Bakrie Telecom
PT Bakrie Telecom Tbk (berbisnis dengan nama Btel Group, IDX: BTEL) adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia yang bergerak di bidang telekomunikasi dan teknologi informasi.[2] Perusahaan yang berkantor pusat di Wisma Bakrie I, Jalan H.R. Rasuna Said Jakarta ini[1] terafiliasi dengan Grup Bakrie dan sempat dikenal sebagai perusahaan operator seluler, terutama dengan merek Esia. Saat ini, bisnis utamanya adalah di bidang penyediaan jasa komunikasi dan informasi digital lewat sejumlah anak usaha yang menargetkan pasar korporasi.[3] SejarahPerkembangan awalCikal-bakal perusahaan ini dapat ditarik ketika PT Bakrie & Brothers mulai terjun ke industri telekomunikasi pada tahun 1989, dengan mendirikan PT Bakrie Electronics Company (BEC). Perusahaan ini kemudian menjadi rekan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) dalam membangun jaringan PSTN di sejumlah kota besar di Indonesia,[4] lewat proyek bagi hasil sejak 1991. Kerjasama keduanya kemudian membuahkan kesepakatan di bulan Maret 1993 berupa pendirian perusahaan patungan yang bergerak di bidang telekomunikasi.[5] Perusahaan tersebut diberi nama PT Radio Telepon Indonesia (disingkat Ratelindo) yang didirikan pada 13 Agustus 1993, dengan modal awal Rp 200 miliar dan kepemilikan saham dikuasai BEC 55% dan Telkom 45%.[6] Tahun selanjutnya, Ratelindo resmi mendapatkan izin untuk mengoperasikan sistem fixed wireless dengan cakupan Jawa Barat dan Jakarta,[7][8] dan perusahaan resmi beroperasi sejak 1 November 1995.[9] Di tahun 1996, persentase kepemilikan sahamnya menjadi PT BEC 87,14% dan Telkom 12,86%, seiring akuisisi sebagian saham Telkom oleh PT BEC.[10] Pada awalnya produk Ratelindo ditujukan bagi mengatasi permasalahan yang melekat pada layanan telepon kabel (PSTN) Telkom saat itu dengan memanfaatkan jaringan nirkabel. Namun, perkembangan yang terjadi justru Ratelindo kurang berhasil menjadi alternatif yang diperhitungkan oleh masyarakat. Berusaha menyuntikkan dana demi menghadirkan fitur baru[11] dan memperluas cakupan jaringannya, Bakrie & Brothers justru merugi hingga miliaran rupiah.[12] Padahal, ketika hendak beroperasi, Ratelindo sempat disebutkan akan menjadi salah satu operator terbesar sistem fixed wireless di dunia,[13] dan disebutkan sudah mengembangkan layanan advanced rural telecommunication system bersama Telkom yang ditujukan bagi wilayah pedesaan.[14] Belum lagi hutang kepada 11 bank asing senilai US$ 30 juta yang membelitnya.[15] Namun, Grup Bakrie tetap melihat bisnis telekomunikasi sangat prospektif, dan sejak 2002 sudah menjadikannya sebagai salah satu "tombak bisnis"-nya. Maka, revitalisasi dan restrukturisasi pun dilakukan di perusahaan ini.[12] Pada struktur kepemilikan, Bakrie (lewat perusahaan afiliasinya CMA Fund Management Ltd.) mengakuisisi sisa saham Telkom di Ratelindo sebesar 12,86% pada 28 Desember 2001-Maret 2002.[16] Lalu, mulai tahun 2000, Ratelindo juga merencanakan akan mengganti layanannya menjadi telepon tetap nirkabel (FWA) menggunakan teknologi CDMA2000, yang dianggap lebih jernih dan cakupannya bisa lebih luas.[17] Selain itu, biaya pengoperasian CDMA2000 juga dinilai lebih efisien dan pertumbuhannya cukup pesat di berbagai negara (pada saat itu).[18] Sebagai persiapan, digandeng Samsung dan Nortel untuk membangun jaringan dan menyuplai perangkatnya, yang layanannya ditargetkan akan diluncurkan pada 2002.[19] Ratelindo kemudian juga mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengoperasikan sistem ini menggunakan frekuensi 800 MHz.[20][21] Akhirnya, dalam Rapat Umum Pemegang Saham 12 September 2003, disepakati untuk mengubah nama PT Radio Telepon Indonesia menjadi PT Bakrie Telecom dan membangun bisnis baru, yaitu bisnis operator jaringan telepon seluler berteknologi CDMA2000 dengan merek Esia. Dengan total investasi US$ 47 juta dan izin beroperasi awal di wilayah Jabodetabek, Banten dan Jawa Barat yang dibantu 48 BTS, manajemennya optimis Bakrie Telecom dan Esia akan berkembang dengan pesat.[18] Untuk membantu permodalan, Bakrie Telecom juga melepas sahamnya di pasar modal. Pada 3 Februari 2006, Bakrie Telecom mengadakan penawaran umum perdana di Bursa Efek Jakarta, setelah sebelumnya direncanakan sejak akhir 2005. Dalam pencatatan saham itu, Bakrie Telecom (yang diberi kode emiten BTEL) melepas 29,29% sahamnya dengan harga penawaran Rp 110, dan berhasil meraup dana Rp 577 miliar.