Gereja di Timur (bahasa Suryani: ܥܕܬܐ ܕܡܕܢܚܐ, ʿĒḏtā d-Maḏenḥā), yang juga disebut Gereja Persia[10][11] atau Gereja Nestorian,[keterangan 1] adalah salah satu Gereja Timur pengamal ritus Suryani Timur yang berbasis di Mesopotamia. Gereja ini adalah salah satu dari tiga cabang utama Gereja Timur yang lahir dari kontroversi-kontroversi kristologis abad ke-5 dan ke-6. Dua cabang utama lainnya adalah Gereja-Gereja Ortodoks Oriental dan Gereja Ortodoks Timur. Pada permulaan zaman modern, sederet skisma memecah Gereja ini menjadi beberapa kebatrikan yang saling bersaing, kadang-kadang ada dua, dan kadang-kadang ada tiga kebatrikan dalam waktu yang bersamaan.[12] Sejak paruh akhir abad ke-20, tiga Gereja di Irak mengaku sebagai penerus sah Gereja di Timur, sementara Gereja-Gereja pengamal ritus Suryani Timur di India mengaku sebagai penerus sah Gereja di Timur di India.
Sebagai bagian dari Gereja Raya, Gereja di Timur menjalin persekutuan dengan Gereja-Gereja di Kekaisaran Romawi sampai Konsili EfesusmenganatemaNestorius pada tahun 431.[1] Para pendukung Nestorius berbondong-bondong mengungsi ke Persia. Karena menolak ikut-ikutan menganatema Nestorius, Gereja di Timur dituding menganut paham Nestorianisme, bidat yang konon diajarkan Nestorius. Inilah sebabnya Gereja Barat dan semua Gereja Timur lainnya, baik dari golongan Kalsedon maupun dari golongan non-Kalsedon, melabeli Gereja di Timur dengan sebutan "Gereja Nestorian". Dari segi politik, Persia dan Roma ketika itu sedang berperang, sehingga Gereja di Timur terpaksa menjaga jarak dengan Gereja-Gereja di wilayah Romawi.[13][14][15] Belakangan ini, para sarjana menyifatkan sebutan "Nestorian" sebagai "sebutan keliru yang patut disesali",[16][17] dan tidak tepat secara teologis.[11] Gereja di Timur sendiri pun menyebut diri "Nestorian", menganatema Konsili Efesus, dan menggelari Nestorius sebagai santo di dalam liturginya.[18][19] Meskipun demikian, para ahli kristologi Gereja di Timur pada akhirnya bersidang dan meratifikasi keputusan Konsili Kalsedon dalam Sinode Mar Aba I tahun 544.[20][2]
Bahkan sebelum kehilangan sebagian besar wilayah pelayanannya pada abad ke-14, Gereja di Timur sudah kehilangan pijakan di kandang sendiri. Kemerosotan ini tampak pada penurunan jumlah keuskupan yang masih aktif. Sekitar tahun 1000, ada lebih dari enam puluh keuskupan di kawasan Timur Dekat, tetapi pada pertengahan abad ke-13 sudah tinggal sepertiganya saja, kemudian turun lagi menjadi tujuh keuskupan sesudah Timur Leng berkuasa.[21] Sesudah kemaharajaan bangsa Mongol terpecah belah, para penguasa Tionghoa dan Mongol Islam mengusir bahkan nyaris memusnahkan Gereja di Timur maupun umatnya. Sesudah itu, hanya di daerah Mesopotamia Hulu dan Pesisir Malabar (sekarang Kerala, India) sajalah keuskupan-keuskupan Gereja di Timur dapat ditemukan.
Skisma memecah belah Gereja ini, tetapi pada akhirnya tersisa dua kebatrikan pada tahun 1830, yakni Gereja Asyur di Timur dan Gereja Katolik Kaldea (salah satu Gereja Katolik Timur yang bersatu dengan Takhta Suci). Gereja Purba di Timur pecah dari Gereja Asyur di Timur pada tahun 1968. Pada tahun 2017, umat Gereja Katolik Kaldea diperkirakan berjumlah 628.405 jiwa,[22] sementara umat Gereja Asyur di Timur berjumlah 323.300 jiwa,[23] dan umat Gereja Purba di Timur berjumlah 100.000 jiwa. Angka-angka tersebut tidak mencakup jumlah umat Kristen Santo Tomas pengamal ritus Suryani, yang juga terpecah belah menjadi beberapa denominasi, antara lain dua Gereja Katolik Suryani dan beberapa cabang Gereja Ortodoks Suryani.
Kemandirian Kepala Gereja di Timur sudah dimaklumkan pada tahun 424, 9 tahun sebelum penyelenggaraan Konsili Efesus, konsili yang menganatema Nestorius dan memaklumkan bahwa Maria, ibunda Yesus, dapat disifatkan sebagai Bunda Tuhan. Sebelum itu, dua konsili ekumenis sudah terselenggara, dan keputusan-keputusan berterima umum, yaitu Konsili Nikea I tahun 325 yang juga dihadiri seorang uskup Persia, dan Konsili Konstantinopel I tahun 381. Gereja di Timur menerima ajaran-ajaran kedua konsili ini, tetapi mengabaikan Konsili Efesus tahun 431 maupun konsili-konsili sesudahnya, karena berpandangan bahwa konsili-konsili tersebut hanya berkenaan dengan kebatrikan-kebatrikan di Kekaisaran Romawi (Roma, Konstantinopel, Aleksandria, Antiokhia, Yerusalem). Di mata Gereja di Timur, semua kebatrikan tersebut adalah "Gereja-Gereja di Barat".[24]
Sesudah menyebar sedemikian luas, Gereja di Timur memasuki kurun waktu kemerosotan tajam pada abad ke-14. Sebab utamanya adalah pengaruh-pengaruh dari luar. Kulawangsa Ming menumbangkan kekuasaan bangsa Mongol di Tiongkok pada tahun 1368, dan menyingkirkan umat Kristen maupun pengaruh-pengaruh asing lainnya dari Tiongkok. Selain itu, banyak orang Mongol di Asia Tengah beralih ke agama Islam. Timur (1336–1405), pemimpin bangsa Turki-Mongol, nyaris memusnahkan sisa-sisa umat Kristen di Timur Tengah. Yang tersisa dari umat Gereja di Timur hanyalah paguyuban-paguyuban di daerah Mesopotamia Hulu dan jemaat Kristen Santo Tomas di Pesisir Malabar, Anak Benua India.
Nestorianisme adalah doktrin kristologis yang menitikberatkan perbedaan antara kodrat insani dan kodrat ilahi Yesus. Doktrin ini dinisbatkan kepada Nestorius, Batrik Konstantinopel dari tahun 428 sampai tahun 431. Doktrin Nestorius merupakan puncak pencapaian mazhab filsafati yang dikembangkan para sarjana Perguruan Katekese Antiokhia, teristimewa Teodorus dari Mopsuestia, guru Nestorius. Kontroversi timbul ketika Nestorius secara terbuka menggugat pemberian gelar Teotokos (arti harfiahnya "Sang Pelahir Tuhan") kepada Maria, ibunda Yesus.[26] Menurut Nestorius, menyebut Maria sebagai Teotokos sama saja dengan memungkiri kesejatian kodrat insani Kristus. Nestorius mengemukakan bahwa Yesus memiliki dua kodrat yang tidak benar-benar menyatu, yakni kodrat ilahi selaku Logos dan kodrat insani selaku Yesus, dan oleh karena itu mengusulkan gelar Kristotokos (arti harfiahnya "Sang Pelahir Kristus") yang ia anggap lebih pantas. Pernyataan-pernyataan nestorius menuai kritik dari rohaniwan-rohaniwan terkemuka lainnya, terutama Sirilus, Batrik Aleksandria, salah seorang pemimpin sidang Konsili Efesus tahun 431 yang membidatkan Nestorius dan memecatnya dari jabatan batrik.[27]
Selepas tahun 431, pemerintah Kekaisaran Romawi berusaha melenyapkan paham Nestorianisme. Inilah alasan umat Kristen di Persia menyukai Nestorianisme. Menganut paham yang ditentang pemerintah Romawi adalah cara untuk menghapus kecurigaan pemerintah Persia bahwa umat Kristen di Persia adalah antek-antek Kekaisaran Romawi.[28][29]
Tidak lama sesudah Konsili Kalsedon tahun 451, barulah Gereja di Timur merumuskan teologi yang berbeda dari Nestorianisme. Rumusan teologi ini pertama kali diadopsi di dalam Sinode Bet Lapat tahun 484, dan dikembangkan lebih lanjut pada permulaan abad ke-7, ketika Kekaisaran Persia Sasani berhasil mendaulat daerah luas yang didiami umat Suryani Barat dari Kekaisaran Romawi. Banyak di antara umat Suryani Barat tersebut mengusung teologi miafisit, yang disebut "Monofisitisme" (Eutikianisme) oleh lawan-lawan mereka, yakni pandangan teologi yang sangat bertolak belakang dengan Nestorianisme. Kebijakan Gereja di Timur ini mendapatkan dukungan dari Syahansyah Khosrau II dan Syahbanu Syirin. Ketokohan Teodorus dari Mopsuestia menginspirasi Babai Agung (551−628) untuk menjabarkan doktrin-doktrin Gereja di Timur secara tertulis. Doktrin-doktrin di dalam Kitab Persatuan yang ditulis Babai Agung menjadi kristologi normatif Gereja di Timur. Babai Agung menegaskan bahwa kedua qnome (istilah Suryani, bentuk jamak dari qnoma, tidak benar-benar berpadanan dengan istilah Yunani φύσις, fisis, οὐσία, usia, maupun ὑπόστασις, hipostasis)[30] Kristus tidak bercampur tetapi kekal manunggal di dalam parsopa (bahasa Yunani: πρόσωπον, prosopon, "persona") Kristus yang satu. Seperti yang juga terjadi pada istilah Yunani φύσις (fisis) dan ὐπόστασις (hipostasis), istilah-istilah Suryani tersebut kadang-kadang dimaknai menyimpang dari maksud sebenarnya, terutama istilah "dua qnome" yang ditafsirkan secara keliru sebagai "dua individu".[31][32][33][34] Sebelum itu, Gereja di Timur masih menerima ungkapan-ungkapan yang cukup luwes, kendati masih di dalam batas-batas teologi diofisit, tetapi sesudah sinode Babai Agung tahun 612 mengundangkan rumusan "dua qnome di dalam Kristus", terbentuklah perbedaan kristologis yang paripurna di antara Gereja di Timur dan Gereja-Gereja Kalsedon "di Barat".[35][36][37]
Keabsahan penisbatan Nestorianisme kepada Nestorius, tokoh yang dihormati Gereja di Timur sebagai santo, dipertanyakan.[38][16] David Wilmshurst berpendapat bahwa berabad-abad lamanya "kata 'Nestorian' digunakan baik sebagai istilah yang melecehkan oleh pihak-pihak yang tidak sejalan dengan teologi Suryani Timur maupun sebagai istilah kebanggaan oleh banyak pihak yang membela teologi Suryani Timur [...] dan sebagai istilah deskriptif yang netral dan dirasa tepat oleh pihak-pihak lain. Sekarang ini istilah tersebut pada umumnya dirasakan mengandung stigma tertentu".[39] Sebastian P. Brock mengemukakan bahwa "keterkaitan Gereja di Timur dengan Nestorius sesungguhnya renggang, dan tindakan terus-menerus menyebut Gereja itu sebagai Gereja 'Nestorian', dari kaca mata sejarah, benar-benar menyesatkan dan tidak tepat, selain merupakan sebutan yang sangat menistakan dan tindakan yang menyalahi adab ekumene".[40]
Di luar dari makna religiusnya, kata "Nestorian" dipakai pula dengan makna etnis, sebagaimana tampak pada frasa "umat Nestorian Katolik".[41][42][43]
Dalam artikel "The 'Nestorian' Church: a lamentable misnomer", yang dimuat dalam jurnal Bulletin of the John Rylands Library tahun 1996, Sebastian Brock, salah seorang Fellow of the British Academy, meratapi kenyataan bahwa "istilah 'Gereja Nestorian' sudah menjadi sebutan standar bagi Gereja timur purba yang pada masa lampau menyebut diri 'Gereja di Timur', tetapi yang sekarang ini lebih menyukai istilah 'Gereja Asyur di Timur' yang lebih lengkap. Sebutan semacam itu bukan hanya tidak sopan bagi umat Gereja terhormat ini pada zaman modern, melainkan juga − sebagaimana yang ingin ditunjukkan makalah ini − tidak tepat dan menyesatkan".[44]
Organisasi dan struktur
Dalam Konsili Seleukia-Ktesifon tahun 410, Gereja di Timur mengumumkan bahwa Uskup Seleukia-Ktesifon, ibu kota Persia, adalah pemimpin tertingginya. Kepala Gereja di Timur disebut "Metropolitan Agung" di dalam surat keputusan Konsili Seleukia-Ktesifon, tetapi tidak lama kemudian disebut "Katolikos di Timur". Gelar batrik baru dipakai belakangan.
Sama seperti Gereja-Gereja lain, Gereja di Timur memiliki rohaniwan-rohaniwan tertahbis dalam tiga jenjang jabatan tradisional, yakni uskup, imam (atau presbiter), dan diakon. Sama seperti Gereja-Gereja lain, Gereja di Timur menerapkan tatanan keuskupan, yakni pengelompokan umat menjadi keuskupan-keuskupan yang masing-masing dikepalai seorang uskup. Umat di tiap keuskupan masih dikelompokkan lagi menjadi paroki-paroki yang masing-masing dipimpin seorang imam. Keuskupan-keuskupan yang berdekatan dikelompokkan menjadi satu provinsi di bawah kepemimpinan seorang uskup metropolitan. Uskup metropolitan adalah jabatan yang penting, karena mengemban tugas-tugas maupun wewenang tambahan. Berdasarkan hukum kanon, hanya uskup-uskup metropolitan yang berhak mengonsekrasi batrik.[45] Selain menjadi kepala Gereja, batrik juga mengepalai provinsi kebatrikan.
Hampir sepanjang sejarahnya, Gereja di Timur memiliki kurang lebih 6 provinsi di dalam daerah basis. Pada tahun 410, provinsi-provinsi tersebut adalah (diurut berdasarkan hierarki) Seleukia-Ktesifon (Irak Tengah), Bet Lapat (Iran Barat), Nisibis (perbatasan Turki-Irak), Prat de Maishan (Basra, Irak Selatan), Arbela (Erbil, daerah Turkestan di Irak), dan Karka de Bet Slokh (Kirkuk, Irak Timur Laut). Selain itu, Gereja Timur juga membawahi provinsi-provinsi di luar daerah basis yang jumlahnya terus bertambah. Provinsi-provinsi di luar daerah basis Gereja di Timur mula-mula terbentuk di wilayah Kemaharajaan Persia Sasani, tetapi tidak lama kemudian terbentuk pula di luar batas-batas wilayah negara itu. Pada abad ke-10, Gereja di Timur membawahi 20[28] sampai 30 provinsi gerejawi.[39] Menurut John Foster, ada 25 provinsi yang dibawahi Gereja di Timur pada abad ke-9,[46] termasuk di Tiongkok dan India. Provinsi gerejawi di Tiongkok bubar pada abad ke-11, provinsi-provinsi lain menyusul pada abad-abad selanjutnya. Meskipun demikian, pada abad ke-13, Gereja di Timur membentuk dua provinsi gerejawi baru di Tiongkok Utara, yakni Provinsi Tanggut dan Provinsi 'Katai dan Ong'.[39]
Perjanjian Lama Pesyita diterjemahkan dari bahasa Ibrani, kendati tarikh maupun tempat penerjemahannya tidak betul-betul jelas. Para penerjemahnya mungkin adalah orang-orang Yahudi penutur bahasa Suryani atau orang-orang Yahudi pertama yang memeluk agama Kristen. Mungkin teks demi teks diterjemahkan terpisah-pisah, dan kemungkinan besar penerjemahkan dituntaskan sepenuhnya pada abad ke-2. Rata-rata kitab deuterokanonika Perjanjian Lama memiliki terjemahan Suryaninya, dan kitab Kebijaksanaan Sirakh diyakini diterjemahkan dari bahasa Ibrani, bukan dari Septuaginta.[47]
Pada abad ke-19, kerap muncul wacana bahwa Gereja di Timur menentang segala macam citra religius. Penghormatan terhadap citra religius di Gereja-Gereja Suryani memang tidak pernah sampai pada taraf setinggi yang dicapai Gereja Romawi Timur, tetapi tetap merupakan bagian dari tradisi Gereja di Timur.[48] Penolakan citra-citra religius pada akhirnya menjadi norma akibat penyebaran agam Islam yang mengharamkan segala macam gambar orang-orang kudus dan nabi-nabi. Oleh karena itu, Gereja di Timur terpaksa menyingkirkan ikon-ikon.[49]
Ada bukti sastrawi maupun arkeologi mengenai keberadaan citra-citra religius di dalam gereja. Pada tahun 1248, seorang pejabat Armenia di Samarkand menulis laporan kunjungannya ke sebuah gereja di kota itu dan melihat sendiri sebuah gambar Kristus dan orang-orang Majus. Dalam laporannya mengenai 1330 jiwa umat Suryani Timur di Khanbaliq, Yohanes dari Kora (Giovanni di Cori), Uskup Sultaniyah Ritus latin di Persia, menyebutkan bahwa mereka memiliki ‘gereja-gereja yang sangat indah dan apik, lengkap dengan salib-salib dan gambar-gambar untuk memuliakan Tuhan dan orang-orang kudus’.[48] Selain keterangan-keterangan tersebut, ada pula lukisan seorang tokoh Kristen Nestorian (kemungkinan besar gambar Kristus) yang ditemukan Aurel Stein pada tahun 1908 di Gua Perpustakaan, salah satu dari gua-gua Mogao.
