipun masalah ini terjadi pada kaum non-heteroseksual, namun perdebatan tentang penyebab-penyebab terjadinya homoseksualitas seseorang bergeser setelah ia dihapus dari daftar kelainan dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) pada tahun 1973. Sebaliknya, pengucilan sosial, diskriminasi hukum, internalisasi stereotip negatif, dan struktur dukungan yang terbatas menunjukkan faktor-faktor yang dihadapi kaum homoseksual dalam masyarakat Barat berpengaruh pada kesehatan mental mereka.[137] Stigma, prasangka, dan diskriminasi yang berasal dari sikap negatif masyarakat terhadap homoseksualitas mengarah pada prevalensi yang lebih tinggi dari gangguan kesehatan kejiwaan di kalangan lesbian, pria gay, dan biseksual dibandingkan dengan rekan-rekan heteroseksual mereka.[138] Bukti menunjukkan bahwa liberalisasi sikap selama beberapa dekade terakhir berkaitan dengan penurunan risiko gangguan kesehatan kejiwaan di kalangan muda LGBT.[139] Gay dan lesbian mudaRemaja gay dan lesbian menanggung risiko bunuh diri, penyalahgunaan obat, masalah sekolah, dan isolasi yang lebih besar karena "lingkungan yang tidak bersahabat dan penuh cela, adanya pelecehan verbal dan fisik, penolakan dan isolasi dari keluarga dan teman sebaya".[140] Kaum muda LGBT pun lebih terbuka untuk melaporkan pelecehan psikologis dan fisik oleh orang tua atau pengasuh mereka, dan juga pelecehan seksual. Kemungkinan terjadinya hal ini adalah bahwa (1) LGBT muda dapat secara spesifik ditargetkan atas dasar orientasi seksual yang tampak/terlihat atau gender yang tidak sesuai dengan penampilan mereka, dan (2) bahwa "faktor risiko yang terkait dengan status minoritas seksual, termasuk diskriminasi, ketidakberadaan, dan penolakan oleh anggota keluarga meninggikan kemungkinan risiko untuk menjadi korban, seperti penyalahgunaan zat, hubungan seks dengan banyak pasangan, atau lari dari rumah. "[141] Sebuah penelitian 2008 menunjukkan korelasi antara tingkat penolakan oleh orang tua remaja LGB dan masalah kesehatan negatif:
Crisis Center (lembaga yang membantu remaja dan/atau dewasa yang mengalami krisis kesehatan) di kota-kota besar dan situs-situs informasi di Internet telah muncul untuk membantu remaja dan dewasa.[143] The Trevor Helpline, adalah layanan pencegahan bunuh diri untuk remaja gay, yang didirikan setelah penayangan film Trevor, pemenang film pendek Piala Oscar, di HBO 1998. SejarahAfrikaMeskipun sering diabaikan atau ditekan oleh penjelajah dan penjajah dari Eropa, penduduk asli Afrika memiliki berbagai bentuk ekspresi homoseksual. Antropolog Stephen O. Murray dan Will Roscoe melaporkan bahwa perempuan di Lesotho melakukan sanksi sosial berupa "hubungan erotis jangka panjang" yang disebut motsoalle.[144] E. E. Evans-Pritchard juga mencatat bahwa prajurit laki-laki suku Azande di Kongo utara rutin mengambil kekasih laki-laki muda antara usia dua belas dan dua puluh, yang membantu tugas rumah tangga dan berpartisipasi dalam seks interkrural dengan suami mereka yang lebih tua. Namun, praktik ini telah mati sejak awal abad 20, setelah bangsa Eropa menguasai negara-negara Afrika, tetapi sempat diceritakan kalangan tetua kepada Evans-Pritchard.[145] Khnumhotep dan Niankhkhnum, pasangan homoseksual pertama yang tercatat dalam sejarah, adalah pasangan laki-laki dari Mesir Kuno, hidup sekitar tahun 2400 SM. Pasangan ini digambarkan dalam posisi hidung mencium, pose paling intim dalam seni Mesir, dan dikelilingi oleh apa yang tampaknya menjadi warisan dan istri mereka. Penafsiran ini diragukan oleh arkeolog lain, seperti David O'Connor yang meyakini bahwa mereka berdua mungkin adalah saudara, kemungkinan saudara kembar. AmerikaDi antara penduduk asli Amerika sebelum masa penjajahan Eropa, bentuk umum hubungan sesama-jenis terjadi dalam sosok individu dua-jiwa. Biasanya individu ini dikenali sejak awal, masing-masing diberi pilihan oleh orang tua mereka untuk mengikuti jalan, dan setelah sang anak menentukan pilihannya, ia akan dibesarkan dengan cara yang sesuai dan akan mempelajari kebiasaan dari gender yang telah dipilih. Individu dua-jiwa umumnya adalah seorang dukun terpandang dan dihormati karena kekuatannya yang melampaui dukun-dukun lainnya. Mereka biasanya berhubungan seksual dengan anggota suku biasa dengan jenis kelamin yang sama. Individu homoseksual dan transgender juga umum didapati di sejumlah peradaban pra-penaklukan di Amerika Latin, seperti Aztek, Maya, Quechua, Moche, Zapotek, dan Tupinambá di Brasil.