Metrosel
PT Metro Selular Nusantara (disingkat Metrosel) merupakan sebuah perusahaan operator seluler yang pernah beroperasi di Indonesia. Menggunakan teknologi AMPS (berfrekuensi 835-845 dan 880-890 MHz dengan bandwith 20 MHz)[2] dengan fokus layanan di Indonesia Timur dan sebagian Pulau Jawa,[3] pada tahun 1997 layanannya dapat diakses di seluruh Indonesia dan direncanakan akan diperluas hingga ke mancanegara dengan sistem roaming. Metrosel memiliki visi untuk membantu pemerintah dalam menyediakan layanan telekomunikasi murah, handal dan terpercaya dengan mengembangkan sumber daya manusia dan teknologi demi mencapai status sebagai world class operator.[1] Adapun operasionalnya secara independen berakhir di tahun 2003, setelah diakuisisi oleh PT Mobile-8 Telecom (kini Smartfren) yang menjadikannya anak usaha yang mengelola jaringannya dengan sistem baru CDMA2000. Pada tahun 2007, Metrosel meleburkan diri dengan induknya Mobile-8, yang mengakhiri operasionalnya setelah berdiri selama 12 tahun. SejarahPendirian dan kinerja awalPT Metro Selular Nusantara didirikan pada 30 November 1995, dengan awalnya dimiliki secara patungan oleh PT Telekomunikasi Indonesia sebesar 20,17%, Yayasan Dana Pensiun Pegawai Telkom sebesar 9,83%, PT Centralindo Pancasakti Cellular (CPSC, yang dikendalikan oleh Napan Group milik pengusaha Henry Pribadi) sebesar 64%, Pusat Koperasi ABRI sebesar 1% dan PT Djati Yudha Komunika Utama sebesar 5%.[4] Perusahaan yang berkantor pusat di Surabaya ini didirikan untuk menyediakan layanan seluler dengan cakupan wilayah (yang ditetapkan pemerintah) di Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Irian Jaya dan Maluku menggunakan sistem AMPS[3][5] berfrekuensi 800 MHz.[6] Sebagai modal awal dari perusahaan ini, adalah pelanggan AMPS PT CPSC yang dialihkan pada Metrosel.[7] Cikal-bakal bisnis AMPS Metrosel bermula ketika sebuah perusahaan bernama PT Centralindo Panca Sakti (CPS) diberi izin untuk membangun jaringan AMPS bagi telepon mobil (istilah resminya STKB-N, Sistem Sambungan Telepon Kendaraan Bermotor Nasional) dari Deparpostel (sekarang Kemenparekraf) di sejumlah kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya bekerjasama dengan Industri Telekomunikasi Indonesia pada tahun 1990. Selanjutnya, proyek ini dilanjutkan ke Semarang-Yogyakarta-Solo dan Surabaya-Malang dengan kapasitas total 9.000 pengguna dan menggunakan perangkat dari Motorola.[8] Adapun layanan AMPS-nya kemudian diluncurkan pada 2 Juli 1991 (menjadikannya operator AMPS pertama di Indonesia), yang merupakan proyek kerjasama bagi hasil bersama Telkom.[9][10] Selain dengan Telkom, PT CPS juga bekerjasama dengan Bell Canada dan Mitsui dalam pengoperasian jaringannya.[11] Meskipun memakan investasi hingga Rp 20 miliar, perkembangan pelanggan PT CPS cukup memuaskan, dimana di tahun 1994 sudah mencapai 6.000 sambungan (dengan total pendapatan Rp 6 miliar), suatu angka yang awalnya diperkirakan tidak akan tercapai hingga 7,5 tahun kemudian.[12] Memasuki tahun selanjutnya, pengguna layanannya mencapai 9.200, yang ditargetkan akan terus bertambah seiring pembangunan infrastruktur berkapasitas 20.000 hingga tahun 2000.[13] Sekitar 3.000-nya dipasarkan untuk Yogyakarta dan Semarang, 2.000 sambungan dipasarkan di Malang, Mojokerto dan Gresik, sedangkan sisanya ke kota-kota lain seperti Kudus, Pekalongan, Tegal dan Cilacap. Selain mengoperasikan jaringan AMPS, PT CPS ikut memasarkan perangkat telepon seluler yang dilengkapi nomor dari sejumlah vendor, yaitu Motorola, NEC dan JRC yang hasilnya juga cukup menguntungkan.[12] Belakangan, bisnis pengoperasian jaringan AMPS PT CPS tersebut diserahkan ke perusahaan afiliasinya, PT CPSC,[14] yang kemudian dialihkan kembali menjadi bisnis utama Metrosel yang mulai beroperasi pada akhir 1995.