GPIB Paulus Jakarta
Gereja Paulus Jakarta atau yang dikenal juga dengan GPIB Jemaat Paulus Jakarta adalah sebuah bangunan gereja yang berada di wilayah Menteng, Jakarta (tepatnya Jalan Taman Sunda Kelapa nomor 12), Indonesia. Gereja ini bernaung dalam GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat) dengan sistem Presbiterial Sinodal.[1] SejarahPembangunan Gedung GerejaJemaat Protestan di Batavia disebut sebagai De Evangelische Gemeente. Jemaat Injili di Batavia telah mempunyai tiga buah gedung Gereja: De Nieuwe Portugeesche Buitenkerk (Gereja Sion, Kota), De Nieuwe Haantjeskerk (Gereja Pniel, Pasar Baru), dan De Willemskerk (Gereja Immanuel, Pejambon). Muncul keinginan jemaat saat itu untuk membangun gedung Gereja yang keempat di kota baru Menteng, Kota Taman. Komisi Pembangunan Gereja memilih lokasi yang sangat strategis, yaitu di pertemuan dua jalan utama wilayah Menteng, Nassauboulevard (kini Jalan Imam Bonjol) dan Oranjeboulevard (kini Jalan Pangeran Diponegoro), dan berhadapan dengan Burgemeester Bisschopplein (kini Taman Suropati). Kondisi pembangunan saat itu cukuplah sulit di mana sedang terjadi krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1929 (terancam malaise, lumpuhnya perdagangan, dan hasil pertanian dan industri tidak terjual), namun pembiayaan pembangunan ternyata terkumpul. Diterima kabar pula tanggal 18 Juni 1935 bahwa pemrakarsa pengumpulan dana yang juga anggota Kerkbestuur, Ds. W.J.J. Jenny meninggal dunia di Arnhem, Belanda pada usia 53 tahun. Komisi Pembangunan dari Majelis Gereja yang diketuai oleh Ds. de Bruijn pada akhir tahun 1935 memutuskan untuk mempercepat pembangunan Gereja: peta denah dengan bestek-bestek kondisi telah diperiksa dan disetujui, juga oleh pengawas bangunan Kotapraja. Pemborong mengajukan penawaran tertulis dalam amplop tertutup, walaupun dikhawatirkan bakal terjadi dievaluasi karena krisis ekonomi yang tak kunjung reda. Gedung Gereja didesain oleh F.J.L. Ghijsels pendiri AIA Bureau bekerja sama dengan Firma Sitzen en Louzada.[2] tapi sumber lain menyebutkan bahwa arsiteknya adalah Ir. N.E. Burhoven Jaspers.[3] Peletakan Batu PertamaPada hari Jumat, 3 Januari 1936 dengan suatu upacara diletakanlah batu pertama. Upacara tersebut dihadiri banyak undangan yaitu pembesar-pembesar Pemerintah Hindia Belanda dan tokoh-tokoh Gereja. Dalam pidato pembukaannya, Ds. de Bruijn mengingatkan hadirin pada usaha pengumpulan dana selama sembilan tahun yang dikumpulkan anggota jemaat sendiri tanpa menerima subsidi pemerintah. Diperingati juga peranan almarhum Ds. W.J.J. Jenny yang merupakan salah seorang pelopor yang telah ikut berusaha dengan tekun dan rajin, dan tanpa memperhitungkan bahwa semasa hayatnya tak akan turut menyaksikan hasil-hasil usahanya itu. Kemudian Ds. de Bruijn berharap agar gedung Gereja baru ini menjadi simbol bagi pertumbuhan dan perkembangan umat Tuhan. Ds. de Bruijn juga menjelaksan arti simbol dari menara gereja yaitu: "Hendaklah orang memikirkan hal-hal yang di atas, dan bukan pertama-tama hal-hal yang di bumi saja.". Di antara hadirin dalam upacara tersebut yaitu Directeur van Onderwijs en Eeredienst (Menteri Pengajaran dan Urusan Peribadahan) yang menjampaikan ucapan selamat dari Gubernur Jenderal, katanya, arti simbolik peletakan batu pertama inilah dimulainya dari yang kecil, sama seperti kekristenan yang dimulai dari sebiji sesawi. Ibadah PenahbisanTibalah harinya pada Sabtu, 6 Juni 1936, menjelang pukul 09.00 pagi, di pekarangan Gereja