[146][147] Para penakluk Spanyol terkejut dengan penemuan praktik sodomi yang dilakukan secara terbuka di kalangan penduduk pribumi, dan mereka berusaha untuk membinasakan praktik itu dengan menundukkan berdache (istilah dalam bahasa Spanyol untuk individu dua-jiwa) di bawah kekuasaan mereka melalui hukuman berat, termasuk penghukuman mati di depan umum, dibakar dan diterkam oleh sekawanan anjing.[148] Asia TimurDi Asia Timur, cinta sesama-jenis telah tercatat sejak awal sejarah. Homoseksualitas di Tiongkok, dikenal dengan sebutan "kenikmatan buah terlarang", "potongan lengan baju", atau "adat selatan", telah tercatat sejak tahun 600 SM. Istilah-istilah halus/eufemistik digunakan untuk menggambarkan perilaku, bukan identitas (baru-baru ini beberapa kalangan pemuda China cenderung halus menggunakan istilah "Brokeback,"断背duanbei yang merujuk kepada pria homoseksual, diadaptasi dari film Brokeback Mountain karya sutradara Ang Lee).[149] Hubungan homoseksual ditandai oleh perbedaan umur dan posisi sosial. Namun, contoh cinta dan interaksi seksual sesama-jenis tergambar dalam novel klasik Impian Paviliun Merah yang tampak familiar bagi pengamat sekarang seperti halnya cerita-cerita roman heteroseksual pada masa itu. Homoseksualitas di Jepang, dikenal sebagai shudo atau nanshoku telah didokumentasikan selama lebih dari seribu tahun dan memiliki beberapa kaitan dengan kehidupan monastik Buddhis dan tradisi samurai. Budaya cinta sesama jenis melahirkan tradisi yang kuat dalam seni lukis dan sastra Jepang yang mendokumentasikan dan merayakan hubungan tersebut. Di Thailand, Kathoey, atau "ladyboy," telah menjadi corak masyarakat Thailand selama berabad-abad, dan raja-raja Thailand memiliki pasangan baik laki-laki maupun perempuan. Meski kathoey meliputi kebancian atau kekedian, tetapi secara umum keberadaan mereka diterima dalam budaya Thailand sebagai gender ketiga. Mereka umumnya diterima oleh masyarakat, dan negara tidak pernah memiliki hukum yang melarang homoseksualitas atau perilaku homoseksual. EropaDokumen pertama dari Barat (dalam bentuk karya sastra, objek seni, dan materi mitografik) yang menceritakan hubungan sesama jenis, berasal dari Yunani Kuno. Dalam dokumen-dokumen tersebut, homoseksualitas laki-laki digambarkan dalam sebuah dunia tempat hubungan dengan perempuan dan dengan para pemuda adalah fondasi penting kehidupan cinta seorang laki-laki. Hubungan sesama jenis dipandang sebagai bangunan institusi sosial yang berbeda dari waktu ke waktu dan antara satu kota dengan yang lainnya. Praktik formal homoseksualitas, sering kali berupa hubungan erotis (juga sering kali ditekan) antara laki-laki dewasa dan remaja lajang. Praktik ini dinilai atas keuntungan pedagogisnya dan sebagai alat kontrol populasi, meski kadang-kadang disalahkan karena menyebabkan gangguan. Plato sempat memuji manfaat hubungan homoseksual dalam tulisan-tulisan awalnya,[150] tetapi dalam karya-karya terakhirnya, ia mengusulkan pelarangan terhadap praktik hubungan homoseksual.[151] Dalam Simposium (182B-D), Plato menyamakan penerimaan homoseksualitas dengan demokrasi, dan penindasan terhadapnya dengan despotisme, "..homoseksualitas dipandang sebagai aib yang memalukan oleh kaum barbar di bawah pemerintahannya yang lalim, seperti halnya filsafat dan atletik, karena tampaknya bukanlah kepentingan terbaik bagi para penguasa barbar untuk membiarkan pemikiran-pemikiran besar tersebut tertanam dalam diri rakyatnya, atau persahabatan yang kuat atau persatuan fisik, seperti kebanyakan cenderung dilakukan oleh kaum homoseksual."