[15] Setelah Metrosel resmi berdiri, rencana ekspansi PT CPSC tetap ingin dilanjutkan oleh manajemennya. Melalui investasi Rp 400 miliar, ditargetkan akan dibangun jaringan berkapasitas 150.000 sambungan di daerah operasionalnya yang menggunakan infrastruktur termutakhir, seperti central switching EMX-25000. Dengan teknologi tersebut, konsumen Metrosel bisa menikmati fasilitas key protected cellular, call waiting, automatic fraud control system, call forwarding, digital messaging service dan lainnya.[16] Pengembangan teknologi dan operasionalPada 28 November 1996, komposisi kepemilikan saham Metrosel berubah dengan masuknya Asialink B.V. (yang terafiliasi dengan perusahaan Grup Salim, First Pacific) dengan memegang 35% saham senilai US$ 147 juta. Diharapkan, kinerja Metrosel akan meningkat pasca bergabungnya Asialink.[17][18] Hasilnya, komposisi saham menjadi dimiliki oleh Asialink sebesar 35%, PT CPSC 36,7%, Telkom 20,17%, dan sisanya tetap dipegang PT Djati Yudha (4%), Pusat Koperasi ABRI (0,80%) dan YDPP Telkom.[19][20] Di tahun 1996 itu juga, Metrosel terus mengembangkan usahanya di daerah operasionalnya (mulanya hanya di beberapa kota Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dibantu 27 BTS), dengan memakan investasi senilai US$ 25 miliar dan menargetkan 29.000 pengguna.[21] Tercatat, dalam sembilan bulan operasionalnya, Metrosel berhasil meraih pendapatan total US$ 1 juta.[3] Tahun selanjutnya, perusahaan ini memiliki sekitar 41.178 pelanggan, dan mulai merencanakan untuk menjadi pemimpin pasar wilayah Indonesia Timur serta meningkatkan jaringannya menjadi CDMA. Metrosel juga aktif memberikan bantuan kepada pemerintah dan militer untuk memperluas komunikasinya di Jawa Timur.[22] Pengguna layanan Metrosel dapat menggunakan layanannya di seluruh Indonesia, berkat kerjasama roaming dengan dua operator AMPS lain, Komselindo dan Telesera.[1] Sempat awalnya terpengaruh oleh krisis ekonomi 1997 yang membuat penggunanya anjlok dari 38.990 menjadi 26.528 pada Maret 1998-1999,[23] Metrosel kemudian justru mencatat kenaikan pengguna, yaitu mencapai 41.424 pada akhir 1999 dan meningkat lagi menjadi 62.981 pelanggan pada Desember 2001.[24] Di periode ini, diperkirakan jaringan Metrosel bisa dinikmati di 90% wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.[25] Namun, seiring dengan penurunan pengguna AMPS karena kalah populer dari GSM (dari 48,4% pada 1995 menjadi 4,4% pada 1999), Telkom sebagai salah satu pemilik sahamnya berencana untuk menjalankan proyek konversi menjadi CDMA pada Maret 2001.[24][20] Metrosel juga sempat menjalin kerjasama jaringan dengan operator AMPS lainnya, Komselindo (yang beroperasi di Jabodetabek, Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi), sehingga harga produk keduanya bisa ditekan hingga 40%.[26] Kedua perusahaan pada awal 2001 bahkan sudah merencanakan untuk merger,[27] yang kemudian pada pertengahan 2001 berusaha mengikutsertakan Telesera,[28] walaupun kemudian tidak terwujud. Perubahan kepemilikan dan mergerBagaimanapun, bisnis AMPS yang dikelola oleh Metrosel, memasuki tahun 2000-an menemui "titik akhir"-nya. Metrosel kemudian mengalami pergantian pemilik saham. Awalnya, perubahan hanya terjadi di pemegang saham minoritas, dengan kepemilikan Pusat Koperasi ABRI dan PT Djati Yudha menghilang dan struktur kepemilikannya menjadi Telkom (20,17%), PT CPSC (37,03%), Asialink (35%), YDPP Telkom (3%) dan PT Dwimarga Dwiutama (4,8%).[29] Namun, kemudian ada perubahan kepemilikan yang lebih besar lagi, ketika pada tahun 2001, saham PT CPSC, pemilik saham utama Metrosel beralih ke Bhakti Investama (perusahaan yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo) sebanyak 37%, setelah Bhakti membeli obligasi PT CPSC di Chase Manhattan Bank. (Kemudian, saham Bhakti meningkat menjadi 100% dengan menggelontorkan dana US$ 35 juta).