MariologiMariologi dalam Gereja Katolik Roma adalah sebuah bagian teologi yang berhubungan dengan Maria, ibu Yesus. Maria dalam Gereja Katolik Roma dijuluki sebagai Sang Perawan Suci dan Ibu Tuhan sehingga ia disebut memiliki sebuah martabat yang tak terhingga yang berasal dari kebaikan yang tak terhingga pula, yakni Allah.[1] Secara teologis, Mariologi Katolik Roma tidak hanya membahas kehidupannya saja, namun juga membahas berbagai penghormatan kepadanya dalam kehidupan sehari-hari, doa-doa, serta kesenian, musik dan arsitektur yang bertemakan Maria dalam kehidupan Kristiani. Mariologi Katolik Roma masih dan terus-menerus dibentuk tidak hanya oleh ensiklik kepausan tetapi juga oleh hal-hal lain yang saling memengaruhi mulai dari tulisan-tulisan para orang-orang suci gereja hingga berbagai pembangunan gereja-gereja agung yang didedikasikan untuk Maria di lokasi-lokasi penampakannya pada anak-anak di pegunungan terpencil yang diterima sensus fidelium (berdasarkan keimanan bersama). Di beberapa kasus, sensus fidelium kadang-kadang memengaruhi keputusan-keputusan kepausan mengenai Maria, melengkapi Mariologi dengan komponen “teologi rakyat” yang membedakannya dari komponen-komponen teologi formal lainnya. Dalam hal kepopuleran dilihat dari jumlah pengikut, keanggotaan di dalam gerakan dan perkumpulan yang berorientasi pada Maria tumbuh dengan jumlah yang sangat berarti pada abad ke-20. Sifat Dasar Mariologi KatolikMariologi tak dapat dipisahkan dari KristologiMariologi Katolik adalah sebuah konsekuensi logis dan penting dari Kristologi: Yesus dan Maria adalah anak dan ibu, Sang Penebus Dosa dan Yang Ditebus Dosanya.[2] Mariologi adalah Kristologi yang dikembangkan hingga ke potensi yang sepenuhnya.[3] Maria dan putranya Yesus sangatlah mirip namun tidak kembar identik dalam teologi Katolik. Oleh karena itu, ajaran-ajaran tentang Maria, disamping turut memberikan sumbangan ke dalam pengajaran mengenai Kristus, juga adalah ajaran yang terpisah yang disebut Mariologi. Maria mengembangkan pengertian yang lebih mendalam mengenai siapa Kristus itu dan apa yang dilakukan-Nya. Kristologi tanpa Maria adalah suatu hal yang salah menurut pandangan Gereja Katolik Roma, karena teologi tersebut berarti tidak didasarkan pada wahyu Kitab Suci yang penuh. Umat Kristiani pada masa-masa awal dan banyak orang-orang suci memusatkan diri pada interpretasi paralel ini. Para paus menyoroti hubungan intim antara dogma-dogma mengenai Maria dan penerimaan penuh dari dogma Kristologi.[4] Gereja adalah kumpulan umat Allah karena dirinya adalah Tubuh Kristus.[5] Gereja hidup dalam hubungannya dengan Kristus. Sebagai Tubuh Kristus, Gereja juga memiliki hubungan dengan ibu-Nya, yang menjadi topik utama dari Mariologi Katolik. Maria dipandang sebagai citra asli Gereja, atau, seperti yang dinyatakan dalam Konsili Vatikan II, “Bunda Gereja”.[6] Mariologi terus-menerus berkembang, termasuk di dalamnya berbagai dogma, tradisi, posisi teologis resmi dan hipotesis mengenai Maria, baik yang ada saat ini maupun yang telah menjadi sejarah. Namun, Mariologi bukan saja sebuah bidang teologi yang dipelajari oleh sedikit cendekiawan, namun sebuah konsep devosi yang dianut oleh jutaan umat Katolik yang menghormati Sang Perawan Suci Maria. Dan, seperti yang didiskusikan di bawah ini, bidang teologi ini berbeda dengan bidang-bidang lain dalam teologi dalam hal bahwa perkembangan bidang ini sering kali berasal dari gerakan bawah, dari massa umat yang percaya, dan kadang-kadang berasal dari pengalaman-pengalaman rohani anak-anak kecil dan sederhana di puncak gunung terpencil, yang kemudian memengaruhi tingkatan atas Tahta Suci di Roma melalui sensus fidei. Doktrin-doktrin Maria dalam Gereja Katolik Roma, termasuk keempat dogma yang dibahas dibawah ini, adalah bagian utama dari Mariologi yang terdiri atas ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin resmi mengenai hidup dan peran Maria, namun tidak mengikut-sertakan pandangan-pandangan menyeluruh, konroversi dan aspek-aspek kebudayaan devosi kepada Maria. Mariologi adalah bagian dari doktrin abstrak dan juga adalah sebuah bagian yang penting dalam kehidupan gereja: doa-doa Maria, ziarah-ziarah ke tempat-tempat suci Maria, devosi-devosi kepada Maria selama bulan Mei dan Oktober, penampakan Maria, gelar-gelar Maria, dan hari-hari peringatan bagi Maria diperjelas dalam artikel Sang Perawan Suci Maria. Oleh karena itu, artikel mengenai Mariologi Katolik Roma ini menyajikan sebuah peninjauan mengenai persoalan-persoalan pokok, perkembangan dan kontroversi gerakan eklesiologi ini. Dogma-dogma mengenai MariaDogma-dogma Gereja Katolik Roma mengenai Maria memiliki dua fungsi: menyajikan ajaran-ajaran Gereja yang tidak dapat salah mengenai Maria dan hubungannya dengan Yesus Kristus, dan memuji Maria serta memuji karya Allah pada diri Maria melalui Maria sendiri. Semua dogma mengenai Maria menyoroti kekudusan Putranya, Yesus Kristus. Saat ini terdapat empat dogma mengenai Maria di antara banyak ajaran lain mengenai Sang Perawan Suci:
Untuk diskusi mengenai usulan atas dogma mengenai Maria kelima, silakan merujuk pada bagian Mediatrix dan Co-Redemptrix di bawah ini. Sejarah MariologiGereja AwalSejarah Mariologi bisa ditelusuri dari abad pertama. Umat Kristiani awal memusatkan penghormatan mereka pada mulanya kepada para martir di sekitar mereka. Mengikuti hal ini, mereka melihat adanya semacam jembatan antara penghormatan umat Kristiani yang lama dan yang baru dalam diri Maria.