[22][23][24] Dalam RUPS di tahun 2008, kegiatan usaha Bakrie Telecom diperluas menjadi merencanakan, membangun dan menyewakan sarana/fasilitas telekomunikasi, dan melaksanakan kegiatan pemasaran dan penjualan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi.[25] Isu merger dan akuisisiSaat kondisi Bakrie Telecom masih "sehat", perusahaan ini sempat menjadi incaran sejumlah perusahaan untuk melakukan penggabungan usaha (merger). Pada tahun 2010, perusahaan ini pernah didekati oleh PT Telkom yang ingin melakukan merger pada layanan Flexi dengan Esia. Rencananya, pada saat itu Flexi dijadikan dahulu sebagai sebuah PT terpisah lalu sahamnya dijual ke Bakrie Telecom untuk dimerger. Sahamnya akan dimiliki bersama oleh Telkom dan Bakrie. Khusus yang menjadi pengendalinya, pada saat itu masih belum dipastikan.[26][27] Menurut Telkom, upaya ini disebabkan karena perusahaan tidak boleh punya operator GSM dan CDMA sekaligus, padahal Telkom pada saat itu memiliki Telkomsel, ditambah keterbatasan spektrum dan keinginan mengurangi risiko. Namun, merger yang awalnya direncanakan selesai pada akhir 2010 ini batal karena adanya protes dari karyawan Telkom.[28][29][30] Pada 2014, Bakrie Telecom juga sempat berencana untuk merger dengan Smartfren. Isu ini muncul sekitar September-Oktober 2014 ketika keduanya hendak melakukan penggabungan jaringan, tetapi kemudian Sinar Mas selaku pemilik Smart membantah isu tersebut.[31][32][33] Selain isu merger, Bakrie Telecom juga beberapa kali diberitakan akan mengakuisisi perusahaan lain. Pada 2008, Bakrie Telecom sempat dirumorkan hendak mengakuisisi pengelola merek Fren, PT Mobile-8 Telecom Tbk, tetapi kemudian dibantah.[34][35] Lalu, pada 2012, Bakrie Telecom sempat berencana mengakuisisi 35% saham PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (dari pemegang sahamnya Sampoerna Strategic Group dan Polaris) lewat penandatanganan perjanjian jual beli pada 13 Maret 2012. Direncanakan dalam tiga tahun kedepan, Bakrie Telecom akan menjadi pemegang saham mayoritas di STI, dan sebagai imbalannya, Sampoerna Strategic akan menjadi pemegang saham Bakrie Telecom.[36] Namun, seiring kesulitan keuangan yang terus menimpa perusahaan ini, rencana ini pun tidak jadi dilaksanakan. Rumor lain juga mengatakan, Bakrie Telecom yang pernah ingin bermain dalam bisnis WiMAX, berencana mengakuisisi Internux (yang sudah memegang hak jaringan tersebut di Jabodetabek, tetapi belum beroperasi) lewat sejumlah pembicaraan pada April 2011.[37] Namun, tidak ada kelanjutan dari upaya ini, dan satu-satunya proses akuisisi Bakrie Telecom yang berhasil diadakan adalah PT Rekajasa Akses (yang merupakan perusahaan 4G) pada Agustus 2011 sebesar 100% dengan harga US$ 50 juta.[38] PenurunanBagaimanapun, setelah masa-masa kejayaannya, Bakrie Telecom masuk dalam masa sulit yang dialami hingga saat ini. Walaupun memang keuangan perusahaan ini secara umum fluktuatif, misalnya pada 2005 sempat merugi Rp 112 miliar sedangkan pada 2006 untung Rp 52 miliar,[39] bahkan pada 2009, pendapatan Bakrie Telecom sempat mencapai Rp 3,4 triliun,[40] namun baru setelah tahun 2011 Bakrie Telecom terjebak dalam hutang dan kerugian yang seperti tidak ada habisnya. Kesulitan ekonomi yang terus diderita oleh Bakrie Telecom bisa dikatakan berakar dari dua hal: menurunnya pengguna CDMA di pasaran, dan juga masalah umum yang menimpa perusahaan-perusahaan Grup Bakrie, yaitu terjebak dalam "gali lubang tutup lubang" dan ketidakmampuan mereka bangkit setelah jatuhnya harga batu bara di tahun 2011.[41][42][43] Kondisi ini bermula pada 2011 ketika Bakrie Telecom mengalami kerugian operasional senilai Rp 300 miliar dan berlanjut pada 2012 senilai Rp 255 miliar. Dalam kondisi tersebut, pada Maret 2012 sejumlah lembaga pemeringkat surat utang memangkas rating obligasi Bakrie Telecom, misalnya Pefindo dari BBB+ ke BBB- karena menganggap Bakrie Telecom tidak bakal mampu membayar hutang obligasinya,[44] dan pada September 2012, obligasi lain Bakrie Telecom diberi peringkat rendah (CCC) oleh Fitch Ratings.[45] Pada 4 September 2012, Bursa Efek Indonesia sempat menghentikan perdagangan saham BTEL karena tidak membayar obligasinya tepat waktu.[46] Untuk menepis masalah, pihak Bakrie Telecom menyatakan bahwa mereka sudah melakukan pembayaran hutang obligasinya dan melakukan rights issue kepada perusahaan Bakrie lain, PT Bakrie Global Ventura.[47] Namun, walaupun sempat mencetak untung pada Juni 2013 senilai Rp 50 M dan telah mencanangkan program "revitalisasi" pada 2012,[48][49] pada November 2013, Bakrie Telecom kembali gagal membayar bunga obligasinya.[50] Sejak saat itulah, kata "untung" sepertinya tidak ada dalam "kamus" Bakrie Telecom, dimana pada semester I-2013 merugi Rp 292,68 miliar, pada semester I-2014 merugi Rp 316 miliar,[51] bahkan pada semester I-2015 meroket menjadi Rp 2,367 T.[52] Kerugian total juga makin bertambah, dengan pada 2013 sebesar Rp 2,64 T, 2014 sebesar Rp 2,87 T, dan bahkan pada 2015 meroket tajam menjadi Rp 8,64 T.[53][54] Utangnya pun terus meningkat, dari Rp 2,4 T pada 2010, Rp 3,13 T pada 2012 dan akhirnya Rp 11 T pada 2014, jauh dari asetnya yang hanya Rp 7,6 T.[55][56][57] Sebenarnya, sudah banyak langkah yang dilakukan oleh anggota kerajaan bisnis Bakrie ini untuk menyehatkan keuangannya. Ketika gelombang masalah ditemui perusahaan ini pada akhir 2012, Bakrie Telecom berusaha melakukan kebijakan revitalisasi. Kebijakan ini terdiri dari menyehatkan keuangan perusahaan dengan membayar hutang obligasi (yang sudah lunas pada 2012), menguatkan organisasi dan budaya kerja perusahaan, menaikkan layanan, memberikan tarif terjangkau pada pelanggan, mendorong pendapatan dari layanan data internet (tidak seperti sebelumnya yang mengandalkan jasa telepon), serta menyederhanakan merek menjadi hanya Esia, namun dengan banyak varian produk.[49] Awalnya, program ini memang sukses menghasilkan keuntungan, tetapi pada akhirnya tetap saja hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Pada akhirnya, ketika rugi semakin tidak tertahankan, cara-cara ekstrim harus dilakukan. Memasuki akhir 2015, perusahaan ini mem-PHK sekitar 300-400 pegawainya,[58] yang disusul 500 orang lagi pada awal 2016,[59] dengan target karyawan harus di bawah 1.000 orang.[60] Sayangnya, PHK ini menuai masalah karena pesangon bagi eks-karyawannya justru ditunda dan dicicil pembayarannya.[61] Langkah ekstrim berikutnya adalah memutuskan perlahan-lahan keluar dari industri yang selama ini menjadi andalan mereka yaitu operator jaringan seluler, yang dimulai sejak 30 Oktober 2014 ketika Esia menjalin hubungan dengan Smartfren untuk membangun sebuah jaringan 4G, dan mencapai puncaknya dengan pemutusan layanan data Esia pada 2015 dan jaringan CDMA Esia di luar Jabodetabek dan Bandung pada 2016. Walaupun pada akhir 2015 pihak Bakrie Telecom sempat menjanjikan untuk kembali ke industri ini dengan membangun merek baru dengan sistem 4G dan tetap bekerjasama dengan operator lain untuk infrastrukturnya, tetapi sampai saat ini rencana tersebut tidak pernah terwujud.[62] Bahkan, pada 2016 justru izin penyelenggaraan jaringan tetap sambungan internasional, jasa nilai tambah teleponi Pusat Layanan Informasi Bakrie Telecom dan jasa interkoneksi internet (Network Access Point/NAP) Bakrie Telecom dicabut oleh pemerintah.[25] Langkah lain dilakukan dengan fokus pada aplikasi chatting bernama EsiaTalk. Namun, tampaknya aplikasi itu tidak pernah terdengar lagi sekarang. Walaupun segala upaya telah dilakukan, tetap saja perusahaan ini tidak kunjung "sembuh" dari penyakitnya. Sejak 2012 sampai sekarang, harga sahamnya selalu berada di titik terendah dan tidak pernah bergerak dari Rp 50/saham. Walaupun rugi sempat menurun dari Rp 8 T pada 2015 ke Rp 1,5 T pada 2017, tetapi pendapatan juga terus menurun, dari Rp 172 M pada 2016 ke Rp 8,1 M pada September 2020. Utang pun juga tidak pernah beranjak, walaupun menurun tapi tetap tinggi, sebesar Rp 9,6 T pada September 2020. Asetnya juga menurun tajam dari September 2017 sebesar Rp 926 M menjadi Rp 4,5 M pada September 2020. Bahkan, masalah seperti bertubi-tubi: pendapat atas laporan keuangan dari para akuntan selalu tidak menyatakan pendapat (yang bisa dikatakan sangat buruk), serta sudah mengalami penghentian perdagangan sejak 27 Mei 2019 (atau sekarang sudah lebih dari 2 tahun) setelah sebelumnya sempat mengalami hal yang sama pada 2015 dan 2016 yang membuatnya terancam mengalami delisting atau penghapusan pencatatan saham di BEI. Bahkan, beberapa kali perusahaan ini mendapat gugatan pailit dari berbagai krediturnya.[54][63][64][65][66] Satu estimasi menyatakan bahwa pada 2021, hutangnya sekitar 2.133 kali dari asetnya.[25] Kondisi mutakhirMulai 2016, pihak manajemen mulai mencanangkan rencana membentuk anak perusahaan baru demi masuk ke bisnis baru.