Warna WartaWarna Warta atau dikenal dalam bahasa Mandarin sebagai 综合新闻 ('Zònghé xīnwén' yang berarti 'berita umum'), dulu adalah sebuah koran Tionghoa Peranakan berbahasa Melayu yang terbit di Semarang, Hindia Belanda mulai tahun 1902 hingga 1933. Bersama Djawa Tengah, koran ini sangat berpengaruh di kalangan Tionghoa Indonesia di Semarang pada saat itu. SejarahWarna Warta didirikan pada bulan Februari 1902 dengan V.W. Doppert sebagai editor serta Kwa Wan Hong sebagai direktur dan administrator.[1] Novelis F.D.J. Pangemanann juga pernah menjadi editor di koran ini pada awal pendiriannya.[2] Koran ini diterbitkan oleh N. V. Drukkerij en Handel in schrijfbehoeften, atau dalam bahasa Mandarin dikenal sebagai Hap Sing Kongsie. Pada awalnya, koran ini menyebut dirinya sebagai juru bicara dari Tiong Hoa Hwee Koan, sebuah gerakan pendidikan diaspora Tionghoa.[2] Dalam waktu satu tahun, koran ini telah menghadapi masalah hukum. Pada tahun 1903, salah satu jurnalis dari koran ini, Oh Boen Kwie, ditahan dan dihukum kerja paksa selama satu bulan karena melakukan penipuan. Ia juga dituduh mencetak artikel fitnah di Warna Warta.[3] Tuntutan terkait artikel tersebut diajukan terhadap editor, Njoo Goan Sioe. Artikel tersebut menyatakan bahwa seorang pejabat lokal telah ditahan atas tuduhan penipuan.[4] Ia akhirnya dinyatakan bersalah atas tuduhan fitnah dan dihukum satu bulan penjara.[5] Tidak lama, F.D.J. Pangemanann keluar dari koran ini untuk bekerja di Bintang Betawi di Batavia dan kemudian untuk Perniagaan. Tetapi saudaranya, J.H. Pangemanann, kemudian bergabung ke koran ini sebagai editor. Selama bekerja di koran ini, J.H. Pangemanann beberapa kali dibawa ke pengadilan lokal di Semarang atas tuduhan mencetak liputan yang tidak menyenangkan mengenai pengusaha lokal, pertama pada bulan Juli 1908 karena memberitakan hal yang kurang baik mengenai seorang insinyur sipil lokal,[6] dan kemudian pada bulan Maret 1909 karena mencetak sebuah artikel fitnah mengenai Tio San Hien, seorang pebisnis Tionghoa asal Surakarta. Artikel tersebut menuduh Tio mengadakan pesta selama periode berkabung pasca meninggalnya Kaisar Guangxu pada bulan November 1908.[7] Pada bulan Agustus 1909, diumumkan bahwa J.H. Pangemanann telah jatuh sakit dan mengundurkan diri dari koran ini, sehingga peran editor untuk sementara diserahkan ke Kwik King Hin dan L.J. Mamahit.[8] Pada bulan September 1909, diumumkan bahwa F.D.J. Pangemanann akan keluar dari Perniagaan untuk kembali bekerja di Warna Warta sebagai kepala editor.[9] Namun, ia tidak lama menjabat, karena ia meninggal pada tahun 1910. 1910-anPada tahun 1911, seorang editor baru, Phoa Tjoen Hoaij, yang baru berusia 19 tahun, mendapat hukuman enam bulan kerja paksa, karena mencetak sebuah artikel yang mempertanyakan nilai dari Tionghoa Hindia yang mempelajari bahasa Belanda sebelum mempelajari bahasa Mandarin.[10] Ia dikatakan menghasut komunitas untuk membenci dan menghina pemerintah Hindia Belanda dan membangkitkan permusuhan antara Tionghoa dan Belanda.[11] Tetapi hukuman tersebut kemudian diubah menjadi enam bulan penjara.[12] Setelah itu, J.C. Weijde Muller menjadi kepala editor di koran ini, tetapi ia kemudian mengundurkan diri pada bulan Maret 1919. Phoa Tjoen Hoaij lalu ditunjuk menggantikan Weijde Muller untuk sementara.[13] Pada bulan Juni 1919, Tjio Peng Hong, yang sebelumnya menjadi kepala editor di Andalas, resmi menjadi kepala editor di koran ini.[14] Namun, ia juga tidak lama menjabat. 1920-anSejumlah tokoh bekerja di koran ini pada awal dekade 1920-an. Kho Tjoen Wan, teman dekat dari Semaoen, dibawa ke pengadilan pada tahun 1920 karena menulis secara kritis di koran ini mengenai proposal pengadaan milisi pribumi di Hindia Belanda.[15] Tjondrokoesoemo, seorang jurnalis berlatar belakang Jawa, juga sempat menjadi editor di Warna Warta pada tahun 1921 setelah berselisih dengan pimpinannya di Djawa Tengah mengenai independensi editorial.[16] Namun, ia mengundurkan diri pada tahun 1922 atas alasan kesehatan.[17] Sejarawan Liem Thian Joe pun sempat menjadi editor di Warna Warta pada dekade 1920-an.[18] Pada tahun 1922, sejumlah editor dari koran ini terlibat dalam upaya untuk membentuk sebuah serikat untuk jurnalis Tionghoa di Semarang, yakni Chineesche journalistenkring. Lauw Kong Hoe, kepala editor dari koran ini, lalu menjadi chairman dari serikat tersebut, sementara Louw Eng Hoey, editor dari koran ini, menjadi wakil presidennya.[19] Sebagian besar jabatan lain di serikat tersebut dipegang oleh editor dari Djawa Tengah. Pada tahun 1925, koran ini terlibat dalam sebuah kasus besar saat kepala editor koran ini, Lauw Kong Hoe, ditahan karena mencetak editorial yang berjudul Apalah jang Pamerentah maoe yang dianggap "penuh kebencian".[20] Editorial tersebut ditulis sebagai respon terhadap sebuah artikel Aneta yang kemungkinan palsu. Artikel tersebut menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda melarang pengumpulan dana untuk dikirim ke Tiongkok.[20] Saat ditahan, Lauw diminta untuk menandatangani sebuah surat pernyataan yang diberikan oleh seorang jaksa lokal. Surat pernyataan tersebut berisi pernyataan bahwa Lauw tidak akan menerbitkan editorial serupa di kemudian hari. Lauw menolak untuk menandatangani surat pernyataan tersebut, dengan menyatakan bahwa hal tersebut melawan kode etik jurnalisme.[21] Kritik Lauw kepada pemerintah dianggap terlalu kasar dan ia diingatkan di pengadilan bahwa ia dulu pernah berjanji di kasus sebelumnya bahwa ia akan memperbaiki perilakunya.[20] 1930sTerjadinya Depresi Besar di Hindia Belanda menyebabkan sejumlah koran mengalami kesulitan keuangan, termasuk Warna Warta. Pada tahun 1931, editor Saroehoem keluar dari koran ini dan kembali ke Tapanuli, karena berselisih dengan koleganya.[22] Lauw Kong Hoey kemudian juga mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala editor. Pada awal bulan Maret 1932, koran ini berupaya melakukan restrukturisasi, dengan menunjuk Tan Boen Soan, yang sebelumnya bekerja di Keng Po sebagai kepala editor, dan Ong Lhee Soeij sebagai direktur baru.[23] Koran ini juga memperpendek formatnya dan mengurangi harganya, karena para pembacanya tidak mampu membayar biaya langganan.[24] Namun, pada bulan November 1932, Tan Boen Soan bergabung ke manajemen dari koran ini, sementara Tan Hwa Bouw, yang sebelumnya bekerja sebagai editor di Warna Warta dan Siang Po di Batavia, menjadi kepala editor dari koran ini.[25] Koran ini kemudian kembali menghadapi masalah hukum. Belanda tidak suka dengan liputan koran ini terhadap konflik antara Tiongkok dan Jepang, serta menerapkan peraturan pers baru yang disebut sebagai persbreidel untuk pertama kalinya terhadap Warna Warta, sehingga memaksa koran ini untuk berhenti terbit sementara.[26] Djit PoPada bulan Maret 1933, Warna Warta mengubah namanya menjadi Djit Po, dengan Ong Lee Soei tetap menjadi direktur koran ini,[27] sementara Tan Hoa Bouw menjadi editornya.[28] Koran ini tetap terbit setiap hari.[29] Pada akhir tahun 1935, diumumkan bahwa Saroehoem akan kembali bekerja di koran ini sebagai kepala editor.[30] Namun, tidak jelas seberapa lama Djit Po tetap terbit. Hanya sedikit yang menyebut koran ini setelah tahun 1935 dan Perpusnas hanya memiliki salinan koran ini mulai tahun 1933 hingga 1935.[31] Referensi
|