Tritunggal

Tritunggal Mahakudus, dilukiskan oleh Szymon Czechowicz (1756–1758)

Doktrin Kristen atau Kristiani tentang Tritunggal atau Trinitas (kata Latin yang secara harfiah berarti "tiga serangkai", dari kata trinus, "rangkap tiga")[1] menyatakan bahwa Allah adalah tiga pribadi[2] atau hipostasis[3] yang sehakikat (konsubstansial)—Bapa, Anak/Putra (Yesus Kristus), dan Roh Kudus—sebagai "satu Allah dalam tiga Pribadi Ilahi". Ketiga pribadi ini dapat dibedakan, tetapi merupakan satu "substansi, esensi, atau kodrat" (homoousios).[4] Dalam konteks ini, "kodrat" adalah apa Dia, sedangkan "pribadi" adalah siapa Dia.[5][6][7]

Menurut misteri sentral dari keyakinan Kristen pada umumnya ini, hanya ada satu Allah dalam tiga pribadi: kendati dapat dibedakan satu sama lain dalam hubungan asal (sebagaimana dinyatakan dalam Konsili Lateran IV, "adalah Allah yang memperanakkan, Putra yang diperanakkan, dan Roh Kudus yang dihembuskan") dan hubungan satu sama lain, tetapi ketiganya dinyatakan satu dalam semua yang lain, setara, sama kekalnya, dan konsubstansial, serta masing-masing adalah Allah, seutuhnya dan seluruhnya.[8] Karenanya seluruh karya penciptaan dan rahmat dipandang sebagai satu operasi tunggal secara bersama-sama pada keseluruhan tiga pribadi ilahi, dengan kekhususan masing-masing pribadi, sehingga segalanya berasal "dari Bapa", "melalui Putra", dan "dalam Roh Kudus".[9]

Para Bapa Gereja memandang elemen-elemen Perjanjian Lama seperti penampakan tiga orang kepada Abraham di dalam Kitab Kejadian, bab/pasal 18, sebagai pertanda Tritunggal, tetapi mereka memandang Perjanjian Baru sebagai suatu dasar untuk mengembangkan konsep Tritunggal. Teks Perjanjian Baru paling berpengaruh yang dianggap menyiratkan ajaran Tritunggal adalah Matius 28:19, yang mengamanatkan untuk membaptis "dalam nama Bapa dan [Putra] dan Roh Kudus". Permenungan, pewartaan, dan dialog, mengarah pada perumusan doktrin yang dirasakan sesuai dengan data-data yang terdapat di dalam Alkitab. Ikhtisar yang paling sederhana mengenai doktrin ini dirumuskan pada abad ke-4, umumnya berkaitan dengan penolakan terhadap apa yang dipandang tidak selaras dengan keyakinan umum Kristen. Elaborasi lebih jauh berlanjut pada abad-abad berikutnya.[10]

Kitab Suci tidak memuat kata Tritunggal,[11] ataupun secara eksplisit memformulasikan doktrin Tritunggal. Sebaliknya, menurut teologi Kristen, Kitab Suci "memberikan kesaksian" tentang kegiatan suatu pribadi Allah yang hanya dapat dipahami dari segi Trinitaris.[12] Doktrin ini baru memiliki bentuk definitifnya pada akhir abad ke-4.[13] Selama periode peralihan, dikemukakan beragam solusi tentatif, baik yang lebih ataupun yang kurang memuaskan.[14] Trinitarianisme dikontraskan dengan posisi-posisi nontrinitaris yang mencakup Binitarianisme (satu substansi dalam dua pribadi), Unitarianisme (satu substansi dalam satu pribadi, dapat dianalogikan dengan interpretasi Yahudi mengenai Shema dan keyakinan Muslim dalam Tauhid), Pentakostalisme Keesaan ataupun Modalisme (satu substansi yang bermanifestasi dalam tiga aspek terpisah).

Etimologi

Kata "tritunggal" (bahasa Inggris: trinity) berasal dari kata Latin trinitas, yang berarti "yang nomor tiga, tiga serangkai". Kata benda abstrak tersebut terbentuk dari kata sifat trinus (tiga masing-masing, rangkap tiga),[15] sebagaimana kata unitas merupakan kata benda abstrak yang terbentuk dari unus (satu).

Kata yang sesuai dalam bahasa Yunani adalah Τριάς, yang artinya "satu set dari tiga" atau "yang nomor tiga".[16] Catatan pertama terkait penggunaan kata Yunani ini dalam teologi Kristen adalah oleh Teofilus dari Antiokhia pada sekitar tahun 179. Ia menulis:[17][18]

Dengan cara demikian juga ketiga hari sebelum [terciptanya] penerang, terdapat tanda-tanda Trinitas [Τριάδος], dari Allah, dan Firman-Nya, dan kebijaksanaan-Nya. Dan yang keempat adalah tanda manusia, yang membutuhkan terang, sehingga demikianlah terdapat Allah, Firman, kebijaksanaan, manusia.[19]

Tertullianus, seorang teolog Latin yang menulis pada awal abad ke-3, dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan kata-kata Latin terkait "Trinitas",[20] "pribadi" dan "substansi",[21] untuk menjelaskan bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah "satu dalam esensi—bukan satu dalam Pribadi".[22]

Sejarah

Penggambaran paling awal yang diketahui mengenai Tritunggal, Sarkofagus Dogmatis, 350 M.[23] Museum Vatikan

Para Bapa Gereja Pra-Nicea menegaskan keilahian Kristus dan berbicara mengenai "Bapa, Putra, dan Roh Kudus", meskipun bahasa mereka tidak sama dengan yang digunakan doktrin tradisional ini sebagaimana diformalkan pada abad ke-4. Kalangan yang menganut paham Trinitas memandang hal itu sebagai elemen-elemen dari doktrin terkodifikasi.[24] Ignatius dari Antiokhia memberikan dukungan awal bagi paham Trinitas sekitar tahun 110,[25] mendesak umat untuk taat kepada "Kristus, dan kepada Bapa, dan kepada Roh".[26] Yustinus Martir (100 – ca 165) juga menulis, "dalam nama Allah, Bapa dan Tuhan alam semesta, dan Juruselamat kita Yesus Kristus, dan Roh Kudus".[27] Bapa Gereja pertama yang tercatat menggunakan kata "Trinitas" adalah Teofilus dari Antiokhia yang menulis pada akhir abad ke-2. Ia mendefinisikan Trinitas sebagai Allah, Firman-Nya (Logos), dan Kebijaksanaan-Nya (Sofia)[28] dalam konteks diskusi mengenai tiga hari pertama penciptaan. Pembelaan pertama atas paham Trinitas terjadi pada awal abad ke-3 oleh salah seorang Bapa Gereja awal yang bernama Tertulianus. Ia secara eksplisit mendefinisikan Trinitas sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus serta membela teologi Trinitaris dalam upayanya melawan paham "Praxean".[29] St. Yustinus dan Klemens dari Aleksandria menggunakan Trinitas dalam berbagai doksologi mereka, dan juga St. Basilius dalam penerangan cahaya sore hari.[30]

Formulasi awal lainnya, dan sudah lebih filosofis, mengenai Trinitas (tanpa menggunakan istilah tersebut) dikaitkan dengan seorang pengajar Gnostik bernama Valentinius (hidup ca 100 – ca 160) yang, menurut teolog abad ke-4 bernama Marcellus dari Ancyra, adalah "orang pertama yang merenungkan gagasan tentang tiga entitas subsisten (hipostasis), dalam sebuah karya yang ia beri judul Tentang Ketiga Kodrat". Eksegesis mazhab Valentinian yang sangat alegoris cenderung menafsirkan bagian-bagian kitab suci yang relevan sebagai penegasan suatu Keilahian yang, dengan cara tertentu, adalah rangkap tiga. Injil Filipus Valentinian, yang bertarikh sekitar masa Tertulianus, mendukung rumusan Trinitaris. Bagaimanapun, terlepas dari kemungkinan pengaruhnya pada doktrin yang kemudian terbentuk sepenuhnya, mazhab Valentinus ditolak dan dipandang sesat oleh kalangan Kristen ortodoks.

