Dualitas gelombang-partikel

Dalam mekanika kuantum, dikenal konsep dualitas gelombang-partikel yang menyatakan bahwa setiap partikel atau entitas kuantum dapat digambarkan sebagai partikel atau gelombang. Konsep ini menunjukkan bahwa dalam skala kuantum, konsep klasik "partikel" atau "gelombang" tidak dapat sepenuhnya menjelaskan perilaku objek-objek tersebut.

Melalui penelitian Max Planck, Albert Einstein, Louis de Broglie, Arthur Compton, Niels Bohr, Erwin Schrödinger, dan para ilmuwan lainnya,[1] teori ilmiah saat ini menyatakan bahwa semua partikel memiliki sifat gelombang dan sebaliknya. Fenomena ini telah diverifikasi bukan hanya pada partikel-elementer, tetapi juga pada partikel gabungan seperti atom dan molekul. Namun, pada partikel-partikel makroskopis, sifat gelombang biasanya tidak dapat terdeteksi karena panjang gelombang yang sangat pendek.[2] Walaupun dualitas gelombang-partikel telah berhasil digunakan dalam fisika, makna dan interpretasinya masih belum sepenuhnya terpecahkan dengan memuaskan.

Ide awal dualitas berakar pada perdebatan tentang sifat cahaya dan benda sejak 1600-an, ketika teori cahaya yang saling bersaing yang diusulkan oleh Christiaan Huygens dan Isaac Newton.

Sejarah

Teori klasik partikel dan gelombang cahaya

Sketsa Thomas Young tentang difraksi gelombang pada celah ganda tahun 1803.

Teori partikel dan gelombang cahaya memiliki sejarah panjang dalam pemahaman tentang cahaya. Pada abad ke-5 SM, Demokritus menyatakan bahwa cahaya dan benda lain terdiri dari komponen terbagi.[3] Euclid pada abad ke-4 hingga ke-3 SM membahas perambatan cahaya dan prinsip jalur terpendek, termasuk pantulan ganda pada cermin, termasuk cermin berbentuk bola. Pada abad ke-2 hingga ke-1 M, Plutarch membahas pantulan ganda pada cermin bola dan pembentukan gambar yang berbeda.

Pada awal abad ke-11, Ibnu al-Haitsam menulis Kitab Optik yang menjelaskan pantulan, pembiasan, dan lensa lubang jarum melalui sinar cahaya. Ia berpendapat bahwa sinar terdiri dari partikel-partikel cahaya. Pada tahun 1630, Descartes mempopulerkan deskripsi gelombang dalam traktatnya tentang cahaya. Ia menunjukkan bahwa perilaku cahaya dapat dimodelkan sebagai gelombang dalam medium yang disebut eter.

Antara tahun 1670 hingga tiga dekade berikutnya, Isaac Newton mengembangkan dan mempertahankan teori partikel. Ia berargumen bahwa jalur pantulan lurus menunjukkan sifat partikel cahaya. Newton menjelaskan pembiasan dengan asumsi bahwa partikel cahaya berubah arah saat memasuki medium yang lebih padat. Rekan Newton, Hooke, Huygens, dan Fresnel, memperbaiki pandangan gelombang secara matematis. Mereka menunjukkan bahwa pembiasan dapat dijelaskan sebagai propagasi gelombang cahaya tergantung pada medium. Prinsip Huygens-Fresnel berhasil menjelaskan perilaku cahaya dan konsisten dengan penemuan Young tentang interferensi gelombang cahaya melalui eksperimen celah ganda pada tahun 1801.[4]

Pandangan gelombang mulai mendominasi pemikiran ilmiah tentang cahaya pada pertengahan abad ke-19 karena dapat menjelaskan fenomena polarisasi yang tidak dapat dijelaskan sebelumnya.[5] James Maxwell menerapkan persamaan Maxwell yang telah ditemukannya sebelumnya untuk menjelaskan gelombang yang merambat sendiri. Ia menemukan bahwa cahaya, termasuk cahaya tampak, ultraviolet, dan inframerah, adalah gelombang elektromagnetik dengan frekuensi yang berbeda.

Radiasi benda hitam dan Hukum Planck

Pada tahun 1901, Max Planck berhasil menghasilkan spektrum cahaya dari benda hitam dengan menerapkan konsep energi terkuantisasi atom-atom di dalamnya. Penemuan ini penting dalam pengembangan fisika kuantum. Albert Einstein kemudian mengusulkan bahwa radiasi elektromagnetik juga memiliki sifat terkuantisasi, bukan hanya energi yang dipancarkan oleh atom-atom.