[8] Pada abad ke-2, Santo Irenaeus dari Lyon menjuluki Maria “Hawa Kedua” sebab melalui Maria dan kepasrahannya pada pilihan Tuhan baginya, Tuhan memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat pilihan Hawa untuk memakan buah terlarang. Doa kepada Maria tertua yang tercatat, Sub tuum praesidium, diperkirakan berasal dari sekitar tahun 250. Pada abad ke-5, Konsili Ekumenis Ketiga memperdebatkan pertanyaan apakah Maria layak digelari sebagai Theotokos dan puncaknya menegaskan penggunaan gelar tersebut. Gereja-gereja yang didedikasikan kepada Maria muncul di seluruh tanah Kristen saat itu, di antaranya yang terkenal adalah Basilika Santa Maria Maggiore di Roma dan Hagia Sophia di Konstantinopel. Ajaran mengenai Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga menyebar luas di dunia Kristen mulai dari abad keenam dan selanjutnya. Hari peringatannya ditetapkan pada tanggal 15 Agustus baik di daerah Romawi Timur maupun Barat. Abad Pertengahan hingga Masa Reformasi ProtestanAbad Pertengahan menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan Mariologi, serta membawa para pelaku devosi kepada Maria yang setia ke permukaan, termasuk di antaranya Efraim orang Siria, Yohanes dari Damaskus, dan Bernardus dari Clairvaux. Doa-doa kepada Maria seperti Salam Maria serta kidung-kidung seperti Ave Maris Stella dan Salve Regina lahir, menjadi nyanyian-nyanyian utama di biara. Praktik-praktik devosi jumlahnya bertambah pesat. Dari tahun 1000 dan selanjutnya semakin banyak gereja, termasuk banyak katedral-katedral agung Eropa, didedikasikan kepada Maria. Satu kontroversi besar sepanjang masa adalah konsep Pembuahan Suci. Walau konsep Maria yang tanpa dosa telah ditegaskan dalam masa-masa awal gereja, kapan dan bagaimana tepatnya Maria menjadi bersih tanpa dosa menjadi sebuah topik untuk perdebatan dan pertentangan. Secara bertahap konsep bahwa Maria telah disucikan dari dosa asal pada saat Ia diciptakan mulai diterima luas, terutama setelah Yohanes Duns Scotus menjawab keberatan utama dari konsep kesucian Maria semenjak penciptaan, sebagai kebutuhannya bagi penebusan dosa.[9] Karya Allah dalam membuat Maria bersih dari dosa semenjak penciptaannya adalah, menurutnya, mungkin bentuk penebusan dosa yang paling sempurna. Selama Reformasi Protestan, Mariologi Katolik Roma diterpa serangan tuduhan gencar yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai sesuatu yang mencemarkan kesucian dan ajaran takhyul. Para pemimpin Protestan seperti Martin Luther dan John Calvin, meski secara pribadi taat pada kepercayaan Maria seperti kelahiran perawan dan kesuciannya, menganggap penghormatan umat Katolik pada Maria sebagai tandingan terhadap peran kudus Yesus Kristus. Sebagai sebuah refleksi dari penentangan teologis ini, karya-karya seni religius dan berbagai patung serta lukisan Maria dihancurkan secara besar-besaran. Beberapa kaum reformis Protestan, terutama Andreas Karlstadt, Huldrych Zwingli dan John Calvin mendorong penghilangan gambaran-gambaran religius dengan merujuk pada pelarangan Dekalog atas pemujaan berhala dan pembuatan patung-patung yang menggambarkan Tuhan. Kerusuhan orang-orang yang menentang patung berhala yang besar terjadi di Zurich (1523), Kopenhagen (1530), Münster (1534), Jenewa (1535), Augsburg (1537) dan Skotlandia (1559). Tujuh Belas Provinsi (sekarang Belanda, Belgia dan sebagian Prancis utara) mengalami gelombang gerakan anti patung berhala yang besar pada musim panas tahun 1566. Konsili Trente menegaskan mengenai tradisi Katolik akan keberadaan lukisan-lukisan dan karya-karya seni di dalam gereja, yang menyebabkan perkembangan karya-karya seni mengenai Maria dan Mariologi yang luar biasa selama masa Barok. Masa Barok hingga Masa PencerahanSelama masa Reformasi Protestan, Gereja Katolik mempertahankan Mariologi terhadap serangan kaum Protestan sementara juga bertempur dalam Perang Ottoman di Eropa melawan Turki yang dilakukan dan dimenangkan di bawah perlindungan Sang Perawan Maria. Kemenangan di Perang Lepanto (1571) diakui sebagai karya Maria “dan menandai dimulainya kebangkitan kembali yang kuat atas devosi-devosi kepada Maria”.[10] Karya-karya tulis masa Barok mengenai Maria menyaksikan perkembangan yang tidak disangka sebelumnya dengan lebih dari 500 halaman tulisan Mariologi selama abad ke-17 saja.[11] Francis Suarez, seorang Yesuit, adalah teolog pertama yang menggunakan metode Thomist untuk Mariologi. Penulis-penulis lainnya yang memberikan sumbangan pada Mariologi masa Barok adalah Lawrence dari Brindisi, Robert Bellarmine, dan Fransiskus dari Sales. Mariologi masa Barok didukung oleh beberapa paus: Paus Paulus V dan Paus Gregorius XV memutuskan pada tahun 1671 dan 1622 bahwa pernyataan yang menyebutkan Sang Perawan Maria diciptakan dengan dosa asal tidak bisa diterima. Paus Aleksander VII menyatakan pada tahun 1661 bahwa jiwa Maria terbebas dari dosa asal. Paus Klemens XI memerintahkan perayaan Immaculata bagi seluruh gereja pada tahun 1708. Perayaan Rosario diperkenalkan pada tahun 1716, perayaan Tujuh Duka Maria diperkenalkan tahun 1727. Doa Angelus didukung dengan kuat oleh Paus Benediktus XIII pada tahun 1724 dan oleh Paus Benediktus XIV pada tahun 1742.[12] Penekanan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan rasionalisme di Masa Pencerahan membuat teologi Katolik dan Mariologi untuk banyak melakukan pembelaan diri. Konsep keperawanan dan rahmat-rahmat khusus masih ditaati, namun pemujaan terhadap Maria dijauhi.[13] Beberapa teolog mengusulkan penghapusan semua hari perayaan bagi Maria, kecuali hari-hari yang memiliki dasar-dasar Kitab Suci dan hari raya Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga.[14] Banyak kaum Benediktin seperti Celestino Sforndrati (wafat 1696) dan Yesuit,[15] didukung oleh para umat yang taat dan perkumpulan pro-Maria mereka, berdiri melawan gerakan anti-Maria ini. Namun dengan adanya sekularisasi, yang berarti penutupan paksa banyak biara, ziarah-ziarah untuk Maria tidak berlanjut atau jumlahnya sangat jauh berkurang. Doa Rosario dikritik dari dalam lingkungan Katolik sendiri sebagai sesuatu yang tidak memusatkan pada Yesus dan terlalu mekanis.[16] Di beberapa tempat bahkan pernah dilarang untuk berdoa rosario selama Misa Kudus.[17] Selama masa ini pendukung Mariologi merujuk pada “Kemuliaan Maria” dan beberapa tulisan Mariologi lainnya karya Alfonsus dari Liguori, seorang Italia, yang kebudayaannya tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh gerakan Pencerahan. “Secara keseluruhan, Mariologi Katolik selama Masa Pencerahan kehilangan perkembangan utama dan nilai tingginya, namun dasar-dasarnya berhasil dipertahankan dimana menjadi dasar bagi Abad ke-19 untuk kembali membangunnya”.