Kendati terdapat banyak perdebatan mengenai apakah keyakinan dari Para Rasul sekadar diartikulasikan dan dijelaskan dalam Pengakuan Iman Trinitaris,[31] atau terkorup dan digantikan dengan keyakinan baru,[32][33] para akademisi mengakui bahwa Pengakuan Iman itu sendiri dibuat sebagai tanggapan atas perbedaan pendapat mengenai kodrat Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Butuh waktu beberapa abad untuk menyelesaikan kontroversi tersebut.

Perkembangan paling signifikan diartikulasikan selama empat abad pertama oleh para Bapa Gereja[31] sebagai tanggapan terhadap Adopsionisme, Sabellianisme, dan Arianisme. Adopsionisme merupakan keyakinan bahwa Yesus adalah seorang manusia biasa, terlahir dari Yusuf dan Maria, yang menjadi Kristus dan Putra Allah saat Yesus dibaptis. Pada tahun 269, Sinode Antiokhia mengutuk Paulus dari Samosata karena teologi Adopsionis yang ia kemukakan, dan juga mengutuk istilah homoousios (ὁμοούσιος, "dari hakikat yang sama") karena ia menggunakannya.[34]

Sabellianisme mengajarkan bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus pada esensinya adalah satu dan sama, hanya perbedaan verbal, mendeskripsikan aspek-aspek atau peran-peran berbeda dari suatu hakikat tunggal.[35] Akibat pandangannya ini, Sabellius diekskomunikasi di Roma sekitar tahun 220 karena bidah.

Pada abad ke-4, Arius, sebagaimana dipahami sesuai tradisi,[note 1] mengajarkan bahwa Bapa telah ada sebelum Putra yang, menurut kodrat, bukan Allah tetapi lebih kepada seorang makhluk yang dapat berubah yang dianugerahi martabat menjadi "Putra Allah".[36] Pada tahun 325, Konsili Nicea mengadopsi Kredo Nicea yang mendeskripsikan Kristus sebagai "Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar, diperanakkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa".[37][38] Kredo (syahadat atau pengakuan iman) tersebut menggunakan istilah homoousios (dari satu substansi) untuk mendefinisikan hubungan antara Bapa dan Putra. Setelah perdebatan selama lebih dari lima puluh tahun, homoousios diakui sebagai ciri khas ortodoksi, dan dikembangkan lebih lanjut menjadi formula "tiga pribadi, satu hakikat".

Athanasius (293–373), yang hadir di konsili tersebut sebagai salah seorang asisten dari Uskup Aleksandria, menyatakan bahwa para uskup terpaksa menggunakan terminologi ini,[39] yang tidak terdapat dalam Kitab Suci, karena frasa biblika yang menjadi preferensi mereka untuk digunakan diklaim oleh kaum Arian untuk dapat ditafsirkan dalam arti yang dipandang sesat oleh para uskup.[40] Selain itu, makna dari "ousia" dan "hipostasis" saling tumpang tindih sehingga "hipostasis" bagi beberapa kalangan berarti "esensi" dan bagi kalangan lainnya berarti "pribadi".

Pengakuan Iman dari Konsili Nicea hanya menyinggung sedikit tentang Roh Kudus.[41] Doktrin keilahian dan kepribadian Roh Kudus dikembangkan oleh Athanasius dalam beberapa dekade terakhir hidupnya.[42] Ia membela dan memperbaiki formula Nicea.[41] Pada akhir abad ke-4, di bawah kepemimpinan Basilius dari Kaisarea, Gregorius dari Nyssa, dan Gregorius dari Nazianzus (Bapa-bapa Kapadokia), doktrin ini telah secara substansial mendapatkan bentuknya sebagaimana adanya saat ini.[41]

Mengenai Trinitas, Gregorius dari Nazianzus mengatakan, "Sejenak saya membayangkan Yang Esa, saya diterangi kesemarakan Yang Tiga; sejenak saya memperlainkan Ketiganya, saya dihantar kembali ke dalam Yang Esa. Ketika saya berpikir tentang salah satu dari Yang Tiga, saya berpikir tentang Dia sebagai Yang Segala, dan kedua mata saya berlinang-linang, dan bagian terbesar dari apa yang saya pikirkan luput dari ingatan. Saya tidak mampu memahami keagungan Yang Esa itu sedemikian demi menyandangkan keagungan yang lebih besar pada yang lainnya. Ketika saya mengkontemplasikan Yang Tiga bersama-sama, saya melihat hanya satu suluh, dan tidak mampu membagi ataupun menakar terang yang tak terbagi."[43]

Devosi kepada Trinitas berpusat di biara-biara Prancis di Tours dan Aniane tempat Santo Benediktus mendedikasikan gereja biara tersebut kepada Trinitas pada tahun 872.[44] Hari-hari perayaan baru dilembagakan pada tahun 1091 di Biara Cluny dan pada tahun 1162 di Canterbury; resistensi kepausan berlanjut hingga tahun 1331.[45]

Teologi

Rumusan pembaptisan Trinitaris

Pembaptisan Kristus, karya Piero della Francesca, abad ke-15.

Dalam Injil sinoptik, pembaptisan Yesus sering kali diinterpretasikan sebagai salah satu manifestasi dari ketiga pribadi Trinitas: "Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari surga yang mengatakan: 'Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.'"Mat. 3:16–17 Baptisan umumnya diberikan dengan rumusan Trinitaris, "dalam nama Bapa dan [Putra] dan Roh Kudus".Mat. 28:19 Kalangan Trinitaris mengidentifikasi nama ini dengan iman Kristen yang melaluinya baptisan merupakan inisiasi, sebagaimana contohnya diperlihatkan dalam pernyataan Basilius Agung (330–379): "Kita wajib untuk dibaptis dalam kata-kata yang telah kita terima, dan untuk mengakukan iman dalam kata-kata yang di dalamnya kita telah dibaptis." Konsili Konstantinopel I (381) juga menyampaikan, "Inilah Iman baptisan kita yang mengajarkan kita untuk percaya dalam Nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Menurut Iman ini terdapat satu Ketuhanan, Kuasa, dan Hakikat dari Bapa, dari Putra, dan dari Roh Kudus." Matius 28:19 dapat digunakan untuk mengindikasikan bahwa pembaptisan dikaitkan dengan formula ini sejak dekade paling awal keberadaan Gereja.

Kelompok-kelompok nontrinitaris, misalnya Pentakostal Keesaan, menolak pandangan kalangan Trinitaris tentang baptisan. Bagi mereka, rumusan dalam Kitab Kisah Para Rasul mendefinisikan dan menegaskan bahwa semua pertimbangan, yang serupa,[46] lainnya harus digunakan dalam nama Yesus Kristus. Untuk alasan ini, mereka sering kali berfokus pada pembaptisan dalam Kisah Para Rasul. Mereka yang memberikan penekanan besar pada pembaptisan dalam Kisah Para Rasul sering juga mempertanyakan autentisitas Matius 28:19 dalam bentuknya yang sekarang. Kebanyakan akademisi kritik teks Perjanjian Baru menerima autentisitas bagian tersebut, karena tidak ditemukan manuskrip varian mengenai rumusan tersebut, dan bentuk yang sekarang dari bagian itu ditegaskan dalam Didache[47] dan karya-karya patristik lainnya dari abad ke-1 dan ke-2: Ignatius,[48] Tertullianus,[49] Hippolitus,[50] Siprianus,[51] dan Gregorius Thaumaturgus.[52]

Mengenai Matius 28:19, Gerhard Kittel menyatakan:

Hubungan rangkap tiga [dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus] ini segera menemukan ekspresi tetap dalam formula triadik [sic] di 2 Kor. 13:14 dan di 1 Kor. 12:4–6. Bentuk tersebut pertama-tama ditemukan dalam formula pembaptisan di Matius 28:19; Did., 7. 1 dan 3....[J]elas bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus di sini bertautan dalam suatu hubungan rangkap tiga yang tak terpisahkan.[53]

Monoteisme fundamental

Kekristenan, yang timbul dari Yudaisme, merupakan salah satu agama monoteistik. Dalam Perjanjian Baru, konsep Trinitaris tidak pernah menjadi "triteisme" (tiga Allah) atau bahkan dua.[54] Allah adalah esa, dan bahwa Allah adalah satu hakikat tunggal dinyatakan dengan jelas dalam Alkitab:

  • Shema dari Kitab Suci Ibrani: "Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!"Ul. 6:4
  • Perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah—"Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku."Ul. 5:7
  • Dan "Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku."Yes. 44:6
  • Dalam Perjanjian Baru: "... Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa."Mrk. 12:29
  • Dikatakan juga mirip Reinkarnasi

Menurut pandangan Trinitaris, Bapa dan Putra dan Roh Kudus berbagi satu esensi, substansi, atau hakikat yang sama. Penegasan sentral dan krusial mengenai iman Kristen adalah bahwa terdapat satu juruselamat, Allah, dan satu keselamatan, dimanifestasikan dalam Yesus Kristus, yang dapat diakses hanya karena Roh Kudus. Allah Perjanjian Lama masih sama dengan Allah Perjanjian Baru. Dalam Kekristenan, pernyataan-pernyataan mengenai satu Allah tunggal dimaksudkan untuk membedakan pemahaman Ibrani dari pandangan politeistik, yang memandang kuasa ilahi dimiliki bersama oleh beberapa hakikat yang dapat saling berselisih paham dan terlibat konflik antara satu dengan yang lainnya.

