Plutarkhos

Plutarkhos
Lucius Mestrius Plutarchus
Μέστριος Πλούταρχος
Bioi Paraleloi, terjemahan bahasa Prancis Pertengahan oleh Amyot, 1565
Bioi Paraleloi, terjemahan bahasa Prancis Pertengahan oleh Amyot, 1565
PekerjaanPembuat biografi, pembuat esai, pendeta, duta besar, magistrat
KebangsaanYunani
TemaBiografi

Lusius Mestrius Plutarkhos, atau dikenal dengan sebutan Plutarch (bahasa Latin: Lucius Mestrius Plutarchus, bahasa Yunani: Μέστριος Πλούταρχος; c. 46 – 120) adalah sejarawan, pembuat biografi, pembuat esai Romawi berkebangsaan Yunani.[1] Plutarch lahir di keluarga terhormat di Chaeronea, Boeotia, yaitu kota yang terletak sekitar 20 mil sebelah timur Delphi.[1] Karya-karya Plutarch meliputi Parallel Lives, Symposiacs[2] (Table Talk: Pembicaraan Meja) dan Moralia.[1] Plutrach adalah seorang terdidik yang antusias, yang diyakini termasuk pengikut Plato, walaupun tulisannya dalam bidang politik berbeda dengan Plato.[2] Risalah yang masih ada di antaranya berisi nasihat politik yang mewacanakan diskusi tentang "Apakah para tetua seharusnya terlibat politik?"; "Mengapa para filsuf seharusnya berkomunikasi dengan penata hukum" yang semua itu berhubungan dengan situasi sejarah dan politik pada masanya.[3]

Sebagai penulis biografi, Plutarch menuliskan biografi para pemimpin Romawi, di antaranya adalah Fabius, Alexander Agung, Julius Caesar, Anthony, dan Marcellu.[4] A.B Susanto, seorang trainer managemen menyatakan Plutarch memberikan pelajaran terbaik dan paling cerdas tentang kepemimpinan daripada literatur yang dapat ditemukan di mana pun.[4]

Riwayat Hidup Singkat

Plutarch hidup pada masa pemerintahan Nerva, Trajan, dan Hadrian, masa yang biasanya dianggap sebagai permulaan kejayaan dari perluasan Romawi.[2] Plutarch merupakan penulis masa akhir kejayaan literatur Roma dan Yunani.[2] Dia kurang dirujuk oleh para ahli masa kini daripada Juvenal, Quintilianus, Martial, Tacitus, dan si Muda Pliny.[2] Dia bahkan tidak pernah menulis otobiografinya walaupun sumber-sumber tentang dirinya tersebar dan diketahui melalui beberapa warisan secara tak sengaja.[2]

Dari kota kelahirannya, di Boeotia, Plutarch muda berangkat ke Athena untuk belajar filsafat di Akademi, sekolah yang didirikan Plato.[1] Setelah itu dia mengembara ke Mesir, Asia Kecil dan tinggal di Roma.[1] Dari seluruh perjalanan itu, ia mendapatkan keahlian menulis dan keprihatinan dalam bidang politik dan budaya.[1] Namun, agaknya cara bertindaknya sangat bergaya Yunani.[1] Selain itu, ia juga menjadi seorang imam di Delphi.[1]

Meskipun ia bukan seorang politisi, ia memegang jabatan publik.[3]

Karya dan Pemikiran

Karya yang paling terkenal dari Plutarch adalah the Pararel Lives yang ia tulis kurang lebih 20 tahun setelah ia menekuni dunia literatur.[1] Buku ini berkisah tentang negarawan yang terkenal.[3] Buku tersebut terdiri 2300 halaman dalam 11 volume.[1] Karya tentang Moralia juga sangat terkenal, bicara tentang etika Yunani, berisi 3500 halaman, terdiri dari 16 volume.[1]

Plutarch agaknya selalu memikirkan keterlibatan hidup para filsuf dengan dunia politik.[3] Hal ini yang membedakannya dengan Plato yang kurang menekankan etika sikap hidup.[3] Menurut Plutarch, seorang filsuf (tradisi Stoa seharusnya juga seorang shopis, yaitu seseorang yang bukan saja mencintai kebijaksanaan, melainkan menjadi bijak), dan ia tidak perlu terlibat dalam dunia politik.[3] Namun, penarikan dari kehidupan politik, menurut Plutarch juga tidak diperbolehkan, meskipun sementara.[3] Anti politik dan hidup nonaktif dari politik bahkan dianggap sebuah tindakan tercela.[3] Politik bahkan dianggap sebagai daerah sakral, mengandung sesuatu yang ilahiah, yang terkadang dideskripsikan dalam istilah "inisiasi" yang dapat dilihat dari petuah Plutarch:[3]

Negarawan yang sempurna turut campur dalam persoalan publik, pertama-tama dengan menjadi calon inisiasi, tetapi pada akhirnya ia akan menjadi orang yang mengajar dan menginisiasi (menginspirasi) orang lain. Aktivitas politik adalah pengabdian kepada tanah air seseorang, yang bahkan dapat mengklaim hak yang lebih tinggi ketimbang orang tua seseorang. Negarawan atau warga negara yang baik seharusnya tidak menolak atau meremehkan setiap jabatan publik, betapapun sederhananya, setiap jabatan adalah kebaikan sakral.

— Plutarch dalam Praec. 824a-b, 795e, 792e, 816a

Plutarch dan Stoa dalam Etika

Plutarch senada dengan pemikiran Stoa yang menekankan hidup dalam kemandirian prinsip demi kebahagiaan, terlibat politik dalam mencapai kebaikan, melakukan pengabdian kepada negara dan Tuhan melalui hukum ilahi.[3] Baginya, tujuan politik adalah sesuatu yang baik secara moral dan tidak ada yang lain.[3] Kebaikan politik adalah yang paling sempurna dan tak satu pun dari kebaikan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dapat lepas dari hukum, keadilan dan kekuasaan.[3]

Politik adalah bukan sesuatu bentuk pengabdian (leitourgia) yang mencapai batasnya ketika kebutuhan yang dilayani terpenuhi, tetapi merupakan jalan hidup bagi makhluk yang mulia dan diciptakan untuk polis dan bermasyarakat, dan pada dasarnya ditetapkan untuk menjalankan kehidupan politik, mengejar cita-cita yang baik secara moral dan setiap saat memperlakukan orang lain dengan rasa kemanusiaan.

Pengaruh Plutarch

Salah satu tokoh besar yang dipengaruhi oleh Plutarch adalah Jean Jacques Rousseau.[5] Bahkan karena Rousseau sering membaca karya-karya Plutarch setiap malam, ia sangat terobsesi menjadi seorang negarawan Romawi, walau usianya masih 12 tahun.[5]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris)Thomas Hagg., The Art of Biography in Antiquity, Edinburg: Cambridge University Press, 239-250
  2. ^ a b c d e f (Inggris) Mortimer J. Adler, Great of the Western Books 13: Plutarch, London: Encyclopedia Britannica, Inc., 1952, Hal. v-vi
  3. ^ a b c d e f g h i j k l (Indonesia)Christoper Rowe, Malcolm Schofield, Simon Harrison, and Melissa Lane., Sejarah Pemikiran Politik Yunani Romawi, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001, Hal. 681-691
  4. ^ a b (Indonesia)A.B. Susato., 60 Management Gems: Applying Management Wisdom in Lifes Menurut, Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama., Hal. 22
  5. ^ a b (Indonesia) Ahmad Suhelmi., Sejarah Pemikiran Barat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, Hal. 238

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya