GenderGender, jantina atau lapuan[1] adalah serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan membedakan maskulinitas dan femininitas. Karakteristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin (laki-laki, perempuan, atau interseks), hal yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin (struktur sosial sepeti peran gender), atau identitas gender.[2][3][4] Orang-orang yang merasa atau tidak mengidentifikasi dirinya sebagai pria atau wanita umumnya disebut nonbiner atau genderqueer. Beberapa kebudayaan memiliki peran gender spesifik yang berbeda dari "pria" dan "wanita" yang secara kolektif disebut sebagai gender ketiga seperti golongan Bissu di masyarakat Bugis di Sulawesi dan orang hijra di Asia Selatan yang dianggap sebagai makhluk agung. Seksolog Selandia Baru yaitu John Money mencetuskan perbedaan penggunaan isitilah jenis kelamin biologis dan gender sebagai peran pada tahun 1955. Sebelum itu, kata "gender" jarang digunakan untuk menyebut hal lain selain gender gramatikal dalam ilmu bahasa.[2][3] Definisi yang diajukan oleh Money tidak langsung banyak diakui sebelum akhirnya pada dekade 1970-an ketika teori feminis mengangkat konsep perbedaan antara jenis kelamin biologis dan gender sebagai konstruksi sosial. Definisi tersebut hingga kini masih digunakan untuk beberapa konteks seperti dalam ilmu sosial[5][6] dan pada beberapa dokumen terbitan Organisasi Kesehatan Dunia.[4] Konteks-konteks lain menggunakan istilah "gender" yang mencakup atau sebagai pengganti dari "jenis kelamin".[2][3] Sebagai contoh, dalam kajian terhadap hewan nonmanusia, gender umumnya digunakan untuk menyebut jenis kelamin dari hewan.[3] Perubahan makna dari kata "gender" dapat ditelusuri hingga dekade 1980-an. Pada tahun 1993, Food and Drug Administration (FDA) mulai menggunakan gender sebagai pengganti istilah jenis kelamin (bahasa Inggris: sex).[7] Kemudian pada tahun 2011, FDA mulai menggunakan jenis kelamin/seks untuk klasifikasi biologis dan gender untuk "representasi diri seseorang sebagai laki-laki atau perempuan atau bagaimana ia merespon terhadap institusi-institusi sosial yang didasarkan pada presentasi gender seseorang."[8] Beberapa ilmu seputar gender salah satunya adalah cabang dari ilmu sosial yaitu kajian gender. Seksologi dan ilmu saraf juga membahas beberapa hal mengenai gender. Kajian gender umumnya membahas gender sebagai sebuah konstruksi sosial sementara ilmu-ilmu dalam ilmu alam membahas mengenai perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang dapat mempengaruhi perkembangan gender pada manusia. Kedua pendekatan tersebut berkontribusi dalam menyelidiki seberapa jauh perbedaan biologis mempengaruhi pembentukan identitas gender pada seseorang. Trikotomi antara jenis kelamin biologis, gender psikologis, dan peran gender sosial pertama kali muncul pada sebuah artikel jurnal mengenai transseksualisme pada tahun 1978.[3][9] Etimologi dan penggunaanKata gender berasal dari bahasa Prancis Pertengahan gendre yang pada awalnya merupakan serapan yang berasal dari kata bahasa Latin genus yang berarti "jenis" atau "tipe".[10][11] Kata dalam bahasa Prancis modern yang terkait adalah genre (seperti pada genre sexuel). Oxford English Dictionary edisi pertama tahun 1900 menyebutkan bahwa arti awal gender sebagai "jenis" sudah tidak lazim dipakai. Kata gender masih dipakai luas terutama dalam linguistik untuk menyebut gender gramatikal (pengelompokan kata benda maskulin, feminin, dan netral). Arti akademis dari kata "gender" dalam konteks peran sosial pria dan wanita kurang lebih berasal dari tahun 1945.[12] Gerakan feminis tahun 1970-an kemudian mengembangkan dan mempopulerkan kata tersebut. Kata gender juga masih banyak digunakan sebagai pengganti dari kata seks atau jenis kelamin (sebagai kategori biologi), meskipun terdapat beberapa pihak yang berusaha mempertahankan perbedaan di antara keduanya. American Heritage Dictionary (2000) menggunakan dua kalimat berikut untuk menggambarkan perbedaan di antara kedua istilah sembari menyebutkan bahwa perbedaan di antara keduanya pada prinsipnya berguna namun tidak digunakan secara luas dan memiliki variasi pemakaian di berbagai konteks.[13]