Satu Allah sebagai tiga pribadi

Perisai Tritunggal.

Dalam doktrin Trinitaris, Allah hadir sebagai tiga pribadi atau hipostasis, tetapi satu hakikat, memiliki satu kodrat ilahi tunggal.[55] Anggota-anggota Trinitas sama dalam kesetaraan dan kekekalan, satu dalam esensi, kodrat, kuasa, tindakan, dan kehendak. Sebagaimana dinyatakan dalam Kredo Athanasius, Bapa tidak diciptakan, Putra tidak diciptakan, dan Roh Kudus tidak diciptakan, dan Ketiganya adalah kekal (abadi) tanpa awal mula.[56] "Bapa dan Putra dan Roh Kudus" bukan nama-nama bagian yang berbeda dari Allah, tetapi satu nama Allah[57] karena terdapat tiga pribadi di dalam Allah sebagai satu entitas.[58] Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing pribadi dipahami memiliki kodrat atau esensi yang identik, bukan sekadar kodrat-kodrat yang memiliki kemiripan.[59]

Bagi kalangan Trinitaris, penekanan pada kata "Kita" di Kejadian 1:26 adalah mengenai pluralitas dalam Ketuhanan, dan Kejadian 1:27 berbicara mengenai persekutuan dalam Esensi ilahi. Salah satu kemungkinan interpretasi atas Kejadian 1:26 adalah bahwa relasi Allah dalam Trinitas tercermin dalam manusia melalui relasi yang ideal antara suami dan istri, dua pribadi yang menjadi "satu daging", sebagaimana dijelaskan kemudian dalam penciptaan Hawa di bab selanjutnya.Kej. 2:18-24

Perikoresis

Suatu penggambaran tentang Konsili Nicea pada tahun 325 M, tempat Ketuhanan Kristus dideklarasikan ortodoks dan Arianisme dikutuk.

Perikoresis (dari kata Yunani yang berarti "berputar", "penyelubungan") adalah suatu istilah yang digunakan oleh beberapa teolog untuk mendeskripsikan hubungan antara anggota-anggota Trinitas. Kata Latin yang setara untuk istilah tersebut adalah circumincessio. Konsep ini merujuk pada Yohanes 14–17 sebagai dasarnya, yang menuliskan peristiwa-peristiwa Yesus mengajar para murid perihal makna kepergian-Nya. Kata Yesus, Ia pergi kepada Bapa demi kepentingan mereka; sehingga Ia dapat datang kepada mereka ketika "Penolong yang lain" diberikan kepada mereka. Kemudian, kata Yesus, para murid akan tinggal di dalam diri-Nya, sebagaimana Dia tinggal di dalam Bapa dan Bapa tinggal di dalam Dia, serta Bapa di dalam mereka. Menurut teori perikoresis, hal seperti itu dapat terjadi karena pribadi-pribadi Trinitas "saling mengandung Satu Sama Lain, sehingga Yang Satu secara permanen menyelubungi, dan secara permanen diselubungi oleh, Yang Lain yang tetap Ia selubungi" (Hilarius dari Poitiers, Mengenai Trinitas 3:1).[60]

Perikoresis secara efektif meniadakan gagasan bahwa Allah terdiri dari bagian-bagian, tetapi adalah suatu keberadaan yang sederhana. Hal itu juga selaras dengan doktrin yang menyebutkan bahwa persekutuan seorang Kristen dengan Putra di dalam kemanusiaan-Nya menghantarnya ke dalam persekutuan dengan Dia yang terkandung di dalam dirinya sendiri; dalam kata-kata Rasul Paulus, "seluruh kepenuhan ke-Allahan" dan bukan suatu bagian (Lihat pula: Pengilahian (Kristiani)). Perikoresis menyajikan suatu figur intuitif tentang apa yang dapat dimaknai dari hal itu. Putra, Firman yang kekal, berasal dari kekekalan tempat kediaman Allah; Putra merupakan "rumah Bapa", sebagaimana Putra berdiam di dalam Bapa dan Roh, sehingga ketika Roh di-"berikan", maka dapat terjadi seperti kata Yesus, "Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu."Yoh. 14:18

Menurut perkataan Yesus, mereka yang telah menikah tidak lagi dua dalam pengertian tertentu tetapi bergabung menjadi satu. Oleh karena itu, para teolog Ortodoks juga memandang hubungan pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai salah satu contoh persekutuan suci tersebut. "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging."Kej. 2:24 "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."Mat. 19:6

Hubungan asal dari kekekalan

Trinitarianisme menegaskan bahwa Putra "diperanakkan" (bahasa Inggris: begotten, atau "dilahirkan") dari Bapa dan Roh dihembuskan (bahasa Inggris: proceeds, atau "berasal dari") Bapa, tetapi Bapa "tidak diperanakkan ataupun dihembuskan". Argumen mengenai apakah Roh berasal dari Bapa saja, atau dari Bapa dan Putra, merupakan salah satu katalis terjadinya Skisma Besar, dalam hal ini berkaitan dengan penambahan klausa Filioque oleh pihak Barat ke dalam Pengakuan Iman Nicea. Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa, dalam pengertian kata kerja Latin procedere (yang belum tentu mengindikasikan awal mula dan karenanya bersesuaian dengan proses "melalui"), bukan dalam pengertian kata kerja Yunani ἐκπορεύεσθαι (yang mengimplikasikan awal mula),[61] Roh "berasal" dari Bapa dan Putra. Gereja Ortodoks Timur, yang mengajarkan bahwa Roh "berasal" dari Bapa saja, tidak memberikan pernyataan apa pun perihal klaim perbedaan makna kedua kata itu, satu Yunani dan satu Latin, sementara keduanya sama-sama diterjemahkan sebagai "berasal dari" (bahasa Inggris: proceeds). Gereja Ortodoks Timur berkeberatan atas klausa Filioque dengan alasan eklesiologis dan teologis, dengan pandangan bahwa "dari Bapa" berarti "dari Bapa saja".

Bahasa tersebut kerap dianggap menyulitkan karena, apabila digunakan berkenaan dengan manusia atau makhluk ciptaan lainnya, maka akan mengimplikasikan waktu dan perubahan; sedangkan ketika digunakan dalam konteks ini tidak untuk dimaknai bahwa terdapat awal, perubahan hakikat, ataupun proses dalam satuan waktu. Putra diperanakkan (atau "dilahirkan"), dan Roh dihembuskan, dalam kekekalan. Agustinus dari Hippo menjelaskan, "Tahun-tahun milik-Mu adalah satu hari, dan hari milik-Mu bukan setiap hari, tetapi hari ini; karena hari ini milik-Mu tidak menghasilkan hari esok, juga tidak mengikuti hari kemarin. Hari ini milik-Mu adalah kekekalan; karenanya Engkau memperanakkan Yang Sama-kekal, kepada siapa Engkau mengatakan, 'Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.'Mzm. 2:7"

Sebagian besar kelompok Protestan yang menggunakan pengakuan iman tersebut juga menyertakan klausa Filioque. Penggunaannya yang dianggap kontroversial itu termuat dalam beberapa pengakuan iman: Pengakuan Iman Westminster 2.3, Pengakuan Iman Baptis London 2.3, dan Pengakuan Iman Augsburg Lutheran 1:1–6.

