Tindakan karantina

Ilustrasi tindakan karantina di atas kapal laut untuk memeriksa kesehatan penumpang saat terjadi epidemi kolera pada 1883.

Tindakan karantina (bahasa Inggris: quarantine measures) adalah istilah perkarantinaan yang merujuk pada rangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah masuk dan keluarnya penyakit tertentu, baik lintas negara maupun lintas wilayah dalam suatu negara. Penyakit yang dicegah adalah penyakit yang bersifat menular, baik pada manusia, hewan, ataupun tumbuhan. Tindakan karantina dilakukan oleh pemerintah suatu negara atau pihak lain yang diberi wewenang oleh negara.

Pada prinsipnya, tindakan karantina bertujuan untuk memastikan orang dan barang yang dilalulintaskan berada dalam kondisi sehat dan tidak membawa agen infeksius, parasit, atau hama tertentu. Tindakan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan dokumen, pemeriksaan kesehatan, serta perlakuan seperti vaksinasi dan fumigasi.

Sejarah

Karantina mulai diterapkan pada abad ke-14 untuk mencegah tersebarnya penyakit maut hitam yang sedang mewabah. Adanya perbedaan status penyakit antara satu negara dengan negara lainnya mendorong suatu negara untuk membuat peraturan yang melindungi penduduknya dari penyakit asing. Britania Raya menerbitkan Undang-Undang Karantina pada tahun 1710,[1] Australia pada tahun 1908,[2] dan Amerika Serikat pada tahun 1878 sebagai respon atas wabah penyakit demam kuning dan kolera.[3]

Tindakan karantina juga dilakukan untuk mencegah masuknya penyakit hewan dan tumbuhan. Sebuah studi pada tahun 1929 memaparkan peran tindakan karantina sebagai hambatan perdagangan.[4] Beberapa perjanjian multilateral di bawah kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), seperti perjanjian tentang hambatan teknis perdagangan (TBT agreement) serta penerapan tindakan sanitari dan fitosanitari (SPS agreement) memungkinkan suatu negara menerapkan tindakan karantina untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan dari risiko tertentu.[5]

Penerapan di Indonesia

Landasan hukum pelaksanaan tindakan karantina di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (UU 21/2019). Masing-masing mengatur pelaksanaan tindakan karantina dalam bidang yang berbeda.

Tindakan kekarantinaan kesehatan

Kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat,[6] yaitu kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.[7]

Tindakan kekarantinaan kesehatan berupa karantina, isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi; pembatasan sosial berskala besar; disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap alat angkut dan barang; dan/atau penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan.[8] Di samping itu, tindakan kekarantinaan kesehatan tertentu, antara lain fumigasi kapal atau pesawat udara, hapus serangga kapal atau pesawat udara di luar situasi kedaruratan kesehatan masyarakat, dapat dilakukan oleh badan usaha atau instansi yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia.[9]

Tindakan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan

Tindakan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan meliputi pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan pembebasan.[10] Rangkaian kegiatan ini dikenal dengan istilah 8 (delapan) P. Tindakan-tindakan ini dilakukan terhadap media pembawa (hewan, tumbuhan, produk turunannya, dan beberapa jenis media pembawa penyakit lain) yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, dikeluarkan dari wilayah Indonesia, dimasukkan atau dikeluarkan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Indonesia, atau ditransitkan di dalam atau di luar wilayah Indonesia.[11]

Tindakan karantina dilakukan sebelum pemberitahuan pabean impor atau ekspor diajukan, yang pelaksanaannya berdasarkan kategori risiko.[12] Tindakan karantina dilakukan di tempat pemasukan dan tempat pengeluaran, yaitu pelabuhan, bandar udara, kantor pos, pos lintas batas negara, dan tempat-tempat lain yang ditetapkan pemerintah pusat,[13] baik di dalam maupun di luar instalasi karantina.[14] Dalam hal tertentu, tindakan karantina dapat dilakukan di luar tempat-tempat tersebut, misalnya di negara asal dan negara transit.[15]

Pelaksana

Tindakan karantina merupakan kegiatan yang diatur oleh hukum sehingga hanya orang tertentu yang diberi kewenangan yang dapat melaksanakan tindakan karantina. Pejabat karantina merupakan orang yang diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan tindakan karantina. Di Indonesia, pejabat karantina merupakan pegawai negeri sipil (PNS) yang menduduki jabatan fungsional tertentu yang lingkup pekerjaannya diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Catatan kaki

  1. ^ Tognotti, Eugenia (2013). "Lessons from the History of Quarantine, from Plague to Influenza A". Emerging Infectious Diseases. 19 (2): 254–259. doi:10.3201/eid1902.120312. ISSN 1080-6040. PMID 23343512. 
  2. ^ Health, Agriculture;. "Quarantine Act 1908". www.legislation.gov.au (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-12-03. 
  3. ^ "History of Quarantine". www.cdc.gov (dalam bahasa Inggris). 2019-04-23. Diakses tanggal 2019-12-03. 
  4. ^ Campbell, W.G. (1929-01). "Quarantine Measures as Trade Barriers". The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science (dalam bahasa Inggris). 141 (1): 30–35. doi:10.1177/000271622914100104. ISSN 0002-7162. 
  5. ^ "WTO | Sanitary and Phytosanitary Measures - text of the agreement". www.wto.org. Diakses tanggal 2019-12-03. 
  6. ^ UU 6/2018, Pasal 1 angka 1.
  7. ^ UU 6/2018, Pasal 1 angka 2.
  8. ^ UU 6/2018, Pasal 15 ayat (2).
  9. ^ UU 6/2018, Pasal 16 ayat (3).
  10. ^ UU 21/2019, Pasal 16 ayat (1).
  11. ^ UU 21/2019, Pasal 9 ayat (2).
  12. ^ UU 21/2019, Pasal 28.
  13. ^ UU 21/2019, Pasal 1 angka 26.
  14. ^ UU 21/2019, Pasal 36 ayat (2).
  15. ^ UU 21/2019, Pasal 56.

Daftar pustaka


Kembali kehalaman sebelumnya