Dalam konteks hukum diskriminasi, seks dan jenis kelamin yang menyangkut arti biologis umumnya lebih dipilih ketimbang gender sebagai norma yang terkonstruksi secara sosial dan lebih terbuka dari sisi tafsir maknanya.[14] Pakar hukum Amerika Serikat, Julie A. Greenberg, menyatakan bahwa meskipun gender dan seks adalah konsep yang terpisah, kedua kata tersebut memiliki keterikatan dengan diskriminasi gender sering kali terjadi akibat dari stereotipe masing-masing seks.[15] Identitas gender dan peran gender
Identitas gender adalah identifikasi personal seseorang terhadap gender dan peran gender tertentu dalam masyarakat. Istilah wanita dalam sejarah penggunaannya sering kali diartikan sebagai tubuh perempuan. Penggunaan tersebut kini dipandang kontroversial oleh beberapa kalangan feminis.[16] Feminis mempertanyakan ide-ide dominan yang ada mengenai gender dan jenis kelamin biologis seperti jenis kelamin seseorang terikat dengan peran sosial tertentu. Filsuf Amerika Serikat, Judith Butler, menilai bahwa konsep wanita memiliki lebih banyak kesulitan yang bukan hanya akibat dari cara pandang masyarakat terhadap wanita sebagai sebuah kategori sosial, namun juga sebagai pengertian dan kesadaran diri, sebuah identitas subjektif yang diadakan atau dikonstruksi secara kultural.[17] Identitas sosial adalah identifikasi umum terhadap sebuah perkumpulan orang atau sebuah kategori sosial yang menyusun sebuah kebudayaan bersama di antara anggota-anggotanya.[18] Menurut teori identitas sosial,[19] sebuah komponen penting dari konsep diri berasal dari keanggotaan di dalam kelompok dan kategori sosial. Hal tersebut diperlihatkan dalam proses kelompok serta dalam bagaimana hubungan antarkelompok memiliki pengaruh siginifikan terhadap persepsi dan perilaku seseorang. Kelompok kemudian menyediakan anggota-anggotanya dengan definisi mengenai siapa diri mereka dan bagaimana mereka harus berperilaku di dalam lingkungan sosial mereka.[20] Masyarakat di seluruh dunia mengartikan perbedaan biologis antara pria dan wanita untuk menyusun ekspektasi-ekspektasi sosial yang menentukan perilaku mana saja yang "pantas" bagi pria dan bagi wanita. Hal tersebut juga menentukan perbedaan dari sisi hak serta akses terhadap kepemilikan, jabatan dalam masyarakat, dan kesehatan.[21] Meskipun macam dan tingkat dari perbedaan-perbedaan tersebut bervariasi antara masyarakat satu dengan lainnya, pada umumnya pria lebih diuntungkan yang lalu membuat ketimpangan dan ketidaksetaraan gender ada di kebanyakan tempat.[22] Sistem norma dan kepercayaan mengenai gender berbeda-beda dalam masing-masing kebudayaan dan tidak ada standar universal maskulin atau feminin yang berlaku bagi seluruh masyarakat.[23] Peran sosial pria dan wanita berasal dari norma kebudayaan masyarakat tertentu yang menyusun sebuah sistem gender, yang juga mencakup pembedaan jenis kelamin dan pengutamaan sifat maskulin.[22] Filsuf Prancis, Michel Foucault, menyebutkan bahwa sebagai subjek seksual, manusia merupakan objek dari kekuasaan. Kekuasaan tersebut bukan berupa sebuah lembaga atau struktur melainkan sebuah penanda atau nama yang disebut berasal dari "situasi strategis kompleks".[24] Karena itulah, "kekuasaan" merupakan apa yang menentukan sifat, perilaku, dll. dari seseorang sementara masyarakat adalah bagian dari suatu set nama dan label ontologi dan epistemologi. Sebagai contoh, orang perempuan digolongkan sebagai wanita dan membuat orang tersebut diartikan lemah, emosional, irasional, dan tidak mampu melakukan tindakan "pria". Butler menyebutkan bahwa gender dan seks lebih menyerupai kata kerja dibandingkan kata benda. Butler beralasan bahwa perilaku yang ia lakukan menjadi terbatas karena ia perempuan dan tidak dibolehkan untuk menyusun gender dan seksnya sendiri. Butler juga menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi karena gender dikendalikan secara politis dan sosial. "Wanita" diartikan bukan sebagai diri seseorang tetapi apa yang seseorang lakukan."