Ekonomi dan imanensi Trinitas

Templat:POV section

Istilah "Trinitas imanen" berfokus pada siapa Allah; istilah "Trinitas ekonomis" berfokus pada apa yang Allah lakukan.

Menurut Katekismus Gereja Katolik:

Bapa-Bapa Gereja membedakan antara teologi (theologia) dan ekonomi (oikonomia). "Teologi" mengacu pada misteri kehidupan terdalam Allah di dalam Tritunggal Mahakudus; "ekonomi" mengacu pada semua karya yang dengannya Allah menyatakan Diri dan mengomunikasikan kehidupan-Nya. Melalui oikonomia, theologia dinyatakan kepada kita; namun, sebaliknya, theologia menerangi seluruh oikonomia. Karya Allah menyingkapkan siapa Dia dalam Diri-Nya sendiri; misteri keberadaan-Nya yang terdalam mencerahkan pemahaman kita atas semua karya-Nya. Hubungan antar pribadi manusia memiliki keserupaan: seorang manusia menyatakan dirinya dalam perbuatannya, dan semakin kita mengenal seseorang, semakin kita memahami perbuatannya.[62]

Para teolog pra-Nicea berpendapat bahwa segala sesuatu yang dilakukan Trinitas dikerjakan bersama-sama oleh Bapa, Putra, dan Roh Kudus dalam satu kesatuan kehendak. Ketiga pribadi Trinitas selalu berkarya tanpa terpisahkan, karena selalu merupakan karya dari satu Allah. Kehendak Putra tidak dapat berbeda dengan kehendak Bapa karena merupakan kehendak Bapa. Ketiganya memiliki satu kehendak sebagaimana Ketiganya memiliki satu hakikat, sebab Ketiganya adalah satu Allah. Menurut Phillip Cary, sama sekali tidak akan ada Trinitas seandainya terdapat hubungan komando dan kepatuhan antara Bapa dan Putra, melainkan tiga Tuhan.[63] Mengenai hal itu St. Basilius mengatakan, "Ketika kemudian Ia mengatakan, 'Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri', dan lagi, 'Aku menyampaikannya sebagaimana yang difirmankan oleh Bapa kepada-Ku', dan 'firman yang kamu dengar itu bukanlah dari pada-Ku, melainkan dari Bapa yang mengutus Aku', dan pada bagian lain, 'Aku melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku', ini bukan karena Ia tidak memiliki maksud intensional ataupun kuasa inisiasi, bukan juga karena Ia harus menunggu indikasi-kunci yang telah dipastikan sebelumnya, sehingga Ia menggunakan bahasa semacam ini. Tujuan Dia adalah menyampaikan kejelasan bahwa kehendak-Nya sendiri terhubung dengan persatuan yang tak terpisahkan dengan Bapa. Jangan kemudian kita memahami apa yang disebut 'perintah' sebagai suatu mandat yang harus ditaati yang disampaikan oleh organ-organ bicara, dan memberi perintah kepada Putra, seperti kepada subordinasi, mengenai apa yang Dia harus lakukan. Sebaliknya, dalam pengertian yang tepat tentang Ketuhanan, mari kita melihat suatu transmisi kehendak, seperti pantulan sebuah objek di cermin, berlalu tanpa indikasi waktu dari Bapa kepada Putra."[64]

Fresko Yunani Athanasius dari Aleksandria, arsitek utama Kredo Nicea yang dirumuskan di Nicea.

Atanasius dari Aleksandria menjelaskan bahwa Putra dan Bapa adalah satu kekekalan dalam hakikat/kodrat, Putra menjadi subordinasi Bapa secara sukarela dan temporal dalam pelayanan inkarnasi-Nya.[65] Menurutnya, karakteristik-karakteristik manusia tersebut tidak untuk ditelusuri kembali ke dalam Trinitas yang kekal. Demikian pula Bapa-bapa Kapadokia menegaskan bahwa tidak ada ketidaksamaan oikonomi di dalam Trinitas. Kata Basilius, "Kita memandang operasi dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah satu dan sama, tidak dalam aspek yang menunjukkan perbedaan atau variasi; dari identitas operasi ini kita tentu menyimpulkan kesatuan kodrat."[66]

Teori tradisional "apropriasi" mencakup penghubungan sejumlah nama, kualitas, ataupun operasi pada salah satu dari Pribadi Trinitas, tetapi, bukan mengesampingkan yang lainnya, tetapi dalam preferensi pada yang lainnya. Teori tersebut dibentuk oleh para Bapa Latin dari abad ke-4 dan ke-5, khususnya Hilarius dari Poitiers, Agustinus, dan Leo Agung. Pada Abad Pertengahan, teori tersebut secara sistematis diajarkan oleh para akademisi seperti Bonaventura.[67]

Roger E. Olson mengatakan kalau sejumlah teolog evangelikal memegang pandangan bahwa terdapat suatu hierarki otoritas dalam Trinitas dengan Putra sebagai subordinasi Bapa: "Injil Yohanes membuat hal ini jelas karena Yesus berulang kali menyebutkan bahwa Ia datang untuk melakukan kehendak Bapa."[68] Namun, Olsen mengingatkan bahwa hierarki dalam "Trinitas ekonomis" perlu dibedakan dari "Trinitas imanen". Ia mengutip para Bapa Kapadokia, "Bapa adalah sumber atau 'mata air' keilahian di dalam Ketuhanan; Putra dan Roh memperoleh keilahian mereka dari Bapa dalam kekekalan (sehingga tidak ada pertanyaan tentang ketidaksetaraan kodrat). Analogi favorit mereka adalah matahari beserta panas dan cahayanya. Tidak ada yang membayangkan matahari tanpa panas dan cahayanya, tetapi matahari merupakan sumber dari keduanya."[68]

Benjamin B. Warfield melihat suatu prinsip subordinasi dalam "modus operandi" Trinitas, tetapi juga enggan menganggap hal yang sama pada "modus subsistensi" dalam kaitan antara satu dengan yang lainnya. Sambil mengingatkan bahwa adalah wajar untuk melihat suatu subordinasi dalam fungsi sebagai cerminan suatu subordinasi serupa dalam substansi, ia mengemukakan bahwa hal ini mungkin merupakan hasil dari "...suatu kesepakatan oleh Pribadi-Pribadi Trinitas—suatu 'Perjanjian' sebagaimana itu disebut secara teknis—yang karenanya suatu fungsi berbeda dalam karya penebusan diemban oleh masing-masing."[69]

Aspek politis

Richard E. Rubenstein mengatakan bahwa Konstantinus Agung dan Hosius dari Korduba penasihatnya menyadari akan perlunya gereja yang ditetapkan secara ilahi yang di dalamnya otoritas gereja, dan bukan individu, mampu menentukan keselamatan individu, sehingga mereka mendukung rumusan Nicea homoousion.[70] Menurut Eusebius, Konstantinus mengusulkan istilah homoousios pada Konsili Nicea, kendati kebanyakan akademisi meragukan kalau Konstantinus memiliki pengetahuan terkait hal tersebut dan mereka menganggap bahwa kemungkinan besar Hosius yang telah mengusulkan istilah tersebut kepadanya.[71] Di kemudian hari Konstantinus mengubah pandangannya mengenai kaum Arian, yang menentang rumusan Nicea, dan mendukung para uskup yang menolak rumusan tersebut,[72] sebagaimana dilakukan oleh beberapa penerusnya, sementara kaisar pertama yang dibaptis dalam keimanan Nicea adalah Teodosius Agung (kaisar dari tahun 379 sampai 395).[73]