yang baru itu telah banyak orang berkumpul. Di dalam ruang Ibadah telah duduk 400 umat, sementara di balkon duduk 100 umat lagi. Di deretan kursi Majelis Jemaat telah duduk sejumlah pejabat Gereja, juga Pendeta dan anggota Kerkbestuur. Di depan mimbar tehampar permadani. Di tengah membelakangi mimbar, berdiri Ds. Lindeijer, Ketua Majelis Gereja. Di sebelah kanannya, di tepi platje berdiri Ds. de Vrede, sekretaris Kerkbestuur, sementara di sebelah kiri berdiri Ds. de Heer, seorang dari antara lima orang predikanten. Tepat pukul 09.30 umat berdiri dan bernyanyi. Lalu, oleh Ds. H. Jansen pintu masuk diketuknya tiga kali dari luar, kemudian koster membukakan pintu. Berbaris masuklah Komisi Pembangunan, Majelis Gereja. Para dominee yang berpakaian toga lalu berbegas berdiri di kanan-kiri Ds. Lindeijer. Ds. H. Jansen kemudian menyampaikan pidato singkat sambil tidak lupa kembali mengingatkan jasa-jasa almarhum Ds. W.J.J. Jenny. Kemudian diserahkanlah kunci gedung Gereja kepada Majelis Jemaat yang diterima Ds. Lindeijer. Ibadah dilanjutkan dengan peletakan Kanselbijbel (Alkitab untuk mimbar) oleh Penatua Vleeming, anggota Kerkbestuur yang tertua. Alkitab terbuka pada halaman 36 yaitu Kejadian 28:12-19, "Mimpi Yakub di Betel". Kemudian Ds. de Vrede pun naik mimbar untuk mentahbiskan mimbar tersebut dengan pidato pendek dan ditutup dengan doa. Pentahbisan disusul oleh Ds. Lindeijer terhadap orgel, hadiah sukarela dari Perkumpulan Deo Juvanto (orgel kini telah diganti dengan yang baru pada 1997 buatan PT. Prajawidya Instrumentalia Indonesia). Lalu, Ds. Keers mentahbiskan lonceng Gereja yang sudah tergantung di atas menara. Lonceng tembaga itu berukir tulisan Sursum Corda (Angkatlah Hatimu) yang merupakan persembahan anak-anak katekisasi yang telah membeli khusus dari Belanda, pabrikan Firma A.H. van Bergen, Heiligerlee, Belanda. Kata orang, itulah lonceng yang terbesar di Indonesia. Setibanya saat yang teduh, Ds. Keers menarik ujung tali lonceng itu. Maka untuk pertama kalinya berdentanglah lonceng itu. Ds. Lindeijer kemudian naik mimbar dan berkhotbah dengan mengambil nas dari Kejadian 28:12-19. Seluruh ibadah pentahbisan diisi dengan nyanyian umat, ungkapan pujian dari paduan suara, nyanyian solo, serta beberapa antifon, pembacaan Mazmur secara berbalas-balasan (Mazmur 24) oleh dua orang Penatua dan dua orang Pendeta. Dengan pentahbisan gedung Gereja baru ini kemudian diberi nama Nassaukerk. Masa Penjajahan JepangNassaukerk berganti nama menjadi Geredja Menteng pada masa penjajahan Jepang mulai 1942-1945. Pendeta-pendeta Belanda maupun kebaktian berbahasa Belanda untuk sementara masih diizinkan oleh pemerintahan Dai Nippon. Kira-kira tahun 1943, pendeta-pendeta Belanda dan anggota jemaat mulai ditawan dalam kamp konsentrasi. Kebaktian masih berjalan, namun suatu waktu mulai dilarang. Mulai Oktober 1944, kebaktian berbahasa Belanda berganti dengan kebaktian berbahasa Melayu dengan campur-aduk bahasa Belanda. Pendeta yang melayani adalah: Ds. Pattiasina, Ds. Tutuarima (Depok) dan Penatua B. Harst, serta seorang mahasiswa Teologi yaitu Paul. H. Rompas. Keadaan ini berjalan terus sampai Indonesia merdeka hingga bulan Oktober 1945. Pasca Kemerdekaan IndonesiaPeriode 1945 - 1948Setelah Indonesia merdeka, kebaktian di Nassaukerk kembali dalam bahasa Belanda. Pendeta yang melayani antara lain ialah Ds. Wijchters. Kebaktian berbahasa Belanda diadakan tiga kali yaitu pukul 08.00, 10.00, dan 19.00. Muncul keinginan untuk diadakannya kebaktian