[17] Salah satu kritik terhadap teori Butler ini menanggapi sikap Butler dalam menggunakan dikotomi gender yang terlalu konvensional.[25] Kategori sosialSeksolog asal Selandia baru yaitu John Money mencetuskan istilah peran gender pada tahun 1955. Istilah tersebut didefinisikan sebagai perilaku atau tindakan yang dapat menunjukkan status seseorang sebagai laki-laki, pria, perempuan, atau wanita.[26] Unsur-unsur dari peran gender di antaranya mencakup pakaian, gaya bicara, gerakan tubuh, pekerjaan, serta hal-hal lainnya selain dari jenis kelamin biologis. Beberapa filsuf feminis juga menyebutkan bahwa gender merupakan rangkaian besar yang dirundingkan antara seseorang dan orang di sekitarnya ketimbang hanya semacam motivasi privat di balik perilaku seseorang.[27] Gender Bias Bias merupakan kondisi yang memihak atau merugikan, sedangkan gender merupakan sifat yang melekat pada karakter laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya, menurut data Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia menurut provinsi dan jenis kelamin di Indonesia tahun 2018 menunjukan bahwa pria 75,43 persen dan wanita 68,63 persen, data tersebut menunjukan bahwa akses hasil pembangunan pada wanita masih lebih rendah daripada pria dalam meperoleh pendapatan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya, hal tersebut memicu adanya bias gender atau situasi kondisi yang memihak dan merugikan salah satu jenis kelamin, pada karakteristik gender sendiri terkait pada membedakan maskulinitas dan feminitas. Maskulinitas yaitu laki-laki dianggap kuat, rasional, kuat dan tegas maka sering kai dalam masyarakat terdapat bias gender bahwa pria dianggap tabu apabila mengerjakan pekerjaan perempuan atau pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mengurus anak dan membersihkan rumah sedangkan feminitas yaitu wanita dikena lemah lembut, keibuan, emosional, afektif dan irasional yang sering sekali menjadi bias gender, seringkali terjadi bias gender seperti wanita diragukan kemampuannya untuk menduduki suatu jabatan dalam pekerjaan. Sehingga dampak dari bias gender adalah diskriminasi gender serta kekerasaan dan pelecehan seksual yang akan terjadi di lingkungan kerja maupun lingkungan sekitar. Bias gender dapat dicegah dengan mendidik dan mengasuh anak secara adil, selain itu juga dengan mengedukasi seks serta karakter anak sejak dini. Dengan mengurangi adanya bias gender, maka akan mendorong kesetaraan guna mewujudkan pembangunan yang adil dan setara bagi pria dan wanita. Selain itu dengan mendidik dan memberikan informasi terkait gender hal demikian juga dapat membangun rasa saling menghargai.[28] gender dan Usia Sebagaimana Aldous Huxley dalam Two or Three Graces in the Coulmas's Book (hal.36) menyatakan bahwa “Pada abad delapan belas, ketika logika dan sains menjadi mode, wanita mencoba berbicara seperti pria. Abad kedua puluh telah membalikkan prosesnya”. Memang, saat ini banyak wanita berbicara seperti pria berbicara. Apalagi ada emansipasi perempuan yang menempatkan perempuan dalam berbagai posisi pekerjaan. Hal ini memungkinkan perempuan untuk berinteraksi dengan orang lain dan khususnya laki-laki, kemudian meniru ucapan mereka agar lebih mudah dipahami dalam komunikasi. Namun, hal ini bertentangan dengan pernyataan yang akan menjadi teori yang mendasarinya; Labov (1990: 210) menegaskan wanita cenderung memilih varian standar lebih sering daripada pria. Itu ada di bab 3 Buku Coulmas (Gender) halaman 40. Mengapa berbeda dengan pernyataan pertama? Karena di sini, bicara perempuan tidak berubah atau tidak berbicara seperti laki-laki. Penyebabnya adalah laki-laki cenderung menggunakan bahasa yang tidak baku sedangkan perempuan sebaliknya. Secara rinci, laki-laki dalam pidato bahasa Inggris sering mengurangi ketika mereka berbicara berjalan, berlari, makan, dll sehingga mereka mengatakan walkin', runnin' dan eatin'. Temuan lain (Trudgill: 1984) menunjukkan bahwa –dalam bentuk lebih banyak digunakan oleh laki-laki daripada perempuan dan status sosial yang lebih tinggi adalah frekuensi yang lebih rendah menggunakan –dalam bentuk. Oleh karena itu, pernyataan Labov ini akan digunakan untuk menganalisis fakta dalam kehidupan sehari-hari sebagai temuan makalah ini. Ini untuk menentukan apakah pernyataan ini sejalan dengan temuan atau sebaliknya. Selanjutnya, pernyataan esensial kedua yang akan diterapkan diadaptasi dari Downes (1984: 191) yang mengatakan bahwa antara usia 25 dan 60 orang paling sering memilih standar daripada bentuk dialektis (Coulmas: Bab 4-Age, halaman 61). . Menurut buku Coulmas (hal.61), seiring bertambahnya usia, ucapan mereka menjadi kurang dialektis dan menyatu dengan standar. Jika digunakan di Indonesia, berarti masyarakat sekitar usia tersebut (dewasa) cenderung menggunakan bahasa Indonesia baku daripada bahasa Indonesia non baku/dialektis. Di sisi lain, apakah fenomena ini selalu ada dalam setiap setting dan konteks? Itu akan terjawab setelah membandingkan teori ini dengan fakta yang ditemukan. Bahasa dan Gender Bahasa dan gender adalah bidang studi dalam sosiolinguistik, linguistik terapan, dan bidang terkait yang menyelidiki varietas pidato yang terkait dengan jenis kelamin tertentu, atau norma sosial untuk penggunaan bahasa gender tersebut (Tannen: 2006). Berbagai pidato (atau sosiolek) yang terkait dengan jenis kelamin tertentu kadang-kadang disebut genderlek. Perbedaan antara bahasa perempuan dan laki-laki adalah pendekatan kesetaraan, itu milik 'sub-budaya' yang berbeda karena mereka telah disosialisasikan untuk melakukannya sejak kecil. Hal ini kemudian menghasilkan berbagai gaya komunikatif pria dan wanita (Tannen 1990). Dia membandingkan perbedaan gender dalam bahasa dengan perbedaan budaya. Wanita umumnya diyakini berbicara dengan "bahasa" yang lebih baik daripada pria. Ini adalah kesalahpahaman yang konstan, tetapi para ahli percaya bahwa tidak ada gender yang berbicara bahasa yang lebih baik, tetapi setiap gender malah berbicara dengan bahasa uniknya sendiri (Azizi: 2011). Gagasan ini telah memicu penelitian lebih lanjut ke dalam studi tentang perbedaan antara cara pria dan wanita berkomunikasi Bahasa dan Usia Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Argamon, et al. (2007), mereka melaporkan bahwa analisis mereka terhadap kumpulan besar posting blog untuk mengetahui apakah dan bagaimana topik dan gaya penulisan berbeda dengan usia dan jenis kelamin penulis di blog. Pennebaker, dkk. (2003) menyatakan bahwa baru-baru ini juga ditunjukkan bahwa topik dan gaya menulis adalah tanda-tanda yang menguntungkan dari perkembangan psikologis terkait usia dalam aspek kepribadian, minat, dan perasaan. Korpus mereka memiliki lebih dari 140 juta kata teks dari blog yang dipilih secara acak oleh pria dan wanita dari remaja hingga usia empat puluhan. Dengan menerapkan analisis faktor dan teknik pembelajaran mesin, mereka menunjukkan di sini pola yang jelas dan konsisten dari variasi terkait usia dan gender dalam topik dan gaya penulisan. Menghubungkan Usia dan Jenis Kelamin Tidak luput dari perhatian bahwa dengan sedikit pengecualian, faktor dan kelas kata yang lebih banyak digunakan oleh blogger yang lebih muda (lebih tua) juga jelas lebih banyak digunakan oleh blogger perempuan (laki-laki). Dengan demikian, Artikel, Bisnis, Preposisi, Internet, Agama, dan Politik lebih banyak diterapkan oleh blogger pria dan blogger yang lebih tua, sedangkan Auxiliary Verbs, Conjunctions, Conversation, Personal Pronouns, At Home, Romance, Swearing, dan Fun lebih banyak diterapkan oleh blogger wanita. dan blogger muda. Hanya ada 3 pengecualian untuk pola ini: Keluarga, diterapkan lebih banyak oleh wanita dan blogger yang lebih tua; Musik, lebih banyak diterapkan oleh pria dan blogger muda; dan, Sekolah, di mana tidak ada perbedaan penting antara penggunaan pria dan wanita. Kekuatan pengamatan ini digarisbawahi ketika memeriksa kata-kata pribadi yang menunjukkan efek terkait usia dan gender yang kuat. Argamon, dkk. (2007:1) menganggap bahwa 316 kata yang merupakan 1000 kata dengan informasi tertinggi didapat untuk usia dan 1000 kata dengan informasi tertinggi didapatkan untuk jenis kelamin. Gender ketiga dan gender nonbinerSecara tradisional pada umumnya, masyarakat hanya mengakui dua peran gender yaitu feminin dan maskulin. Keduanya pun masing-masing berkaitan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ketika seorang bayi lahir, masyarakat menempatkan bayi itu ke dalam satu gender berdasarkan tampilan organ genitalia mereka.[29] Akan tetapi, beberapa masyarakat di dunia memiliki kelompok gender yang tidak terpatok pada jenis kelamin biologis misalnya orang Bissu dalam kebudayaan Bugis[30] dan orang dua roh di kebudayaan pribumi Amerika. Kelompok ini disebut dalam sosiologi sebagai gender ketiga[31] yang terpisah dari kondisi jenis kelamin biologis.[32] Beberapa contoh lainnya adalah masyarakat hijra di India dan Pakistan.[33][34] Contoh lainnya adalah masyarakat muxe di Meksiko.[35] Pengukuran identitas genderPenelitian awal terhadap identitas gender memiliki hipotesis bahwa dimensi maskulinitas-feminitas berada dalam suatu model biner. Model tersebut mulai dipertanyakan seiring stereotipe pada masyarakat berubah yang kemudian mengarah pada berkembangnya model dua dimensi. Maskulinitas dan feminitas digambarkan sebagai dua dimensi yang terpisah yang eksis secara bersamaan dengan nilai yang berbeda-beda bagi setiap orang. Konsep tersebut merupakan standar yang digunakan hingga kini.[36] Terdapat dua instrumen dominan yang digunakan dalam penelitian identitas gender yaitu Bem Sex Role Inventory (BSRI) dan Personal Attributes Questionnaire (PAQ).[36] Twenge (1997) menyebutkan bahwa pria umumnya lebih maskulin daripada wanita sementara wanita umumnya lebih feminin daripada pria. Akan tetapi, korelasi antara jenis kelamin biologis dan maskulinitas/feminitas cenderung semakin berkurang.[37] Teori feminis dan kajian gender
Biolog dan feminis Amerika Serikat yaitu Anne Fausto-Sterling menolak diskursus gender secara determinisme biologis versus sosial dan menyarankan dilakukannya analisis yang lebih dalam terhadap bagaimana interaksi antara individu makhluk hidup dengan lingkungannya mempengaruhi kapasitas individu tersebut.[38] Filsuf Prancis yaitu Simone de Beauvoir menerapkan eksistensialisme dalam feminisme dan menyebut di dalam bukunya tahun 1949 berjudul The Second Sex, "Seseorang tidak lahir perempuan, tapi menjadi perempuan."[39] Kalimat ini di dalam konteksnya merupakan sebuah pernyataan filosofis. Tapi kalimat tersebut dapat pula dianalisis melalui sudut pandang biologi—bahwa seorang anak perempuan harus melalui pubertas untuk menjadi seorang wanita—serta sudut pandang sosiologi—dengan mempertimbangakan bahwa sebagian besar dari sifat kedewasaan diperoleh dari pengamatan lingkungan.[40] Istilah "gender" dalam teori feminis berkembang pada atahun 1970-an. Sebagai contoh, sosiolog Amerika Serikat yaitu Janet S. Chafetz dalam bukunya yang berjudul Masculine/Feminine or Human tahun 1975 menggunakan kata "gender naluri" (innate gender) dan "peran jenis kelamin yang dipelajari" (learned sex roles).[41]. Tapi dalam edisi kedua buku tersebut dari tahun 1978, penggunaan kata "jenis kelamin" (sex) dan "gender" ditukar.[42] Kajian gender mengartikan "gender" sebagai konstruksi maskulinitas dan femininitas sosial dan kultural yang disediakan. Gender di dalam konteks ini tidak mencakup mengenai perbedaan biologis dan berfokus pada perbedaan kebudayaan.[43] Pengertian ini muncul dari beberapa literatur seperti dari ahli psikoanalisis Prancis yaitu Jacques Lacan, Julia Kristeva, Luce Irigaray, serta dari feminis Amerika Serikat seperti Judith Butler. Butler memandang peran gender sebagai sebuah perilaku yang terkadang ia sebut sebagai "performatif".[44] Sosiolog Amerika Serikat yaitu Charles E. Hurst menyatakan bahwa beberapa orang berpikir bahwa jenis kelamin akan, "... secara otomatis menentukan sikap dan peran (sosial) gender seseorang serta orientasi seksual seseorang ...".[b][45] Beberapa sosiolog gender meyakini bahwa manusia memiliki asal dan kebiasaan kultural ketika membahas soal gender. Sebagai contoh, sosiolog Amerika Serikat yaitu Michael Schwalbe meyakini bahwa manusia harus diajari cara berperilaku sesuai gendernya untuk mengisi peran gendernya serta bahwa cara orang berperilaku maskulin atau feminin memiliki interaksi dengan ekspektasi sosial. Schwalbe comments that humans "are the results of many people embracing and acting on similar ideas".[46] Setiap orang menunjukkan perilaku ini melalui segala macam hal mulai dari pakaian dan gaya rambut hingga pekerjaan dan lingkaran sosial. Schwalbe meyakin bahwa perbedaan dalam gender tersebut penting karena masyarakat ingin mengenal dan mengelompokkan setiap orang yang mereka lihat. Masyarakat membutuhkan pengelompokkan orang-orang ke kategori-kategori yang berbeda untuk memandang mereka. Hurst menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang membagi ekspresi gender secara tegas, sanksi dapat diberikan bagi mereka yang mendobrak norma tersebut. Kebanyakan dari sanksi tersebut bersumber dari diskriminasi berdasarkan orientasi seksual. Orang homoseksual sering kali mengalami diskriminasi hukum karena prasangka dalam masyarakat.[47] Hurst mendeskripsikan bagaimana diskriminasi ini memusuhi orang-orang yang tidak menyesuaikan diri mereka dengan norma gender yang ada tanpa mempedulikan orientasi seksual mereka. Ia menyebutkan bahwa sistem peradilan sering tidak mengerti perbedaan antara jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual yang kemudian mengarah pada diskriminasi terhadap orang-orang yang tidak berperilaku sesuai ekspektasi orang lain terhadap jenis kelaminnya yang dianggap "benar".[45] Ahli politik Mary Hawkesworth menyebutkan bahwa sejak tahun 1970-an, konsep gender telah beralih dan mulai digunakan secara berbeda-beda di dalam literatur feminis. Hawkesworth memperhatikan bahwa peralihan terjadi ketika akademisi feminis seperti Sandra Harding dan Joan Scott mulai menjelaskan gender "... sebagai sebuah kategori analitis yang digunakan manusia untuk memahami dan mengatur aktivitas sosial mereka."[c] Akademisi feminis di dalam ilmu politik mulai menggunakan gender sebagai sebuah kategori analitis yang menyoroti "... hubungan-hubungan sosial dan politik yang tidak dihiraukan oleh sumber-sumber arus utama."[d] Akan tetapi, Hawkesworth juga menyatakan bahwa feminisme belum menjadi paradigma dominan dalam ilmu politik.[48] Ilmuwan politik Amerika Serikat yaitu Karen Beckwith menjelaskan konsep gender dalam ilmu politik dengan menyebutkan bahwa terdapat sebuah "bahasa gender yang umum" yang harus diekspresikan dengan jelas jika ingin digunakan dalam ilmu politik. Beckwith menyebutkan dua cara untuk menggunakan kata gender di dalam penelitian yaitu sebagai sebuah kategori dan sebuah proses. Gender sebagai kategori dapat digunakan untuk membatasi konteks-konteks spesifik seperti perilaku, tindakan, sikap, dan ketertarikan yang dinilai maskulin atau feminin. Gender juga dapat digunakan untuk menunjukkan cara perbedaan gender—tidak berarti secara tepat merujuk kepada jenis kelamin— dalam menghambat atau membantu aktor-aktor politik. Sementara itu, gender sebagai sebuah proses memiliki dua manifestasi inti yaitu (1) menentukan pengaruh kebijakan dan struktur politik yang berbeda bagi pria dan wanita; dan (2) perilaku dari aktor politik maskulin dan feminin dalam membuat hasil politik yang spesifik gender.