Latar belakang dalam Alkitab

Dari Perjanjian Lama, Gereja perdana mempertahankan keyakinan bahwa Allah adalah satu.[74] Perjanjian Baru tidak menggunakan kata Τριάς (Trinitas)[75] ataupun secara eksplisit mengajarkan doktrin Trinitaris Nicea, tetapi terdapat beberapa bagian yang menggunakan pola rangkap dua dan rangkap tiga untuk berbicara mengenai Allah. Bagian-bagian yang memuat pola rangkap dua misalnya Rom. 8:11, 2 Kor. 4:14, Gal. 1:1, Ef. 1:20, 1 Tim. 1:2, 1 Pet. 1:21, dan 2 Yoh. 1:13. Bagian-bagian yang merujuk pada Ketuhanan dengan pola rangkap tiga misalnya Mat. 28:19, 1 Kor. 6:11 dan 12:4dst., Gal. 3:11–14, Ibr. 10:29, dan 1 Pet. 1:2. Bagian-bagian tersebut menyajikan materi yang dengannya kalangan Kristen mengembangkan doktrin Trinitas.[74] Refleksi oleh Gereja perdana terhadap bagian-bagian seperti Amanat Agung: "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan [Putra] dan Roh Kudus"Mat. 28:19 dan berkat oleh Rasul Paulus: "Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian",2 Kor. 13:14 bersama dengan Shema Yisrael Yahudi: "Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!"Ul 6:4[76] menuntun Gereja perdana untuk membahas apakah Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah "satu" atau "esa". Belakangan, referensi yang beragam akan Allah, Yesus, dan Roh yang termuat dalam Perjanjian Baru disistematisasi ke dalam satu Trinitas—satu Allah yang hidup dalam tiga pribadi dan satu substansi—untuk menentang kecenderungan yang dipandang sesat seputar keterkaitan di antara Ketiganya dan untuk membela Gereja terhadap tuduhan pemujaan dua atau tiga allah.[77]

Beberapa akademisi membantah gagasan bahwa dukungan terhadap Trinitas dapat ditemukan dalam Alkitab, dan berpendapat bahwa doktrin tersebut lebih merupakan hasil dari interpretasi teologis daripada menyuarakan eksegesis kitab suci.[78][79] Konsep ini diungkapkan dalam tulisan-tulisan awal sejak awal abad ke-2, dan para akademisi yang lain meyakini bahwa cara Perjanjian Baru berulang kali berbicara mengenai Bapa, Putra, dan Roh Kudus seperti demikian menghendaki pembaca agar menerima pemahaman Trinitaris.[54]

Comma Johanneum, 1 Yohanes 5:7, merupakan teks yang dipertentangkan yang menyatakan: "Sebab ada tiga yang memberi kesaksian (di dalam surga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu." Namun, bagian ini tidak dianggap sebagai bagian dari teks asli,[80] dan kebanyakan akademisi bersepakat bahwa frasa tersebut merupakan suatu glosa (catatan tambahan).[81]

Yesus sebagai Allah

Allah dalam pribadi Putra menghadapi Adam dan Hawa, karya Master Bertram (wafat ca 1415).

Injil Yohanes telah dipandang secara khusus bertujuan menekankan keilahian Yesus, menghadirkan Yesus sebagai Logos, pra-eksisten dan ilahi, dari kata-kata pertamanya, "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah."Yoh. 1:1[82] Injil Yohanes berakhir dengan pernyataan Tomas bahwa ia percaya Yesus adalah Allah, "Ya Tuhanku dan Allahku!"Yoh. 20:28[77] Tidak ada kecenderungan yang signifikan di antara para akademisi modern untuk menyangkal bahwa Yohanes 20:28 mengidentifikasi Yesus dengan Allah.[83] Yohanes juga menggambarkan Yesus ikut campur dalam penciptaan alam semesta.[84]

Terdapat juga beberapa kemungkinan dukungan biblika akan keilahian Yesus di dalam Injil Sinoptik. Injil Matius, sebagai contoh, memuat kutipan kata-kata Yesus, "Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku."Mat. 11:27 Hal ini serupa dengan Injil Yohanes, yang menuliskan kalau Yesus berkata, "Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya."Yoh 16:15 Ayat-ayat tersebut biasa digunakan untuk membela kemahakuasaan Yesus, memiliki segala kuasa, serta kemahatahuan Yesus, memiliki segala kebijaksanaan.

Beberapa ungkapan dalam surat-surat Paulus juga ditafsirkan sebagai hal-hal yang mengaitkan keilahian dengan Yesus. Sebagai contoh: "karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia"Kol. 1:16 dan "Sebab dalam [Kristuslah] berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan",Kol. 2:9 serta dalam klaim Rasul Paulus bahwa ia diutus "bukan karena manusia, juga bukan oleh seorang manusia, melainkan oleh Yesus Kristus dan Allah, Bapa."Gal. 1:1[85]

Beberapa kalangan mengemukakan bahwa Yohanes menyajikan suatu hierarki ketika mengutip Yesus yang mengatakan, "Bapa lebih besar dari pada Aku",Yoh. 14:28 suatu pernyataan yang digunakan sebagai perbantahan oleh kelompok nontrinitaris seperti Arianisme.[86] Namun, para Bapa Gereja seperti Agustinus dari Hippo berpendapat bahwa pernyataan tersebut adalah untuk dipahami sebagai Yesus yang berbicara dalam rupa seorang manusia biasa.[87]

Roh Kudus sebagai Allah

Seiring dengan hilangnya kontroversi Arian, pembahasan beralih dari keilahian Yesus ke kesetaraan Roh Kudus dengan Bapa dan Putra. Di satu sisi, sekte Pneumatomaki menyatakan bahwa Roh Kudus merupakan pribadi yang lebih rendah daripada Bapa dan Putra. Di sisi lain, Bapa-bapa Kapadokia berpendapat bahwa Roh Kudus merupakan pribadi yang setara dengan Bapa dan Putra.

Meskipun teks utama yang digunakan untuk membela keilahian Roh Kudus adalah Matius 28:19, para Bapa Kapadokia seperti Basilius Agung memberikan argumen dari bagian lainnya seperti "Tetapi Petrus berkata: 'Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus dan menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu? Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu? Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu dalam hatimu? Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah.'"Kis. 5:3–4[88]

Bagian lain yang dikutip para Bapa Kapadokia misalnya: "Oleh firman TUHAN langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya."Mzm. 33:6 Berdasarkan pemahaman mereka, karena "nafas" dan "roh" dalam bahasa Ibrani sama-sama tertulis "רוּחַ" ("ruach"), Mazmur 33:6 mengungkapkan peranan Putra dan Roh Kudus sebagai para rekan-pencipta. Menurut mereka,[88] karena Allah yang suci dapat menciptakan makhluk-makluk suci seperti para malaikat, Putra dan Roh Kudus tentunya adalah Allah.

Argumen lain yang digunakan para Bapa Kapadokia untuk membuktikan bahwa Roh Kudus adalah kodrat yang sama dengan Bapa dan Putra yaitu: "Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah."1 Kor. 2:11 Mereka beralasan bahwa bagian ini membuktikan kalau Roh Kudus memiliki relasi yang sama dengan Allah sebagaimana roh di dalam diri seseorang bagi orang tersebut.[88]

Para Bapa Kapadokia juga mengutip, "Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?"1 Kor. 3:16 dan beralasan bahwa adalah suatu penghujatan bagi suatu kodrat yang lebih rendah untuk mendiami bait Allah, dengan demikian membuktikan bahwa Roh Kudus setara dengan Bapa dan Putra.[89]

Mereka juga memadukan frasa "hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya"Yoh. 15:15 dengan 1 Korintus 2:11 dalam suatu upaya untuk memperlihatkan bahwa Roh Kudus bukan hamba Allah, dan karenanya setara.[90]

Pneumatomaki menentang para Bapa Kapadokia dengan mengutip, "Bukankah mereka semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan?"Ibrani 1:14 dengan argumen bahwa Roh Kudus tidak berbeda dari roh-roh malaikat yang lain yang diciptakan.[91] Para Bapa Gereja tidak setuju, mereka mengatakan bahwa Roh Kudus lebih tinggi derajatnya daripada para malaikat, karena Roh Kudus adalah pribadi yang memberikan prapengetahuan untuk bernubuat1 Kor. 12:8–10 sehingga para malaikat dapat memberitahukan peristiwa yang akan datang.[88]

Penggunaan kata "paraclete" (Yunani: parakletos) bagi Roh Kudus dalam Yohanes 14:16, yang dapat diterjemahkan sebagai penolong, perantara, pembimbing, atau pelindung,[92] serta tindakan dan esensi Roh Kudus yang dikarakterisasi dengan kebenaran, sebagaimana ketiga pribadi Trinitas dikaitkan dengan kebenaran (lih. ayat 17),[93] digunakan sebagai argumen-argumen bahwa Roh Kudus adalah pribadi ilahi; terutama karena Yesus menyebut Roh Kudus sebagai "Penolong yang lain", yang dengan cara tersebut mengungkapkan bahwa Roh Kudus sama dengan diri-Nya sendiri dalam konteks penolong manusia.[94]

Paralel Perjanjian Lama

Ikon Trinitas Perjanjian Lama dari Rusia karya Andrei Rublev, antara tahun 1408 dan 1425.

Perjanjian Lama juga diinterpretasikan memberi pertanda Trinitas,[95] dengan menyebut firman Allah,Mzm 33:6 roh-Nya,Yes. 61:1 dan Hikmat,Ams. 9:1 serta narasi-narasi seperti penampakan ketiga orang kepada Abraham.Kej. 18[96] Bagaimanapun, secara umum terdapat kesepakatan di antara para akademisi Kristen Trinitaris bahwa mengorelasikan gagasan-gagasan tersebut secara langsung dengan doktrin Trinitaris kemudian adalah di luar intensi dan semangat Perjanjian Lama.[97][98]

Beberapa Bapa Gereja meyakini bahwa pengetahuan tentang misteri ini diberikan kepada para nabi dan orang-orang suci Perjanjian Lama, dan bahwa mereka mengidentifikasi utusan ilahi dalam Kejadian 16:7, 21:17, 31:11, Keluaran 3:2 dan Hikmat dalam kitab-kitab hikmat dengan Putra, dan "roh Tuhan" dengan Roh Kudus.[97] Bapa Gereja yang lain, misalnya Gregorius Nazianzen, berpendapat dalam Orasi-Orasi karyanya bahwa penyataan atau pengungkapan tersebut terjadi secara bertahap, mengklaim bahwa Bapa dinyatakan secara terbuka di dalam Perjanjian Lama, tetapi Putra hanya samar-samar, karena "tidaklah aman, sewaktu Ketuhanan Bapa belum diakui, secara terang-terangan memproklamirkan Putra".[99]

Kejadian 18–19 diinterpretasikan oleh kalangan Kristen sebagai salah satu teks Trinitaris.[100] Narasi tersebut dianggap mengisahkan Tuhan yang menampakkan diri kepada Abraham, yang dikunjungi oleh tiga orang.Kej. 18:1–2 Kemudian dalam Kejadian 19, "kedua malaikat" mengunjungi Lot di Sodom. Interaksi antara Abraham di satu sisi dan Tuhan/tiga orang/kedua malaikat di sisi lainnya merupakan suatu teks menarik bagi mereka yang percaya pada satu Allah dalam tiga pribadi. Yustinus Martir, dan juga Yohanes Calvin, menafsirkannya bahwa Abraham dikunjungi oleh Allah, yang didampingi oleh dua malaikat.[101] Yustinus menganggap bahwa Allah yang mengunjungi Abraham berbeda dengan Allah yang tetap berada di dalam surga, tetapi tetap diidentifikasi sebagai Allah (monoteistik). Yustinus mencocokkan Allah yang mengunjungi Abraham dengan Yesus, pribadi kedua Trinitas.

Agustinus berpandangan lain, ia menyatakan bahwa ketiga orang yang mengunjungi Abraham adalah ketiga pribadi Trinitas.[101] Ia tidak melihat indikasi bahwa para pengunjung tersebut tidak setara, sebagaimana Yustinus menafsirkannya. Dan dalam Kejadian 19 dua dari pengunjung Lot disapa olehnya dalam bentuk tunggal: "Kata Lot kepada mereka: 'Janganlah kiranya demikian, tuanku.'"Kej. 19:18[101] Agustinus melihat bahwa Lot menyapa mereka sebagai satu kesatuan ("tuanku") karena mereka merupakan satu substansi tunggal, kendati dalam pluralitas pribadi.[note 2]

Menurut Emanuel Swedenborg, ketiga malaikat yang menampakkan diri kepada Abraham merepresentasikan Trinitas, tetapi Trinitas dari satu hakikat: Yang Ilahi Itu Sendiri, Manusia Ilahi, dan Hembusan Ilahi. Satu hakikat yang direpresentasikan itu diindikasikan oleh fakta bahwa Ketiganya disebut dalam bentuk tunggal sebagai Tuhan.[102] Alasan mengapa hanya dua dari para malaikat tersebut yang pergi mengunjungi Sodom dan Gomora adalah karena mereka mewakili Manusia Ilahi dan Hembusan Ilahi, serta mereka memiliki aspek-aspek penghakiman Yang Ilahi, sebagaimana Yesus menyatakannya bahwa semua penghakiman dipercayakan oleh Bapa kepada Putra.Yoh. 5.22[103] Ketiga malaikat menampakkan diri kepada Abraham sebagai tiga orang, tetapi dipandang sebagai suatu representasi simbolis Trinitas, yang tidak seharusnya diartikan secara harfiah sebagai tiga pribadi berbeda. Dalam Perjanjian Lama, Swedenborg mendapati referensi langsung yang paling awal akan suatu Tritunggal dalam Keilahian pada kisah perjumpaan Musa dengan Tuhan di dalam Kitab Keluaran yang menyatakan, "Berjalanlah TUHAN lewat dari depannya dan berseru: "TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya."Kel. 34:6[104]

Beberapa kalangan Kristen menginterpretasikan berbagai teofani atau penampakan Malaikat Tuhan sebagai pengungkapan seorang pribadi yang berbeda dengan Allah, tetapi tetap disebut Allah.[105] Interpretasi seperti demikian setidaknya dapat ditemukan mulai dari masa Yustinus Martir dan Melito dari Sardis, serta mencerminkan ide-ide yang telah terkandung dalam karya tulis Filo.[106] Semua teofani dalam Perjanjian Lama karenanya dipandang sebagai Kristofani, masing-masing merupakan "penampakan prainkarnasi Mesias".[107]

Penggambaran artistik

Trinitas paling sering diperlihatkan dalam karya seni Kristen dengan Roh Kudus direpresentasikan oleh seekor burung merpati, sebagaimana tercantum dalam kisah Injil mengenai Pembaptisan Yesus, yang hampir selalu ditampilkan dengan sayap-sayap terkembang. Namun, terdapat beberapa penggambaran menggunakan tiga figur manusia pada hampir sepanjang periode seni.[108]

Bapa dan Putra biasanya dibedakan dengan usia, dan kemudian dengan busana/jubah, tetapi tidak selalu demikian. Penggambaran Bapa yang lazim sebagai seorang pria yang lebih tua dengan janggut putih kemungkinan bersumber dari Yang Lanjut Usianya dalam Alkitab, yang sering kali dikutip demi membela representasi yang terkadang kontroversial ini. Bagaimanapun, dalam Ortodoksi Timur Yang Lanjut Usianya umumnya dipahami sebagai Allah Putra, bukan Allah Bapa (lihat di bawah)—beberapa gambar Bizantin awal yang menampilkan Kristus sebagai Yang Lanjut Usianya,[109] tetapi ikonografi ini menjadi jarang terlihat. Ketika Bapa digambarkan dalam karya seni, Ia terkadang ditampilkan dengan suatu halo yang berbentuk seperti segitiga sama sisi, bukan lingkaran. Putra sering kali ditampilkan di sebelah kanan Bapa.Kis. 7:56 Ia terkadang direpresentasikan dengan suatu simbol—biasanya Anak Domba (agnus dei)—atau pada crucifix, sehingga Bapa adalah satu-satunya figur manusia yang ditampilkan dalam ukuran penuh. Dalam seni abad pertengahan awal, Bapa terkadang direpresentasikan dengan suatu tangan yang timbul dari awan dengan sikap memberi berkat, misalnya dalam adegan-adegan Pembaptisan Yesus. Belakangan, di Barat, Singgasana Kerahiman (atau "Takhta Kasih Karunia") menjadi suatu penggambaran yang umum. Dalam gaya ini, Bapa (kadang-kadang dalam posisi duduk di atas takhta) ditampilkan sedang menyokong crucifix[110] atau, belakangan, Putra tersalib yang terkulai, mirip Pietà (jenis ini di Jerman dibedakan sebagai Not Gottes)[111] dengan kedua tangan-Nya terentang, sementara Sang Merpati melayang di atas atau di antara Bapa dan Putra. Popularitas subjek ini berlanjut setidaknya sampai abad ke-18.