[2] Beberapa rencana bisnis yang disampaikan oleh manajemen tersebut, seperti misalnya layanan contact center services, premium access number, layanan ke bisnis digital dan e-commerce serta voice & data solution untuk pelanggan korporasi, UKM, dan residensial. Bakrie Telecom juga berusaha memanfaatkan migrasi ke televisi digital untuk terlibat dalam pembangunan infrastruktur perusahaan afiliasinya, yaitu antv dan tvOne. Selain itu, perusahaan juga berusaha mengurangi hutang dengan mengonversi hutangnya menjadi saham, yang menyebabkan saat ini saham terbanyak dimiliki oleh Huawei sebagai kreditor serta berbagai upaya lainnya. Bahkan, karyawan perusahaan ini sempat tercatat hanya 6 orang, jauh dari puncaknya pada 2010 sebesar 1.901 orang.[67][68][69][70][71] Meskipun kondisi perusahaan masih belum membaik, namun Bakrie Telecom telah berusaha melakukan perombakan fokus usaha demi memperbaiki kondisinya. Mulai tahun 2021, fokus perusahaan diubah menjadi perusahaan induk yang memiliki anak-anak usaha yang bergerak di bidang telekomunikasi dan informasi bagi pasar korporat, yaitu lewat PT Layanan Prima Digital, PT Cakra Andalas Fasilitas, PT Sangads Digital Pariwara dan PT Inovasi Teknologi Nusantara. Refocusing usaha ini diklaim mampu membuat kinerja perseroan menjadi solid, dan membantu peningkatan keuangannya yang mencatat lonjakan pendapatan hampir 400% menjadi Rp 52,1 miliar hingga akhir 2021.[72] Selain itu, BTEL juga mencatatkan kenaikan aset dari Rp 20 miliar menjadi Rp 51 miliar pada periode 2021-2022,[73] dan memperlihatkan peningkatan jumlah karyawan menjadi 220 orang. Saat ini, Bakrie Telecom Tbk (kini dikenal sebagai BTEL Group, digayakan btelgroup) telah menetapkan fokus usahanya meliputi:[2]
Layanan dan anak perusahaanEsiaSebelum memutuskan keluar dari bisnis operator seluler, Esia (ditulis esıa, sebelumnya esıə dan terakhir ESIA) merupakan produk utama dari PT Bakrie Telecom Tbk. Esia merupakan layanan telepon tetap nirkabel (FWA) yang menggunakan teknologi CDMA2000 1x. Meskipun artinya jangkauan layanannya terbatas pada kode telepon yang melekat pada nomornya, konsumen Esia masih bisa melakukan semua panggilan, baik lokal, interlokal, maupun internasional. (Adapun untuk dapat mengakses layanan Esia jika berada di luar area kode telepon, penggunanya dapat meregistrasi layanan Esia GoGo[74] atau membeli kartu baru). Esia diluncurkan pada 12 September 2003, pasca PT Ratelindo mengubah namanya menjadi PT Bakrie Telecom, dengan branding-nya didesain agensi penjenamaan Interbrand. Sebelum itu, diadakan promosi berhadiah gratis pulsa seumur hidup bagi pelanggan yang berhasil menebak namanya. Awalnya Esia hanya menawarkan dua jenis produk, yaitu EsiaHome yang merupakan telepon rumah nirkabel pascabayar dan EsiaCity yang dikhususkan bagi telepon seluler prabayar, serta cakupan operasionalnya terbatas di Jadetabek dan Bandung.[18] Demi membangun Esia, Bakrie Telecom menyiapkan dana Rp 700 miliar dan menargetkan 150.000 pengguna pada akhir 2004.[75] Baik Bakrie Telecom dan Esia kemudian dikenal sebagai pemain komunikasi yang inovatif dalam mengembangkan bisnisnya. Misalnya, Esia menggandeng penjual rokok dengan memberikan rokok gratis asal mereka mau menjual kartu perdana Esia. Lalu, pada akhir 2004, Esia meluncurkan program "Gile Bener" bersama Nokia dengan menjual HP yang sudah dibundel dengan kartu Esia, yang menandakannya sebagai salah satu pionir dalam sistem bundel tersebut. Pada 2006, Esia menawarkan tarif telepon Rp 3.000/menit, jauh dari operator lain yang menawarkan Rp 1.000/detik. Pada 2008, Esia makin dikenal karena memecahkan rekor MURI untuk mengoceh (berbicara) 6 jam tanpa henti pada 6-29 Juni 2008 di 9 kota besar di Indonesia dengan 1.782 peserta. Berbagai produk-produk inovatif dari Esia, antara lain tarif SMS Rp 1 per karakter (yang dianggap pertama di dunia); ringtone tekan bintang; informasi kecantikan bekerjasama dengan Sariayu Martha Tilaar; RBT; jenis HP bundel seperti Esia Hidayah (yang populer karena bisa menyampaikan azan dan adanya al-Quran di dalamnya), Esia Siaga (yang menawarkan layanan asuransi), Esia Fu, Esia Kilau, Esia Slank, Esia Bali, Esia Kasih, Esia Merah Putih, Esia Ngoceh 100 jam; kartu perdana Esia Untung, Pencari Untung dan lain-lain. Hasil dari inovasi tersebut tidak mengecewakan, karena dari 3,7 juta pelanggan pada akhir 2007, pada Juni 2008, Esia sudah menggaet 5,8 juta pelanggan, dan pada 2009 sudah 9 juta pelanggan, mendekati Flexi yang memiliki 10 juta pelanggan di pasar CDMA.[76][77][78] Pada tahun 2009, Esia lagi-lagi menunjukkan sikap berani (dan inovatifnya) dengan menjual telepon seluler Esia Gayaku di Plaza Indonesia EX dengan harga Rp 99.000 (jauh dari harga normalnya Rp 299.000) sehingga mendapat perhatian besar dan laku keras.