berbahasa Indonesia. Pra anggota Majelis Jemaat dari wijk Menteng yang wilayahnya sampai Kebayoran antara lain Bapak D. Tuju, Bapak A. Rawung, Bapak Th. F.A.P. Rumate. Usaha-usaha juga dimunculkan dengan pembentukan Paduan Suara, Sekolah Minggu, Persekutuan Kaum Ibu, dan Perkumpulan Kematian Persaudaraan Masehi (PKPM) yang anggotanya beralamat di Jalan Gondangdia Lama 38. Hal ini terjadi akibat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Kebaktian juga dilakukan di rumah keluarga Dotulong dan Sumual. Pada saat itu, pendeta berbahasa Indonesia di Jakarta hanya tiga yaitu Ds. D.F. Sahulata, Ds. B.A. Supit (Willemskerk), dan Ds. Ch. Poiree. Setelah melewati rangkaian pergumulan, akhirnya kebaktian berbahasa Indonesia dapat diadakan setiap hari Minggu pukul 12.00. Pembentukan Gereja Protestan di Indonesia bagian BaratPada tanggal 31 Oktober 1948 dibentuk Gereja Mandiri dari Gereja Protestan di Indonesia yang keempat yaitu Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. Ibadah Penahbisan dan Peneguhan Majelis Sinode GPIB pertama pun dilaksanakan di Gedung Gereja ini pada tanggal 31 Oktober 1948 setelah sebelumnya Proto-Sinode Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat dilaksanakan di Gedung Pertemuan Gereja ini. Gedung gereja yang bernama Nassaukerk memperoleh namanya yang baru yaitu Gereja Paulus. Nama tersebut diberikan oleh Ds. D.F. Sahulata. Dan mulai saat itu pula wijk Menteng pun menjadi Wilayah Pelayanan Paulus. Berdasarkan Surat Keputusan Majelis Sinode Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat, terhitung 1 April 1965, Wilayah Pelayanan Paulus dilembagakan menjadi Jemaat Otonom[4] Jemaat Hasil PelembagaanWilayah pelayanan yang sampai ke daerah Kebayoran dan perkembangan kota sehingga dianggap perlu dilembagakan menjadi jemaat otonom baru. Oleh karena itu, 3 Agustus 1958 dilembagakan jemaat baru yaitu GPIB Jemaat "Effatha" DKI Jakarta yang memiliki gedung gereja di Jalan Melawai I/2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. ArsitekturCiri khas Gereja Paulus ini adalah menaranya yang langsing dengan atap piramida runcing, serta 4 buah jam besar di bawahnya, dan sampai sekarang, jam ini masih berfungsi sampai sekarang. Bidangnya bujur sangkar, di mana merupakan konsep 4 penjuru mata angin besar. Sebenarnya, bagian fungsional seperti jendala, bouvenlicht (lubang angin) serta teritisan dari plat beton merupakan komposisi tampak bangunan yang konsisten dan profil estetika yang dekoratif pada kolom dan pilaster sangat kuat yang menunjukkan pengaruh arsitektur Art Deco yang elegan. Denah Gereja Paulus ini, sangat kuat sebagai simbol kekristenan, yaitu berbentuk salib, yang keempat sisinya adalah sama panjang. Masing-masing sayap bangunan ini beratapkan pelana dengan kemiringan yang tajam, seperti bangunan-bangunan umumnya di Menteng. Atapnya merupakan atap sirap yang khas dari umumnya bangunan di Menteng. Kecuraman atap ini memang didesain pada rumah atau bangunan dengan atap tinggi serta banyak lubang angin untuk cross ventilation di mana angin dapat melaju di dalam bangunan, apalagi dengan atap dan plafon tinggi, membuat suhu dibangunan itu menjadi lebih nyaman. Kaki tembok dari batu alam dicat hitam, membuat kesan alaminya hilang.[3] Terlihat, bagian atas terdapat jendela mosaik dari kaca berwarna.