Leptospirosis

Leptospirosis
Leptospira perbesaran 200 kali lipat dengan mikroskop bidang gelap.
Informasi umum
Nama lainDemam tikus,[1] field fever,[2] rat catcher's yellows,[3] pretibial fever[4]
SpesialisasiPenyakit infeksi
PenyebabBakteri Leptospira yang umumnya disebarkan oleh rodensia[5]
Faktor risikoTerpapar hewan terinfeksi atau air terkontaminasi[5]
Aspek klinis
Gejala dan tandaTidak ada, sakit kepala, nyeri otot, demam[6]
KomplikasiPerdarahan paru, meningitis, gagal ginjal[6][7]
Awal munculSatu hingga dua pekan[8]
DiagnosisPemeriksaan antibodi terhadap bakteri dan deteksi DNA bakteri[6]
Kondisi serupaMalaria, demam tifoid, rickettsiosis, demam berdarah dengue[9]
Tata laksana
PencegahanAlat pelindung diri, menjaga higiene, doksisiklin[8]
PerawatanDoksisiklin, penisilin, ceftriaxone[5]
PrognosisRisiko kematian ~7.5%[10]
Distribusi dan frekuensi
PrevalensiSatu juta orang per tahun[8][11]
Kematian58,900 per tahun[11]

Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis).[12] Leptospirosis dikenal juga dengan nama penyakit Weil, demam ikterohemoragi, penyakit Swineherd, demam pesawah (ricefield fever), demam pemotong tebu (cane-cutter fever), demam lumpur, jaundis berdarah, penyakit Stuttgart, demam kanikola,[13] penyakit kuning nonvirus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifus anjing[12]

Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis, sedangkan pada infeksi akut ditandai dengan gejala sepsis, radang ginjal interstisial, anemia hemolitik, radang hati dan keguguran.[14] Leptospirosis pada hewan biasanya subklinis.[15] Dalam keadaan ini, penderita tidak menunjukkan gejala klinis penyakit.[15] Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga bakteri akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya.[15] Leptospirosis pada hewan dapat terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusia hanya bertahan selama 60 hari.[15] Manusia merupakan induk semang terakhir sehingga penularan antarmanusia jarang terjadi.[15]

Gejala dan tanda klinis

Pada manusia

Jaundis: kulit dan mukosa menjadi kuning

Masa inkubasi penyakit ini pada manusia yaitu 2–26 hari.[16] Infeksi Leptospira mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis.[16] Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan pilek ringan sampai berat,[17] Hampir 15–40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif.[16] Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5–10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil.[16] Perjalanan leptospirosis terdiri atas dua fase, yaitu fase septisemik dan fase imun.[15][16] Pada periode peralihan fase selama 1–3 hari kondisi penderita membaik.[16] Selain itu, ada sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi leptospirosis yang berat.[16]

Fase septisemik

Fase septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal, dan sebagian besar jaringan tubuh.[16] Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4–7 hari, yang ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot.[15] Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak, serta pembesaran limpa dan hati.[16]

Fase imun

Fase imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urine, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis.[16] Fase ini terjadi pada 0–30 hari akibat respons pertahanan tubuh terhadap infeksi.[16] Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.[16]

Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala.[15] Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati.[16] Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas.[15] Abnormalitas hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis.[16] Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun.[16]

Leptospira dapat diisolasi dari darah selama 24–48 jam setelah timbul jaundis.[15] Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan.[15] Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien.[15]

Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi.[16] Sebanyak 83 persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami jaundis, dan 30 persen pada L. pomona.[16] Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis).[16]

Sindrom Weil

Sindrom Weil adalah bentuk leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan.[15] Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu.[16] Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas.[15] Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4–9 hari setelah gejala awal.[16] Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20–40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia.[16]

Jaundis pada kucing: telinga dan mukosa mata menjadi kuning

Pada hewan

Pada hewan, leptospirosis kadang kala tidak menunjukkan tanda klinis (bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah terserang leptospirosis.[15] Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti.[14]

Tanda klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin.[12] Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika penyababnya L. pomona.[12] Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh,[12] gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian.[15] Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu konjungtivitis, rhinitis, tonsillitis, batuk, dan sesak napas.[14]

Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-putar.[12] Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadang kala tetap mengalami radang ginjal interstitial kronis atau hepatitis kronis.[14] Dalam keadaan demikian, tanda yang muncul yaitu asites, banyak minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gangguan saraf.[14] Pada sapi, infeksi leptospirosis lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet (anak sapi) dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam, jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian.[18]. Angka kematian (mortalitas) akibat leptospirosis pada hewan mencapai 5–15 persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen.[12]

Pada hewan peliharaan, leptospirosis sering menyerang pada anjing dari pada kucing. Oleh karena itu, vaksinasi leptospirosis dilakukan kepada hewan anjing. Leptospira pada anjing diakibatkan oleh:[19]

  • Leptospira canicola
  • Leptospira icterohaemorrhagiae
  • Leptospira pomona
  • Leptospira grippotyphosa
  • Leptospira copenhagenii
  • Leptospira australis
  • Leptospira autumnalis
  • Leptospira ballum
  • Leptospira bataviae.

Penyebab

Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp.[12][15][20] Bakteri Leptospira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), Gram-negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat.[20] Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6–20 µm dan diameter 0,1–0,2 µm.[12] Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 µm.[20] Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras.[20] Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur.[12]

Leptospira mempunyai ±175 serovar,[14] bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar.[20] Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus.[14] Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi.[12] Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans.[14] Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L. pomona, dan L. tarassovi.[14][15] Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica yang telah dimatikan.[14] Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa.[15] Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L. gryppothyphosa, dan L. pomona.[14] Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans, sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L. ichterohaemorhagicae.[15]

Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis.[20] Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktivitas patogenik.[20] Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembap, tanaman dan lumpur.[21]

Epidemiologi

Leptospirosis terjadi di seluruh dunia,[21][22] baik di daerah perdesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis.[22] Penyakit ini terutama berisiko terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer.[22] Selain itu, Leptospirosis juga berisiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi.[23][22] Di daerah endemis, puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir.[22]

Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis.[23] Oleh sebab itu, kasus leptospirosis 1.000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat.[24] Angka kejadian leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun.[25] Organisasi Kesehatan Dunia mencatat, kasus leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun.[22] Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi.[22]

Di Indonesia, leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.[26] Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5 hingga 16,45 persen.[26] Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen.[26] Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3–54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi.[27]

Penularan

Urin tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air.[12][22] Urine dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan.[15] Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang yang baru.[20] Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir.[21] Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang.[20]

Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.[16][28] Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak.[28] Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung.[16] Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama leptospirosis[16] karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi.[29] Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.[16]

Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media.[12][15] Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan konjungtiva,[15] kontak luka di kulit, mulut, cairan urine,[22] kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan).[12] Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi.[22]

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh.[15] Kejadian leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira.[15] Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam.[15]

Patogenesis

Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan.[16] Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati.[15]

Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal).[15] Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.[16] Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer.[16] Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati.[15] Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal.[16] Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi.[16]

Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah.[15] Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang.[16] Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun.[15]

Diagnosis

Bakteri Leptospira secara mikroskopis pada jaringan ginjal menggunakan metode pewarnaan perak

Untuk mendiagnosis leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang.[15][16][30] Sebagai diagnosa penunjang, antara lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah.[30] Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosis leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga.[30] Cairan tubuh lainnya yang mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal [30] tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek.[16] Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun, isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan.[16]

Untuk mengukuhkan diagnosis leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis.[30] Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis.[30] Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap umumnya tidak sensitif.[30] Tes serologis untuk mengonfirmasi infeksi Leptospira yaitu microscopic agglutination test (MAT).[15] Tes ini mengukur kemampuan serum darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup.[17] Namun, MAT tidak dapat digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan gejala klinis yang parah.[30] Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen.[30]

Pengobatan dan pengendalian

Pada manusia

Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisilin, atau amoksisilin. Sedangkan leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.[15]

Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan.[15] Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi leptospirosis tanpa biaya.[12] Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.[15]

Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini.[23] Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan leptospirosis.[28] Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air.[12] Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.[12]