[18] Abad ke-19Mariologi pada abad ke-19 didominasi oleh pembahasan Pembuahan Suci dan Konsili Vatikan Pertama. Baru pada tahun 1854 Paus Pius IX, dengan dukungan yang luar biasa dari para Uskup Katolik Roma yang ia ajak berkonsultasi antara tahun 1851-1853, meresmikan dogma Pembuahan Suci.[19] Delapan tahun sebelumnya, pada tahun 1846, Sri Paus mengabulkan permintaan penuh dari para uskup Amerika Serikat dan menyatakan bahwa Immaculata sebagai pelindung Amerika Serikat.[20] Selama Konsili Vatikan Pertama, 108 imam peserta konsili meminta agar ditambahkan kata-kata “Perawan Suci” ke dalam doa “Salam Maria”.[21] Beberapa imam meminta agar dogma Pembuahan Suci dimasukkan ke dalam kredo Gereja.[22] Banyak umat Katolik Prancis mengharapkan dijadikannya dogma terhadap konsep Infalibilitas kepausan dan Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga di dalam konsili ekumenis yang selanjutnya.[23] Selama Konsili Vatikan Pertama sembilan petisi Mariologi mendukung sebuah kemungkinan dogma atas Pengangkatan Maria, yang sayangnya ditentang secara tegas oleh beberapa peserta konsili, terutama yang berasal dari Jerman. Pada tanggal 8 Mei para peserta konsili menolak pembuatan dogma akan konsep tersebut, sebuah keputusan yang didukung oleh Paus Pius IX. Konsep Maria sebagai ko-redemptrix juga sempat didiskusikan namun dibiarkan terbuka. Sebagai dukungannya, para peserta konsili menyoroti kudusnya keibuan Maria dan menganugerahinya dengan gelar Ibu Segala Rahmat.[24] Paus Rosario Leo XIII adalah sebuah gelar yang diberikan kepada Paus Leo XIII (1878-1903) karena ia menciptakan sebuah rekor dengan mengeluarkan sebelas ensiklik kepausan mengenai doa rosario, meresmikan kebiasaan Katolik untuk berdoa rosario tiap hari selama bulan Oktober, yang dibuat pada tahun 1883 pada hari perayaan Ratu Rosario Suci.[25] Pandangan Para Orang SuciMariologi Katolik Roma bertumpu pada tulisan banyak orang suci sepanjang sejarah yang telah mencoba membuktikan kebenaran peran utama Maria dalam rencana keselamatan Tuhan. Orang-orang suci yang memiliki orientasi Mariologi antara lain Santo Irenaeus dari Lyons, Santo Ambrosius dari Milan, Santo Bernardus dari Clairvaux, Santo Thomas Aquinas, Santo Yohanes dari Damaskus, Santo Bonaventura, Santo Louis de Montfort dan yang lainnya. Dalam beberapa kasus tulisan-tulisan para orang suci seperti Santo Louis de Montfort sangat memengaruhi calon-calon imam seperti Karol Wojtyla yang nantinya menjadi Paus Yohanes Paulus II. Orang-orang Suci AwalSanto Irenaeus dari Lyons (hidup sekitar tahun 140-202) mungkin adalah Bapa Gereja pertama yang mengembangkan konsep Mariologi yang lengkap. Pada masa mudanya ia pernah bertemu dengan Santo Polikarpus dan orang-orang Kristen lainnya yang pernah berhubungan langsung dengan para Rasul. Irenaeus mengemukakan secara gamblang nilai peranan Maria dalam proses penyelamatan manusia. Menurut Irenaeus, Kristus, yang terlahir dari Sang Perawan Maria, menciptakan sebuah situasi bersejarah yang baru.[26][27] Pandangan ini kemudian memengaruhi Santo Ambrosius dari Milan dan Santo Tertulianus yang menulis mengenai kelahiran perawan yang dialami oleh Bunda Allah. Sang pemberi kelahiran baru haruslah dilahirkan dalam sebuah cara baru. Kelahiran baru sebagai sesuatu yang hilang akibat seorang wanita (Hawa) kini diselamatkan oleh seorang wanita (Maria).[28] Santo Ambrosius dari Milan (339-397) adalah seorang Bapa Gereja pertama yang konsep Mariologi yang kuatnya memengaruhi paus-paus yang hidup di zamannya seperti Paus Damasus, Paus Siricius dan Paus Leo Agung. Muridnya Santo Agustinus dari Hippo dan Konsili Efesus sama-sama berada di bawah pengaruhnya. Hal pokok dalam diri Santo Ambrosius adalah keperawanan Maria dan perannya sebagai Bunda Allah.[29][30][31] “Oleh sebab itu Maria, daripadanya keselamatan sedang disiapkan bagi semua manusia, akan menjadi yang pertama yang menerima buah keselamatan yang dijanjikan.”[32] Santo Agustinus dari Hippo (354-430) tidak mengembangkan sebuah Mariologi sendiri, namun pernyataan-pernyataannya tentang Maria melampaui jumlah dan dalamnya tulisan-tulisan penulis lainnya di zamannya.[33] Sang Perawan Maria “diciptakan sebagai perawan, melahirkan sebagai perawan dan menjadi perawan selamanya”.[34] Bahkan sebelum Konsili Efesus ia membela konsep Sang Perawan Maria sebagai Bunda Allah yang, karena keperawanannya, dipenuhi rahmat Allah.[35] Maria terbebas dari segala bentuk dosa duniawi.[36] Oleh karena seorang wanita seluruh umat manusia terselamatkan.[37] Patriark Cyril dari Aleksandria (412-444) menjadi terkenal dalam sejarah Gereja karena perjuangannya yang penuh semangat demi gelar “Bunda Allah” selama masa Konsili Efesus (431). Tulisan-tulisannya meliputi homili yang diberikannya di Efesus dan beberapa khotbah lainnya.[38] Beberapa homili yang dipercaya diberikan olehnya dipermasalahkan siapa penulis sesungguhnya. Dalam beberapa tulisan Cyril menyoroti cinta Yesus pada ibu-Nya. Sewaktu di kayu salib, Ia mengatasi rasa sakitnya dengan memikirkan ibu-Nya. Di perkawinan di Kana Yesus tunduk pada permnintaan Maria. Jasa terbesar Cyril dari Aleksandria adalah dikukuhkannya intisari ajaran-menjurus-dogma Mariologi untuk sepanjang masa. Ia menciptakan dasar bagi semua perkembangan Mariologi lainnya melalui ajarannya mengenai Sang Perawan Maria sebagai Bunda Allah. Banyak konsep-konsep Mariologi pada abad-abad pertama dikembangkan oleh gereja-gereja Ritus Timur. Dari barat, Paus Damasus I dan yang lainnya membela Maria terhadap serangan paham Monofisitisme yang mengajarkan bahwa Kristus hanya memiliki satu sifat dasar, yaitu ketuhanan. Oleh karenanya Maria hanya adalah Bunda Allah dan bukan ibu dari Yesus yang manusia. Paus Leo Agung mempertahankan ajaran bahwa Kristus memiliki dua sifat dasar, yakni sifat ketuhanan dan sifat manusia.[39][40] Bagi Paus Leo Agung, Mariologi ditentukan oleh Kristologi. Jika Kristus hanyalah bersifat ketuhanan saja, segala sesuatu mengenai-Nya bersifat ketuhanan. Makanannya hanyalah sebuah simbolisme belaka. Hanya diri Yesus yang bersifat ketuhanan saja yang telah disalib, dimakamkan dan dibangkitkan. Maria hanyalah Bunda Allah dan para pengikut Kristus tidak akan memiliki harapan akan kebangkitan diri mereka sendiri. Dan intisari Kekristenan hancur lebur.[41] Paus Leo Agung meminta pemberian penghormatan kepada Sang Perawan Maria baik di palungan maupun di tahta Bapa di surga. Peristiwa dimulainya sebuah kehidupan manusia melalui Maria yang paling luar biasa terjadi saat melahirkan Yesus, Putra Allah dan Putra dari garis keturunan Raja Daud.[42] Para Orang Suci semenjak Abad PertengahanDalam ensikliknya Doctor Mellifluus mengenai Santo Bernardus dari Clairvaux, Paus Pius XII mengutip tiga elemen pokok dari Mariologi Santo Bernardus: bagaimana ia menjelaskan keperawanan Maria, Sang Bintang Laut; bagaimana para umat seharusnya berdoa bagi Sang Perawan Maria, dan bagaimana Santo Bernardus menyandarkan diri pada Sang Perawan Maria sebagai mediatrix (perantara). “… Sang Perawan melahirkan putra-Nya tanpa adanya noda pada integritasnya. Dan sebagaimana cahaya tidak mengurangi kecemerlangan sebuah bintang, demikian pula lahirnya Sang Putra dari rahimnya tidak menodai kecantikan keperawanan Maria.”[43] “Dalam bahaya, dalam keragu-raguan, dalam kesulitan, ingatlah akan Maria, panggillah Maria. Jangan biarkan nama-Nya meninggalkan bibirmu, jangan membiarkannya meninggalkan hatimu.”[44] Secara teologis, Santo Bernardus dari Clairvaux, seorang Pujangga Gereja, adalah seorang pendukung kuat interpretasi mediatrix dalam diri Maria. Tuhan dan dunia fana bertemu di dalam dirinya. Kehidupan kudus mengalir melalui dirinya ke seluruh penciptaan. Maria adalah satu dengan Yesus yang ingin menyelamatkan semua manusia dan yang menebarkan semua rahmat melalui dirinya.[45] Maria adalah Sang Perantara ke Tuhan, sebuah tangga yang bisa digunakan oleh para pendosa untuk mendaki mendekati-Nya, jalan megah menuju Tuhan, karena dirinya penuh rahmat.[46] “Adalah kehendak Tuhan sendiri bahwa kita tidak memiliki apa-apa yang tidak melalui tangan-tangan Maria. Adalah kehendak Tuhan sendiri yang membuat kita memiliki segala sesuatunya melalui tangan-tangan Maria.”[47] Santo Alfonsus dari Liguori (1696-1787), seorang Pujangga Gereja menulis “Kejayaan Maria”, “Devosi-devosi kepada Maria”, “Doa-doa kepada Bunda Ketuhanan”, “Lagu-lagu Spiritual”, “Kunjungan ke Sakramen Suci dan Sang Perawan Maria”, “Sang Pendamping Sejati Yesus Kristus” dan lainnya. Ia memberikan pengaruh yang luar biasa pada Mariologi selama Masa Pencerahan. Entusiasmenya yang menyala-nyala sangat bertolak belakang dengan dinginnya paham rasionalisme dari Masa Pencerahan. Dengan kebanyakan di antaranya adalah tulisan-tulisan kepastoran, Mariologi Santo Alfonsus dari Liguori menemukan kembali, mengintegrasi dan mempertahankan Mariologi Santo Agustinus dari Hippo, Santo Ambrosius dan Bapa-bapa Gereja lainnya, dan mewakili pembelaan intelektual Mariologi pada abad ke-18.[48] Santo Louis de Montfort adalah seorang pembela Mariologi melawan paham Jansenisme yang efektif, di mana tulisannya “Devosi Sejati kepada Maria” menyatukan banyak tulisan dan ajaran para orang suci mengenai Maria sebelumnya. Pendekatan Montfort “penyucian menyeluruh kepada Yesus Kristus melalui Maria” memiliki sebuah pengaruh yang kuat bagi devosi Maria baik di kegiatan-kegiatan masyarakat umum maupun di dalam spiritualitas para ordo/tarekat/organisasi rohani. Salah satu pengikutnya yang terkenal adalah Paus Yohanes Paulus II. Menurut surat apostolik-nya Rosarium Virginis Mariae, motto pribadi Sri Paus “Totus Tuus” terinspirasi oleh doktrin Santo Louis de Montfort mengenai keunggulan devosi kepada Maria dan penyucian menyeluruh, di mana ia mengutip: “Semenjak Maria adalah yang paling selaras dengan Yesus Kristus dibandingkan semua makhluk lainnya, maka di antara semua devosi yang ada yang paling menyucikan dan menyelaraskan sebuah jiwa dengan Tuhan adalah devosi kepada Maria, ibu-nya yang suci, dan bahwa semakin banyak sebuah jiwa disucikan kepada Maria, semakin banyak pula jiwa tersebut disucikan kepada Yesus Kristus.” Dalam sebuah amanat kepada para imam Montfortian, Sri Paus juga mengatakan bahwa membaca karya tulis “Devosi Sejati kepada Maria” adalah sebuah titik balik sangat penting dalam hidupnya. Mariologi sebagai Teologi RakyatTidak seperti kebanyakan teologi Katolik Roma yang berasal dari tingkatan atas Gereja, Mariologi sering kali berasal dari bawah oleh puluhan juta umat Katolik dengan sebuah devosi khusus kepada Sang Perawan Suci. Dalam beberapa kasus penting, devosi-devosi ini tidak dimulai dengan keputusan yang dikeluarkan di Roma, namun malah berasal dari pengalaman-pengalaman rohani (dan pengelihatan) individu-individu yang lugu dan sederhana (kebanyakan adalah anak-anak) yang terjadi di puncak gunung yang terpencil yang dalam beberapa waktu kemudian menciptakan emosi yang kuat di tengah-tengah umat Katolik yang sangat besar jumlahnya. Reaksi kuat di tengah-tengah umat Katolik ini kemudian memengaruhi tingkatan atas hierarki Gereja Katolik Roma. Sebuah contoh bagus dari hal ini adalah kasus Santo Juan Diego yang ketika sebagai anak muda pada tahun 1531 melaporkan sebuah penampakan Santa Perawan Maria pada suatu subuh di mana ia diperintahkan untuk membangun sebuah gereja di Bukit Tepeyac di Meksiko. Imam kepala lokal tidak percaya pada ceritanya dan, sebagai bukti, ia meminta sebuah peristiwa ajaib. Permintaanya ini kemudian dipenuhi dengan hadirnya gambaran Ratu Guadalupe Kami yang secara permanen tercetak di mantel Juan Diego yang dikenakannya saat mengumpulkan bunga mawar. Secara keseluruhan, Juan Diego tidak menerima banyak perhatian dari Roma selama era tahun 1530-an semenjak pihak gereja di Roma sedang sibuk menghadapi tantangan gerakan Reformasi Protestan antara tahun 1521 hingga tahun 1579. Walau demikian, pada saat banyak orang meninggalkan Gereja Katolik Roma di Eropa sebagai hasil dari gerakan Reformasi Protestan, berita penampakan Sang Perawan Maria dari Juan Diego merupakan unsur yang penting dalam menambah hampir delapan juta orang umat Katolik di Benua Amerika antara tahun 1532 hingga tahun 1538. Pada akhirnya dengan puluhan juta pengikut, Juan Diego memengaruhi Mariologi di benua Amerika dan di tempat lainnya, dan dinyatakan sebagai “Yang Patut Dimuliakan” oleh Gereja Katolik Roma pada tahun 1987. Kekuatan Mariologi lainnya pada tahun-tahun belakangan ini adalah penyebaran devosi-devosi kepada Maria seperti Rosario Suci melalui berbagai organisasi orang awam Katolik. Abad ke-20 nenyaksikan pertumbuhan yang pesat dalam jumlah organisasi sukarela yang melakukan devosi kepada Maria seperti kelompok-kelompok pembagi rosario gratis. Salah satu contohnya adalah organisasi Pembuat Rosario Ratu Kami yang dibentuk dari uang donasi sebesar 25 dolar untuk membeli sebuah mesin tik pada tahun 1949. Saat ini organisasi tersebut memiliki ribuan sukarelawan/ti yang telah membagikan jutaan rosario gratis kepada misi-misi Katolik di seluruh dunia. Perkembangan devosi-devosi kepada Maria ini kemudian membangun sensus fidelium yang nantinya memengaruhi arah perkembangan Mariologi secara keseluruhan. Pengaruh PenampakanSanto Juan Diego bukanlah satu-satunya anak muda yang melaporkan pengelihatan pada suatu subuh di sebuah puncak bukit di mana seorang wanita agung menampakkan diri dan meminta agar sebuah gereja dibangun di atas bukit tersebut. Pengelihatannya akan Ratu Guadalupe Kami di banyak aspek sama dengan kasus laporan pengelihatan Santa Bernadette Soubirous akan Ratu Lourdes Kami pada tahun 1858. Kedua orang suci ini melaporkan seorang wanita agung penuh keajaiban di sebuah bukit yang memerintahkan mereka untuk meminta para imam lokal untuk membangun sebuah kapel di tempat terjadinya pengelihatan. Kedua pengelihatanan ini sama-sama memiliki rujukan pada bunga mawar dan menyebabkan dibangunnya gereja-gereja agung di lokasi-lokasi tersebut. Seperti juga Ratu Guadalupe Kami di Meksiko, Ratu Lourdes Kami adalah sebuah simbol penting Katolik di Prancis. Sebagai seorang gadis petani sederhana berusia 14 tahun yang tidak memiliki pendidikan formal yang berarti, Santa Bernadette Soubirous melaporkan pengelihatannya akas seorang wanita berpakaian putih yang berkata "Que soy L’Immaculado concepciou" (Akulah Buah Tubuh Tanpa Noda) dan meminta agar sebuah gereja dibangun di sana. Diolok-olok, diinterogasi dan dianggap remeh oleh pejabat-pejabat gereja dan orang-orang pada zaman itu, ia tetap memegang teguh cerita pengelihatannya. Akhirnya Gereja pun percaya padanya dan ia dikanonisasi oleh Paus Pius XI pada tahun 1933.[49] Dalam beberapa waktu kemudian, banyak gereja dibangun di atas bukit tersebut (salah satunya adalah Basilika Santo Paus Pius X yang mampu menampung 25.000 orang di dalamnya). Lourdes saat ini adalah salah satu lokasi ziarah Maria yang penting. Di dalam wilayah Prancis, hanya Paris yang memiliki jumlah hotel lebih banyak daripada Lourdes. Tiga anak Portugal, Lucia dos Santos, Jacinta Marto dan Francisco Marto sama-sama muda dan tak memiliki latar belakang pendidikan yang banyak ketika mereka melaporkan penampakan Ratu Fatima Kami pada tahun 1917. Seorang pejabat lokal mulanya menjebloskan anak-anak tersebut ke penjara dan mengancam akan merebus satu per satu dari mereka ke dalam kuali minyak. Anak-anak tersebut dihibur oleh para narapidana lainnya di dalam penjara, dan kemudian belakangan anak-anak ini memimpin para narapidana untuk berdoa rosario.[50] Akhirnya, dengan jutaan pengikut dan umat Katolik yang mempercayainya, laporan penampakan di Fatima menuai rasa hormat banyak pihak, dan Paus Pius XII, Paus Yohanes XXIII, Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II menyuarakan penerimaan mereka akan asal usul peristiwa Fatima yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah. Bahkan Paus Yohanes Paulus II memberikan penghargaan pada Ratu Fatima Kami atas keselamatan hidupnya menyusul percobaan pembunuhan atas dirinya pada hari perayaan Ratu Fatima Kami pada tahun 1981. Ia menyumbangkan peluru yang melukai dirinya hari itu kepada tempat suci Katolik Roma di Fatima, Portugal. Setelah melalui sebuah penyelidikan gereja, peristiwa penampakan di Fatima dinyatakan sebagai suatu peristiwa yang “berharga untuk dipercaya” pada bulan Oktober 1930 oleh uskup dari Leiris-Fatima.[51] Kaum Mariologis merujuk pada Santa Marguerite Marie Alacoque sebagai “bukti hidup bagaimana devosi kepada Maria berkaitan dengan Kristologi” dan dengan adorasi pada Yesus Kristus.[52] Ia mengucapkan kaul pada usia 14 tahun untuk mengabdikan hidupnya bagi Sang Perawan Maria dan, sebagai seorang rohaniwati pengikut Maria, mengalami banyak cobaan-cobaan untuk membuktikan ketulusan pengabdiannya dan pengelihatannya akan Yesus dan Maria yang berhubungan dengan Hati Kudus. Pada mulanya ceritanya ditolak dengan keras oleh ibu kepala biaranya dan kemudian dirinya tidak mampu untuk meyakinkan para teolog atas kebenaran pengelihatannya. Salah satu pengecualian penting adalah Santo Claude de la Colombiere yang mendukungnya. Devosi kepada Hati Kudus secara resmi diterima 75 tahun setelah kematiannya.[53] Walaupun pengelihatannya akan Yesus dan Maria pada mulanya tidak dipercaya oleh Gereja, kemenangannya yang akhirnya berhasil diraih dikumandangkan ke seluruh dunia ketika dalam ensiklik-nya Miserentissimus Redemptor Paus Pius XI menyatakan bahwa Yesus Kristus telah “menyatakan diri-Nya” kepada Santa Margareta dan merujuk pada pembicaraan antara Yesus dan Santa Margareta beberapa kali.[54] Mariette Beco masih berusia dua belas tahun ketika ia melaporkan penampakan Maria pada tahun 1933 di Banneux, Belgia. Dalam kasus ini, Wanita berbaju Putih diceritakan menyatakan dirinya sebagai Sang Perawan dari Yang Papa dan berkata: “Percayalah padaku dan aku akan percaya padamu”. Pada tahun 1942 Tahta Suci mengizinkan uskup lokal untuk memperbolehkan pemberian penghormatan kepada Sang Perawan dari Yang Papa.[55] Pengaruh pada Gereja Katolik RomaWalaupun orang-orang di atas dan banyak orang lainnya menghadapi banyak permasalahan awalnya, pihak gereja, dengan penundaan beberapa waktu, memperhatikan iman Mariologi, seperti yang diakui di dalam situs resmi Vatikan pada tahun 2004. Oleh karenanya, “dogma mengenai Pembuahan Suci yang dipaparkan oleh Paus Pius IX sebagian besar tidak lahir dari bukti-bukti di dalam Kitab Suci atau tradisi kuno, tetapi lahir dari sebuah sensus fidelium yang mendalam, sebuah pendirian para umat yang telah bertahan lama dan Magisterium”.[56] Dalam hal ini, Vatikan mengutip Fulgens Corona di mana Paus Pius XII mendukung keyakinan ini: Apabila pujian-pujian terkenal bagi Sang Perawan Suci Maria diberikan pemikiran yang sepantasnya, siapa yang berani meragukan bahwa Ia, yang lebih suci dari para malaikat dan selalu suci di segala waktu, pernah, bahkan dalam waktu yang sesingkat apapun, tidak terbebaskan dari noda dosa?”[57] Dalam beberapa ajaran tentang Maria, “teologi rakyat” seperti Pembuahan Suci, pendirian para umat yang tegas dan bertahan lama mendahului teologi akademis.[58] Argumen yang sama juga dibuat bagi dogma Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga oleh Paus Pius XII.[59] Bagi orang-orang non-Katolik dan bahkan bagi beberapa orang Katolik yang berorientasi teologis, seperti Karl Rahner, sensus fidei ini bukanlah sesuatu yang tanpa masalah.[60] Walaupun demikian, Mariologi yang dikenal luas telah menjadi sebuah kekuatan pendorong dalam masa 150 tahun terakhir bagi lahirnya dua dogma infalibilitas ex cathedra: Pembuahan Suci pada tahun 1854 dan Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga pada tahun 1950. Memang, semenjak deklarasi resmi mengenai Infalibilitas kepausan oleh Konsili Vatikan I pada tahun 1870, deklarasi tahun 1950 oleh Paus Pius XII adalah yang pertama dan satu-satunya yang menggunakan Infalibilitas kepausan. Mariologi pada Abad ke-20Mariologi pada abad ke-20 didominasi oleh sebuah antusiasme akan Maria yang tulus yang berpuncak dalam lahirnya dogma Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga oleh Paus Pius XII dan Konsili Vatikan II menyatakan Maria sebagai Bunda Gereja. Seribu lima ratus tahun setelah Konsili Efesus, Paus Pius XI mengeluarkan ensiklik Lux Veritatis, mengingatkan umat Kristen Ortodoks tentang iman yang sama. Ia memimpin sebuah kongres Mariologi pada tahun 1931.[61] Paus Pius XIIPaus Pius XII mempersembahkan Rusia kepada Hati Kudus Maria. Ia menetapkan perayaan ini bagi seluruh gereja pada tahun 1944. Pada tahun 1950 Paus Pius XII menegaskan bahwa Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga sebagai sebuah bagian dari iman Katolik Roma. Ini adalah penggunaan kekuasaan ex cathedra dalam Infalibilitas kepausan semenjak Konsili Vatikan I. Pada tahun 1950 dan tahun 1958 ia memberikan kuasa kepada berbagai institusi untuk peningkatan penelitian akademis mengenai penghormatan kepada Sang Perawan Suci Maria. Pada tahun 1953, Paus Pius XII menetapkan tahun 1954 sebagai Tahun Maria, yang pertama di dalam sejarah gereja. Tahun itu dipenuhi dengan berbagai inisiatif kegiatan bagi Maria, di bidang-bidang Mariologi, acara-acara kebudayaan, amal dan pertemuan-pertemuan sosial.[61] Dalam ensiklik-nya Fulgens Corona dan Ad Caeli Reginam ia memaparkan sebuah sintesis Mariologi gereja dan memperingatkan akan iman Katolik yang berlebih-lebihan dan yang penuh keragu-raguan. Pada tahun 1953 Paus Pius XII memperkenalkan perayaan Keratuan Maria. Di beberapa ensiklik dan surat apostolik kepada masyarakat Polandia dan beberapa negara lainnya yang berada di balik tirai besi, ia mengungkapkan kepastian bahwa Sang Perawan Suci Maria akan menang atas musuh-musuhnya.[63] Paus Pius XII mengkanonisasi beberapa orang yang memiliki iman dan spiritualitas yang kuat kepada Maria (kadang-kadang juga mengalami penampakan), seperti Louis de Montfort, Peter Chanel, Jeanne de Lestonnac, Paus Pius X, Catherine Laboure, Anthony Mary Claret dan Gemma Galgani. Konsili Vatikan KeduaKonsili Vatikan Kedua (1962-1965) mengeluarkan ringkasan gereja mengenai doktrin Katolik tentang Maria di bab delapan Lumen Gentium. Ahli-ahli Mariologi sebelumnya berharap akan lahirnya sebuah dogma tentang Maria sebagai Mediatrix (perantara), di mana dasar-dasar untuk status ini telah diletakkan oleh beberapa paus terutama Paus Leo XIII, Paus Pius X, Paus Benediktus XV dan Paus Pius XII. Hal ini dianggap sebagai sebuah “hal yang jelas”. Berbagai persiapan bagi konsili ini meliputi sebuah skema bebas berjudul “Mengenai Sang Perawan Suci Maria, Bunda Allah dan Bunda Manusia”.[64] Beberapa pengamat menginterpretasikan penolakan terhadap dokumen Maria ini sebagai hal minimalisme; yang lain menginterpretasikannya penyertaan Maria sebagai sebuah bab di dalam dokumen gereja sebagai sesuatu yang menegaskan perannya bagi Gereja.[64] Bab tentang maria ini memiliki lima bagian yang menghubungkan Maria pada misteri-misteri penyelamatan yang berlangsung di dalam Gereja, yang didirikan oleh Kristus sebagai tubuh mistis-Nya. Peran Maria dalam hubungannya dengan putra-Nya diletakkan sebagai sesuatu yang bukan paling penting. Yang disoroti adalah kepribadian dan kepenuhan rahmatnya. Bagian kedua menggambarkan peranan Maria dalam sejarah penyelamatan. Perannya sebagai seorang mediator diperinci karena Maria dianggap memastikan keselamatan kita melalui banyak perantaraannya setelah pengangkatan dirinya ke surga. Konsili menolak untuk memakai gelar mediator bagi semua rahmat, dan hanya menetapkan Maria sebagai mediator tanpa penjelasan lebih lanjut.[65] Mediatrix dan Co-RedemptrixKonsep-konsep Mariologi mediatrix ("pengantara" atau "perantara") dan co-redemptrix ("pendamping penebus") sangatlah berbeda antara satu dengan yang lain. Keduanya belum ditegaskan sebagai dogma oleh Gereja, namun dukungan umum dan dukungan dari lingkungan gereja bagi keduanya terus tumbuh besar akhir-akhir ini. Konsep-konsep ini telah digunakan di dalam berbagai ensiklik kepausan dan didukung oleh banyak teolog, mulai dari buku “Penderitaan Maria” karya Romo Frederick William Faber pada abad ke-19, hingga tokoh Mariologi (dan penasihat Tahta Suci) abad ke-20 yang sangat dihormati, Romo Gabriel Roschini.