[152] Dalam karyanya Politik, Aristoteles menolak ide-ide Plato tentang penghapusan homoseksualitas (2,4); Ia menjelaskan bahwa kaum barbar seperti bangsa Kelt menempatkan kalangan homoseksual secara terhormat (2.6.6), sedangkan bangsa Kreta menggunakan homoseksualitas sebagai alat untuk mengatur populasi (2.7.5).[152] Homoseksualitas perempuan pada zaman kuno jarang diketahui. Sappho, lahir di pulau Lesbos, merupakan tokoh yang dimasukkan ke dalam daftar sembilan penyair lirik kanonik oleh bangsa Yunani. Kata sifat yang berasal dari nama dan tempat kelahirannya (Sapphic dan Lesbian) akhirnya diterapkan ke homoseksualitas perempuan pada abad ke-19.[153][154] Puisi-puisi Sappho banyak bercerita tentang hasrat dan cinta tokoh-tokoh di dalamnya. Tokoh-tokoh di dalam banyak puisinya berbicara tentang cinta dan kegilaan pada perempuan (kadang berbalas, kadang tidak), namun hanya didapati sedikit deskripsi keintiman fisik antara perempuan yang kerap diperdebatkan.[155][156] Selain itu, tidak ada bukti bahwa Sappho mendirikan sekolah khusus perempuan. Pada zaman Romawi Kuno, kemolekan tubuh kaum lelaki muda tetap menjadi objek seksual para pria dewasa, tetapi sebuah ikatan hubungan hanya terjadi antara pria lajang yang lebih tua dan budak atau pemuda yang dibebaskan yang mengambil peran 'penerima' dalam seks. Semua kaisar kecuali Claudius memiliki kekasih laki-laki. Kaisar Hadrianus terkenal karena hubungannya dengan Antinous, tetapi kaisar Kristen Theodosius I menetapkan hukum pada 6 Agustus 390 M yang mengganjar pasangan laki-laki pasif dengan hukuman pembakaran di tiang. Menjelang akhir pemerintahannya, kaisar Yustinianus, memperluas pelarangan praktik homoseksualitas hingga ke pasangan aktif (pada tahun 558 M), memperingatkan bahwa perilaku tersebut dapat mengarah pada kehancuran kota karena "murka Tuhan". Meskipun demikian, pemungutan pajak dari rumah pelacuran laki-laki yang diperuntukan bagi kaum homoseksual terus dikumpulkan sampai akhir pemerintahan Anastasius I pada 518 M. Selama era Renaisans, kota-kota kaya di utara Italia - Florence dan Venesia khususnya - terkenal karena praktik cinta sesama jenis, melibatkan sebagian besar populasi laki-laki dan terbentang di sepanjang pola klasik Yunani dan Roma.[157][158] Meskipun banyak penduduk laki-laki yang terlibat dalam hubungan sesama jenis, Gli Ufficiali di Notte (Polisi Malam), tetap menuntut, menjatuhkan denda, dan memenjarakan sebagian besar mereka. Runtuhnya masa-masa kebebasan artistik dan erotisme dibawa oleh pendeta Girolamo Savonarola. Di Eropa Utara, diskursus artistik mengenai sodomi berbalik melawan pendukung awalnya seperti seniman Rembrandt, yang dalam karya Pemerkosaan Ganymede tidak lagi menggambarkan Ganimede sebagai pemuda yang menyerahkan kesediaannya sebagai abdi, tetapi seorang bayi menangis yang diserang oleh burung pemangsa. Hubungan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh terkemuka, seperti Raja James I dari Inggris dengan Adipati Buckingham, kerap menjadi sorotan. Pemberitaan tentang hubungan mereka tersebar di jalan-jalan dalam selebaran anonim bertuliskan: "Dunia ini berubah, entah gimana, sekarang pria mencumbu pria, tidak lagi wanita; ...Raja James I dan Buckingham: Benar adanya, ia telah melepaskan diri dari dekapan sang istri demi bermesraan dengan Ganymede tercintanya "(Mundus Foppensis, atau The Fop Display'd, 1691). Love Letters Between a Certain Late Nobleman and the Famous Mr. Wilson diterbitkan tahun 1723 di Inggris dan dianggap sebagai novel oleh beberapa pemikir modern. Pada novel populer, Fanny Hill, edisi 1749 karya John Cleland, terdapat adegan homoseksual, tetapi konten tersebut dihapuskan pada edisi tahun 1750. Pada era perjuangan awal homoseksualitas di Inggris, sekitar tahun 1749, Thomas Cannon menerbitkan sebuah buku berjudul Ancient and Modern Pederasty Investigated and Exemplified, tetapi segera ditarik dari peredaran. Termasuk isi dalam buku yang menyebutkan, "Hasrat Tidak Wajar adalah Sebuah Istilah yang Kontradiktif; Sangat Tidak Masuk Akal. Hasrat adalah Dorongan Kasih Sayang yang Datang dari Bagian Terdalam Seorang Manusia."[159] Sekitar tahun 1785, Jeremy Bentham menulis pembelaan yang lain, tetapi tidak pernah diterbitkan sampai tahun 1978.[160] Sementara itu, penghukuman mati untuk kasus-kasus sodomi terus berlanjut di Belanda hingga tahun 1803, dan di Inggris hingga 1835. Antara tahun 1864 dan 1880, Karl Heinrich Ulrichs menerbitkan sebuah buku yang terdiri dari dua belas traktat, berjudul Research on the Riddle of Man-Manly Love. Pada tahun 1867, Ulrichs menjadi pria homoseksual pertama yang secara terbuka membela homoseksualitas dengan mengajukan resolusi untuk mendesak pencabutan Undang-Undang Anti-Homoseksual di Kongres Pakar Hukum Jerman di München. Buku berjudul Sexual Inversion karya Havelock Ellis, terbit pada tahun 1896, menantang teori yang menyatakan homoseksualitas adalah keabnormalan beserta stereotip-stereotip yang direkatkan pada individu-individu homoseksual, dan ia juga menekankan pada keberadaan homoseksualitas yang tersebar dimana-mana dengan prestasi intelektual dan prestasi di bidang seni.[161] Meskipun jurnal medis seperti ini (yang ditulis sebagian dalam bahasa Latin untuk mengaburkan rincian isi berbau seksual) tidak secara luas dibaca oleh masyarakat umum, tetapi hal ini menjadi tonggak munculnya Komite Kemanusiaan Ilmiah Magnus Hirschfeld yang berkampanye selama tahun 1897-1933 melawan hukum anti-sodomi di Jerman, serta sebuah gerakan informal tersembunyi di kalangan intelektual dan penulis Inggris yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Edward Carpenter dan John Addington Symonds. Bermula pada tahun 1894 dengan Homogenic Love, aktivis dan penyair sosialis Edward Carpenter menulis sejumlah artikel dan pamflet pro-homoseksual, dan mengaku sebagai homoseksual dalam bukunya My Days and Dreams tahun 1916. Pada tahun 1900, Elisar von Kupffer menerbitkan sebuah antologi puisi homoseksual dari zaman kuno sampai eranya pada masa itu berjudul Lieblingminne und Freundesliebe in der Weltliteratur. Tujuannya adalah untuk memperluas sudut pandang publik terhadap homoseksualitas yang selama ini dipandang hanya sebagai masalah kedokteran dan biologi, tetapi juga dapat ditinjau sebagai kajian etika dan budaya. Sebagai bentuk penentangannya, Reich Ketiga menargetkan orang-orang LGBT dalam peristiwa Holocaust. Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia SelatanDalam sejumlah budaya Muslim di Timur Tengah, praktik homoseksual yang bersifat egaliter dan tersebar di segala usia individu masih tersebar luas dan terselubung. Di wilayah beriklim sedang dan sub-tropis yang membentang dari India Utara ke Sahara Barat, pola hubungan sesama jenis tersebar pada tiap gender atau tiap rentang usia atau keduanya. Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan egaliter yang muncul pada pola hubungan barat menjadi lebih sering ditemui, meskipun mereka tetap langka. Di beberapa negara Muslim seperti Arab Saudi, Iran, Mauritania, Nigeria utara, Sudan, dan Yaman, pelaku hubungan sesama jenis dapat dihukum mati.