Pada hewan

Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan perawatan.[31] Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, siprofloksasin, atau kombinasi penisilin–streptomisin.[31] Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus.[31]

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira.[12][31] Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis.[12] Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae.[12] Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14–16 minggu.[31] Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan.[31]

Sejarah

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa.[23] Penyakit dengan gejala tersebut oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease.[butuh rujukan] Pada tahun 1915, Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.[23]

Referensi

  1. ^ Berger, Stephen (2018). Leptospirosis: Global Status (dalam bahasa Inggris). GIDEON Informatics Inc. hlm. 7. ISBN 9781498820318. 
  2. ^ Mosby's Medical Dictionary (edisi ke-9). Elsevier Health Sciences. 2013. hlm. 697. ISBN 9780323112581. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 September 2017. Diakses tanggal 21 February 2016. 
  3. ^ McKay, James E. (2001). Comprehensive Health Care for Dogs. Minnetonka, MN.: Creative Pub. International. hlm. 97. ISBN 9781559717830. 
  4. ^ James, William D; Elston, Dirk M; Berger, Timothy G; Andrews, George Clinton (2006). Andrews' Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. Saunders Elsevier. ISBN 978-0-7216-2921-6.  :290
  5. ^ a b c Lane, Alison B; Dore, Michael M (2016). "Leptospirosis: A clinical review of evidence based diagnosis, treatment and prevention". World Journal of Clinical Infectious Diseases. 6 (4): 61. doi:10.5495/wjcid.v6.i4.61alt=Dapat diakses gratis. ISSN 2220-3176. 
  6. ^ a b c Soo ZM, Khan NA, Siddiqui R (January 2020). "Leptospirosis: Increasing importance in developing countries". Acta Tropica. 201: 105183. doi:10.1016/j.actatropica.2019.105183alt=Dapat diakses gratis. PMID 31542372. 
  7. ^ McBride AJ, Athanazio DA, Reis MG, Ko AI (October 2005). "Leptospirosis". Current Opinion in Infectious Diseases. 18 (5): 376–86. doi:10.1097/01.qco.0000178824.05715.2c. PMID 16148523. 
  8. ^ a b c Karpagam KB, Ganesh B (January 2020). "Leptospirosis: a neglected tropical zoonotic infection of public health importance-an updated review". European Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases. 39 (5): 835–846. doi:10.1007/s10096-019-03797-4. PMID 31898795. 
  9. ^ Farrar, Jeremy; Hotez, Peter; Junghanss, Thomas; Kang, Gagandeep; Lalloo, David; White, Nicholas J. (2013). Manson's Tropical Diseases E-Book (dalam bahasa Inggris). Elsevier Health Sciences. hlm. 438. ISBN 9780702053061. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 September 2017. Diakses tanggal 2 September 2017. 
  10. ^ Evangelista KV, Coburn J (September 2010). "Leptospira as an emerging pathogen: a review of its biology, pathogenesis and host immune responses". Future Microbiology. 5 (9): 1413–25. doi:10.2217/fmb.10.102. PMC 3037011alt=Dapat diakses gratis. PMID 20860485. 
  11. ^ a b Costa F, Hagan JE, Calcagno J, Kane M, Torgerson P, Martinez-Silveira MS, et al. (2015). "Global Morbidity and Mortality of Leptospirosis: A Systematic Review". PLOS Neglected Tropical Diseases. 9 (9): e0003898. doi:10.1371/journal.pntd.0003898. PMC 4574773alt=Dapat diakses gratis. PMID 26379143. 
  12. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Dharmojono. "1". Leptospirosis-Antthrax-Mulut dan Kuku-Sapi Gila, Waspadailah Akibatnya! (dalam bahasa Indonesia) (edisi ke-1). Jakarta: Pustaka Populer Obor. hlm. 1–10. ISBN 979-461-397-5. 
  13. ^ "Penyakit Dewasa Leptospirosis" (PDF). Bahagian Pendidikan Kesihatan Kemintrian Kesihatan Malaysia. 2008. Diarsipkan dari versi asli (Pdf) tanggal 2010-08-21. Diakses tanggal 15 April 2010. 