[79] Selain inovasi itu, Esia juga melakukan perluasan jaringan: pada 2007, setelah diizinkan untuk beroperasi secara nasional mulai Desember 2006, dari sebelumnya hanya tersedia di Jakarta, Jabar (Bandung, Cirebon, Tasikmalaya) dan Banten (Tangerang dan Serang), Esia meluaskan jaringannya ke 17 kota baru seperti Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Medan, Padang, Lampung, Pekanbaru, Palembang, Bali dan Batam,[80][81][82] ditambah selanjutnya Pontianak, Purwokerto, Kediri dan Kota Batu pada 2008.[83][84] Di tahun 2009, jaringan Bakrie Telecom sudah mencapai 64 kota di Indonesia, seiring perluasan ke kota Mataram, Makassar, Manado, Singkawang, Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin, Martapura, Kisaran, Madiun dan Pematang Siantar.[85][86] Tahun 2011 bisa dikatakan merupakan titik puncak Esia dengan berhasil meraih 14,6 juta pengguna.[87] Berbeda dengan tahun sebelumnya, kini Bakrie Telecom tidak lagi berfokus pada pemberian promo, melainkan peningkatan kualitas jaringan Esia.[88][89] Di bulan Mei tahun ini juga, Bakrie Telecom berhasil mendapatkan lisensi seluler dari pemerintah. Dengan lisensi ini, Esia bisa menerbitkan nomor yang bisa dibawa-bawa ke luar kota tanpa meregistrasi ulang atau berganti kartu (seperti izin FWA-nya selama ini),[90] dan memungkinkannya menjalankan jaringan berbasis GSM.[91] Sebulan berikutnya, tepatnya pada 30 Juni 2011, Esia meluncurkan aplikasi Usahaku (yang berada di HP bundel Esia) untuk membantu penjual pulsa.[92] Namun keberhasilan tersebut hanya berlangsung sesaat, karena belakangan pengguna CDMA mulai menurun dibanding GSM. Di tahun 2012, pengguna Esia menurun hingga mencapai 11,7 juta (atau berkurang lebih dari 3 juta),[93] dan seperti telah disebutkan diatas, Bakrie Telecom mulai mengalami kerugian yang cukup besar. Untuk mengatasi masalah tersebut, sesuai dengan kebijakan "revitalisasi" yang dicanangkan mulai akhir 2012, Bakrie Telecom memutuskan menyederhanakan mereknya hanya menjadi Esia, namun dengan banyak varian produk[49] yang kini lebih difokuskan pada layanan data internet.[94] Adapun produk pertamanya pasca penyederhanaan merek adalah Esia Max-D, berupa layanan data dan modem yang dikhususkan bagi pengguna internet berteknologi EV-DO sebagai pengganti produk AHA.[95][96] Selain itu, Esia juga berusaha mulai menjual smartphone Android (bukan feature phone seperti sebelumnya)[97] maupun paket telepon/SMS dengan harga murah, meluncurkan logo baru pada 2015, serta mengalihkan pengelolaannya pada anak usaha baru Bakrie Telecom bernama PT Esia Telekomunikasi Indonesia (atau EsiaTel).[98] Namun, seiring kerugian yang tidak terhindarkan, Bakrie Telecom memutuskan perlahan-lahan keluar dari bisnis operator jaringan seluler. Upaya ini dimulai sejak 30 Oktober 2014, ketika Esia menjalin kerjasama dengan operator lain, Smartfren untuk membangun jaringan 4G. Keduanya akan menggabungkan frekuensi CDMA mereka untuk teknologi 4G, dan Esia akan menyewa jaringan yang disatukan milik Smartfren tersebut untuk pelanggannya, dengan perbulan sekitar Rp 30 miliar.[99][100] Selain itu, Bakrie Telecom juga akan membeli 6% saham Smartfren Telecom.[61] Walaupun memasuki awal 2015 proyek ini sudah berjalan dengan baik,[101] namun pada 1 April 2015, layanan data internet Esia ditutup, yang disusul penghentian jaringan CDMA-nya di seluruh Indonesia (kecuali Jakarta, Jawa Barat dan Banten) mulai Januari 2016. Seluruh pelanggan di luar tiga wilayah tersebut, akhirnya seperti "diminta" beralih ke Smartfren, jika mereka ingin tetap menggunakan alat komunikasinya.[102][103] Sisa-sisa pengguna Esia kemudian terus berkurang, bahkan pada 2018 menurut Smartfren, tidak ada lagi yang memakai jaringan hasil kerjasama keduanya.[104][105] Produk dan layanan EsiaLayanan Esia bisa diperoleh dengan membeli kartu perdana ataupun nomor (inject) yang dipasangkan dengan handset tipe CDMA yang memiliki frekuensi 800 MHz. Kartu perdana Esia dijual dipasaran dengan harga Rp 50.000, dengan isi talktime senilai Rp 20.000, atau sebanding dengan 7,5 jam durasi bicara (ke sesama Esia). Telepon genggam Esia diproduksi oleh Huawei. Layanan Esia dibagi menjadi dua, yaitu prabayar & pascabayar. Tersedia pula berbagai fitur tambahan seperti GoGo yang memungkinkan pelanggan menggunakan kartu Esia di luar wilayah kotanya, serta layanan value-added services (VAS) seperti ring back tone, DV8.88 music portal dan akses internet.