[49] Ilmuwan politik Kanada Jacquetta Newman menyebutkan bahwa meskipun jenis kelamin ditentukan secara biologis, cara seseorang mengekspresikan gendernya tidak. Gender merupakan proses yang dikonstruksi secara sosial berdasarkan budaya meskipun sering kali ekspektasi budaya terhadap wanita dan pria berhubungan dengan biologi mereka. Karena itu, Newman beranggapan bahwa keistimewaan jenis kelamin tertentu menjadi penyebab dari terjadinya opresi sembari tidak menghiraukan masalah-masalah lainnya seperti ras, disabilitas, kemiskinan, dan lain-lain. Kajian gender kini mencoba untuk beralih dari pandangan tersebut dan memeriksa interseksionalitas dari faktor-faktor yang ada yang mempengaruhi kehidupan seseorang. Newman juga menyebutkan bahwa beberapa kebudayaan di dunia belum tentu memiliki pandangan yang sama mengenai gender dan peran gender dengan kebudayaan barat.[50] Hipotesis konstruksi sosial seks/jenis kelaminGender di dalam sosiologi umumnya dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial. Di sisi lain, beberapa ilmuwan dan kalangan feminis menilai bahwa seks hanya merupakan sebuah aspek biologi dan bukan soal konstruksi sosial atau kultural. Sebagai contoh, seksolog Selandia Baru yaitu John Money menyebutkan perbedaan antara seks biologis dan gender sebagai peran.[26] Sosiolog Britania Raya yaitu Ann Oakley mengatakan bahwa, "Keutuhan seks itu harus diakui, tapi begitu pula untuk keberagaman gender."[e][51] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, "'Seks' merupakan karakteristik biologis dan fisiologis yang mendefinisikan pria dan wanita ... 'gender' merupakan peran, perilaku, aktivitas, dan sifat-sifat yang dikonstruksi secara sosial dan dianggap di dalam masyarakat tertentu sebagai pantas bagi pria dan wanita."[f][4] Dengan demikian, seks dipandang sebagai sebuah objek kajian biologi (ilmu alam) sementara gender dipandang sebagai sebuah kajian dalam ilmu humaniora dan ilmu sosial. Lynda Birke, seorang biolog feminis, berpendapat bahwa biologi bukan sesuatu yang dapat berubah.[29] Meskipun demikian, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa seks juga merupakan hasil konstruksi sosial. Judith Butler mengatakan, "Mungkin, hasil konstruksi yang disebut 'seks' ini memang betul hasil konstruksi kultural seperti gender. Mungkin memang yang ada hanya gender, sehingga antara seks dan gender tidak ada perbedaannya sama sekali."[g][52] Butler juga mengatakan,
Butler juga mengatakan, "Tubuh hanya tampak, hanya bertahan, hanya hidup dalam kondisi produktif dari suatu skema regulasi gender tertentu"[i][54] dan seks "bukan lagi sebuah sifat fisik yang ditentukan dan direka oleh konstruksi gender, namun sebagai sebuah norma kultural yang mengatur materialisasi tubuh."[j][55] Lugones (2008) menyebutkan bahwa masyarakat Yoruba di Afrika tidak memiliki konsep mengenai gender dan sistem gender sebelum datangnya kolonialisme. Ia mengatakan bahwa para penjajah menggunakan sistem gender untuk berkuasa dan di saat yang sama mengubah dasar hubungan sosial masyarakat pribumi di daerah jajahan.[56] Nicholson (1994) menunjukkan bahwa pemahaman mengenai perbedaan seksual tubuh manusia tidak seragam di sepanjang periode sejarah. Ia menyatakan bahwa kelamin laki-laki dan perempuan dipandang sama di masyarakat Barat sebelum abad ke-18. Kala itu, kelamin perempuan dianggap sebagai kelamin laki-laki yang tidak sempurna dan keduanya merupakan tahapan kelamin yang berbeda—dengan kata lain, sebuah tahapan bentuk fisik atau sebuah spektrum.[57] Fausto-Sterling (2000) di dalam studinya mendeskripsikan sikap-sikap dokter terhadap kondisi interseks. Ia memulai argumennya dengan mengatakan, "Pengertian kita terhadap konsep dasar gender membentuk dan mencerminkan cara kita membangun sistem dan aturan sosial kita serta pemahaman kita mengenai tubuh fisik kita."[k][58] Fausto-Sterling kemudian menyebutkan akibat dari asumsi kita mengenai gender terhadap penelitian ilmiah mengenai seks dengan mengambil kasus penelitian terhadap orang interseks. Ia berkesimpulan bahwa para peneliti tidak mempertanyakan asumsi dasar mereka bahwa "hanya ada dua jenis kelamin" karena, menurut Fausto-Sterling, penelitian mereka terhadap orang interseks dilakukan sebagai perbandingan perkembangan jenis kelamin yang "normal".[59] Ia juga menyebutkan mengenai bahasa yang digunakan oleh para dokter ketika berbicara dengan orang tua dari anak dengan kondisi interseks. Ia menyatakan bahwa karena para dokter memiliki kepercayaan bahwa si anak itu sebetulnya hanya laki-laki/perempuan dengan kondisi yang berbeda, mereka menyampaikan kepada orang tua si anak bahwa akan perlu waktu lebih untuk menentukan apakah anak tersebut laki-laki atau perempuan. Fausto-Sterling menyebut perilaku para dokter tersebut dibentuk oleh asumsi gender kultural mereka yang mengatakan bahwa hanya ada dua jenis kelamin. Ia menyebutkan pula bahwa perbedaan cara dokter di daerah-daerah yang berbeda dalam menangani kasus orang interseks memberikan gambaran baik mengenai konstruksi sosial jenis kelamin dan dengan demikian budaya memiliki peran dalam menentukan gender, terutama pada kasus anak-anak interseks.[60] Sebagai contoh,
Priess, et al. (2009) meneliti mengenai apakah anak perempuan dan laki-laki dapat mulai memiliki variasi identitas gender pada masa remajanya. Mereka mendasari penelitian tersebut berdasarkan hipotesis intensifikasi gender yang digagas oleh Hill dan Lynch (1989)[62] yang menyebutkan bahwa ucapan dan perilaku orang tua serta interaksi antara anak dan orang tua menentukan dan "mengintensifkan" identitas peran gender anak-anak mereka. Priess, et al. tidak menemukan kondisi tersebut pada penelitian mereka.[63] Ridgeway dan Correll (2004) mengatakan bahwa gender itu tidak hanya sebuah identitas atau peran namun sesuatu yang dilembagakan melalui "konteks hubungan sosial"— yang mereka definisikan sebagai, "Situasi apapun saat individu mendefinisikan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan individu lain untuk bertindak."[m] Mereka juga menyebutkan bahwa selain dari konteks hubungan sosial, budaya juga berpengaruh terhadap sistem gender. Ridgeway dan Correl mengatakan bahwa setiap orang dipaksa untuk mengakui dan berinteraksi dengan orang lain melalui cara-cara yang terikat dengan gender. Setiap individu berinteraksi dengan individu lain dan patuh terhadap standar kepercayaan hegemoni di masyarakat, yang salah satunya adalah peran gender.[64] Faktor dan pandangan biologiPerilaku laki-laki dan perempuan serupa pada banyak hal pada umumnya dengan hanya sedikit perbedaan dalam gender tetapi beberapa perilaku yang telah dikaitkan dengan gender tertentu dipengaruhi oleh hormon androgen pada masa prakelahiran dan kanak-kanak. Beberapa contoh di antaranya adalah identifikasi diri sendiri terhadap gender tertentu dan kecenderungan untuk bertindak agresif.[65] Kebanyakan manusia laki-laki dan mamalia jantan lainnya memperlihatkan perilaku bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik yang merupakan pengaruh dari tingkat paparan testosteron di dalam kandungan. Tingkat paparan hormon tersebut dapat pula mempengaruhi seksualitas. Orang nonheteroseksual dapat memperlihatkan perilaku yang tidak umum pada jenis kelaminnya pada masa kanak-kanak.[66] Biologi gender menjadi subjek dari berbagai penelitian pada abad ke-20. Salah satu topik yang paling awal diminati kalangan ilmuwan adalah apa yang kelak disebut sebagai "gangguan identitas gender" (bahasa Inggris: gender identity disorder, GID) yang sekarang dikenal sebagai disforia gender. John Money menyimpulkan beberapa penelitian terkait GID dengan mengatakan,
Catatan kaki
Referensi
Pranala luar
|