[162] Tradisi seni dan sastra bermunculan membangun homoseksualitas di Timur Tengah. Di negara-negara Arab pada abad pertengahan dan Persia, penyair muslim - kadang Sufi - menulis syair-syair pujian bagi para remaja lelaki tampan pembawa anggur yang melayani mereka di kedai-kedai minum. Di mayoritas daerah, praktik ini bertahan hingga masa modern, seperti yang didokumentasikan oleh Richard Francis Burton, Andre Gide, dan lain-lain. Di Persia homoseksualitas dan ekspresi homoerotik ditoleransi di banyak tempat umum, dari biara-biara dan seminari-seminari hingga bar, kamp militer, pemandian, dan kedai kopi. Pada masa Safawiyah awal (1501-1723), rumah-rumah prostitusi laki-laki (amrad khane) secara hukum diakui dan membayar pajak. Penyair Persia, seperti Saadi (wafat tahun 1291), Hafez (wafat tahun 1389), dan Jami (wafat tahun 1492), menulis puisi penuh dengan sindiran homoerotik. Dua bentuk paling umum yang didokumentasikan adalah perilaku seks komersial dengan transgender muda laki-laki atau laki-laki yang berpura-pura sebagai transgender yang dicontohkan oleh penari-penari köçek dan bacchá, dan praktik spiritual Sufistik saat para penyair mengagumi keindahan bentuk seorang anak untuk memasuki keadaan yang bahagia dan melihat sekilas keindahan Tuhan. Sekarang, pemerintah di Timur Tengah sering mengabaikan, membantah keberadaan, atau mengkriminalkan homoseksualitas. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, pada pidatonya di Universitas Columbia tahun 2007, menegaskan bahwa tidak ada kaum gay di Iran. Kaum gay ada di Iran, tetapi kebanyakan mereka tetap merahasiakan seksualitasnya karena takut sanksi pemerintah atau ditolak oleh keluarga mereka.[163] Hukum Manu, dasar hukum Hindu, menyebutkan "jenis kelamin ketiga", yaitu anggota-anggota yang mungkin terlibat dalam ekspresi gender non-tradisional dan aktivitas homoseksual.[164] Kepulauan PasifikHubungan sesama jenis banyak ditemui di masyarakat Melanesia (khususnya di Papua Nugini) dan telah menjadi bagian yang menyatu dengan budaya sampai pertengahan abad yang lalu. Suku Etoro dan Marind-anim, misalnya, memandang heteroseksualitas sebagai dosa sementara homoseksualitas diterima secara umum. Dalam suku Etoro, misalnya, suku ini percaya bahwa kekuatan manusia, kekuatan vitalnya, ditemukan dalam air maninya. Suku ini mengajarkan dan percaya bahwa anak muda harus menelan air mani dari anggota suku yang lebih tua untuk menjadi dewasa. Hal ini secara harfiah diterjemahkan ke dalam hubungan homoseksual antara anak dan mentornya. Sang anak akan "dibuahi" (secara oral, anal, atau topikal, tergantung pada suku) selama beberapa tahun hingga tiba pada saat anak laki-laki tersebut telah tumbuh menjadi seorang pria yang kelak menjadi mentor untuk anak muda lain di sukunya. Pada saat itu, ia dinyatakan lulus pada kekuatan hidup. Suku Etoro juga percaya bahwa jika seorang wanita tidak hamil, dia telah menyia-nyiakan kekuatan hidup dan dianggap berada dalam kasta yang lebih rendah. Meskipun demikian, semenjak masuknya Kristen oleh misionaris Eropa, banyak masyarakat Melanesia yang menolak hubungan sesama jenis.[165] Hukum, politik, masyarakat dan sosiologiLegalitas
2Pernikahan tidak tersedia secara lokal. Beberapa yurisdiksi mungkin melakukan jenis kemitraan lain. Kebanyakan negara tidak menghalangi hubungan seks konsensual antara orang-orang yang tidak berkerabat di atas usia yang disetujui (usia dewasa). Beberapa wilayah hukum secara lebih lanjut mengakui persamaan dalam hak, perlindungan, dan keistimewaan bagi struktur keluarga pasangan sejenis, termasuk perkawinan. Beberapa negara hanya memperbolehkan hubungan heteroseksual, dan dalam beberapa yurisdiksi homoseksual dianggap ilegal. Pelanggar dapat menghadapi hukuman mati di beberapa daerah Muslim fundamentalis seperti Iran dan sebagian Nigeria. Bagaimanapun, sering didapati perbedaan yang signifikan antara kebijakan resmi dan penegakan hukum sehari-hari. Meskipun tindakan homoseksual tidak lagi dianggap tindak pidana di beberapa bagian dunia Barat, seperti Polandia pada tahun 1932, Denmark pada tahun 1933, Swedia pada tahun 1944, dan Britania Raya pada tahun 1967, baru pada pertengahan 1970-an komunitas gay pertama mulai memperoleh hak-hak sipil terbatas di beberapa negara maju. Saat yang menentukan adalah pada tahun 1973 ketika American Psychiatric Association menghapus homoseksualitas dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, sehingga meniadakan definisi homoseksualitas sebelumnya yaitu sebagai gangguan mental klinis. Pada tahun 1977, Quebec menjadi yurisdiksi setingkat negara bagian pertama di dunia yang melarang diskriminasi atas dasar orientasi seksual. Selama tahun 1980-an dan 1990-an, mayoritas negara-negara maju memberlakukan hukum yang mendekriminalisasi perilaku homoseksual dan melarang diskriminasi terhadap kaum lesbian dan gay dalam pekerjaan, perumahan, dan layanan. Di sisi lain, banyak negara di Timur Tengah dan Afrika, serta beberapa negara di Asia, Karibia dan Pasifik Selatan, melarang homoseksualitas. Di enam negara, perilaku homoseksual dijatuhi hukumanpenjara seumur hidup ; dan di sepuluh negara lainnya, dijatuhi hukuman mati.[166] Orientasi seksual dan hukumAmerika Serikat
Uni EropaDi Uni Eropa, diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dilarang dalam Pasal 21 Piagam Hak Asasi Uni Eropa.[176] Aktivisme politikSejak 1960-an, banyak orang LGBT di Barat, terutama di kota-kota metropolitan, telah mengembangkan apa yang disebut sebagai "budaya gay". Bagi banyak orang, budaya gay dicontohkan melalui gerakan gay pride, dengan parade tahunan yang menampilkan bendera pelangi. Namun tidak semua orang LGBT memilih untuk berpartisipasi dalam "budaya aneh", dan banyak pria gay dan wanita khusus menolak untuk melakukannya. Untuk beberapa hal itu tampak seperti tampilan sembrono/urakan, atau semakin mengabadikan stereotip gay. Untuk beberapa orang lainnya, budaya gay mewakili heterofobia dan dikritik sebagai pelebaran jurang antara kaum gay dan non-gay. Dengan mewabahnya AIDS pada awal tahun 1980-an, banyak kelompok dan individu LGBT mengatur kampanye untuk mempromosikan upaya pendidikan AIDS, pencegahan, penelitian, dukungan pasien, dan penjangkauan masyarakat, serta permintaan dukungan pemerintah untuk program ini. Gay Men's Health Crisis, Project Inform, dan ACT UP adalah beberapa contoh respon komunitas LGBT Amerika terhadap krisis AIDS. Angka kematian yang mengejutkan yang ditimbulkan oleh penyakit AIDS pada awalnya tampak seolah-olah akan memperlambat kemajuan gerakan hak-hak gay, tetapi pada akhirnya hal tersebut mendorong beberapa bagian dari komunitas LGBT ke dalam layanan masyarakat dan aksi politik, dan menantang masyarakat heteroseksual untuk merespon dengan penuh kasih. Pada tahun 1996, film-film besar Amerika dari periode yang mendramatisasi respon individu dan masyarakat terhadap krisis AIDS ini di antaranya, An Early Frost (1985), Longtime Companion (1990), And the Band Played On (1993), Philadelphia (1993), dan Common Threads: Stories from the Quilt (1989) yang mengacu kepada Quilt Memorial AIDS NAMES Project, terakhir kali ditampilkan secara keseluruhan di National Mall Washington DC pada tahun 1996. Para politikus gay telah menempati berbagai posisi di pemerintahan, bahkan di negara-negara yang memberlakukan hukum sodomi pada masa lalunya semisal Guido Westerwelle, wakil kanselir yang sekarang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Jerman; Peter Mandelson seorang menteri kabinet Partai Buruh Inggris, dan Per-Kristian Foss yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Keuangan Norwegia. Gerakan LGBT ditentang oleh berbagai individu dan organisasi. Beberapa kaum sosial konservatif percaya bahwa semua hubungan seksual selain dengan pasangan lawan jenis merusak tatanan keluarga tradisional[177] dan bahwa anak-anak harus dibesarkan dalam sebuah rumah dengan ayah dan ibu.[178][179] Ada kekhawatiran bahwa hak-hak gay mungkin bertentangan dengan kebebasan bicara individu,[180][181][182][183][184] kebebasan beragama di tempat kerja,[185][186] kemampuan untuk menjalankan gereja,[187] organisasi amal[188][189] dan organisasi keagamaan lainnya[190] sesuai dengan pandangan keagamaan seseorang, dan bahwa penerimaan hubungan homoseksual oleh organisasi keagamaan dapat dipaksa melalui pengancaman penghapusan status bebas pajak gereja yang pandangannya tidak sejalan dengan orang-orang pemerintahan.[191][192][193][194] Sejumlah kritikus menuduh bahwa kebenaran politik telah menyebabkan kaitan antara perilaku seks antar pria dan HIV diremehkan.[195][196] KemitraanPada tahun 2006, American Psychological Association, American Psychiatric Association dan National Association of Social Workers mengemukakan pernyataannya dalam Amicus Brief yang disampaikan kepada Mahkamah Agung Negara Bagian California: "Pria gay dan lesbian membentuk hubungan yang stabil dan berkomitmen yang setara dengan hubungan heteroseksual pada hal-hal penting. Lembaga pernikahan menawarkan manfaat sosial, psikologis, dan kesehatan yang tidak diberikan bagi pasangan sesama jenis. Dengan menolak hak menikah pasangan sesama jenis, negara memperkuat dan melanggengkan stigma yang sepanjang sejarah telah dikaitkan dengan homoseksualitas. Homoseksualitas tetap menjadi stigma, dan stigma ini memiliki konsekuensi negatif. Larangan yang dikeluarkan negara bagian California tentang pernikahan sesama jenis mencerminkan dan memperkuat stigma ini". Mereka menyimpulkan: "Tidak ada dasar-dasar ilmiah yang dapat membedakan antara pasangan sesama jenis dan heteroseksual sehubungan dengan hak-hak hukum, kewajiban, manfaat, dan beban yang diberikan oleh perkawinan sipil."[2] MiliterKebijakan dan sikap terhadap personel militer gay dan lesbian berbeda di berbagai belahan dunia. Beberapa negara memungkinkan pria gay, lesbian, biseksual dan orang-orang untuk secara terbuka memberikan pelayanan militer dan telah memberikan mereka hak yang sama dan keistimewaan seperti rekan-rekan heteroseksual mereka. Banyak negara yang tidak melarang atau mendukung personel militer LGB. Beberapa negara tetap melarang keberadaan personel yang homoseksual. Mayoritas kesatuan militer Barat telah menghapus kebijakan yang mengucilkan anggota minoritas seksual. Dari 26 negara yang berpartisipasi dalam NATO, lebih dari 20 negara mengizinkan gay, lesbian dan biseksual untuk memberi pelayanan militer. Dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dua negara (Britania Raya dan Prancis) memberikan izin tersebut. Dua lainnya tidak: Cina sepenuhnya melarang gay dan lesbian, sementara Rusia tidak memasukkan personel gay dan lesbian selama masa damai namun memungkinkan beberapa personel gay untuk mengabdi pada masa perang. Israel adalah satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang memungkinkan individu LGB melayani di militer secara terbuka. Sementara pertanyaan tentang homoseksualitas dalam militer telah sangat dipolitisasi di Amerika Serikat, hal ini tidak selalu demikian di banyak negara lainnya. Secara umum, seksualitas dalam latar belakang budaya di negara-negara lain dianggap sebagai aspek pribadi dari identitas seseorang ketimbang di Amerika Serikat. Menurut American Psychological Association bukti empiris gagal untuk menunjukkan bahwa orientasi seksual erat kaitannya dengan aspek-aspek efektivitas militer seperti kesatuan unit, moral, perekrutan dan retensi.[198] Orientasi seksual tidak relevan dengan kohesi tugas militer, yang merupakan satu-satunya jenis kohesi yang secara kritis memprediksi kesiapan dan keberhasilan tim militer.[199] AgamaMeskipun hubungan antara homoseksualitas dan agama dapat bervariasi sepanjang waktu dan di sejumlah tempat, badan otoritatif saat ini dan doktrin agama terbesar di dunia umumnya memandang homoseksualitas sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini dapat berkisar dari diam-diam menolak aktivitas homoseksual, hingga melarang praktik hubungan seksual sesama jenis antarumat secara eksplisit dan secara aktif menentang penerimaan sosial terhadap homoseksualitas. Beberapa pihak mengajarkan bahwa orientasi homoseksual itu sendiri adalah dosa,[200] sementara Gereja Katolik menegaskan bahwa hanya tindakan seksual yang berdosa.[201] Beberapa pihak mengklaim bahwa homoseksualitas dapat disembuhkan melalui iman dan praktik keagamaan. Di sisi lain, terdapat suara-suara dari internal agama-agama ini yang memandang homoseksualitas lebih positif. Sebagai contoh, pada 2009, Dewan Agama Hindu Britania Raya mengeluarkan pernyataan "Hinduisme tidak mengutuk Homoseksualitas." [202] Bahkan denominasi agama yang liberal memungkinkan untuk memberkati pernikahan sesama jenis. Terdapat juga pihak yang memandang percintaan dan seksualitas sesama jenis sebagai sesuatu yang suci/sakral, dan mitologi cinta sesama jenis dapat ditemukan di berbagai penjuru dunia. Terlepas dari pandangan mereka tentang homoseksualitas, banyak individu dari kalangan religius yang menjadikan kitab suci dan tradisi sebagai bimbingan untuk masalah ini. Heteroseksisme dan homofobiaDalam banyak budaya, individu homoseksual sering tunduk kepada prasangka dan diskriminasi. Serupa dengan kelompok-kelompok minoritas yang lain mereka juga dapat menjadi subjek penstereotipan. Sikap ini cenderung karena bentuk homofobia dan heteroseksisme (negatif sikap, bias, dan diskriminasi dalam mendukung seksualitas dan hubungan lawan jenis). Heteroseksisme dapat mencakup anggapan bahwa setiap individu heteroseksual atau bahwa ketertarikan dan hubungan lawan jenis adalah norma dan karena itu bersifat superior. Homofobia adalah ketakutan, keengganan, atau diskriminasi terhadap individu homoseksual. Homofobia termanifestasi dalam bentuk yang berbeda, dan sejumlah jenis telah diklasifikasikan, di antaranya adalah homofobia internal/personal, homofobia sosial, homofobia emosional, homofobia yang dirasionalisasikan, dan lain-lain.[203] Serupa dengan lesbofobia (khusus pada lesbian) dan bifobia (terhadap individu biseksual). Ketika sikap anti tersebut termanifestasi dalam bentuk kejahatan, ia lebih dikenal dengan sebutan kejahatan kebencian dan intimidasi gay. Stereotip negatif mencirikan individu LGB kurang stabil secara romantis, lebih mudah bergonta-ganti pasangan dan lebih cenderung melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak, namun tidak ada dasar ilmiah untuk pernyataan tersebut. Laki-laki gay dan lesbian membentuk komitmen hubungan yang stabil, yang setara dengan hubungan heteroseksual dalam hal-hal pokok.[2] Orientasi seksual tidak mempengaruhi kemungkinan bahwa seseorang akan melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak.[204][205][206] Klaim yang menghubungkan gay dengan pedofilia sendiri didasarkan pada penyalahgunaan istilah-istilah dan kekeliruan dalam bukti-bukti aktual.[205] Kekerasan terhadap orang-orang gay dan lesbianDi Amerika Serikat, FBI melaporkan bahwa 15,6% dari kejahatan kebencian yang dilaporkan ke kepolisian pada tahun 2004 didasarkan pada orientasi seksual. 61% di antaranya terjadi pada korban gay (laki-laki homoseksual).[207] Pembunuhan Matthew Shepard - seorang mahasiswa gay - pada tahun 1998 merupakan insiden yang terkenal di Amerika Serikat. Perilaku homoseksual pada hewanPerilaku homoseksual pada hewan mengacu kepada bukti yang terdokumentasi dari perilaku homoseksual, biseksual dan transgender pada binatang. Perilaku tersebut termasuk seks, pencarian pasangan, kasih sayang, ikatan pasangan, dan pengasuhan.[26] Perilaku homoseksual dan biseksual tersebar luas dalam kerajaan hewan: tinjauan tahun 1999 oleh peneliti Bruce Bagemihl menunjukkan bahwa perilaku homoseksual telah diamati di hampir 1500 spesies, mulai dari primata hingga cacing usus, dan 500 di antaranya didokumentasikan dengan baik.[26][29] Terdapat berbagai macam perilaku seksual hewan, bahkan dalam spesies yang sama. Motivasi dan implikasi dari perilaku tersebut belum sepenuhnya dipahami, karena sebagian besar spesies belum sepenuhnya diteliti.[209] Menurut Bagemihl, "kerajaan hewan memiliki keragaman seksual jauh lebih besar (homoseksual, biseksual dan seks non-reproduktif) ketimbang komunitas ilmiah dan masyarakat pada umumnya dalam penerimaan seksualitas."[210] Lihat pulaCatatan kaki
ReferensiBuku
Artikel jurnal
Artikel garis besar
Pranala luar
|