Slogan
AHAAwalnya, untuk menopang bisnisnya di bidang layanan suara dan SMS, Bakrie Telecom meluncurkan Wimode pada 10 April 2007. Produk komunikasi data internet dengan menggunakan modem USB ini merupakan produk pertama di Indonesia dalam jenisnya. Dengan menggunakan jaringan CDMA2000 1x Esia yang dibantu 1.000 BTS, Wimode diklaim bisa menghadirkan internet berkecepatan tinggi. Produk ini ditawarkan dengan harga awal Rp 750.000/unit, dengan perhitungan tarif Rp 100-125 per menit atau per paket (seperti Rp 100.000 untuk pemakaian 15 jam/bulan hingga Rp 350.000 untuk pemakaian 100 jam). Mengusung slogan "Now every spot is a Wimode Hotspot", Wimode menargetkan 360.000 pelanggan di tahun peluncurannya.[106][107] Namun sayangnya Wimode tidak mendapatkan respons dan penjualan yang baik, sehingga pada Juli 2010, layanan Wimode digantikan oleh AHA (singkatan dari Affordable Hyperspeed Access, artinya Akses (Internet) yang Terjangkau dan Supercepat).[108] Berbeda dengan Wimode yang ditangani langsung, kali ini Bakrie Telecom membentuk anak usaha baru (pada 19 April 2010)[109] untuk mengelola produk barunya ini, yaitu PT Bakrie Connectivity (disingkat BConnect). Bekerjasama dengan Google, investasi Bakrie Telecom di BConnect mencapai US$ 100 juta.[110] Secara resmi, disampaikan bahwa BConnect hadir seiring perkembangan teknologi di masyarakat yang mengarah ke budaya digital dan internet. Diharapkan, layanan ini mampu memberikan pelayanan maksimal maupun nilai lebih bagi pelanggan, dan dengan penggarapan yang serius, dapat memajukan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik. AHA hampir sama dengan Wimode, namun bekerja pada sistem CDMA2000 EV-DO Rev. A (yang sebenarnya sudah berusaha diluncurkan Bakrie Telecom sejak 2006)[111] dan termasuk layanan broadband wireless access (BWA). AHA pertama kali diluncurkan di Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Malang, Bogor dan Solo.[112] Produk ini menawarkan layanan internet dengan harga yang diklaim terjangkau, dengan harga awal Rp 499.000 dan targetnya terjual 100.000 perangkat.[113][114][115] Dalam perkembangannya, berbagai produk varian AHA dikeluarkan, seperti AHA office in box (yang menawarkan internet kecepatan tinggi kepada UMKM dengan harga Rp 200.000-1.000.000 dan target pelanggan 500.000) pada Maret 2011;[116] AHA-MyTV (yang dikhususkan bagi penonton televisi dan video internet) pada Juli 2011;[117] tablet CDMA;[118] ditambah berbagai jenis modem baru yang diluncurkan pada 2011-2012.[119] Di tahun 2010-2011, AHA sudah beroperasi di 12 kota dan direncanakan akan bertambah lagi, serta telah memiliki 75.000 pelanggan dengan penggunaan 4 GB/hari.[120] Seiring upaya restrukturisasi Bakrie Telecom pada 2012, merek AHA resmi dihentikan dan operasionalnya digabungkan dengan Esia sebagai merek utama.[121] Penggabungan merek ini ditandai dengan peluncuran kartu perdana kerjasama Esia dan AHA bernama "SP Esia AHA EVDO" untuk gawai (gadget) dan modem pada 1 Juni 2012.[122] Namun, untuk PT Bakrie Connectivity sampai saat ini masih ada, sebagai anak perusahaan Bakrie Telecom walaupun kurang jelas apa operasionalnya. Produk AHABerikut ini adalah beberapa produk-produk yang dikeluarkan dalam merek AHA:
WifoneSeperti telah disebutkan, bisnis awal dari Bakrie Telecom (d/h Ratelindo) adalah membangun jaringan telepon dengan sistem fixed wireless berteknologi GMH-2000 E-TDMA yang menggunakan frekuensi 800 MHz[18] untuk telepon rumah yang mirip dengan telepon kabel, tapi tidak menggunakan jaringan kabel melainkan jaringan gelombang radio (nama resminya Sistem Telepon Lintas Radio/STLR).[123][124] Target awalnya adalah membangun 280.000 sambungan di 8 kota (250.000 di Jakarta dan sisanya di Jawa Barat) pada akhir 1994.[125] Untuk membantu pengembangannya, Ratelindo menggandeng Hughes Network Systems, sebuah perusahaan Amerika Serikat untuk membangun jaringan infrastrukturnya (senilai US$ 80 juta)[126][7] dan PTT Telecom Netherlands, perusahaan telekomunikasi Belanda lewat suntikan modal US$ 90 juta dan kepemilikan 30% di induk Ratelindo, PT BEC.[127][128] Selain keduanya, Ratelindo juga dibantu secara operasional dan infrastruktur oleh Telkom sebagai pemegang sahamnya.[129] Pada Februari 1996, Ratelindo sudah menggaet 6.000 pelanggan, yang ditargetkan akan bertambah seiring pembangunan 50.000 jaringan baru.[130] Memasuki akhir tahun tersebut, penggunanya naik pesat menjadi 75.000, sehingga manajemen Ratelindo menargetkan pelanggannya akan menjadi 150.000 pada 1997.