Radiasi benda hitam, yaitu pelepasan (emisi) energi elektromagnetik oleh objek yang dipanaskan, tidak dapat dijelaskan dengan teori klasik. Para fisikawan menghadapi kesulitan dalam menjelaskan emisi cahaya dari objek termal menggunakan hukum-hukum klasik.[6] Meskipun cahaya dipahami sebagai gelombang elektromagnetik, penjelasan untuk emisi cahaya dengan panjang gelombang pendek sulit ditemukan. Dalam grafik Hukum Rayleigh-Jeans yang berhasil memprediksi intensitas emisi untuk panjang gelombang yang panjang, gagal memprediksi energi total yang tak terhingga ketika intensitas emisi divergen pada panjang gelombang pendek. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai "bencana ultraviolet".[7] Pada tahun 1900, Max Planck mengusulkan hipotesis bahwa frekuensi cahaya yang dipancarkan oleh benda hitam bergantung pada frekuensi osilator yang memancarkannya, dengan energi osilator meningkat secara linear seiring dengan frekuensi. Ia menemukan bahwa osilator dengan frekuensi tertinggi memiliki energi tertinggi. Planck mengatasi masalah benda hitam dengan menyimpulkan bahwa cahaya dengan frekuensi tinggi dipancarkan oleh osilator dengan frekuensi yang sama, yang memiliki energi lebih tinggi. Akibatnya, jumlah osilator dengan frekuensi tinggi menjadi lebih sedikit, dan jumlah cahaya yang dipancarkan juga lebih sedikit. Prinsip ini serupa dengan distribusi Maxwell-Boltzmann dalam fisika statistik, di mana partikel dengan energi rendah ditekan oleh partikel dengan energi yang lebih tinggi.[8] Pendekatan Planck terhadap benda hitam memiliki dampak revolusioner dalam fisika, yaitu pengakuan bahwa jumlah osilator yang berinteraksi dengan medan elektromagnetik dalam kesetimbangan termal adalah bilangan bulat. Osilator- osilator ini mengalihkan seluruh energinya ke medan elektromagnetik, menciptakan kuantum cahaya setiap kali berinteraksi. Meskipun awalnya mengembangkan teori atomik tentang benda hitam, Planck secara tidak sengaja juga mengemukakan teori atomik tentang cahaya, dengan menghasilkan kuantum cahaya pada frekuensi tertentu.

Efek fotolistrik

Efek fotolistrik. Foton-foton yang datang dari sebelah kiri menumbuk pelat logam (bagian bawah) dan melepas elektron-elektron, digambarkan terbang ke sebelah kanan.

Pada awal abad ke-20, penemuan Philipp Lenard mengenai efek fotolistrik memunculkan pertanyaan baru dalam pemahaman ilmu fisika. Lenard menemukan bahwa energi elektron yang terlempar tidak tergantung pada intensitas cahaya, melainkan pada frekuensinya. Hasil penemuan ini bertentangan dengan teori yang mengasumsikan transfer energi yang kontinu antara radiasi dan materi. Namun, Albert Einstein pada tahun 1905 menggunakan model benda hitam Max Planck untuk memberikan solusi pada masalah tersebut. Einstein menunjukkan bahwa fenomena efek fotolistrik dapat dijelaskan dengan menggunakan deskripsi klasik tentang cahaya, asalkan materi memiliki sifat mekanik kuantum. Dengan demikian, penemuan Lenard dan kontribusi Einstein memperkuat pemahaman akan sifat dualistik cahaya sebagai partikel dan gelombang serta pentingnya mekanika kuantum dalam menjelaskan fenomena dalam dunia fisika.[9]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Greiner, Walter (2000-10-04). Quantum Mechanics: An Introduction (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. ISBN 978-3-540-67458-0. 
  2. ^ Eisberg, Robert Martin; Resnick, Robert (1985). Quantum physics of atoms, molecules, solids, nuclei, and particles. Internet Archive. New York : Wiley. hlm. 59. ISBN 978-0-471-87373-0. 
  3. ^ Berryman, Sylvia (2004-08-15). "Democritus". 
  4. ^ Young, Thomas (1804). Bakerian Lecture: Experiments and calculations relative to physical optics (dalam bahasa Inggris). Philosophical Transactions of the Royal Society. hlm. 1–16. doi:10.1098/rstl.1804.0001. 
  5. ^ Buchwald, Jed Z. (1989). The rise of the wave theory of light : optical theory and experiment in the early nineteenth century. Internet Archive. Chicago : University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-07884-7. 
  6. ^ Mandel, Leonard; Wolf, Emil (1995-09-29). "13". Optical Coherence and Quantum Optics (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-139-64302-3. 
  7. ^ Vázquez, M.; Hanslmeier, Arnold (2005-12-08). Ultraviolet Radiation in the Solar System (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. hlm. 6–7. ISBN 978-1-4020-3726-9. 
  8. ^ "Maxwell-Boltzmann distribution | Definition, Formula, & Facts | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). 2023-04-12. Diakses tanggal 2023-05-27. 
  9. ^ Lamb, Willis E; Scully, Marlan (1968). "The photoelectric effect without photons" (PDF). 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya