Teologi Kristen

Teologi Kristen utamanya berkaitan dengan pemikiran mengenai ketuhanan Yesus. Perdebatan mengenai teologi Kristen telah berlangsung sepanjang sejarah kemunculannya. Sejarah pemikirannya tidak bermula dari masa kehidupan Yesus, melainkan pada awal abad ke-4 Masehi. Doktrin terawalnya ditetapkan dalam Konsili Nikea I yang diprakarsai oleh Konstantinus Agung. Pada masa ini, kelompok-kelompok yang tidak mengikuti doktrin resmi dari gereja dianggap sebagai pengikut ajaran sesat. Mereka diburu dan dibasmi oleh gereja. Teologi Kristen sendiri memperoleh pengaruh tradisi paganisme.

Pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi, ilmu pengetahuan mulai berkembang pesat dan menimbulkan pertentangan dengan teologi Kristen. Beberapa ilmuwan kemudian menolak ajaran Kristen yang disampaikan oleh gereja, antara lain Nicolaus Copernicus (1473–1543), Galileo Galilei (1546–1642), dan Giordano Bruno (1548–1600).

Sejarah

Doktrin dalam teologi Kristen pertama kali ditetapkan dalam Konsili Nikea I yang berlangsung pada tahun 325 Masehi. Konsili ini diprakarsai oleh kaisar dari Kekaisaran Romawi saat itu, yaitu Konstantinus Agung. Tujuannya untuk menyatukan dan memiliih teologi resmi yang harus dianut oleh gereja. Aspek ketuhanan Yesus diputuskan melalui pemungutan suara. Hasil konsili ini membuat kota Roma menjadi pusat resmi dari ortodoksi Kristen. Semua ajaran yang tidak mengikuti hasil konsili ini dianggap sebagai ajaran sesat.[1]

Konstantinus Agung tidak bertujuan untuk menjadi seorang penganut Kristen maupun melakukan kristenisasi bagi Kerajaan Romawi. Meskipun Konstantinus Agung berperan dalam mengawali penetapan teologi Kristen, ia sendiri masih menganut paganisme. Ini karena statusnya berkaitan dengan perpindahan ke agama Kristen masih menjadi suatu perdebatan. Konstantinus Agung masih menyembah dewa matahari yaitu Sol Invictus dan menetapkan paganisme sebagai agama resmi di kerajaannya.[1]

Paganisme juga memberikan pengaruhnya terhadap teologi Kristen pada masa itu. Pada tahun 321 Masehi, Konstantinus Agung menetapkan maklumat untuk menjadikan hari Minggu sebagai hari untuk beristirahat. Sebelum maklumat ditetapkan, penganut Kristen masih menghormati hari Sabtu sebagai hari istirahat. Pengaruh lainnya terlihat pada penetapan hari kelahiran Yesus yang awalnya pada 6 Januari menjadi 25 Desember. Ini dipengaruhi oleh tradisi persembahan Sol Invictus pada tanggal tersebut.[1]

Perdebatan

Katarisme oleh kaum Katari pada Abad Pertengahan

Kaum Katari berkembang pada Abad Pertengahan di bagian selatan wilayah Prancis dengan menganut kepercayaan katarisme. Mereka meyakini bahwa daging adalah jahat, sehingga mustahil Kristus menjelma sebagai manusia. Keyakinan ini menyimpulkan bahwa Kristus mustahil mengalami penyaliban dan kebangkitan. Dalam Katarisme, Yesus hanya dianggap sebagai malaikat dan bukan Tuhan. Kaum Katari juga meyakini bahwa gereja merupakan sebuah sihir yang diciptakan oleh Tuhan yang hanya bertujuan untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan. Kaum Katari tidak dapat diyakinkan secara persuasif, sehingga Paus Inosentius III memerintahkan pemusnahan pengikut Katarisme melalui pasukan bersenjata yang dipimpin oleh para raja dalam otoritas gereja.[2]

Ilmuwan abad ke-15 dan ke-16 Masehi

Beberapa ilmuwan yang hidup pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi menyampaikan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan teologi Kristen di dalam Alkitab. Mereka meragukan otentisitas Alkitab sekaligus memperlihatkan adanya pertentangan Alkitab dengan akal dan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan ini antara lain Nicolaus Copernicus (1473–1543), Galileo Galilei (1546–1642), dan Giordano Bruno (1548–1600). Giordano Bruno menerima hukuman dibakar hidup-hidup atas perintah gereja karena mendukung pemikiran dari Copernicus.[2]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b c Husaini 2005, hlm. 49.
  2. ^ a b Husaini 2005, hlm. 48.

Daftar pustaka

  • Husaini, Adian (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal. Jakarta: Gema Insani. ISBN 978-602-250-517-4. 
Kembali kehalaman sebelumnya