[131] Meskipun berhasil mengembangkan layanan telepon tetap nirkabel, perjalanan Ratelindo selanjutnya nampak tersendat. Target pelanggannya sebanyak 280.000 tidak tercapai, dengan hanya berhasil meraih 135.000 (yang terkonsentrasi di Jabodetabek bagian selatan) dan 1.500 pemasang baru perharinya di tahun 2002. Produk Ratelindo terlihat kurang berhasil bersaing dengan layanan PSTN Telkom, dengan sekedar menjadi pemain "kelas dua" yang memfokuskan operasionalnya di wilayah yang tidak terjamah perusahaan negara tersebut.[12] Hal ini terjadi meskipun layanan Ratelindo memiliki fitur yang lebih baik dibanding telepon kabel biasa, seperti adanya fasilitas internet dan e-mail menggunakan teknologi cellular digital packet data (CDPD) sejak 1999,[132] serta sudah mengembangkan layanan komunikasi data bernama "DataPlus" dan "HomeNetPlus" sejak 1997.[133] Bahkan, jika memenuhi target, sudah ada rencana dari manajemen Ratelindo untuk memperluas operasionalnya ke seluruh Indonesia dan meningkatkan kapasitasnya menjadi 500.000.[134] Kekurangberhasilan tersebut disebabkan oleh kelemahan sistem E-TDMA yang digunakannya, seperti suaranya kurang jernih, kapasitasnya terbatas dan teknologinya yang belakangan tidak dikembangkan lagi. Walaupun kemudian Bakrie Telecom mengandalkan Esia sebagai produk utamanya, mereka tidak mematikan sambungan telepon Ratelindo yang mereka jalankan sebelumnya, meskipun tidak mengalami pertumbuhan berarti dalam jumlah pelanggan.[12] Awalnya, sebagai pengganti Ratelindo, Esia pernah meluncurkan produk EsiaHome yang sistemnya hampir sama dengan Wifone. Produk ini merupakan salah satu dari dua produk awal Esia yang diluncurkan pada 12 September 2003, tetapi sayangnya tidak sukses. Pada 21 September 2006, Bakrie meluncurkan produk pengganti sistem Ratelindo, yaitu Wifone, yang merupakan singkatan dari Wireless Inteligent Fone Service (artinya Layanan Telepon Cerdas Nirkabel).[135] Berbeda dengan Ratelindo yang menggunakan jaringan radio dan berteknologi E-TDMA, Wifone menggunakan teknologi CDMA. Menurut pihak Bakrie Telecom, mereka melihat masih adanya peluang dari masyarakat yang belum terjamah sistem telepon kabel Telkom. Wifone menawarkan fasilitas "sehemat telepon rumah, sekaya fitur handphone" dengan harga yang murah (Rp 499.000-1,3 juta) dan dibantu oleh jaringan internet. Untuk pemasarannya, Wifone mengandalkan jaringan supermarket dan kompleks perumahan baru.[136] Sebagai modal awalnya, pelanggan Ratelindo dimigrasikan ke Wifone mulai awal 2007, dikarenakan pemerintah melakukan penataan ulang frekuensi pada 2006-2007 antara Telkom dan Bakrie Telecom. Dalam perundingan keduanya yang berbuah kesepakatan di bulan April 2007, diputuskan bahwa Bakrie Telecom yang pada saat itu menggunakan frekuensi 800 MHz kanal 160, 201, 242 dan 283 (untuk Ratelindo), akan berpindah ke 800 MHz kanal 37, 78, 199.[137][138][139][140] Pasca-peluncurannya, Wifone juga menargetkan 1,3 juta pelanggan baru di 15 kota pada akhir 2006. Seiring waktu, wilayah jaringan Wifone diperluas sesuai perluasan jaringan Esia.[141] Untuk memperluas pemasarannya, Wifone sempat menghadirkan fitur DV8.88 berupa layanan mendengarkan dan mengunduh lagu lewat telepon (bersama Esia),[142] dan mengadakan undian berhadiah rumah yang dihitung dari poin penggunaannya.[143] Klik OnProduk ini diluncurkan pada 22 Maret 2012, di Hotel Aryaduta Palembang. Klik On merupakan produk dekoder yang memberikan layanan internet bagi pesawat televisi biasa, dan ditawarkan bagi masyarakat yang ingin menikmati TV pintar (smart TV) dengan harga terjangkau. Adapun Klik On memanfaatkan jaringan EV-DO Rev. A milik AHA, dan selain untuk mengakses internet, juga dapat digunakan untuk menonton konten pendidikan, kecantikan dan hiburan. Mulanya produk ini dipasarkan di sejumlah kota di pulau Sumatra, yaitu Palembang, Pekanbaru, Padang dan Medan, yang akan disusul ke kota-kota di pulau Jawa seperti Surabaya, Semarang, Bandung dan Jakarta mulai Juni 2012. Pelanggan akan dikenakan biaya pembelian produk sebesar Rp 995.000 (terdiri dari dekoder/set top box, remote, keyboard dan modem), ditambah biaya berlangganan Rp 125.000/bulan.[144][145] Sambungan Langsung Internasional (SLI) 009Layanan SLI Bakrie Telecom diluncurkan pada 15 April 2009, menjadikannya pemain ketiga setelah Indosat dan Telkom. Sebenarnya, izin awal SLI tersebut sudah didapat Bakrie Telecom sejak September 2007, tetapi izin penyelenggaraannya baru keluar pada Februari 2009. Menurut Presiden Direktur Bakrie Telecom (saat itu), Anindya Bakrie, pengoperasian SLI dimaksudkan agar Bakrie Telecom menjadi perusahaan penyedia layanan telekomunikasi lengkap. Modal yang disiapkan adalah US$ 25 miliar dan infrastruktur berupa Sentral Gerbang Internasional, yang pada saat itu baru ada di 2 lokasi (Batam, Jakarta), namun kemudian akan ditambah tiga lagi (Medan, Surabaya dan Makassar). Selain itu, untuk penyediaan fasilitasnya, digandeng Tata Communications dan Telstra. Bakrie Telecom mengklaim jasa SLI-nya memiliki kualitas suara yang bagus dan sudah mencakup 64 kota di berbagai negara ketika awal peluncurannya. SLI bernomor 009 ini ketika diluncurkan menawarkan promo senilai Rp 49/detik di luar PPN (diklaim lebih hemat 77% di luar pesaingnya) sampai Desember 2009 ke sejumlah negara (seperti AS, Malaysia dan Thailand), serta jasa bagi pelanggan bisnis.