Pada akhir abad ke-15, berbagai representasi yang lebih besar, selain Takhta Kerahiman, secara efektif dibakukan: suatu figur yang lebih tua dengan jubah polos menunjukkan Bapa, Putra dengan torso yang sebagian telanjang untuk memperlihatkan luka-luka Sengsara-Nya, serta Sang Merpati di atas atau di sekitar Bapa dan Putra. Dalam representasi-representasi sebelumnya, baik Bapa (khususnya) maupun Putra sering kali mengenakan mahkota dan jubah yang kompleks. Terkadang Bapa sendiri yang mengenakan mahkota, atau bahkan tiara paus.

Galeri gambar

Lihat pula

Catatan tambahan

  1. ^ Sedikit sekali tulisan-tulisan Arius yang masih terlestarikan hingga sekarang. Tulisan yang ada saat ini kebanyakan berupa kutipan-kutipan dari para lawannya yang mencerminkan pandangan mereka tentang apa yang ia katakan. Tidak ditemukan satu pun agenda atau kelompok Arian, tetapi lebih kepada beragam kritik seputar rumusan Nicea dari perspektif-perspektif berbeda. (lih. Williams, Rowan. Arius SPCK (2nd edn, 2001) p.95ff & pp.247ff)
  2. ^ Agustinus memiliki pengetahuan bahasa Yunani yang buruk, dan tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa Ibrani. Sehingga ia mempercayai Septuaginta LXX, yang membedakan κύριοιKej. 19:2 ('tuan-tuan', bentuk jamak vokatif) dengan κύριεKej. 19:18 ('tuan', bentuk tunggal vokatif), meski dalam bentuk verbal bahasa Ibrani, נא-אדני (na-adoni), sama persis untuk kedua kasus tersebut.