[30][31] Pada 21 Maret 2003, salah satu pemegang saham Metrosel, Asialink sepakat mengonversi 35% sahamnya menjadi 14,6% kepemilikannya di anak perusahaan Bhakti lain, PT Mobile-8 Telecom pada 21 Maret 2003.[32] Lalu, pada RUPSLB pada 14 Mei 2003, pemilik saham lain seperti PT Dwimarga dan PT CPSC (ditambah Asialink sebelumnya) juga sepakat untuk menyerahkan 76,3% kepemilikan sahamnya di Metrosel kepada Mobile-8 dengan ganti kepemilikan saham minoritas di Mobile-8.[33] Selanjutnya, di tanggal 8 Agustus 2003, PT CPSC dan Telkom sepakat melakukan pertukaran saham dalam transaksi bernilai total Rp 364,8 miliar:[34] Telkom menjual seluruh sahamnya kepada PT CPSC sebesar 20,17% (ditambah 14,20% saham Komselindo dan 100% saham Telesera) dengan biaya Rp 185,10 miliar, dan sebagai gantinya, PT CPSC menyerahkan saham PT Indonusa Telemedia (penyelenggara televisi berlangganan TelkomVision) sebesar 35% dan memberi hak untuk membeli 16,85% sahamnya di Pasifik Satelit Nusantara pada Telkom.[35] Dengan transaksi ini, praktis kepemilikan Bhakti (lewat anak usahanya, yaitu Mobile-8 dan CPSC) atas Metrosel menjadi 100%. Di bawah penguasaan manajemen baru, tampak bahwa mereka memutuskan untuk membangun perusahaan dan merek operator seluler baru dengan melanjutkan pembangunan jaringan CDMA yang disiapkan Metrosel (dan Komselindo) sebelumnya, yaitu oleh PT Mobile-8 Telecom. Sebagai persiapannya, Bhakti (dan anak usahanya Bimantara Citra) menjadikan tiga perusahaan komunikasi yang telah diakusisinya, yaitu Komselindo, Metrosel dan Telesera menjadi anak perusahaan Mobile-8.[36][35][30] (Awalnya, saham Mobile-8 di Metrosel hanya 76,3%, namun kemudian 20,17% saham PT CPSC dialihkan ke Mobile-8 sehingga kepemilikannya menjadi 100%).[37] Pada akhirnya, sebagai "penerus" Metrosel adalah Fren yang diluncurkan pada 8 Desember 2003 dan berbasis CDMA2000, dengan modal awal salah satunya adalah bekas pelanggan AMPS Metrosel yang dipindah menjadi CDMA. Di kondisi terakhirnya (2003), Metrosel merupakan perusahaan dengan pelanggan AMPS terbesar di Indonesia, sebesar 51.788 (walaupun menurun dari 78.519 pada 2002), mengalahkan Komselindo.[38] Sejak saat itu, Metrosel hanya menjadi anak perusahaan Mobile-8 yang tidak terlalu aktif, yaitu (bersama Telesera dan Komselindo) menjadi pemegang izin jaringan CDMA yang dioperasikan oleh Mobile-8. Pada akhirnya, PT Metro Selular Nusantara dimerger dengan induknya, Mobile-8 pada 11 Juni 2007.[39] Merger ini mengakibatkan izin operasional Mobile-8, yang sebelumnya salah satunya atas nama Metrosel, kini beralih ke Mobile-8.[40] Produk dan layananSama seperti operator seluler lainnya di eranya, produk Metrosel diawali oleh layanan pascabayar, yang kemudian dikenal dengan nama Metrosel Regular. Untuk berlangganan produknya, diwajibkan membayar biaya Rp 75.000 (awalnya Rp 100.000) untuk pendaftaran (baik membeli bundling nomor dan perangkat telepon, maupun membeli nomor saja), dan selanjutnya akan dikenakan biaya pemakaian (minimal Rp 65.000/bulan, awalnya Rp 71.500/bulan) yang terdiri dari biaya abonemen, pulsa dan airtime.[1][25] Namun, seiring perkembangan zaman, Metrosel juga meluncurkan produk lain yang berbasis prabayar maupun modifikasi pascabayar, yaitu:[41]
Dalam produk-produknya, Metrosel menawarkan fitur khusus seperti layanan Sambungan Langsung Internasional (SLI, kerjasama dengan Indosat dan Satelindo), no answer transfer/call forwarding, busy transfer/call diversion, call waiting, three way calling, nomor PIN khusus, dan 2 in 1 (dapat menggunakan dua nomor dalam satu perangkat telepon genggam).[1] Adapun kantor-kantor pelayanan Metrosel tersebar di Surabaya (3 lokasi), Gresik, Jember, Tuban, Mojokerto, Probolinggo, Banyuwangi, Situbondo, Malang, Kediri, Madiun, Semarang (2 lokasi), Salatiga, Kudus, Tegal, Pekalongan, Jepara, Pati, Purwodadi, Magelang, Yogyakarta, Surakarta, Klaten, Purwokerto, Ambon dan Jayapura.[43] Lihat pulaReferensi
|