Sahara Barat
Sahara Barat[a] adalah sebuah wilayah sengketa di Afrika Barat Laut. Memiliki luas daratan 272.000 kilometer persegi (105.000 sq mi).[3] Kira-kira 30% wilayahnya (82.500 km2 (31.900 sq mi)) dikontrol oleh Republik Demokratik Arab Sahrawi (RDAS); sisa 70% diduduki[4][5] dan dikelola oleh Maroko.[6] Ini adalah negara berpenduduk paling sedikit di Afrika dan negara berpenduduk paling sedikit kedua di dunia, terutama terdiri dari gurun dataran rendah. Populasinya diestimasikan berjumlah 618.600. Hampir 40% populasi tersebut tinggal di Laayoune yang dikontrol oleh Maroko, kota terbesar di Sahara Barat.[6][7] Sebelumnya diduduki oleh Spanyol sebagai Sahara Spanyol hingga tahun 1975, Sahara Barat telah berada dalam daftar PBB terkait wilayah tanpa pemerintahan sendiri sejak tahun 1963 mengikuti permintaan dari Maroko.[8] Pada tahun 1965, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi terkait Sahara Barat, meminta Spanyol untuk mendekolonisasi wilayah tersebut.[9] Setahun kemudian, resolusi 2229 (XXI) dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB meminta agar sebuah referendum diadakan oleh Spanyol mengenai penentuan nasib sendiri.[10] Pada tahun 1975, Spanyol melepas kontrol administratif atas wilayah tersebut kepada administrasi bersama oleh Maroko[11] dan Mauritania.[10] Sebuah perang meletus antara dua negara tersebut melawan gerakan nasionalis Sahrawi, Front Polisario, yang menyatakan secara sepihak sebagai pemimpin sah dari RDAS dengan pemerintahan dalam pengasingan di Tindouf, Aljazair. Mauritania menarik klaimnya pada tahun 1979, dan Maroko mengamankan kontrol de facto untuk sebagian besar wilayah, termasuk semua kota-kota besar dan sebagian besar sumber daya alam. PBB menganggap Front Polisario sebagai perwakilan sah dari orang Sahrawi, dan menegaskan orang Sahrawi memiliki hak untuk penentuan nasib sendiri.[12][13] Sahara Barat adalah negara kolonial terakhir di Afrika yang belum meraih kemerdekaan dan dijuluki "koloni terakhir di Afrika".[14][15] Karena sebuah persetujuan gencatan senjata yang didukung oleh PBB pada tahun 1991, sebagian besar wilayahnya dikelola oleh pemerintah Maroko, dengan dukungan diam-diam dari Prancis dan Amerika Serikat. Sisanya dikelola oleh RDAS, didukung oleh Aljazair.[16] Satu-satunya bagian pesisir di wilayah RDAS adalah ujung selatan. Secara internasional, negara seperti Rusia memilih posisi yang ambigu dan netral terkait klaim oleh kedua sisi dan menekan pihak-pihak untuk menyetujui resolusi damai. Maroko dan Polisario berusaha meningkatkan klaim mereka dengan mengumpulkan pengakuan resmi, terutama dari negara-negara berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Front Polisario memenangkan pengakuan resmi untuk RDAS dari 46 negara anggota PBB dan Ossetia Selatan, dan diperpanjang keanggotaannya di Uni Afrika. Maroko memenangkan dukungan dari beberapa pemerintahan Afrika dan sebagian besar dunia Muslim dan Liga Arab.[17] Dalam sebagian besar kasus, pengakuan diperpanjang atau ditarik akibat perubahan dalam hubungan dengan Maroko. Hingga tahun 2020, tidak ada negara anggota PBB lainnya yang pernah mengakui kedaulatan Maroko atas bagian-bagian Sahara Barat.[18][19][20] Pada tahun 2020, A.S. mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat sebagai imbalan untuk normalisasi hubungan Maroko dengan Israel.[21][22] Pada tahun 2023, Israel mengakui kedaulatan Maroko.[23] Pada tahun 1984, pendahulu dari Uni Afrika, yaitu Organisasi Kesatuan Afrika, mengakui RDAS sebagai salah satu anggota penuhnya, dengan status yang sama seperti Maroko, dan Maroko memprotes dengan menangguhkan keanggotaannya di Organisasi Kesatuan Afrika. Maroko diterima kembali di Persatuan pada tahun 2017, setelah menjanjikan klaim yang bertentangan akan diselesaikan secara damai dan akan menghentikan pembangunan tembok untuk memperluas kontrol militernya. Sementara itu, Uni Afrika tidak mengeluarkan pernyataan resmi apapun mengenai perbatasan yang memisahkan wilayah berdaulat Maroko dan RDAS. Malah, Uni Afrika bekerja dengan misi PBB untuk mempertahankan gencatan senjata dan mencapai kesepakatan damai. Uni Afrika menyediakan kontingen penjaga perdamaian untuk misi PBB yang digunakan untuk mengontrol sebuah zona penyangga dekat tembok perbatasan de facto yang dibangun oleh Maroko. Catatan kaki
Referensi
Pranala luar
Stephen Robert Allen dan Jamie Trinidad, Permasalahan Sahara Barat dan Hukum Internasional: Doktrin Pengakuan dan Penentuan Nasib Sendiri (Routledge, 2024, akses terbuka)
|