Telekomindo Primabhakti
PT Telekomindo Primabhakti (disingkat Telprim Bhakti)[1] didirikan pada 9 Maret 1990 di Bandung, Jawa Barat.[2] Awalnya, perusahaan ini hanya dimiliki oleh Koperasi Pegawai Telkom (KOPEGTEL) dan Yayasan Dana Pensiun Pegawai Telkom (YDPP Telkom), tetapi pada 1994 mayoritas saham perusahaan ini dijual pada PT Rajawali Citra Buana (yang dimiliki oleh Rajawali Wira Bhakti Utama) senilai Rp 73 miliar. Ditambah dengan masuknya pemegang saham baru lain, komposisi kepemilikan saham berubah menjadi 10% dimiliki Telkom, 54% oleh Rajawali Wira Bhakti Utama, 10% oleh Yayasan Kartika Eka Paksi dan 2% oleh Yayasan Tridaya Kejaksaan Agung. Sementara itu, dua pemegang saham lama yaitu KOPEGTEL dan YDPP Telkom tetap menjadi pemegang saham masing-masing 0,4% dan 23,6%.[3] Artinya, saham mayoritas, kini ada di tangan Rajawali milik Peter Sondakh. Tujuan penjualan saham ini adalah untuk memperkuat modal Telekomindo dan mengantisipasi Undang-Undang 11/1992 tentang Dana Pensiun yang membatasi kepemilikan perusahaan dana pensiun di perusahaan lain. Awalnya, perusahaan ini beroperasi sebagai operator jaringan seluler dengan sistem AMPS untuk telepon mobil di daerah Palembang, Denpasar dan Samarinda-Balikpapan-Banjarmasin menggunakan sistem Motorola dan menargetkan sekitar 7.800 pengguna.[4][5] Selain itu, Telekomindo juga awalnya merupakan perusahaan konstruksi[3] dan juga diberikan hak oleh pemerintah untuk membangun jaringan telepon kabel dengan sistem pola bagi hasil (PBH) pada 1994, sebanyak 75.000 di Jakarta dan Bandung dengan harga Rp 334 juta. Proyek ini dibangun dengan kerjasama bersama Intertel, anak usaha Astra International.[6][7][8][9] Dalam anggaran dasar Telekomindo, disebutkan bahwa perusahaan ini bergerak dalam bidang manufaktur, industri, kontraktor dan perusahaan induk.[10] Pada tahun 1995, Telekomindo mengalami restrukturisasi dengan bisnis AMPS-nya dialihkan pada anak perusahaannya, yaitu PT Telekomindo Selular Raya (Telesera). Telekomindo kemudian dijadikan sebagai perusahaan induk dari sejumlah perusahaan (terutama komunikasi) Grup Rajawali, seperti:
Pada krisis ekonomi 1997-1998, Telekomindo sebagai perusahaan induk harus menghadapi masalah dengan terjerat hutang pada sejumlah bank BUMN dan juga Bank Danamon, sehingga akibatnya harus berurusan dengan BPPN. Mengatasi hal ini, manajemen Telekomindo pada 1999-2002 melakukan restrukturisasi dengan pelepasan bisnis pada unit-unit usahanya, kecuali Excelcomindo.[24][25] Alasannya, hanya Excelcomindo yang mampu meraih untung dan dilakukan agar perusahaan menjadi lebih ramping dan sehat. Sebenarnya, hampir saja Excelcomindo akan dijual ke Bell Atlantic dan Indosat, tetapi tidak terwujud.[26][27] Dalam restrukturisasi ini, misalnya pada 5 Desember 2001 Telekomindo dan Telkom melakukan pertukaran saham: Telkom melepaskan kepemilikan sahamnya di Telekomindo, sedangkan anak perusahaan Telekomindo yaitu Telesera dan aset Multisaka Mitra dijual kepada Telkom. Seluruh transaksi ini memakan biaya lebih dari Rp 200 miliar.[28] Hasil dari restrukturisasi, adalah kini kepemilikan Telekomindo secara mutlak ada di tangan Rajawali Corporation, sedangkan dari semua aset hanya Excelcomindo yang dipertahankan oleh Telekomindo. Pelepasan saham oleh pemegang saham minoritas ini mulai dilakukan pasca krisis ekonomi 1998, sehingga pada 2001 kepemilikan Rajawali sudah mencapai 84% dan pada 2005 sudah mencapai 99,75%.[10][29] Walaupun Excelcomindo kemudian cukup bisa bertahan dari krisis ekonomi, namun kemudian sepertinya Rajawali sudah memantapkan niatnya untuk "angkat kaki" dari bisnis komunikasi. Pada 2004, dirumorkan bahwa sejumlah investor asing, seperti China Mobile, Telstra dan Telekom Malaysia ingin membeli saham Telekomindo di Excelcomindo yang pada saat itu sebesar 60%.[30] Dari para peminat akan saham Telekomindo di Excelcomindo itu, hanya Telekom Malaysia yang berhasil. Pada 21 dan 27 Oktober 2005, PT Telekomindo kemudian menjual sebagian besar sahamnya (31,9%) kepada Telekom Malaysia dengan harga US$ 460 juta. Saham Telekom Malaysia menjadi 56,9%, menjadikannya pemegang saham mayoritas dan pengendali[31] sedangkan saham Telekomindo merosot menjadi 15,97%.[32] Kondisi ini tetap bertahan hingga 31 Mei 2007 Telekomindo melepas seluruh sahamnya di Excelcomindo kepada perusahaan milik Grup Rajawali lain, Bella Sapphire Ventures Ltd. Pelepasan saham ini menandakan berakhirnya bisnis Telekomindo di bidang komunikasi yang sudah dirintisnya sejak 1990-an. Praktis, Telekomindo hanya menjadi perusahaan "kosong" tanpa anak usaha. (Kemudian juga, saham Bella Saphire dijual ke Etisalat seharga US$ 438 juta, yang berarti mengakhiri bisnis komunikasi Rajawali).[33][34] Setelah tidak lagi bergerak dalam bisnis komunikasi, bagaimanakah nasib Telekomindo? Pada tahun 2008, dilakukan perubahan nama dengan mengganti nama perusahaan ini menjadi PT Rajawali Capital, lalu terakhir menjadi PT Rajawali Corpora. Perusahaan ini ditransformasikan menjadi perusahaan induk bagi sejumlah perusahaan milik Peter Sondakh, seperti Archi Indonesia. PT Rajawali Corpora menggantikan induk perusahaan-perusahaan Peter Sondakh sebelumnya yang namanya tidak jauh berbeda, yaitu PT Rajawali Corporation.[35] Untuk perkembangan selanjutnya, lihat Rajawali Corpora. Lihat juga
Referensi
|