Cibendung, Banjarharjo, Brebes
Bahasa dan Budaya Desa Cibendung Desa Cibendung terletak diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat tepatnya berbatasan langsung dengan Kabupaten Kuningan di selatan dan disebelah barat dengan Kabupaten Cirebon, sehingga aktivitas perdagangan dan perniagaan pada zaman dulu hingga sekarang lebih sering dilakukan di daerah Jawa Barat terutama pasar Ciledug dan pasar Pabuaran, Kabupaten Cirebon. Tetapi seiring adanya pasar Kosambi di desa Cikakak dan infrastruktur jalan semakin membaik aktivitas perekonomian mulai beralih ke pasar Kosambi Cikakak dan pasar Wage Banjaraharjo serta pasar-pasar lainya. Kebudayaan yang masuk dan berkembang berasal dari kebudayaan Jawa Barat seperti bahasa sehari-hari mempergunakan bahasa Sunda. Budaya Sunda terasa kental di banding budaya Jawa hal ini terlihat jelas dari sistem adat istiadat, tradisi, bahasa dan keseniannya. Umumnya masyarakat Cibendung mempunyai tradisi dan kesenian yang hampir sama dengan yang ada di Jawa Barat contohnya seperti seserahan, ngabesan, nganteran wedang, talitian atau pamudaan, jaipongan, wayang golek, calung,reog dan lain-lainnya. Pekerjaan Penduduk Desa Cibendung Dalam bidang pekerjaan, penduduk desa Cibendung bisa dikatakan heterogen karena berdasarkan kenyataan yang ada mereka tidak hanya bekerja di satu sektor pekerjaan saja melainkan diberbagai sektor sebut saja sektor kontruksi, pertanian, peternakan, pendidikan dan lain sebagainya. Diantara banyaknya sektor tersebut mayoritas terbesarnya adalah perantau luar kota dengan bekerja sebagai pekerja proyek bidang kontruksi yang tersebar di seluruh kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, propinsi Aceh, pulau Sumatera,Sulawesi, Papua, Kalimantan. Sebagian juga ada yang bekerja sebagai wirausahawan, buruh pabrik, pekerja kantoran dan lainnya, ini karena merantau sudah menjadi sebuah pilihan hidup khususnya untuk mengadu nasib atau mencari nafkah. Sedangkan minoritasnya yang bermukim di daerah sendiri pekerjaanya antara lain bertani, berkebun, beternak, berniaga, guru, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pegawai desa, pegawai pengairan dan lain-lainnya. Perbandingan antara penduduk yang bekerja di kampung halaman sendiri dengan penduduk yang merantau 35 % - 65 %, dengan presentase itu perantau adalah mayoritas. Namun, semua itu bisa berubah seiring dinamika perkembangan perekonomian pada masa yang akan datang. Makanan Khas Hampir sama dengan daerah lainnya terutama yang ada di Jawa Barat, Cibendung juga terkenal memiliki makanan khas tradisional yang cukup enak yaitu rangginang, mirong lauk, mirong tempe, opak, rampeyek, sarabi, apem, wajit, jawadah, urab gori, celem sabrang, oreg tempe, peuyeum ketan, peuyeum capeu dan masih banyak lagi yang lainnya. Sejarah CibendungMengacu kepada kata Ci yang berarti air, lebak, kali atau sungai dan Bendung yang berarti membendung. Jadi arti Cibendung yaitu lebak yang dibendung. Adapun yang dibendung yaitu lebak Citamiang dan Ki Bairah yang letaknya di lokasi Balong atau sebelah barat desa Cibendung sekarang ini, yang akhirnya disebut Cibendung, karena adanya asal usul lebak tersebut. Balong dulu adalah tempat pemandian umum yang airnya jernih dan bagus pemandangannya. Awal mula desa Cibendung adalah kisah panjang perpindahan desa sebelumnya yaitu desa Cimelati terus berpindah tempat lagi dinamai desa Karangsari dan adanya lebak Citamiang dan Ki Bairah di timur desa Karangsari yang dibendung pada tahun 1897 – 1899 dan dibuatnya lebak saluran buangan ke arah utara dari lebak Citamiang. Kepemimpinan desa Cibendung dipimpin oleh seorang Kepala Desa atau lebih terkenal disebut Kuwu. Sejarah Cibendung tidak lepas kaitannya dengan sejarah nasional Indonesia. Cibendung mengalami masa-masa sebagai berikut: Masa Penjajahan Belanda Tahun 1901 memulainya pembangunan bendungan sungai Cijangkelok (sekarang menjadi perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat) oleh pemerintah kolonial Belanda yang pengerjaan sebagian besar dilakukan oleh para tahanan Belanda, pekerja paksa atau rodi dari tiap tiap Kabupaten yang terdekat serta masyarakat sekitar lingkungan bendungan dan selesai tahun 1905. Pada akhir Desember 1905 terjadi banjir besar yang merendam desa Karangsari setinggi 3,5 meter akibat hujan lebat dan dampak pembangunan bendungan tersebut. Dengan kejadian banjir tersebut, masyarakat desa Karangsari merencanakan untuk berpindah tempat ke daerah yang lebih aman. Melalui musyawarah yang dipimpin Kuwu (Kepala Desa) pada masa itu, menghasilkan 3 (tiga) pilihan yaitu: 1. Sepakat berpindah ke daerah Ki Delot 2. Ada yang sepakat berpindah ke daerah Bumi Cawene 3. Ada yang sepakat berpindah ke daerah yang di tempati sekarang ini. Pada tahun 1907 desa Karangsari yang dipimpin Kuwu Rana Djaja (baca: Rana Jaya) sebagai kepala desa bersepakat pindah ke wilayah yang sekarang ini menjadi desa Cibendung, dan usulan tersebut disampaikan ke Bupati Brebes ke 10 saat itu yaitu Raden Mas Tumenggung Sumitra yang kemudian berganti nama Raden Mas Adipati Arya Candra Negara II untuk mendapat persetujuan. Awalnya tidak disetujui, tetapi Kuwu Rana Djaja memaksa memohon untuk disetujui dengan cara duduk semadi, tidak mau pindah tempat dari depan pintu kantor Bupati Brebes selama 3 (tiga) hari tidak makan dan minum, dan tidak mau pulang sebelum usulannya disetujui. Akhirnya luluh juga hati Bupati Brebes pada saat itu dengan menyetujuinya. Setelah itu dimulailah proses relokasi desa Karangsari ke tempat baru yang sekarang ini menjadi desa Cibendung. Pada tahun 1908 Bupati Brebes ke 11, Raden Mas Martanam (Sawergi III) meresmikan berdirinya desa Cibendung yang Kuwu pertamanya adalah Rana Djaja mantan kuwu Karangsari. Kuwu Rana Djaja memegang jabatan selama 10 (sepuluh) tahun dari 1908 – 1918. Setelah 10 (sepuluh) tahun menjabat, Kuwu Rana Djaja digantikan oleh Martadi Sastra yang menjabat selama 12 (dua belas) tahun yaitu 1918 – 1930. Pada tahun 1919 Kuwu Martadi Sastra memasang pagar injuk di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat yang letaknya di tepian sungai Cijangkelok. Namun setelah itu timbul musibah “ PAGEREMYANG “ Gering Isuk Paeh Sore, Gering Sore Paeh Isuk (sakit pagi meninggal sore, sore sakit meninggal pagi) yaitu suatu kejadian musibah yang menimbulkan kematian mendadak terhadap masyarakat Cibendung. Saat itu pertumbuhan penduduk Cibendung stagnan bahkan berkurang. Tahun 1930 masa pemerintahan Kuwu Martadi Sastra selesai digantikan Kuwu Niti Soeminta yang menjabat selama 21 (dua puluh satu) tahun dari tahun 1931 – 1952. Masa Kemerdekaan (1945 – sekarang) a. Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947 - 5 Agustus 1947) Sekitar tahun 1947, terjadi penembakan 3 orang warga sampai tewas dan pembakaran rumah-rumah penduduk di desa Cibendung oleh tentara Belanda dengan NICA-nya karena warga Cibendung dianggap membantu dan menyembunyikan para pejuang Tentara Nasional Indonesia (TNI) Divisi Siliwangi wilayah timur. Konon kabarnya hanya tersisa 5 (lima) rumah yang luput dari pembakaran karena letaknya tersembunyi. b. DI/TII, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (4 Agustus 1949 - 1962) Tahun 1952 masa jabatan Kuwu Niti Soeminta digantikan oleh Kuwu Soekirman yang menjabat selama 22 (dua puluh dua) tahun dari 1953-1975. Pada masa itu pemerintahan desa bersama masyarakat membangun sarana ibadah berupa mesjid yang terbuat dari kayu jati dengan lantai panggung seluas 9 meter x 12 meter. Pada tahun 1954 terjadi kekacauan DI/TII di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat pimpinan Amir Fatah. Desa Cibendung dipimpin Kuwu Soekirman menjadikan desa Cibendung sebagai basis perlawanan atau pagar betis terhadap gerombolan DI/TII, untuk itu tahun 1957 sekeliling desa Cibendung dipagar bambu sampai 7 (tujuh) lapis sebagai pertahanan agar