Pebrin
Pebrin (bahasa Prancis: Pébrine) adalah penyakit pada ngengat sutra yang disebabkan oleh Nosema bombycis, salah satu spesies Microsporidia yang bersifat parasitik. Penyakit ini pertama kali diketahui oleh Louis Pasteur pada abad ke-19 saat industri sutra di Eropa mengalami kerugian besar.[1][2] N. bombycis dapat menyerang semua fase kehidupan ngengat sutra, mulai dari telur hingga bentuk dewasa. Telur yang terinfeksi bentuknya tak beraturan dan dapat mengalami kematian. Larva yang terinfeksi bisa saja tak menunjukkan tanda klinis. Namun, setelah infeksi berlangsung cukup lama, larva akan mengalami hambatan pertumbuhan dan pergantian kulit yang tak lengkap, tubuhnya terlihat pucat, lunak, dan ditutupi bintik-bintik cokelat tua, serta tak mampu memintal sutra. Fase kepompong terlihat membengkak dengan perut tidak berkilau dan melunak. Kepompong bisa saja gagal bermetamorfosis menjadi ngengat dewasa. Sementara itu, infeksi pada ngengat dewasa mengakibatkan sayap dan antena yang cacat, serta kemampuan reproduksi dan produksi telur yang buruk.[3][4] Pebrin didiagnosis dengan mendeteksi spora N. bombycis melalui pemeriksaan mikroskopis. Pengujian berbasis imunologi seperti ELISA dan berbasis asam nukleat seperti reaksi berantai polimerase juga dilakukan untuk meningkatkan akurasi dan memudahkan diagnosis.[5] Karena sifatnya yang sangat merugikan, pebrin merupakan satu-satunya penyakit ngengat sutra yang memerlukan karantina.[5] Di Indonesia, penyakit ini digolongkan sebagai hama dan penyakit hewan karantina yang dicegah penyebarannya.[6] Pengendalian penyakit dilakukan dengan pengawasan dan pemeriksaan rutin, baik pada induk maupun telur ngengat karena pebrin dapat ditularkan secara vertikal dari induk ke telurnya. Telur yang didatangkan sebagai bibit perlu diuji dan disertifikasi sebagai tindakan preventif.[7] Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemanasan dapat menurunkan tingkat infeksi N. bombycis.[4] Referensi
Bacaan lanjutan
|