Ilustrasi-ilustrasi dalam sebuah Kitab InjilPesyita Nestorian buatan abad ke-13 dalam ragam aksara Estranggela, yang berasal dari kawasan utara Mesopotamia atau Tur Abdin dan kini tersimpan di Perpustakaan Negeri Berlin, membuktikan bahwa Gereja di Timur belum anikonis pada abad ke-13.[50] Naskah Kitab Injil Nestorian lain yang tersimpan di Bibliothèque nationale de France memuat sebuah ilustrasi sosok Yesus Kristus pada sebuah salib bercincin yang diapit empat sosok malaikat.[51] Tiga naskah Suryani dari awal abad ke-19 atau sebelumnya, yang dipublikasikan dalam bentuk kompilasi dengan judul The Book of Protection oleh Hermann Gollancz pada tahun 1912, memuat sejumlah ilustrasi kurang berseni yang menunjukkan bahwa pemanfaatan citra masih berlanjut.
Arca pria berbahan lepa seukuran manusia asli ditemukan di sebuah gereja dari akhir abad ke-6 di Seleukia-Ktesifon, yang di bawah fondasinya ditemukan bekas-bekas bangunan gereja lain yang lebih tua, juga menunjukkan bahwa Gereja di Timur menggunakan representasi-representasi figuratif.[50]
Potret Empat Penulis Injil, gambar di dalam sebuah leksionari Injil menurut tata cara Nestorian, Mosul, Irak, 1499
Gambar seorang penunggang kuda (Lawatan Agung ke Yerusalem), lukisan (sekarang sudah musnah) pada dinding gereja Nestorian di Gaochang, abad ke-9
Relikui Kristen Nestorian (arca mini) dari zaman kemaharajaan di Tiongkok
Lempeng Anikova, bergambar peristiwa Pengepungan Yerikho, kemungkinan besar dibuat di Zhetisu bagi jemaat Kristen Nestorian berkebangsaan Sogdia di Zhetisu
Detail jiplakan gosok dari tugu prasasti Nestorian yang ditemukan di Luoyang, dari abad ke-9
Detail jiplakan gosok dari tugu prasasti Nestorian yang ditemukan di Luoyang, dari abad ke-9
Meskipun umat Kristen Nestorian mengaku sebagai kelanjutan dari jemaat Kristen Perdana yang terbentuk pada abad pertama Masehi, Gereja di Timur pertama kali mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Kemaharajaan Sasani pada abad ke-4, tatkala Yazdegerd I (menjabat 399–420) naik takhta. Sinode Seleukia-Ktesifon yang diselenggarakan di ibu kota Kemaharajaan Sasani pada tahun 410 membenarkan uskup-uskup Gereja di Timur untuk memilih seorang katolikos (pemimpin) resmi. KatolikosIshak diwajibkan memimpin jemaat Kristen Asyur sekaligus menjadi penyambung lidah mereka di hadapan para syahansyah Sasani.[52][53]
Di bawah tekanan syahansyah Sasani, Gereja di Timur kian lama kian menjarak dari Pentarki (saat itu dikenal sebagai Gereja Kekaisaran Romawi Timur). Oleh karena itu, pada tahun 424, uskup-uskup di Kemaharajaan Sasani bersidang di bawah pimpinan Katolikos Dadisyo (421–456) dan sepakat untuk seterusnya tidak merujuk kepada pihak berwenang mana pun di luar negeri dalam urusan-urusan tata tertib maupun teologi, khususnya kepada uskup atau konsili Gereja di Kekaisaran Romawi.[54]
Inilah sebabnya gereja-gereja di Mesopotamia tidak mengutus wakil-wakilnya ke berbagai konsili yang dihadiri wakil-wakil "Gereja Barat". Dengan demikian para pimpinan Gereja di Timur tidak merasa wajib menaati keputusan apa pun yang mereka anggap sebagai keputusan konsili-konsili Kekaisaran Romawi. Meskipun demikian, syahadat dan kanon-kanon Konsili Nikea I tahun 325 yang membenarkan keparipurnaan keilahian Kristus secara resmi diterima dalam Konsili Seleukia-Ktesifon tahun 410.[55] Pemahaman Gereja di Timur tentang istilah "hipostasis" berbeda dari definisi istilah tersebut menurut Konsili Kalsedon tahun 451. Oleh karena itu Gereja Asyur tidak pernah menerima syahadat Kalsedon.[55]
Kontroversi teologis yang timbul seusai Konsili Efesus tahun 431 terbukti menjadi salah satu tonggak sejarah Gereja. Konsili Efesus membidatkan Kristologi Nestorius, lantaran keengganannya memuliakan Perawan Maria dengan gelar Teotokos (Pelahir Tuhan) dijadikan bukti bahwa ia percaya ada dua pribadi terpisah (alih-alih dua kodrat manunggal) di dalam diri Kristus.
Syahansyah Sasani yang memusuhi Romawi Timur memanfaatkan kontroversi ini sebagai kesempatan untuk membina umat Kristen Persia menjadi kawula yang setia kepada negara, sehingga memutuskan untuk mendukung skisma Nestorian. Syahansyah mengambil langkah-langkah untuk menjadikan para pengikut Nestorius sebagai golongan utama di dalam lingkup Gereja Asyur di Timur dengan memberi suaka kepada mereka,[56] menghukum mati Katolikos Babowai yang pro-Romawi pada tahun 484, dan menggantinya dengan Barsauma, Uskup Nisibis yang berhaluan Nestorian. Katolikos-Batrik Babai (497–503) mengukuhkan keterkaitan Gereja Asyur dengan Nestorianisme.
Zaman Partia dan Sasani
Umat Kristen sudah membentuk paguyuban-paguyuban di Mesopotamia seawal-awalnya pada abad pertama Masehi, zaman Kemaharajaan Partia. Pada tahun 266, Mesopotamia dianeksasi Kemaharajaan wangsa Sasani (dijadikan daerah Asōristān). Saat itu sudah ada paguyuban-paguyuban Kristen yang cukup besar di daerah Mesopotamia Hulu, Elam, dan Fars.[57] Gereja di Timur mengaku sebagai hasil pewartaan Injil yang dilakukan Adai, Mari, dan Rasul Tomas. Tatanan maupun kepemimpinannya baru disempurnakan pada tahun 315, ketika Papa bar Aggai (310–329), Uskup Seleukia-Ktesifon, memaksa semua keuskupan lain di Mesopotamia dan Persia untuk mengakui takhta keuskupannya sebagai pusat kepemimpinan gerejawi. Keuskupan-keuskupan tersebut dipersatukan di bawah kepemimpinan Katolikos Seleukia-Ktesifon. Papa bar Aggai menggelari dirinya Katolikos (pemimpin umum).[58] Pada tahun 410, gelar ini diperpanjang lagi menjadi "Katolikos dan Batrik di Timur".[59][60]
Jumlah umat Kristen di Mesopotamia, Elam, dan Fars melonjak pada abad ke-4 dan ke-5 saat terjadi deportasi besar-besaran umat Kristen dari wilayah timur Kekaisaran Romawi.[61] Meskipun demikian, Gereja Persia dihadapkan kepada berbagai aniaya, terutama aniaya pada masa pemerintahan Syahansyah Syapur II (339–79) yang dilakukan warga mayoritas Mazdayasna yang menuding umat Kristen sebagai antek-antek Romawi.[62] Syapur II berusaha membubarkan struktur ketatalaksanaan Gereja di negaranya, bahkan menghukum mati sejumlah rohaniwan, termasuk Katolikos Simeon bar Saba'e pada tahun 341,[63] Katolikos Syahdost pada tahun 342, dan Katolikos Barba'symin pada tahun 346.[64] Sesudah Katolikos Barba'symin dihukum mati, jabatan katolikos lowong hampir 20 tahun lamanya (346–363).[65] Pada tahun 363, berdasarkan syarat-syarat kesepakatan damai, Nisibis diserahkan kepada bangsa Persia. Akibatnya Efrem orang Suriah bersama sejumlah pengajar meninggalkan Perguruan Nisibis dan hijrah ke Edesa yang masih termasuk wilayah kedaulatan Kekaisaran Romawi.[66] Gereja di Timur cukup berkembang pada zaman kulawangsa Sasani,[28] tetapi aniaya terhadap umat Kristen mendorong Katolikos Dadisyo I untuk menggelar Sinode Markabta di Seleukia tahun 424 dan memaklumkan kemandirian Gereja di Timur dari "Bapa-Bapa Barat".[67]