gerombolan DI/TII tidak bisa masuk menjarah desa. Terjadi pembunuhan seorang warga desa Cibendung bernama Miharta oleh anggota DI/ TII di daerah Kacapi setelah bekerja menggembala, satu orang selamat bernama Hadi. Setelah itu malam hari adalah masa masa mencekam bagi masyarakat Cibendung terutama kaum wanita dan anak-anak, mereka bersembunyi dan tidur di parit-parit buatan serta tidak menyalakan lampu penerangan. Pada tahun 1960 di pedukuhan Cibendung terjadi pembakaran rumah – rumah penduduk oleh DI/TII karena tidak terpagari. c. Masa Pembangunan Pada tahun 1970 akhirnya masyarakat desa Cibendung dapat melaksanakan pembangunan PANCA KARYA dengan biaya swadaya masyarakat dan gotong royong dalam melaksanakan pembangunannya. Tahun 1971 membangun sebuah sarana pendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 2 (dua) lokal atau ruangan yang sekarang menjadi SD Negeri Cibendung 1. Sebelumnya anak-anak Cibendung menempuh pendidikan di desa Karangmaja, karena masa itu hanya di desa Karangmaja pemerintah membangun sarana pendidikan tingkat dasar yaitu Sekolah Rakyat (SR). Pada tahun 1974 melaksanakan pemugaran mesjid yaitu mengganti usuk dan genting masjid. Tahun 1975 mendapat bantuan subsidi pemerintah dipakai untuk membangun jembatan Balong sebelah barat desa.Tahun 1976 mendapat bantuan subsidi pemerintah untuk merehab jembatan Lebak Cinerus sebelah timur desa arah menuju desa Cikakak. Setelah habisnya masa jabatan Kuwu Soekirman digantikan oleh Kuwu Waslam (caretaker atau pejabat sementara untuk diperbantukan), menjabat selama 4 (empat) tahun dari tahun 1976 – 1980. Tahun 1977 dibangun SD Inpres, sekarang SDN Cibendung 2 dan pembangunan Madrasah Ibtidaiyah. Tahun 1979 membangun jembatan sebelah utara desa (buangan lebak Balong). Setelah masa jabatan Kuwu Waslam habis digantikan oleh Kuwu Karwin dari tahun 1980-1989.Tahun 1981 membangun jembatan kring (RW) II saluran arah Lebak Tamiang Balong dan rehab balai desa. Tahun 1982 membangun jembatan Ranto (Karyo). Tahun 1983 membangun jembatan saluran astana, dekat rumah Dinas Pengairan. Tahun 1984 proyek MCK dengan membuat sumur pompa, tapi banyak yang gagal karena tidak keluar air hanya di blok tertentu saja. Tahun 1986 proyek MCK dengan membuat sumur gali di tanah pekarangan pak Karyo. Tahun 1987 membuat sumur gali di tanah pekarangan pak Nata. Tahun 1988 membuat sumur gali di tanah pekarangan ibu Enoh dan pak Wangsa Kesto. Tahun 1989 membuat sumur gali di tanah pekarangan pak Ajid. Setelah habis jabatan Kuwu Karwin digantikan Kuwu Sarjono (caretaker) menjabat selama 6 (enam) bulan. Setelah itu kepemimpinan beralih ke Kuwu Tarbu (1991-1998). Tahun 1992 membangun mesjid Al Barokah menggantikan bangunan lama dengan biaya swadaya masyarakat dengan ukuran 12 x 16 meter2. Mesjid yang sampai sekarang kokoh berdiri. Tahun 1993 membangun gada gada (gerbang) desa sebelah timur desa. Tahun 1994 membangun sarana kesehatan yaitu Poliklinik Desa (Polikdes). Membangun saluran sawah dari sawah buangan yaitu dengan cara melelang sawah blok Lojok, yang telah dimusyawarahkan bersama masyarakat. Tahun 1995 membangun tiga jembatan Tarma, Dali, dan Medi. Tahun 1996 membangun pagar balai desa bagian depan dan mendapat apresiasi dari dari pemerintah Kab. Brebes terbaik se Kab. Brebes. Membuat dua buah sumur gali di sawah Tugu dan Ranca Goong. Tahun 1997 membangun 2 buah jembatan di kring (RW) II, Herni dan Apud. Tahun 1998 membangun pagar sebelah timur SDN Cibendung 1. Membangun sayap tanggul sawah Lebak dan gada gada masuk kawasan RT/RW. Setelah habis jabatan Kuwu Tarbu digantikan Kuwu Kusdianto (caretaker) menjabat selama 6 (enam) bulan. Setelah itu kepemimpinan beralih ke Kuwu Wirna Jaya (1999-2007). Tahun 1999 rehab Balai Desa dan pemagaran pekarangan Balai Desa, bulan Juni melaksanakan pembuatan jalan lontrong di RW 02 dan RW 03 dengan anggaran KPDK dan swadaya masyarakat. Selanjutnya melaksanakan pembangunan proyek