[3] Jika matahari bersinar, maka jendela mosaik ini seakan-akan menyebarkan sinar berwarna-warni seperti sapaan Tuhan. Interior bangunan tetap dipertahankan, sebuah konsep klasik dengan warna dinding putih dan material kayu. Ada tiga buah balkon di dalam gedung yang digunakan untuk umat. Gereja ini juga difasilitasi dengan pendingin ruangan.[3] Gedung gereja juga dapat dikategorikan sebagai alam karya arsitektur Nieuwe Zakelijkheid.[3] Sesuai semboyan dari arsiteknya, simplicity is the shortest path to beauty.[3] Semboyan yang diabaikan oleh sebagian besar arsitek yang merancang rumah-rumah baru sejak 1970-an dan merusak kawasan Menteng.[3] Sertifikat Sadar PemugaranGereja Protestan Indonesia di bagian Barat (GPIB) Jemaat Paulus menerima penghargaan Sertifikat Sadar Pemugaran tahun 1993. Bangunan Gereja dilidungi dengan kategori A. Peralatan SakramenGereja ini memiliki peralatan sakramen kuno yang masih terus digunakan dalam Ibadah. Kaki tempat wadah baptisan dibuat pada tahun 1741 yang dipersembahkan Th. Anthonist, seorang warga pribumi, kepada Gereja Portugis di dalam Kota (kini GPIB Jemaat Sion Jakarta) dan dibuat oleh pandai perak J.H. Winter. Kini kaki dengan wadah baptisan sudah tidak menjadi satu kesatuan, karena wadah baptisan yang asli kini disimpan di GPIB Jemaat Pniel Jakarta. Perangkat Sakramen Perjamuan Kudus yang terbuat dari perak - merupakan benda antik paling berharga. Pada cawan perjamuan terdapat tulisan "Untuk peringatan akan Gereja baru bagi umat Portugis atau pribumi, dipersembahkan dan dihadiahkan oleh Joannes Camphuijs, lahir di Haarlem, tanggal 18 Juli 1634; dari 11 Januari 1674 sampai 24 September 1691 berjabatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda; telah meninggal pada tanggal 18 Juli 1695 di Batavia." Di atas tulisan tampak lambang Gubernur Jenderal Camphuijs. Sayangnya, cawan tersebut kini telah hilang sejak tahun 2013 akibat pencurian oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Peralatan Sakramen ini masih terus digunakan untuk Sakramen Baptisan dan Sakramen Perjamuan sebagaimana dilakukan oleh Gereja Protestan. Peralatan ini diletakan di pusat mimbar sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ibadah-ibadah.
Orgel PipaSejak memasuki gedung gereja hingga saat duduk beribadah, ada satu benda yang selalu menarik perhatian umat. Di balkon atas mimbar tampak jajaran pipa yang tersusun cantik dalam sebuah lemari kayu bergaya modern. Benda ini ternyata menyimpan sejarah panjang, mulai dari saat gedung gereja ditahbiskan sampai saat ini. Tidak berlebihan apabila kita menyebutnya sebagai icon yang dimiliki Gereja Paulus – instrumen orgel pipa. Orgel pipa adalah sebuah alat musik yang memanfaatkan udara (angin) untuk menghasilkan bunyi pada pipa-pipa tertentu. Bentuk dan ukuran pipa yang berbeda membuat bunyi yang dihasilkan pun berbeda. Dengan lebih-kurang 1486 pipa dan 21 register (jenis suara), orgel Gereja Paulus merupakan orgel pipa terbesar di gereja protestan di Indonesia. SejarahOrgel pipa di Gereja Paulus memiliki riwayat yang cukup panjang. Sejarah mencatat, bahwa sejak gedung gereja ditahbiskan pada tahun 1936 sampai dengan sekarang, terdapat tiga orgel pipa yang pernah mengiringi ibadah-ibadah di gedung gereja ini. Orgel pipa pertama disumbangkan oleh Perkumpulan Deo Juvanto pada saat gereja dibangun. Sayangnya, tidak ditemukan dokumentasi keberadaan orgel pipa ini. Arsip yang ada hanyalah catatan dalam Ibadah Penahbisan Gedung Gereja pada 6 Juni 1936, di mana orgel pipa saat itu ditahbiskan oleh Ds. J.M. Lindeijer. Pada tahun 1950-an, Gereja Paulus dihibahkan orgel pipa dari Gereja Sidang Kristus Sukabumi. Orgel pipa