Sementara itu, di Kekaisaran Romawi, Skisma Nestorian mendorong banyak pendukung Nestorius untuk hijrah ke wilayah kedaulatan kulawangsa Sasani, khususnya ke daerah sekitar Perguruan Nisibis. Gereja di Timur kian lama kian akrab dengan kaum Diofisit, bahkan kedekatan semacam ini didukung para penguasa yang beragama Mazdayasna. Sepanjang beberapa dasawarsa selanjutnya, doktrin Gereja di Timur kian condong ke paham Diofisitisme, sehingga jurang di antara Kekristenan di Kekaisaran Romawi dan Kekristenan di Persia kian melebar. Pada tahun 484, Metropolit Nisibis, Barsauma, menggelar Sinode Bet Lapat, dan secara terbuka menerima guru Nestorius, Teodorus dari Mopsuestia, sebagai pemangku kewenangan rohani.[36] Ketika ditutup Kaisar Zeno pada tahun 489 lantaran mengajarkan Nestorianisme, Perguruan Edesa di Mesopotamia berpindah lokasi ke Nisibis, tempat kelahirannya, dan kembali dinamakan Perguruan Nisibis. Situasi semacam ini mendorong penganut Nestorianisme berbondong-bondong bermigrasi ke Persia.[68][69] Batrik di Timur, Mar Babai I (497–502), kembali menandaskan ihwal besarnya rasa hormat para pendahulunya terhadap Teodorus dari Mopsuestia, sehingga kian mengukuhkan penerimaan Gereja di Timur terhadap doktrin Diofisitisme.[28]
Sesudah kuat berakar di Kemaharajaan Persia serta mendirikan pusat-pusat di Nisibis, Ktesifon, dan Gundesyapur, maupun beberapa takhta metropolia, Gereja di Timur mulai melebarkan sayapnya ke luar wilayah Persia. Meskipun demikian, pada abad ke-6, Gereja di Timur berulang kali dirongrong pertikaian internal maupun aniaya dari umat Mazdayasna. Pertikaian internal mengakibatkan timbulnya skisma pada tahun 521 yang baru berakhir sesudah masalah-masalah diatasi sekitar tahun 539, when the issues were resolved. Meskipun demikian, tidak seberapa lama sesudah skisma diakhiri, Persia kembali berkonflik dengan Romawi Timur sehingga Gereja di Timur ditindas Kaisar Khosrau I. Penindasan berakhir pada tahun 545. Gereja di Timur bertahan melewati cobaan-cobaan tersebut di bawah kepemimpinan Batrik Aba I, seorang mantan pemeluk agama Mazdayasna.[28]
Pada akhir abad ke-5 dan pertengahan abad ke-6, wilayah pengembalaan Gereja di Timur mencakup "semua negeri di sebelah timur dan negeri-negeri di tepi barat Sungai Efrat", termasuk negara kemaharajaan kulawangsa Sasani, Jazirah Arab, Sokotra, Mesopotamia, Media, Baktria, Hirkania, dan India, bahkan mungkin pula mencakup negeri Kaliana, Male, dan Sielediva (Sailan).[70] Batrik membawahi sembilan orang metropolia, sementara para rohaniwannya tercatat berkarya di tengah-tengah bangsa Hun, di Persarmenia, di Media, dan di Pulau Dioskoris nun jauh di Samudra Hindia.[71]
Gereja di Timur juga berkembang di kerajaan bani Lakhmid sampai zaman penaklukan Muslim, teristimewa sesudah pemimpin bani Lakhmid, Alnu'man III bin Almundir, secara resmi memeluk agama Kristen sekitar tahun 592.
Di bawah daulat Islam
Sesudah rezim kulawangsa Sasani ditumbangkan bangsa Arab Muslim pada tahun 644, rezim Khilafaur Rasyidin yang baru terbentuk secara resmi menetapkan Gereja di Timur sebagai kelompok minoritas zimi yang dikepalai Batrik di Timur. Seperti semua kelompok masyarakat Yahudi dan Kristen aliran lain yang diberi status zimi, Gereja di Timur dibatasi berkiprah di dalam wilayah khilafah saja, tetapi diberi perlindungan sampai taraf tertentu. Umat Nestorian tidak diizinkan berdakwah kepada warga Muslim maupun menerima warga Muslim yang hendak memeluk agama Kristen, tetapi para misionarisnya justru diberi keleluasaan untuk berkarya, sehingga usaha-usaha dakwah mereka kian maju dan meluas. Para misionaris memprakarsai berdirinya keuskupan-keuskupan di India (umat Kristen Santo Tomas).
^ abSekalipun lebih populer, label "Nestorian" sudah dibantah dan dicap keliru. Baca bagian § Penyifatan sebagai Gereja Nestorian untuk ihwal penamaan dan sebutan-sebutan alternatif untuk Gereja ini.
^Historiografi tradisional Dunia Barat mengenai Gereja ini menetapkan tahun 431 sebagai tahun pendiriannya, yakni tahun penyelenggaraan Konsili Efesus sekaligus tahun terjadinya "Skisma Nestorian". Meskipun demikian, Gereja di Timur sudah eksis sebagai sebuah organisasi tersendiri pada tahun 431, dan nama Nestorius tidak tercantum di dalam semua surat keputusan sinode Gereja ini sampai abad ke-7.[6] Paguyuban-paguyuban umat Kristen yang terisolasi dari Gereja di Kekaisaran Romawi agaknya sudah eksis di Persia sejak abad ke-2.[7] Gereja ini mengembangkan suatu hierarki gerejawi yang mandiri sepanjang abad ke-4,[8] dan mencapai identitas kelembagaan yang paripurna ketika diakui sebagai Gereja yang resmi di negara Persia oleh SyahansyahYazdegerd I pada tahun 410.[9]
^Drège, Jean-Pierre (1992) [1989]. Marco Polo y la Ruta de la Seda. Collection "Aguilar Universal" (dalam bahasa Spanyol). 31. Diterjemahkan oleh López Carmona, Mari Pepa. Madrid: Aguilar, S. A. de Ediciones. hlm. 43 & 187. ISBN978-84-0360-187-1. OCLC1024004171. Doctrinas persas
^Ilaria Ramelli, “Papa bar Aggai”, dalam Encyclopedia of Ancient Christianity, edisi ke-2, 3 jld., penyunting: Angelo Di Berardino (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2014), 3:47.
Burgess, Richard W.; Mercier, Raymond (1999). "The Dates of the Martyrdom of Simeon bar Sabba'e and the 'Great Massacre'". Analecta Bollandiana. 117 (1–2): 9–66. doi:10.1484/J.ABOL.4.01773.
Chapman, John (1911). "Nestorius and Nestorianism". The Catholic Encyclopedia. 10. New York: Robert Appleton Company. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-09-04. Diakses tanggal 2021-06-19.
Chaumont, Marie-Louise (1964). "Les Sassanides et la christianisation de l'Empire iranien au IIIe siècle de notre ère". Revue de l'histoire des religions. 165 (2): 165–202. doi:10.3406/rhr.1964.8015.
Foster, John (1939). The Church of the T'ang Dynasty. London: Society for Promoting Christian Knowledge. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-03. Diakses tanggal 2021-06-19.
Jugie, Martin (1935). "L'ecclésiologie des Nestoriens". Échos d'Orient. 34 (177): 5–25. doi:10.3406/rebyz.1935.2817.
Kitchen, Robert A. (2012). "The Syriac Tradition". The Orthodox Christian World. London-New York: Routledge. hlm. 66–77. ISBN9781136314841. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-03. Diakses tanggal 2021-06-19.
Labourt, Jérôme (1909). "St. Ephraem". The Catholic Encyclopedia. 5. New York: Robert Appleton Company. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-21. Diakses tanggal 2021-06-19.
Luke, Harry Charles (1924). "The Christian Communities in the Holy Sepulchre"(PDF). Dalam Ashbee, Charles Robert. Jerusalem 1920-1922: Being the Records of the Pro-Jerusalem Council during the First Two Years of the Civil Administratio. London: John Murray. hlm. 46–56.
Moffett, Samuel Hugh (1999). "Alopen". Biographical Dictionary of Christian Missions. William. B. Eerdmans Publishing Company. hlm. 14–15. ISBN9780802846808. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-03. Diakses tanggal 2021-06-19.
Outerbridge, Leonard M. (1952). The Lost Churches of China. Philadelphia: Westminster Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-03. Diakses tanggal 2021-06-19.
Silverberg, Robert (1972). The Realm of Prester John. Garden City, NY: Doubleday. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-03. Diakses tanggal 2021-06-19.
Spuler, Bertold (1961). "Die Nestorianische Kirche". Religionsgeschichte des Orients in der Zeit der Weltreligionen. Leiden: Brill. hlm. 120–169. ISBN9789004293816. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-03. Diakses tanggal 2021-06-19.
Tfinkdji, Joseph (1914). "L' église chaldéenne catholique autrefois et aujourd'hui". Annuaire Pontifical Catholique. 17: 449–525.
Tisserant, Eugène (1931). "L'Église nestorienne". Dictionnaire de théologie catholique. 11. Paris: Letouzey et Ané. hlm. 157–323. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-03. Diakses tanggal 2021-06-19.