PPK Tahap II yaitu pembuatan senderan jalan raya dan gang –gang serta dua buah plat beker jembatan ukuran 1 m x 70 cm x 5 m . Bulan Juli 2000 pengaspalan jalan gang berlokasi di RW 02 dan RW 03 sepanjang 3.600 m dengan biaya swadaya murni masyarakat. Bulan berikutnya Agustus 2000 penambahan senderan jalan di RW 01 dan RW 04 dengan swadaya murni masyarakat. Bulan Juli 2002 melanjutkan pembangunan senderan jalan lontrong di gang-gang terdiri dari 5 RT dari anggaran KPDK dan swadaya masyarakat. Tahun 2003 rehab gorong-gorong sebanyak 3 buah dan pengurugan ganti palt beker di 4 RT dari anggran KPDK dan swadaya masyarakat. Tahun 2004 melanjutkan pemagaran pekarangan desa dan senderan jalan gang-gang di 4 RT dengan menghabiskan dana KPDK dan swadaya masyarakat. Pada bulan berikutnya Nopember 2004 terjadi bencana dengan jebolnya tanggul Balong - Lebak Citamiang yang bisa berakibat merembet ke jembatan penghubung sebelah barat desa sehingga Kepala Desa meminta bantuan Dinas Sosial tingkat Kab. Brebes, dengan memberikan bantuan pengerukan dengan alat beko selama 10 hari dengan pengerjaan sepanjang ± 11 meter. Pada akhir tahun terjadi gempa dan tsunami di Aceh yaitu pada hari Minggu pagi, tanggal 26 Desember 2004 yang mengakibatkan kehancuran wilayah pesisir Aceh serta memakan korban 230.000 orang lebih, termasuk warga Cibendung. Warga perantauan Cibendung beserta desa lainya yang menjadi korban gempa dan tsunami di Aceh memutuskan untuk pulang kampung. Mereka mengumpulkan uang untuk menyewa bus agar bisa pulang ke kampung halaman. Rombongan pertama terdiri atas 53 orang, tiba di desa Cibendung dengan menggunakan Bus Liberty BK-7862-DE sekitar pukul 10.00, Minggu (2/1/2005). Selain disambut ratusan warga, kedatangan mereka juga disambut oleh Pemerintah Kabupaten Brebes dan pejabat desa setempat. Pada kesempatan itu, hadir Asisten I Pemerintah Kabupaten Brebes, Karsono dan Asisten III, Dawud. Suasana haru menyelimuti penyambutan para korban tsunami tersebut. Ratusan warga yang hadir tak bisa menutupi rasa sedih dan membendung air mata yang menetes. Bahkan beberapa dari mereka, khususnya perempuan memilih melihat dari kejauhan. Alasannya, karena tidak tega melihat kondisi para korban yang baru datang. Mereka tampak lusuh dan kurang makan. Bahkan ketika di sapa hanya diam dan tertunduk saja. Mereka kelihatan sangat shock dengan kejadian yang dialami di Aceh. Menurut data Kepala Desa Cibendung - Wirna Jaya secara keseluruhan penduduk Desa Cibendung yang merantau ke Aceh 236 orang, terdiri atas 164 laki-laki dan 72 perempuan. Sementara, warga Kecamatan Banjarharja secara keseluruhan yang merantau ke Aceh sebanyak 259 orang. Selain dari Cibendung, mereka berasal dari desa Cikakak, Cigadung, dan Dukuh Jeruk. Dari jumlah tersebut, 7 (tujuh) orang dari Desa Cibendung dipastikan meninggal dunia, sementara sejumlah 5 orang korban dinyatakan selamat. 4 (empat) orang tewas berasal dari keluarga Bapak Sajan (adik dari Kuwu Karwin), sementara 3 (tiga) lainnya adalah keluarga Karsa (Eco). Korban yang dinyatakan selamat adalah istri Tatang Kusmanto, yaitu Kalidah (28) serta dua anaknya, Pebri Rahayu (7) dan Delpi Napira (2) serta dua orang lainnya. Selain rombongan yang pertama, warga Cibendung lainnya mereka pulang dengan menggunakan tiga bus dan sampai di Cibendung pada hari berikutnya yaitu hari Senin (3/1/2005). Sekitar dua hari sebelumnya, 10 warga Cibendung juga sudah tiba di kampung halaman. Mereka berhasil pulang melalui terminal bus Medan. Pemerintah Kabupaten Brebes memberikan bantuan berupa uang transportasi untuk tiap bus sebesar Rp 17,5 juta. Selain itu, tiap satu orang diberi bantuan beras lima kilogram. Menurut Kabag Humas Pemkab Brebes saat itu, Drs Djajoesman, Pemkab Brebes juga menyediakan posko peduli Aceh, serta setiap PNS dipotong gajinya sebesar 0,5 persen untuk penerimaan bulan Januari 2005 sebagai dana sumbangan korban gempa dan tsumani Aceh. |