Bahasa Tansi
Bahasa Tansi atau bahasa Tangsi adalah bahasa yang berasal dari buruh tambang batubara di masa kolonial Belanda di Sawahlunto. Para buruh ini menciptakan model bahasa kreol sejak kawasan ini menjadi kota tambang modern. Ini bahasa kreol pertama di Indonesia yang lahir dari latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman.[1] Percampuran pada bahasa Tansi lahir tidak kurang dari 10 bahasa, yaitu: Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis, Batak, China, Minangkabau, Belanda, dan Melayu sebagai bahasa dasar.[2] Bahasa Tansi pada umumnya tumbuh dikawasan kota lama di, yaitu Tangsi Rante (untuk orang-orang rantai), Tangsi Tanah Lapang, dan Tangsi Baru yang berlokasi di Air Dingin, sampai saat ini generasi keturunan orang rantai itu yang berdiam dikawasan Tangsi masih menggunakan bahasa Tansi. Selain itu, juga terdapat tangsi di wilayah lain Kota Sawahlunto, seperti Tangsi Baru, Tangsi Duren, Tansi Sunge Duren, maupun Tansi Sikalang.[1] Pada 10 Oktober 2018, Bahasa Tansi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.[3] SejarahBerawal dari penemuan kandungan batu bara di timur Singkarak pada 1851 oleh Ir C de Groot dan penemuan lapisan batubara di Ulu Air, di daerah Batang Ombilin pada 1868 oleh Ir WH de Greve, seorang ahli geologi Belanda. Penemuan yang lalu diperkuat oleh penelitian P Van Diest itu mengindikasikan kandungan batu bara yang terdapat di perut bumi perbukitan Batang Lunto minimal 205 juta ton dan tersebar di sepanjang batang Ombilin.[4] Melihat adanya potensi kuntungan, pemerintah Hindia Belanda kemudian merealisasikan eksploitasi tambang batu bara tersebut. Sekalipun dengan biaya cukup besar, dibangun jalur transportasi kereta api dari Ombilin di Sawahlunto menuju Pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur). Inilah periode awal perubahan Sawahlunto dari ”ladang padi” di ceruk bukit kosong tak berpenghuni menjadi kota tambang modern.[2] Kemunculan bahasa Tangsi sendiri dimulai sejak beroperasinya Tambang Batubara Ombilin (TBO) dan arus migrasi orang-orang dari berbagai daerah ke Sawahlunto. Pendatang itu berasal dari berbagai daerah di Hindia Belanda dan dari berbagai bangsa Eropa yang turut bermukim di sekitar tambang. Para pekerja tambang, terutama pekerja paksa atau disebut juga buruh paksa, awalnya adalah narapidana dari penjara Muaro Padang. Karena sering melarikan diri, pihak pemerintah Hindia Belanda akhirnya mendatangkan narapidana dari penjara-penjara di Batavia. Para narapidana ini terdiri dari orang Jawa, Bali, Madura, dan Bugis. Mereka dipaksa untuk bekerja menggali batu bara di lubang-lubang penggalian. Narapidana yang dianggap berbahaya, terutama para tawanan politik, dirantai kaki, leher, dan tangannya. Mereka pun dinamakan kettingganger atau ”orang rantai”. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Sawahlunto.[2] Sebagai medium komunikasi akhirnya terciptalah suatu bahasa campuran yang populer disebut sebagai bahasa pijin. Oleh generasi penggunanya, bahasa pijin kemudian berubah menjadi bahasa kreol karena dijadikan sebagai bahasa ibu. Karena bahasa kreol ini tercipta dari penuturnya, buruh tambang batubara yang hidup dan tinggal di tangsi-tangsi, sehingga disebut bahasa Tangsi. DialekTerdapat dua dialek utama pada bahasa Tangsi, yakni: Pusat Kota Lama (Kecamatan Lembah Segar) dan Teras Kota Lama (Kecamatan Barangin dan Talawi). Dialek PKLm sudah dipengaruhi sedemikian rupa oleh bahasa Indonesia, sementara yang masih asli bahasa Tangsi adalah penutur di TKLm.[1] Contoh+: ”Ni Tis, mo mana ke ?” ’Kak Tis, mau (ke) mana kamu?’ ’Kak Tis, hendak ke mana kamu?’ -: ”Mo belanja”. ’Mau (ber-)belanja’. ’Hendak berbelanja’. +: ”mana?” ’Ke mana?’ -: ”Kede (kade), Mo titip apa ke ?” ’ke kedai. Mau (men-)titip apa kamu?’ ’(aku hendak) ke warung. Apakah kamu akan menitip sesuatu?’ +: ”Ndak (nda), aku sangka (sanka) mo pigi pasar, aku mo titip bayam”. ’Tidak, aku sangka mau pergi pasar, aku mau (men-)titip (sayur) bayam’. ’Tidak, aku mengira kamu mau pergi (ke) pasar, aku mau menitip sayur bayam. Referensi
|