[66] Definisi dogma bagi konsep-konsep ini diajukan pada Konsili Vatikan II oleh uskup-uskup Italia, Spanyol dan Polandia namun tidak dibahas, dan masih ada penentangan terhadap konsep-konsep ini di dalam lingkaran Vatikan. Pada awal tahun 1990-an lebih dari enam juta tanda tangan dikumpulkan dari 148 negara, termasuk juga tanda tangan dari Bunda Teresa dari Kalkuta, Kardinal John O’Connor dari New York, dan 41 kardinal serta 550 uskup lainnya, mendesak Paus Yohanes Paulus II untuk menggunakan Infalibilitas kepausan untuk menetapkan Maria sebagai Perantara dan Pendamping Penebus. Pada tanggal 8 Februari 2008, lima Kardinal Katolik Roma mengeluarkan sebuah petisi meminta Paus Benediktus XVI untuk secara dogmatis menetapkan Sang Perawan Suci Maria sebagai Sang Perantara dan Sang Pendamping Penebus.[67] Dan sebuah gerakan umat awam bernama Vox Populi Mariae Mediatrici menyediakan berbagai petisi yang bisa ditanda-tangani oleh umat Katolik Roma yang tersebar di mana-mana dan yang bisa dikirimkan ke Sri Paus sebagai dukungan atas sebuah ketetapan dogmatis akan kedua konsep tersebut.[68][69] MediatrixKonsep Mediatrix (Perantara) memiliki dua makna: Maria melahirkan sang penebus, yang adalah sumber dari semua rahmat. Oleh karena itu Maria berpartisipasi dalam memerantarai rahmat. Opini kedua menyatakan bahwa Maria, yang diangkat ke surga, ikut serta dalam memerantarai rahmat kudus putra-Nya. Para paus seperti Paus Leo XIII hingga Paus Pius XII mendukung kedua interpretasi tersebut.[70] Santo Thomas Aquinas menyatakan bahwa hanya Kristus yang dapat menjadi perantara sempurna antara Tuhan dan manusia. Namun hal ini tidak menghapuskan fakta bahwa ada pihak-pihak lain yang dipanggil sebagai perantara sebab mereka membantu dan menyiapkan persatuan dantara Tuhan dan manusia.[71] Tidak ada pertanyaan di antara para teolog Katolik bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya perantara antara Tuhan dan umat manusia (Tim 2:5). Namun hal ini tetap tidak meniadakan peran serta Maria dalam memerantarai misteri putra-Nya. Pada abad ke-19, mediatrix muncul di dalam bulla kepausan Ineffabilis Deus karya Paus Pius IX dan di dalam beberapa ensiklik mengenai rosario dari Paus Leo XIII.[72] Paus Pius X menggunakannya di dalam ensiklik Ad Diem Illum dan Paus Benediktus XV memperkenalkannya dalam hari perayaan Maria yang disebut Maria Sang Perantara Semua Rahmat (1921).[73] Para paus biasanya menggunakan ensiklik-ensiklik dan hari perayaan untuk mempromosikan ajaran Kristen. Hari perayaan Maria Sang Perantara Penuh Rahmat dianggap sebagai sebuah tanda yang jelas bahwa Paus Benediktus XV berniat untuk mempromosikan peran Maria sebagai perantara. Dalam ensikliknya Redemptoris Mater, Paus Yohanes Paulus II berkata:
Co-RedemptrixKonsep Co-Redemptrix (Pendamping Penebus Dosa) merujuk pada peran serta Maria yang tidak langsung atau tidak sejajar namun penting dalam proses penebusan dosa. Ia memperkenankan dirinya tanpa paksaan untuk melahirkan sang penebus dosa, untuk berbagi dalam hidup-Nya, untuk menderita bersama-Nya di kaki salib dan untuk mengurbankan putra-Nya demi penebusan dosa umat manusia. Konsep Pendamping Penebus Dosa bukanlah sesuatu yang baru. Irenaeus, Bapa Gereja (wafat tahun 200) telah merujuk Maria sebagai “causa salutis” (penyebab keselamatan kita) berdasarkan “fiat”-nya."[75] Hal ini adalah sebuah ajaran yang telah ditelaah semenjak abad ke-15[76] namun belum pernah dipertegas menjadi sebuah dogma. Pandangan Katolik Roma mengenai co-redemptrix tidak menunjukkan bahwa Maria ikut serta sebagai bagian yang sama tingginya dalam penebusan dosa umat manusia semenjak Kristus adalah satu-satunya penebus dosa.[77] Maria sendiri membutuhkan penebusan dosa dan ditebus dosanya oleh Yesus Kristus putra-Nya. Dengan ditebus dosanya oleh Kristus berati Maria tidak bisa menjadi bagian yang sama tingginya dengan Yesus Kristus dalam proses penebusan dosa manusia.[78] Ajaran kepausan mulai menyebutkan aspek ini di dalam dokumen-dokumen Gereja resmi selama masa kepausan Paus Pius X.[76] Santo Pius menyatakan dalam ensikliknya Ad Diem Illum: “Akan terlihat nanti bahwa kita masih jauh dari menggelari Bunda Allah sebagai kuasa rahmat yang produktif – kuasa yang menjadi milik Tuhan saja. Namun semenjak Maria membawa kuasa di dalam kesucian dan persatuan dengan Yesus Kristus, dan telah dihubungkan dengan Yesus Kristus dalam karya penebusan dosa, Maria berjasa bagi kita de congruo, dalam bahasa para teolog, sebagaimana Yesus berjasa bagi kita de condigno. Dan Maria adalah wakil tertinggi dalam penyebaran rahmat Tuhan”.[79] Para teolog memiliki perbedaan pendapat apakah yang dimaksud oleh Sri Paus di sini merujuk pada co-redemptrix atau pada mediatrix dari semua rahmat. Paus Benediktus XV pertama kali memaparkan istilah ini sesuai dengan kekuasaannya dalam surat apostolik-nya, Inter Soldalica, yang dikeluarkan pada tanggal 22 Maret 1918.[80] “Sebagaimana Sang Perawan Suci Maria tidak terlihat ikut serta dalam kehidupan publik Yesus Kristus, dan kemudian tiba-tiba muncul di kaki salib-Nya, ia tidak berada di sana tanpa kehendak Allah. Ia menderita bersama dukanya dan kematian putranya, hampir seakan-akan ia sendiri yang meninggal dunia. Demi keselamatan umat manusia, ia menyerahkan haknya sebagai ibu putranya dan mengurbankannya untuk rekonsiliasi dengan keadilan Allah sejauh yang ia diperbolehkan untuk melakukannya. Oleh karena itu, seseorang bisa mengatakan Maria menebus dosa bersama Kristus yang manusia.”[80] Paus Pius XII mengulangi penjelasan ini dengan sedikit nada yang berbeda di dalam ensikliknya Mystici Corporis (1943): “Adalah Maria, Hawa kedua, yang bersih dari segala dosa, baik dosa asal maupun dosa pribadi, dan yang selalu bersatu secara lebih mendalam dengan Putranya, yang mempersembahkan Yesus di Golgota kepada Allah Bapa bagi semua anak-anak Adam, yang ternoda dosa akibat jatuhnya Adam ke dalam dosa, termasuk mempersembahkan haknya sebagai ibu dan cintanya sebagai ibu sebagai kurban persembahan.”[81] Dalam bulla kepausan Munificentissimus Deus mengenai dogma tentang Pengangkatan Tubuh Maria ke Surga, Paus Pius XII menyatakan bahwa “Bunda Allah yang terhormat, dari semua keabadian bergabung di dalam sebuah jalan tersembunyi bersama Yesus Kristus dalam sebuah takdir yang sama, tanpa noda dalam penciptaannya, seorang perawan yang paling sempurna dalam keibuannya yang kudus sebagai rekan yang mulia dari Sang Penebus Dosa yang ilahi.”[82] Implikasi EkumeneBeberapa ahli Mariologi terkemuka menyatakan secara terbuka sebuah opini bahwa di dalam usaha persatuan di antara umat Kristen yang benar, kepercayaan-keperacayaan dan devosi-devosi mengenai Maria mungkin diperkecil skalanya oleh wakil-wakil Gereja Katolik Roma, mulai dengan dokumen Konsili Vatikan II Lumen Gentium: Kardinal Leo Scheffczyk mengeluarakn pernyataan mengenai bab tentang Maria: “dingin dan terselubungnya dokumen ini bisa dijelaskan, sebagaimana hal ini telah diakui secara terbuka, untuk menunjukkan pertimbangan bagi dialog-dialog ekumene terutama dengan umat Protestan. Kesuksesan metode yang bisa diterima ini harusnya tidak dibesar-besarkan. Dan hal ini tidak menghentikan teologi itu sendiri”."[83] Ia tidak setuju dengan mereka yang menganggap dokumen tersebut sebagai sesuatu yang tidak memuaskan kaum konservatif, liberal, Ortodoks dan Protestan, sembari menyatakan bahwa dokumen tersebut memiliki elemen-elemen yang bisa dilihat dengan mudah demi menjembatani berbagai posisi mengenai Mariologi --- sebuah jembatan yang ia simpulkan belum sukses sejauh ini.[83] Menurut sang kardinal, “Pernyataan-pernyataan dasar yang penting (mengenai Maria) adalah kompromi-kompromi yang mengurangi kekayaan iman yang ada dan mengundang interpretasi-interpretasi yang justru memecah, seperti tuduhan bahwa Konsili menghapuskan ajaran-ajaran mediatrix”.[84] Bunda GerejaPada awal Konsili Vatikan II, Paus Yohanes XXIII mengubah judul asli usulan skema konsili dari “Mengenai Perawan Suci Maria, Bunda Tuhan dan Bunda Manusia” menjadi “Mengenai Perawan Suci Maria, Bunda Gereja”.[85] Akan tetapi gelar baru ini ditentang oleh para imam yang ikut Konsili karena banyak di antara mereka menganggap gelar ini terlalu inovatif. Semenjak Konsili menolak untuk membahas dokumen dan gelar Maria, Paus Paulus VI mengumumkan gelar tersebut pada penutupan tahap ketiga Konsili benar-benar sendirian.[85] Sebagai mantan Uskup Agung Milan, ia tahu bahwa pendahulunya yang terkenal, Santo Ambrosius dari Milan (338-397) pernah menggunakan bahasa yang sama, menjuluki Maria sebagai “Teladan Gereja” berdasarkan iman, cinta dan persatuannya yang penuh dengan Kristus, dan sebagai “Bunda Gereja” karena ia yang melahirkan Kristus.[86] Paus Yohanes Paulus IIGelar tua ini diumumkan kembali oleh Paus Paulus VI di Konsili Vatikan II. Pada tahun 1987 Paus Yohanes Paulus II mengulangi penggunaan gelar ini, “Bunda Gereja”, dalam ensikliknya Redemptoris Mater dan di depan masyarakat umum pada tanggal 17 September 1997.[87] Ensikliknya adalah sebuah rangkuman yang panjang lebar dan jelas mengenai Mariologi modern yang melahirkan beberapa hal baru: Menurut Paus Yohanes Paulus II, Sang Bunda Penebus memiliki sebuah tempat yang jelas dalam rencana penyelamatan manusia,
Paus Benediktus XVIPaus Benediktus XVI menjelaskan topik ini, mengapa Mariologi memiliki hubungan dengan eklesiologi atau ilmu gerejawi. Sekilas, ia mengatakan, bahwa hubungan ini terlihat terjadi secara kebetulan: bahwa Konsili memasukkan Mariologi ke dalam eklesiologi. Hubungan ini membantu pengertian apa sesungguhnya “Gereja” itu.[91] Teolog Hugo Rahner menunjukkan bahwa Mariologi aslinya adalah eklesiologi. Gereja itu seperti Maria. Gereja itu seorang perawan dan seorang ibu. Ia bersih tanpa noda dan memikul beban sejarah. Ia menderita dan ia diangkat ke surga. Secara perlahan ia belajar bahwa Maria adalah cerminannya; bahwa Gereja menjadi manusia dalam diri Maria. Maria di lain pihak bukanlah seseorang yang terkucilkan, yang hanya bersandar pada dirinya sendiri. Maria mengandung misteri Gereja.[91] Paus Benediktus XVI menyesali kenyataan bahwa persatuan Gereja dan Maria ditutup-tutupi pada abad-abad belakangan, yang sangat membebani Maria dengan berbagai keistimewaan dan memindahkan Maria ke tempat yang jauh. Baik Mariologi maupun eklesiologi menderita akibat situasi ini. Pandangan Mariologi atas Gereja dan pandangan eklesiologi atas Maria di dalam sejarah penyelamatan manusia langsung tertuju pada Kristus. Kesatuan Gereja dan Maria menjelaskan apa arti dari kesucian dan arti dari “Tuhan menjadi manusia”.[91] Pusat Penelitian MariologiPenelitian resmi tentang Mariologi di dalam lingkungan yang berhubungan dengan Tahta Suci mengalami suatu kemajuan besar dalam Tahun Suci tahun 1950 dan dalam tahun 1958 akibat keputusan-keputusan Paus Pius XII yang mengizinkan berbagai institusi untuk meningkatkan penelitian akademis tentang penghormatan terhadap Perawan Suci Maria.
Dari semua organisasi ini, Marianum adalah pusat Mariologi yang paling aktif di Roma.[94] Institusi Katolik kepausan ini didirikan oleh Romo Gabriel Roschini (yang kemudian mengepalainya selama beberapa tahun) di bawah arahan dari Paus Pius XII pada tahun 1950. Di Marianum, seseorang bisa memperoleh gelar strata dua di bidang Mariologi (program akademis dua tahun) dan seseorang juga bisa memperoleh gelar doktor di bidang Mariologi. Fasilitas Mariologi ini memiliki sebuah perpustakaan berisi 85.000 jilid mengenai Mariologi, serta sejumlah majalah dan jurnal teologi dan yang berhubungan dengan Mariologi. Marianum juga merupakan nama dari jurnal teologi Mariologi yang bergengsi, yang sebelumnya diterbitkan oleh Romo Roschini pada tahun 1939.[93] Pada tahun 1975, Universitas Dayton di Ohio, Amerika Serikat, mendirikan International Marian Research Institute (Institut Internasional untuk Penelitian Maria) yang berafiliasi dengan Marianum untuk menawarkan gelar doctorate in sacred theology (S.T.D.: Doktor Teologi Suci) dan diploma di bidang teologi suci (S.T.L.: Sacred Theology Licentiate).[95] Referensi
Pranala luar
|