Referensi dan catatan

  1. ^ "Oxford Dictionaries". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-20. Diakses tanggal 2016-09-11. 
  2. ^ The Family Bible Encyclopedia, 1972 p. 3790
  3. ^ See discussion in  Herbermann, Charles, ed. (1913). "Person". Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. 
  4. ^ Definition of the Fourth Lateran Council quoted in Catechism of the Catholic Church, 253
  5. ^ "Frank Sheed, ''Theology and Sanity''". Ignatiusinsight.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-30. Diakses tanggal 3 November 2013. 
  6. ^ "Understanding the Trinity". Credoindeum.org. 16 May 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-25. Diakses tanggal 16 Aug 2016. 
  7. ^ "Baltimore Catechism, No. 1, Lesson 7". Quizlet.com. Diakses tanggal 3 November 2013. 
  8. ^ Coppens, Charles, S.J. (1903). A Systematic Study of the Catholic Religion. St. Louis: B. HERDER. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2016-09-11. 
  9. ^ "Catechism of the Catholic Church, 253–267: The dogma of the Holy Trinity". 
  10. ^ "Trinity, doctrine of" in The Oxford Dictionary of the Christian Church (Oxford University Press 2005 ISBN 978-0-19-280290-3)
  11. ^ Matt Slick, "The word Trinity is not found in the Bible"
  12. ^ McGrath Alister E. Christian Theology: An Introduction Blackwell, Oxford (2001) p.321
  13. ^ McGrath, Alister E. Christian Theology: An Introduction Blackwell, Oxford (2001) p.324
  14. ^ Kelly, J.N.D. Early Christian Doctrines A & G Black (1965) p. 88
  15. ^ "Lewis and Short: ''trinus''". Perseus.tufts.edu. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  16. ^ Liddell & Scott, A Greek-English Lexicon. entry for Τριάς, retrieved 19 December 2006
  17. ^ Theophilus of Antioch, To Autolycus, II.XV (retrieved on 19 December 2006).
  18. ^ W.Fulton in the "Encyclopedia of Religion and Ethics"
  19. ^ Aboud, Ibrahim (Fall 2005). Theandros an online Journal of Orthodox Christian Theology and Philosophy. 3, number 1. 
  20. ^ "Against Praxeas, chapter 3". Ccel.org. 1 June 2005. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  21. ^ Against Praxeas, chapter 2 and in other chapters
  22. ^ History of the Doctrine of the Trinity. Accessed 15 September 2007.
  23. ^ See Elizabeth Lev, "Dimming the Pauline Spotlight; Jubilee Fruits", 2009
  24. ^ "Orthodox Outlet for Dogmatic Enquiries: On God". Oodegr.com. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  25. ^ Eusebius of Caesarea, Church History iii.36
  26. ^ "St. Ignatius of Antioch to the Magnesians (Shorter Recension), Roberts-Donaldson translation". Earlychristianwritings.com. Diakses tanggal 3 November 2013. 
  27. ^ "First Apology, LXI". Ccel.org. 13 July 2005. Diakses tanggal 3 November 2013. 
  28. ^ Theophilus, Apologia ad Autolycum, Book II, Chapter 15
  29. ^ Tertullian Against Praxeas
  30. ^ Mulhern, Philip F. (1967) "Trinity, Holy, Devotion", in New Catholic encyclopedia. Prepared by an editorial staff at the Catholic University of America. New York:McGraw-Hill, 14. 306
  31. ^ a b Bingham, Jeffrey, "HT200 Class Notes", Dallas Theological Seminary, (2004).
  32. ^ The Encyclopedia Americana (1956), Vol. XXVII, p. 294L
  33. ^ Nouveau Dictionnaire Universel (Paris, 1865–1870), Vol. 2, p. 1467.
  34. ^ "Catholic Encyclopedia: article:''Paul of Samosata''". Newadvent.org. 1 February 1911. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  35. ^ Chadwick, Henry. The Early Church Pelican/Penguin (1967) p.87
  36. ^ "Arianism" in Cross, F.L. & Livingstone, E.A. (eds) The Oxford Dictionary of the Christian Church (1974)
  37. ^ Creeds of Christendom
  38. ^ Greek texts of 325 and 381
  39. ^ "Athanasius, Bishop of Alexanria, Theologian, Doctor". Justus.anglican.org. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  40. ^ "Athanasius: De Decretis or Defence of the Nicene Definition, Introduction, 19". Tertullian.org. 6 August 2004. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  41. ^ a b c "Trinity". Britannica Encyclopaedia of World Religions. Chicago: Encyclopædia Britannica. 2006.
  42. ^ On Athanasius, Oxford Classical Dictionary, Edited by Simon Hornblower and Antony Spawforth. Third edition. Oxford; New York: Oxford University Press, 1996.
  43. ^ Gregory of Nazianzus, Orations 40.41
  44. ^ Mulhern, 306.
  45. ^ Mulhern, p.306
  46. ^ Matius 28:19
  47. ^ 7:1, 3 online
  48. ^ Epistle to the Philippians, 2:13 online
  49. ^ On Baptism 8:6 online, Against Praxeas, 26:2 online
  50. ^ Against Noetus, 1:14 online
  51. ^ Seventh Council of Carthage online
  52. ^ A Sectional Confession of Faith, 13:2 online
  53. ^ Kittel, 3:108.
  54. ^ a b Stagg, Frank. New Testament Theology. Broadman Press, 1962. ISBN 978-0-8054-1613-8, pp. 38 ff.
  55. ^ Grudem, Wayne A. 1994. Systematic theology an introduction to biblical doctrine. Leicester, England: Inter-Varsity Press. Page 226.
  56. ^ "Athanasian Creed". Ccel.org. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  57. ^ Barth, Karl, and Geoffrey William Bromiley. 1975. The doctrine of the word of God prolegomena to church dogmatics, being volume I, 1. Edinburgh: T. & T. Clark. Pages 348–9.
  58. ^ Thomas, and Anton Charles Pegis. 1997. Basic writings of Saint Thomas Aquinas. Indianapolis, Indiana: Hackett Pub. Pages 307–9.
  59. ^ For 'person', seeRichard De Smet, A Short History of the Person, available in Brahman and Person: Essays by Richard De Smet, ed. Ivo Coelho (Delhi: Motilal Banarsidass, 2010).
  60. ^ "NPNF2-09. Hilary of Poitiers, John of Damascus | Christian Classics Ethereal Library". Ccel.org. 13 July 2005. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  61. ^ Pontifical Council for Promoting Christian Unity: The Greek and the Latin Traditions regarding the Procession of the Holy Spirit (scanned image of the English translation on L'Osservatore Romano of 20 September 1995); also text with Greek letters transliterated and text omitting two sentences at the start of the paragraph that it presents as beginning with "The Western tradition expresses first ..." Diarsipkan 2004-09-03 di Wayback Machine.
  62. ^ Catechism of the Catholic Church, §236
  63. ^ Phillip Cary, Priscilla Papers Vol. 20, No. 4, Autumn 2006
  64. ^ "Basil the Great, De Spiritu Sancto, NPNF, Vol 8". Ccel.org. 13 July 2005. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  65. ^ Athanasius, 3.29 (p. 409)
  66. ^ Basil "Letters", NPNF, Vol 8, 189.7 (p. 32)
  67. ^ Sauvage, George. "Appropriation." The Catholic Encyclopedia Vol. 1. New York: Robert Appleton Company, 1907. 20 October 2016
  68. ^ a b Olsen, Roger E., "Is there hierarchy in the Trinity?", Patheos, December 8, 2011
  69. ^ Warfield, Benjamin B., "Trinity", § 20, The Question of Subordination, The International Standard Bible Encyclopaedia, Vol. 5, (James Orr, ed.), Howard-Severance Company, 1915, pp.3020-3021
  70. ^ Rubinstein, Richard. When Jesus Became God, The Struggle to Define Christianity During the Last Days of Rome. hlm. 64. 
  71. ^ The Oxford Handbook of Early Christian Studies, OUP Oxford, 2008, hlm. 432 
  72. ^ "N.S.Gill, "The Arian Controversy and the Council of Nicea"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-07-10. Diakses tanggal 2016-09-11. 
  73. ^ Philip Schaff, History of the Christian Church. Volume III. Nicene and Post-Nicene Christianity, fifth edition revised, §27
  74. ^ a b Rusch, William G. (1980). "Introduction". Dalam Rusch, William G. The Trinitarian Controversy. Minneapolis: Fortress Press(perlu berlangganan). hlm. 2. 
  75. ^ "Neither the word Trinity nor the explicit doctrine appears in the New Testament ... the New Testament established the basis for the doctrine of the Trinity"(Encyclopædia Britannica Online: article Trinity).
  76. ^ "Trinity". Britannica.com. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  77. ^ a b The Oxford Companion to the Bible (ed. Bruce Metzger and Michael Coogan) 1993, p. 782–3.
  78. ^ McGrath, Alister E.Understanding the Trinity. Zondervan, 9789 ISBN 0-310-29681-1
  79. ^ Harris, Stephen L. Understanding the Bible. Mayfield Publishing: 2000. pp. 427–428
  80. ^ See, for instance, the note in 1John 5:7–8-1 Jn 5:7–8.
  81. ^ Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration, 2d ed. Oxford University, 1968 p.101
  82. ^ "The Presentation of Jesus in John's Gospel". Bbc.co.uk. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  83. ^ Brown, Raymond E. The Anchor Bible: The Gospel According to John (XIII–XXI), pp. 1026, 1032
  84. ^ Hoskyns, Edwyn Clement (ed Davey F.N.) The Fourth Gospel Faber & Faber, 1947 p.142 commenting on "without him was not any thing made that was made."Templat:Bibleref2c
  85. ^ "St. Paul helps us understand truths about Jesus" (PDF). Archived from the original on 2009-03-26. Diakses tanggal 2016-09-11. 
  86. ^ Simonetti, Manlio. "Matthew 14–28." New Testament Volume 1b, Ancient Christian Commentary on Scripture. Intervarsity Press, 2002. ISBN 978-0-8308-1469-5
  87. ^ St. Augustine of Hippo,De Trinitate, Book I, Chapter 3.
  88. ^ a b c d St. Basil the Great,On the Holy Spirit Chapter 16.
  89. ^ St. Basil the Great, On the Holy Spirit Chapter 19.
  90. ^ St. Basil the Great, On the Holy Spirit Chapter 21.
  91. ^ "Catholic Encyclopedia: article ''Pneumatomachi''". Newadvent.org. 1 June 1911. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  92. ^ New Jerusalem Bible, Standard Edition published 1985, introductions and notes are a translation of those that appear in La Bible de Jerusalem—revised edition 1973, Bombay 2002; footnote to Joh 14:16.
  93. ^ Zondervan NIV (New International Version) Study Bible, 2002, Grand Rapids, Michigan, USA; footnote to Joh 14:17.
  94. ^ Trinity—see "3 The Holy Spirit As a Person".
  95. ^ Lihat Kitab Kebijaksanaan Salomo#Interpretasi Mesianis oleh kalangan Kristen
  96. ^ The Oxford Dictionary of the Christian Church (Oxford University Press, 2005 ISBN 978-0-19-280290-3), article Trinity, doctrine of the
  97. ^ a b "Catholic Encyclopedia: article ''The Blessed Trinity''". Newadvent.org. 1 October 1912. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  98. ^ "Encyclopedia of Religion", Vol. 14, p.9360, on Trinity
  99. ^ Gregory Nazianzen, Orations, 31.26
  100. ^ For the two chapters as a single text, see Letellier, Robert. Day in Mamre, night in Sodom: Abraham and Lot in Genesis 18 and 19. Brill Publishers: 1995.ISBN 978-90-04-10250-7 pp.37ff. Web: 9 January 2010
  101. ^ a b c "Francis Watson, Abraham's Visitors, The Journal of Scriptural Reasoning, Number 2.3, September 2002". Etext.lib.virginia.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-29. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  102. ^ Swedenborg, Emanuel. Heavenly Arcana, 1749–58. Rotch Edition. New York: Houghton, Mifflin and Company, 1907, in the Divine Revelation of the New Jerusalem (2012), n. 2149, 2156, 2218.
  103. ^ Swedenborg, n. 2319–2320.
  104. ^ Swedenborg, n. 10617.
  105. ^ "The Trinity in the Old Testament". Archived from the original on 2010-12-09. Diakses tanggal 2016-09-11. 
  106. ^ Larry W. Hurtado, Lord Jesus Christ: Devotion to Jesus in Earliest Christianity. Wm. B. Eerdmans Publishing, 2005 ISBN 0-8028-3167-2 pp. 573–578
  107. ^ "Baker's Evangelical Dictionary of Biblical Theology: ''Angel of the Lord''". Studylight.org. Diakses tanggal 2 January 2012. 
  108. ^ See below and G Schiller, Iconography of Christian Art, Vol. I, 1971, Vol II, 1972, (English trans from German), Lund Humphries, London, figs I;5–16 & passim, ISBN 0-85331-270-2 and ISBN 0-85331-324-5
  109. ^ Cartlidge, David R., and Elliott, J.K.. Art and the Christian Apocrypha, pp. 69–72 (illustrating examples), Routledge, 2001, ISBN 0-415-23392-5, ISBN 978-0-415-23392-7, Google books
  110. ^ G Schiller, Iconography of Christian Art, Vol. II, 1972, (English trans from German), Lund Humphries, London, figs I;5–16 & passim, ISBN 0-85331-270-2 and ISBN 0-85331-324-5, pp. 122–124 and figs 409–414
  111. ^ G Schiller, Iconography of Christian Art, Vol. II, 1972, (English trans from German), Lund Humphries, London, figs I;5–16 & passim, ISBN 0-85331-270-2 and ISBN 0-85331-324-5, pp. 219–224 and figs 768–804

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "vonharnack" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.
Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "islamency" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "quranency" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Referensi lain

Routledge Encyclopedia of Philosophy Online, on Trinity, Link

Bacaan lanjutan

Pranala luar

Templat:Teologi Kristen

Templat:Teologi

Kembali kehalaman sebelumnya