[146][147][148][149] Manajemen memperkirakan bahwa SLI Bakrie Telecom akan menarik 20-30% pangsa pasar dan menyumbang 5-7% keuntungan Bakrie Telecom.[150] Sebulan setelah peluncurannya, sempat muncul kabar Indosat hendak menjegal lawan barunya ini, seperti menaikkan harga jasa dan meminta penghentian promosi, tetapi dibantah oleh Indosat.[151] Di tahun 2010, menurut manajemen Bakrie Telecom, layanan SLI mereka mulai banyak dipakai, terutama oleh Esia maupun operator lain untuk berhubungan langsung, seperti dari Arab Saudi.[152] Lalu, di tahun 2013, layanan SLI ini juga dipaketkan dalam promosi Esia yang menawarkan sambungan langsung bernomor 01010 dengan harga murah (Rp 9.999/15 hari).[153] Namun, seiring dengan langkah Bakrie Telecom yang mundur dari industri telekomunikasi, akhirnya pemerintah mencabut izin SLI ini pada 17 Oktober 2016, setelah 7 tahun beroperasi.[154] Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ)Ide untuk mengoperasikan layanan ini sebenarnya sudah ada sejak 2007 untuk memperbesar kinerja perusahaan.[155] Untuk mendapatkan izinnya, pada akhir Juli 2008 Bakrie Telecom mengikuti tender penyediaan SLJJ, dengan syarat harus membangun infrastruktur ke 50 kota di seluruh Indonesia (termasuk 15 di Indonesia Timur).[156][157] Dalam tender ini, Bakrie Telecom berhadapan dengan Mobile-8 Telecom, tetapi kemudian Mobile-8 gugur di awal sehingga Bakrie Telecom akhirnya dinyatakan keluar sebagai pemenangnya pada 16 Desember 2008.[158][159] Kemenangan Bakrie Telecom ini, yang baru diumumkan pada 22 Desember 2008, sekaligus mengakhiri duopoli SLJJ dari Indosat dan Telkom.[160] Menurut pihak Bakrie Telecom, pemberian izin SLJJ ini makin memantapkan niat perusahaan untuk menjadi penyedia layanan komunikasi lengkap dan sebagai persiapannya mereka sudah menyiapkan dana US$ 200 juta.[161] Seiring dengan upaya perusahaan keluar dari industri operator seluler dan menggabungkan jaringannya dengan Smartfren, pada tahun 2014 pemerintah mencabut izin SLJJ Bakrie Telecom.[162] Pencabutan izin juga disebabkan kegagalan perusahaan membangun infrastruktur yang menjadi prasyarat pemberian izin SLJJ.[163] EsiaTelProduk EsiaTel merupakan kelanjutan dari bisnis yang dijalankan Ratelindo sebelumnya. Ratelindo awalnya menjalankan merek Wartel Ratelindo[164] sejak 1995, yang kemudian sudah terpasang di ribuan warung telepon.[165] Seiring perubahan bisnis perusahaan, pada 2005 Bakrie Telecom mengubah Wartel Ratelindo menjadi Wartel Esia yang ditawarkan ke wirausahawan dengan sistem bagi hasil.[166] Namun, kemudian namanya diubah lagi menjadi EsiaTel, paduan dari "Esia" dan "wartel". EsiaTel mirip dengan wartel pada umumnya, tetapi tidak menggunakan sambungan telepon kabel Telkom, melainkan jaringan Esia/Bakrie Telecom yang nirkabel. Produk ini ditawarkan ke pengusaha kecil yang ingin bermain di jasa wartel, dengan harga yang diklaim terjangkau dan dapat melakukan sambungan lokal dan interlokal, ditambah berbagai fitur.[167][168] Sejumlah pelanggan EsiaTel berasal dari pengalihan pelanggan Ratelindo,[169] ditambah dengan sumbangan/promosi yang diberikan oleh Bakrie Telecom.[170] Selain telepon wartel, EsiaTel juga menyediakan jasa telepon koin yang diluncurkan pada 2009, dengan awalnya berkerjasama dengan Taman Impian Jaya Ancol untuk membangun 50 telepon umum di sana ditambah dengan sumbangan di beberapa daerah seperti Banjarmasin dan Balikpapan. Namun sepertinya jasa ini kurang populer dibanding pesaingnya yang lain.[171][172] EsiaTalkSetelah keluar dari bisnis jaringan telepon seluler, PT Bakrie Telecom memutuskan untuk fokus pada aplikasi chatting bernama EsiaTalk, yang ditawarkan dengan fitur seperti bisa menelepon gratis di luar negeri dan dalam negeri dengan sistem VoIP sekaligus melakukan chatting. Diluncurkan pada November 2015, awalnya aplikasi ini diklaim cukup populer dimana sudah mencapai 200.000 unduhan di Google Play Store dan termasuk 20 aplikasi dengan unduhan tertinggi, dan pengelolaannya hanya membutuhkan 50 pegawai saja. Manajemen Bakrie Telecom juga mengatakan bahwa mereka hendak bermain di bisnis aplikasi digital, sebagai "inovator".[61][173][174] Namun, tampaknya aplikasi ini tidak lagi dikembangkan oleh Bakrie Telecom seiring dengan makin parahnya kesehatan perusahaan ini. LainnyaAnak usaha saat ini:[2]
Anak usaha sebelumnya:
OperasionalManajemen
Pemegang saham
Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|