kedua ini adalah buatan Perusahaan Van Dam (kemungkinan besar dari abad ke-19). Karena keterbatasan sarana transportasi dan tenaga ahli/teknisi orgel pipa saat itu, pemindahan instrumen dilaksanakan dengan sangat sederhana: pipa-pipa diangkut menggunakan truk barang dari Sukabumi ke Jakarta. Hal ini membawa konsekuensi yang buruk – orgel pipa ini tidak menghasilkan suara yang memadai untuk gedung Gereja Paulus. Selama beberapa tahun, ibadah-ibadah di Gereja Paulus diiringi oleh harmonium, alat musik yang bekerja dengan pompa kaki sebagai sumber angin. Pada pertengahan dekade 1990-an dimulailah proyek pembangunan orgel pipa yang ketiga. Proyek ini berjalan di bawah pimpinan Pdt. H.A. van Dop dan Bapak Suwandi, seorang pembangun orgel pipa (orgelbauer) asal Indonesia. Proses pembangunan orgel pipa ini memerlukan biaya tidak kurang dari Rp200.000.000,- saat itu, atau kini setara dengan lebih-kurang dua miliar rupiah. Desain lemari pipa dirancang oleh Pdt. H.A. van Dop, pekerjaan pembangunan dilaksanakan oleh Bapak Suwandi dan Bapak Rajino dari Prajawidya Instrumentalia. Keseluruhan kayu yang digunakan dalam orgel pipa ini berasal dari kayu jati yang didatangkan dari Jepara. Setelah sekitar dua tahun proses pembangunan, orgel pipa ketiga Gereja Paulus diresmikan pada tahun 1997. Pipa-pipa yang ada di orgel Paulus datang dari berbagai sumber. Pipa-pipa yang paling tua berasal dari orgel buatan Schölgens, Van den Haspel, dan Van der Weyde (Rotterdam, 1867) milik Gereja Sains Bandung (sekarang GII Hok Im Tong) yang dibeli oleh PT Prajawidya Instrumentalia dan satu buah pipa Prestant bekas orgel kedua Gereja Paulus. Terdapat pipa-pipa yang dibeli dari G.M. van der Hoef, organis Julianakerk di Veenendaal, Belanda, serta pipa-pipa yang didatangkan dari pabrik pembuat orgel pipa Stinkens di Belanda. Inilah salah satu keunikan orgel pipa Gereja Paulus – di satu sisi, ada pipa yang usianya sudah lebih dari satu abad; di sisi lain, ada juga yang baru beberapa dekade. Ada material yang didatangkan jauh dari Negeri Belanda, ada pula yang dikerjakan dan dibuat oleh anak bangsa sendiri. Semuanya itu bersatu, menjalin harmoni indah yang mengiring ibadah di Gereja Paulus. SpesifikasiSistem keyboard/tuts: Mechanical, tracker-action. Sistem register: Mechanical, tracker-action. Sistem windchests: Slider-chests. Manual: Swell (C - g3), Great (C - g3). Pedal: C - f1 Register:
Couplers: Swell to Great, Great to Pedal, Swell to Pedal. Gereja Paulus kiniWilayah Pelayanan GPIB Jemaat Paulus DKI Jakarta terbagi atas 8 (delapan) Sektor Pelayanan yang dilayani oleh para Diaken dan Penatua yang dipilih oleh jemaat dalam periode 5 (lima) tahun, serta para Pendeta, baik para Pendeta GPIB yang ditugaskan sebagai Ketua Majelis Jemaat atau Pendeta Jemaat (disebut Pendeta Organik GPIB), Pendeta GPIB dalam tugas khusus (disebut Pendeta Pelayanan Umum GPIB), Pendeta GPIB tidak terikat organisasi (disebut Pendeta Non-Organik GPIB), maupun Pendeta Gereja Saudara dan Pendeta Gereja Seasas. Pelayanan Kategorial terbagi atas 6 (enam) kategori yaitu Pelayanan Anak, Persekutuan Teruna, Gerakan Pemuda, Persekutuan Kaum Perempuan, Persekutuan Kaum Bapak, dan Persekutuan Kaum Lanjut Usia, serta didukung oleh beberapa Komisi sebagai unit-unit misioner. Batas-batas Wilayah Pelayanan
Gedung Peribadahan
Daftar Ketua Majelis JemaatDaftar Pendeta Jemaat
Pelaksana Harian Majelis Jemaat Masa Pelayanan 2022 – 2027
Fasilitas
Bidang Pelayanan
Pelayanan
Referensi
Pranala luar
|