  14. ^ a b c d e f g h i j k Subronto. "1". Dalam Nunung Prajanto. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikrob pada Anjing dan Kucing (dalam bahasa Indonesia) (edisi ke-1). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hlm. 188–192. ISBN 979-420-611-3. 
  15. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj Yuliarti, Nurheti. "1". Dalam Agnes Heni Triyuliana. Hidup Sehat Bersama Hewan Kesayangan (dalam bahasa Indonesia) (edisi ke-1). Yogyakarta: Andi Offset. hlm. 243–250. ISBN 979-763-842-1. 
  16. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah Widodo Judarwanto (2009). "Leptospirosis pada Manusia" (PDF) (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Allergy Behaviour Clinic, Picky Eaters Clinic (Klinik Kesulitan Makan) Rumah Sakit Bunda. Diakses tanggal 2010-04-18.  [pranala nonaktif permanen]
  17. ^ a b A. Ebrahimi, L. Alijani, G R Abdollahpour (2003). "Serological Survey of Human Leptospirosis in tribal Areas of West Central Iran" (PDF). IJMS. 2 (dalam bahasa English). 28. Diakses tanggal 2010-04-17.  [pranala nonaktif permanen]
  18. ^ "Bovine Leptospirosis" (PDF). Texas Agriculture Extension Service. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-06-10. Diakses tanggal 2010-04-20. 
  19. ^ https://www.pethealthspecialist.com/2023/02/leptospirosis-pada-hewan-gejala.html
  20. ^ a b c d e f g h i "Overview of the leptospira bacterium itself". The Leptospirosis Information Center. 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-07-26. Diakses tanggal 2010-04-12. 
  21. ^ a b c Directors of health Promotion and Education. "Leptospirosis". Directors of health Promotion and Education. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-04-11. Diakses tanggal 2010-04-15. 
  22. ^ a b c d e f g h i j WHO (2001). "Water Related Diseases: Leptospirosis". World Health Organization. Diakses tanggal 2010-04-15. 
  23. ^ a b c d e Priyanto,, Agus (2008). "Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak)" (PDF). Program Magister Epidemiologi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Diakses tanggal 2010-04-15.  line feed character di |title= pada posisi 70 (bantuan)
  24. ^ Hatta M (2002). "Detection of IgM to Leptospira Agent with ELISA ang Leptodipstick Method". Jurnal Kedokteran dan Kesehatan FK Universitas Tarumanegara. 1. 
  25. ^ Bovet P (1999). "Factor Assosiated with Clinical Leptospirosis, A Population Based Control Study in Seychelles". American Journal Tropical Medicine and Hygiene: 583–590. 
  26. ^ a b c Widarso HS dan Wilfried (2002). "Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia". Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 
  27. ^ Esen Saban (2004). "Impact of Clinical and Laboratory Findings on Prognosis in Leptospirosis". Swiss Medical Weekly: 347–352. 
  28. ^ a b c Mari Okatini, Rachmadhi Purwana, I Made Djaja (Juni). "Hubungan Faktor Lingkungan dan Karakteristik Individu terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta, 2003-2005" (PDF). Makara, kesehatan. 1 (dalam bahasa Indonesia). Jakarta. 11: 17–24. Diakses tanggal 2010-04-17.  [pranala nonaktif permanen]
  29. ^ Farida Dwi Handayani dan Ristiyanto. "Rapid assessment Inang Reservoir Leptospirosis di Daerah Pasca Gempa Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah" (PDF) (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Litbang Departemen Kesehatan. Diakses tanggal 2010-04-18. [pranala nonaktif permanen]
  30. ^ a b c d e f g h i Stoddard, Robyn (2009-07-27). "Other Infectious Diseases Related to Travel: Leptospirosis". Centers for Disease Control and Prevention. Diakses tanggal 2010-04-17. 
  31. ^ a b c d e f Eldredge, Debra M. "1". Dalam Beth Adelman. Dog owner’s Home Veterinary Handbook (dalam bahasa English) (edisi ke-4th). Hoboken: Willey Publishing Inc. hlm. 66–67, 96. ISBN 978-0-470-06785-7. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya