Christine Hakim
Herlina Christine Natalia Hakim (lahir 25 Desember 1956) adalah seorang pemeran, produser, dan aktivis berkebangsaan Indonesia. Christine merupakan aktris berketurunan campuran, dengan kerabatnya yang berasal dari Aceh, Minang, Jawa dan Timur Tengah.[1] Ia lahir di Jambi dan besarnya di Yogyakarta yang bercita-cita menjadi seorang arsitek atau psikolog. Cita-citanya berubah setelah ia ditemukan oleh Teguh Karya untuk filmnya pada tahun 1973 Cinta Pertama, sebuah peran yang menghantarkannya meraih Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik dan membuatnya yakin untuk meneruskan kariernya dalam dunia seni peran. Sejak saat itu, ia telah membintangi sejumlah film, termasuk film Badai Pasti Berlalu tahun 1977 dan Tjoet Nja' Dhien tahun 1988; ia juga memiliki peran minor dalam film Hollywood tahun 2010 Eat Pray Love. Hingga 2018, ia telah mendapatkan delapan Piala Citra[2], menerima penghargaan seumur hidup dari Festival Film Indonesia[3], Indonesian Movie Actors Awards[4] dan Festival Film Internasional Cinemanila, serta ditunjuk sebagai anggota juri pada ajang Festival Film Cannes 2002.[1] Christine mulai melebarkan sayapnya di dunia seni peran pada tahun 1998, berperan sebagai produser film Daun di Atas Bantal dan Pasir Berbisik serta kemudian melebar ke dalam pembuatan film dokumenter dan menjadi aktivis pendidikan dan autisme. Mulai tahun 2008, ia telah menjabat sebagai Duta Indonesia untuk UNESCO, dengan fokus pada masalah pendidikan.[5] Kehidupan awalChristine lahir di Kuala Tungkal, Jambi pada 25 Desember 1956, sebagai putri dari Hakim Thahar dan Oma Nurhadiaty Hakim, dan dibesarkan di Yogyakarta. Ia adalah keturunan campuran, dengan kerabatnya berasal dari Padang, Aceh, Banten, Pekalongan, Madiun, dan Timur Tengah; hal ini menyebabkan ia mempertanyakan identitasnya saat ia kanak-kanak dan remaja.[1] Meskipun berasal dari keluarga Muslim, orang tuanya menamainya Christine dan Natalia karena ia lahir pada Hari Natal.[6] KarierAwalnya, Christine tidak berniat menjadi seorang aktris. Ia bercita-cita menjadi seorang arsitek atau psikolog. Namun, nasibnya kemudian berubah setelah berperan dalam film Teguh Karya tahun 1973 Cinta Pertama. Teguh Karya menawarinya peran tersebut setelah melihat foto-foto pemodelannya di sebuah majalah; meskipun hanya pemodelan untuk membantu temannya. Ia tidak dapat menolak permintaan Teguh Karya karena takut tidak sopan kepada orang yang "hangat dan ramah" itu. Ia kemudian menjelaskan bahwa Teguh Karya telah "menggulung [nya], perlahan, perlahan, seperti seorang nelayan," dan mempertimbangkan untuk meninggalkan peran setelah menyelesaikan syuting. Karyanya di Cinta Pertama mengantarkannya meraih Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik, yang meyakinkannya untuk terus berakting.[1] Teguh Karya kemudian mengatakan kepadanya bahwa ia telah berdebat dengan produsernya atas pemilihan Christine untuk perannya tersebut. Produser menyatakan keprihatinan bahwa Christine "terlalu kurus dan tidak memiliki dada", yang dijawab oleh Karya "apakah kita menjual sebuah film atau apakah kita menjual payudara?"[7] Tahun berikutnya, Christine membintangi film yang disutradarai Teguh Karya lainnya, Kawin Lari. Pengalaman itu memberinya pemahaman yang lebih besar tentang akting, yang menyebabkannya "melihat kehidupan dari perspektif berbeda dalam mempelajari karakter [nya]." Diikuti oleh peran pada tahun 1976, Sesuatu yang Indah, disutradarai oleh Wim Umboh. Sesuatu yang Indah adalah film pertama di mana Christine menggunakan suaranya sendiri. Suaranya telah diisi oleh Titi Qadarsih dalam film sebelumnya karena suara Hakim sendiri dianggap "terlalu berat."[7] Tahun berikutnya, ia berperan dalam film Badai Pasti Berlalu, tampil pada poster dan sampul album lagu tema film tersebut.[8] Christine menampilkan 14 film Indonesia dalam Festival Tiga Benua Nantes pada November 1983; ia berperan dalam setengah dari film-film tersebut. Dua tahun kemudian ia menjadi pengamat di Festival Film Cannes, menjalin hubungan kerja dengan Pierre Risient, yang kemudian membantunya membawa filmnya ke Cannes.[6] Salah satunya adalah film Eros Djarot tahun 1988, Tjoet Nja' Dhien, di mana Christine berperan sebagai pemimpin gerilya Aceh, Cut Nyak Dhien. Film tersebut memenangkan penghargaan pada Festival Film Cannes 1989 sebagai Best International Film,[9] ditayangkan pada Le Semaine de Critique.[6] Christine kemudian menggambarkan peran sebagai suatu "kehormatan besar" dan "sangat menantang"; ia telah mengkreditkan peran tersebut untuk menjawab pertanyaannya tentang identitasnya.[1] Film ini kemudian menjadi perwakilan Indonesia pada Academy Awards ke-62 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik.[10] Produser film dan juri Festival Film CannesChristine menayangkan karya perdananya sebagai seorang produser, Daun di Atas Bantal selama presentasi Un Certain Regard di Cannes pada tahun 1998.[6] Ketika memproduksi film ini, ia memilih sutradara muda Garin Nugroho, yang ia anggap sangat berbakat; ia juga mengambil peran utama. Selama produksi, ia membuat kesalahan yang membutuhkan perombakan semua rekaman. Dalam upaya untuk memotong biaya, ia telah menyimpan semua kaleng film yang terbuka untuk dikirim ke lab pengembangan sekaligus; lab tersebut kemudian memberitahunya bahwa kesalahan teknis dengan kamera telah membuat semua film tersebut tidak dapat digunakan dan bahwa masalah tersebut dapat dideteksi lebih awal jika ia mengirim setiap kaleng seperti saat difilmkan.[1] Produksinya yang lain, Pasir Berbisik pada tahun 2001, berjalan lebih lancar. Film tersebut, dengan Christine memproduseri dan memainkan peran utama, diputar di Festival Film Asia Deauville.[6] Tahun berikutnya ia ditunjuk menjadi juri Festival Film Cannes, bersama dengan David Lynch, Sharon Stone dan Michelle Yeoh.[1] Pada tahun 2005 ia menerima penghargaan khusus selama upacara pembukaan Festival Film Asia Deauville ke-7.[6] Pada tahun 2003, Christine memulai bekerja bersama RCTI dan Metro TV untuk acara televisi Untukmu Guru.[11] Eat Pray Love, film dokumenter, dan pencapaian seumur hidupPengalaman Hollywood pertama Christine datang pada tahun 2010, ketika Christine berperan sebagai Wayan, seorang penjual jamu asal Bali, bersama Julia Roberts dalam film Eat Pray Love. Sesampainya di Bali tiga hari sebelum syuting, ia mendapati dirinya bergegas untuk membaca naskah, menyesuaikan diri, dan menyingkirkan rambut hijau miliknya. Dia bertemu dengan orang yang karakternya didasarkan untuk mempersiapkan perannya.[1] Pada tahun yang sama, Christine menerima Penghargaan FIAPF untuk "pencapaiannya yang luar biasa"; ia membandingkan penghargaan tersebut dengan Viagra, mengatakan bahwa hal ini "membuat [nya] kuat untuk memuaskan [penonton]".[1] Christine juga seorang pembuat film dokumenter. Ia telah membuat film dokumenter tentang Situs Warisan Dunia UNESCO di Indonesia,[1] dan pada tahun 2011 menghasilkan film dokumenter tentang autisme untuk "mendidik masyarakat" yang dirilis bertepatan dengan Hari Kesadaran Autisme Sedunia.[12] Hingga Mei 2011, ia memproduksi film dokumenter mengenai orang Dayak Kalimantan. Ia tengah mempertimbangkan untuk membuat film fiksi berdasarkan budaya mereka.[13] Pada tahun 2016, Christine menerima secara langsung penghargaan pencapaian seumur hidup dari Festival Film Indonesia atas kontribusinya bagi Perfilman Indonesia.[3] Tahun berikutnya, ia kembali dianugerahi penghargaan pencapaian seumur hidup dari Indonesian Movie Actors Awards. Christine, namun, tidak dapat menerima penghargaan tersebut secara langsung karena tengah berada di Cannes.[4] Kehidupan pribadiPada tahun 2000, Christine menikah dengan Jeroen Lezer, seorang produser film, penulis dan aktor asal Belanda. Mereka tinggal di Cibubur, Jakarta Timur, bersama Ibu Christine dan putri adopsinya, Shena;[11] Bruce Emond dari The Jakarta Post menggambarkan kediamannya seperti "seperti taman rahasia yang subur di tengah pinggiran kota yang merayap".[7] Christine biasanya menghindari mendiskusikan kehidupan pribadinya dengan pers dan tidak mau membahas topik yang bukan merupakan kepentingan umum. Pada tahun 1992, ia mengatakan bahwa "90 persen jurnalis tidak tertarik pada film-filmnya, mereka hanya ingin tahu tentang kehidupan pribadi [nya]."[11] Kegiatan sosial dan aktivismeDimulai pada awal tahun 2000-an, Christine menjadi seorang aktivis, yang berfokus pada dunia pendidikan. Setelah gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004, ia berpergian dalam berbagai perjalanan kemanusiaan ke Aceh.[11][6] Ia kemudian mendirikan Christine Hakim Foundation, sebuah yayasan untuk mempromosikan pendidikan publik tentang autisme. Ia telah mendesak pemerintah untuk menghilangkan kesalahpahaman mengenai autisme, menyebut penolakan untuk menerima siswa autis di sekolah umum merupakan "pelanggaran terhadap hak asasi manusia".[12] Pada tahun 2008, Christine terpilih sebagai duta jasa-jasa baik Indonesia untuk UNESCO; ia telah menggunakan posisinya ini untuk mempromosikan pendidikan, mendorong reformasi pendidikan di Indonesia, dan mempromosikan program bantuan bencana di Asia Tenggara.[5] FilmografiFilm
Film pendek
Serial televisi
Serial web
Acara televisi
Penghargaan dan nominasi
§ – Untuk menyesuaikan urutan penghargaan untuk setiap filmnya, penghargaan untuk film Pendekar Tongkat Emas yang diberikan oleh Usmar Ismail Awards tahun 2016, dicantumkan dalam tabel sebelum tahun 2015. Tanda kehormatan
Referensi
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Christine Hakim.
|